Sandyakalaning Mourinho

Adamsuhada

New member
Percayakah Anda kalau dikatakan kesuksesan dalam sepakbola adalah sebuah rumus yang lebih rumit untuk diwujudkan ketimbang teori relativitas Einstein.

Bayangkan bagaimana semua hirarki dalam sebuah klub, dari pemilik modal, direktur pelaksana klub, manajer, asisten, pemain, bergerak menuju satu titik (yang dinamakan kesuksesan) dengan tetap menjaga ego masing-masing agar tetap eksis. Dan ketika berbicara ego (keakuan) dalam dunia sepakbola, Anda berbicara tentang ego di luar kenormalan keseharian manusia.

Percayalah, sekadar bersosialisasi saja mereka susah, apalagi untuk bersinergi mewujudkan mimpi bersama. Bukan cerita baru kalau antarpemain dalam satu tim tidak pernah bertegur sapa kecuali ketika mereka berlatih atau bermain. Atau manajer dengan pemilik klub saling tidak suka. Atau manajer dengan pemain hubungannya dingin-dingin saja. Contoh klasik adalah kisah Teddy Sheringham dan Andy Cole yang bahu membahu kompak membantu Manchester United memenangkan treble di tahun 1999, ternyata di luar lapangan mereka bermusuhan dan tidak saling berbicara.

Dibutuhkan semacam efek pelatuk dalam senapan untuk meluncurkan peluru kesuksesan itu. Diperlukan takaran mesiu yang tepat, mesin dengan presisi tinggi, perhitungan yang rumit, semuanya bergerak dalam hitungan waktu yang seirama.

Anda boleh saja memiliki pemilik klub terkaya di dunia, manajer terbaik di dunia, pemain terbaik di dunia, pokoknya segalanya serba nomor satu; Tetapi jaminan kesuksesan tidaklah berdasar itu. Justru di sinilah persoalan muncul. Keakuan mereka sebagai yang nomor satu malah seringkali tidak mampu tertampung dalam biduk kebersamaan. Ketika segalanya sedang berjalan mulus, maka biduk kebersamaan tampak harmonis-harmonis saja. Ketika persoalan muncul, barulah terpahami kalau getaran keretakannya akan lebih dahsyat.

Kisah klasik semacam ini sekarang terjadi di Chelsea. Roman Abramovich bisa dikatakan adalah pemilik klub sepakbola terkaya di dunia. Tak heran kalau ia tidak kesulitan membeli pemain yang dibutuhkan klub tanpa banyak berpikir panjang. Berapapun harganya. Nilai pembelian pemain klub ini berlipat-lipat lebih besar dari saingannya di liga Inggris atau Eropa sekalipun.

Pada diri Jose Mourinho mereka mempunyai manajer yang kalaulah tidak terhebat Eropa saat ini, setidaknya salah satu yang terhebat. Dua kali berturut membawa Porto juara divisi utama di Portugal langsung disambung dengan dua kali berturut-turut membawa Chelsea juara Liga Utama Inggris. Ia juga langsung membawa Porto menjadi juara Piala UEFA dan Piala Champions dalam keikutsertaan pertamanya.

Semua Chelsea adalah pemain internasional, rata-rata rata-rata yang terbaik di posisinya. Para direktur pelaksana di belakang layar juga bukan sembarangan. Peter Kenyon dibajak dari Manchester United untuk menjalankan keseharian klub. Dialah orang yang bertanggungjawab memanfaatkan kesuksesan MU di lapangan menjadi kesuksesan komersial dan menjadikannya klub terkaya di dunia.

Frank Arnessen dibajak dari Totenham Hotspur untuk mengelola dan memantau pemain-pemain potensial yang diincar Chelsea. Dialah otak di belakang pembelian pemain-pemain Chelsea.

Adalah ilusi kalau campuran orang-orang super sukses semacam mereka ini tidak akan menimbulkan friksi ketika bekerja sama.

Pemicu keretakan itu adalah krisis yang menimpa penampilan mereka di lapangan karena cederanya beberapa pemain inti dan penampilan Andriy Shevchenko yang jauh dari harapan. Dua faktor itu yang menurut Mourinho membuat Chelsea tak kunjung bisa menggeser MU dari puncak klasemen sementara.

Mourinho menginginkan beberapa pemain untuk menutupi posisi pemain kunci yang cedera dan membeli striker baru menggantikan Shevchenko. Abramovich menolaknya karena menganggap stok yang ada sudah cukup.

Di belakang layar persoalannya tidak sesederhana itu. Ternyata terjadi rapat sengit antara Mourinho dengan dewan direktur Chelsea untuk membahas permintaan sang manajer.

Mourinho mengajukan beberapa nama untuk sementara menutupi posisi kapten tim John Terry yang masih cedera. Frank Arnesen ingin membawa pemain belakang Brasil, Alex, untuk mengisi Terry. Mourinho menolak karena dianggapnya pemain ini tidak cukup bagus . Mourinho bahkan sudah menolaknya ketika pertama kali Arnesen berkeinginan membeli Alex di awal kompetisi.

Saling ngotot di antara Mourinho dan Arnesen membuat Mourinho mempersilakan Arnesen membawa Alex tetapi dengan Chelsea harus terlebih dahulu memecatnya.

Persoalan diperparah dengan kasus Shevchenko. Abramovich tidak suka dengan kritik Mourinho yang menyebut Shevchenko lebih tertarik menikmati kota London ketimbang bermain bola. Shevchenko adalah temain baik Abramovich dan adalah Abramovich sendiri yang mengatur agar pemain ini pindah dari AC Milan ke Chelsea. Keinginan Mourinho untuk membawa Jermaine Defoe dari Totenham ataupun Milan baros dari Aston Villa membuat marah Abramovich.

Lebih kacau lagi dewan direktur Chelsea ingin mendatangkan seorang pelatih Israel yang mampu berbahasa Rusia untuk membantu melatih Shevchenko dan memecat Steve Clarke, salah seorang asisten Mourinho. Mourinho benar-benar dibuat marah.

Ini baru yang terungkap di permukaan, di bawah permukaan pastilah persoalan lebih parah dari sekadar ini.

Berita terakhir menyebutkan bahwa diam-diam Chelsea telah menghubungi beberapa pelatih di Eropa untuk menggantikan Mourinho. Mourinho pun membalas dengan mempersilahkan agennya untuk juga memasarkan dirinya ke klub-klub Eropa.

Dalam beberapa wawancara televisi Mourinho terang-terangan mengritik dewan direktur dan kebijakan-kebijakan mereka. Sambil ia menolak untuk memastikan apakah ia masih akan tetap melatih Chelsea usai musim kompetisi ini.

Orang jadi teringat sebuah wawancara dengan Mourinho bulan Desember lalu. Ia ditanya apa reaksinya kalau pemilik klub memaksanya memainkan pemain tertentu. Ia mengatakan itu tak akan terjadi karena itu berarti tidak mempercayai dirinya sebagai manajer yang baik. Sambil tersenyum ia mengatakan kalau memang tidak dipercaya, Abramovich cukup punya uang untuk membayar kompensasi dan memecatnya. Ia akan dengan senang hati pulang ke Portugal.

Mungkin Mourinho sudah merasa sesuatu sedang terjadi dan ia sebenarnya sedang mengirimkan isyarat perpisahan. Mungkin ini sebuah pertanda bahwa sandyakalaning (keruntuhan) seorang Mourinho di Stamford Bridge akan datang tak lama lagi.
 
Back
Top