JAKARTA - Perdebatan soal hak pilih TNI dalam pemilihan umum mendapat perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di depan panglima TNI, kepala staf TNI, menteri pertahanan, dan 132 perwira tinggi TNI, presiden menegaskan belum saatnya TNI menggunakan hak pilih pada Pemilu 2009.
SBY khawatir penggunaan hak pilih TNI akan merusak kesatuan, kekompakan, dan soliditas TNI. Penggunaan hak pilih pada waktu yang kurang tepat justru membuat korps tentara -jumlahnya sekitar 350 ribu orang- akan terkotak-kotak dan terpecah.
"Tentu tidak baik memaksakan TNI menggunakan hak pilih pada Pemilu 2009. Kalau itu menjadi pandangan dan pemikiran TNI, dapat disimpulkan pada Pemilu 2009 TNI belum tepat untuk memilih. Itu pendapat saya," kata SBY saat menerima peserta Rapimnas TNI di Istana Negara kemarin.
Meski demikian, SBY selaku Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata tetap memberikan kesempatan kepada TNI untuk melakukan pengkajian secara internal tentang penggunaan hak pilih itu. Bagi SBY, pandangan TNI soal hak pilih pada pemilu patut didengar oleh pemerintah dan DPR sebagai bahan kajian dalam penyusunan UU Pemilu.
"Kita ingin TNI sebagai kekuatan pertahanan bisa terus menjalankan tugasnya dengan baik. Tidak sepatutnya (TNI) mendapatkan persoalan dalam dirinya dalam mengemban tugas-tugas itu," kata SBY.
Dalam penutupan Rapimnas itu, hadir Panglima TNI Marsekal TNI Djoko Suyanto, KSAL Laksamana Slamet Soebijanto, KSAD Jenderal Djoko Santoso, KSAU Marsekal Herman Prajitno, serta Pangdam-Pangdam. Hadir juga Kepala BIN Syamsir Siregar, Menko Polhukam Widodo A.S., Menhan Juwono Sudarsono, dan Mendagri Moh. Ma?ruf.
Pernyataan SBY itu merespons sambutan Panglima TNI Djoko Suyanto. Saat itu, mantan KSAU tersebut mengatakan, Rapimnas juga telah membahas masalah hak pilih TNI dalam Pemilu 2009. Meski belum ada keputusan di internal TNI tentang hak pilih dalam Pemilu 2009, perwira tinggi yang pro terhadap wacana hak pilih TNI pada Pemilu 2009 cukup banyak.
Selain membahas soal hak pilih TNI, SBY juga menyinggung pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista). SBY meminta pengadaan alutsista TNI sesuai dengan sistem dan prosedur yang berlaku. "Jangan mempermainkan harga karena setiap rupiah uang rakyat yang dianggarkan untuk mengadakan perlengkapan militer itu harus dipertanggungjawabkan," tutur SBY.
TNI juga diminta memprioritaskan persenjataan produksi dalam negeri. Ketepatan pemilihan senjata juga harus ditingkatkan. Sebab, pemilihan peralatan persenjataan berkaitan langsung dengan keselamatan prajurit. "Misalnya, membeli rompi antipeluru atau alat komunikasi -kalau tidak tepat- bisa membahayakan nyawa prajurit," katanya.
Panglima TNI Djoko Suyanto seusai acara mengatakan, apa yang disampaikan presiden (belum saatnya TNI menggunakan hak pilih) itu bukan harga mati. "Presiden kan bilang, kalau merugikan TNI, jangan. Kalau menguntungkan, silakan. Masih dikaji," ujarnya.
Djoko menganggap pernyataan presiden yang lugas itu belum directive. "Masalah hak pilih TNI ditentukan institusi TNI. Bukan oleh Panglima TNI," kata mantan komandan Lanud Iswahyudi Magetan itu.
Djoko juga membantah banyak purnawirawan TNI yang meminta institusinya memperjuangkan TNI mendapat hak pilih pada Pemilu 2009. "Tidak ada hubungannya dengan purnawirawan. Purnawirawan tidak bisa memengaruhi prajurit," katanya.
Pengamat militer Universitas Indonesia Andi Widjajanto mengatakan, "instruksi" presiden itu dapat membingungkan TNI. Sebab, hasil pengkajian dari tim Mabes TNI soal hak pilih belum selesai.
"Sikap tentara yang profesional memang harus lepas dari politik praktis. Tapi, itu tidak bisa ditentukan oleh presiden," kata Andi. Karena itu, independensi TNI dipertaruhkan dalam menyikapi "instruksi" presiden tersebut.
Apakah itu terkait dengan gerakan politik sejumlah purnawirawan? Menurut Andi, terlalu tergesa-gesa jika menyimpulkan seperti itu. "Doktrin TNI untuk tidak berpolitik sudah ditentukan dalam UU 34 Tahun 2004. Jadi, jauh sebelum ada ramai-ramai soal manuver politik purnawirawan," katanya.
Sebagaimana diketahui, banyak purnawirawan jenderal yang kini aktif di berbagai partai politik. Yang terbaru, mantan Panglima ABRI Jenderal Wiranto mendeklarasikan Partai Hanura (Hati Nurani Rakyat). Para jenderal itu masih punya pengaruh pada para anggota TNI yang masih aktif.
Perspektif yang agak berbeda diungkapkan Dr Kusnanto Anggoro. Menurut dia, instruksi presiden itu mencerminkan sikap waspada. "Dalam konteks kekuasaan, tidak ada salahnya melakukan positioning lebih awal," ujarnya. Apalagi, beberapa hari yang lalu SBY sudah menugaskan Menko Polhukam Widodo A.S. dan Kepala BIN Syamsir Siregar bertemu langsung dengan sejumlah senior. "Budaya patriarki di tubuh militer kuat dan itu bisa memengaruhi iklim politik, meskipun sudah bukan lagi militer aktif," katanya.
Hal senada juga diungkapkan pakar politik CSIS J. Kristiadi. Menurut dia, "instruksi" presiden itu harus disikapi secara positif. Bahkan, merupakan angin segar bagi demokrasi. Sebab, tentara akan lebih berkonsentrasi untuk memikirkan fungsi pertahanan negara. Hal itu sesuai dengan doktrin baru TNI yang berlaku mulai 2007, yakni Tri Dharma Eka Karma. "Profesionalisme menjadi terwadahi secara gamblang dan lugas," katanya.
Anggota Komisi 1 (Bidang Pertahanan) DPR Deddy Djamaluddin Malik juga menyambut positif perintah presiden itu. Secara implisit, sebenarnya SBY sudah menunjukkan sikap tegas. "TNI memang tidak diperbolehkan untuk condong pada partai atau kelompok tertentu."(tom/rdl
SBY khawatir penggunaan hak pilih TNI akan merusak kesatuan, kekompakan, dan soliditas TNI. Penggunaan hak pilih pada waktu yang kurang tepat justru membuat korps tentara -jumlahnya sekitar 350 ribu orang- akan terkotak-kotak dan terpecah.
"Tentu tidak baik memaksakan TNI menggunakan hak pilih pada Pemilu 2009. Kalau itu menjadi pandangan dan pemikiran TNI, dapat disimpulkan pada Pemilu 2009 TNI belum tepat untuk memilih. Itu pendapat saya," kata SBY saat menerima peserta Rapimnas TNI di Istana Negara kemarin.
Meski demikian, SBY selaku Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata tetap memberikan kesempatan kepada TNI untuk melakukan pengkajian secara internal tentang penggunaan hak pilih itu. Bagi SBY, pandangan TNI soal hak pilih pada pemilu patut didengar oleh pemerintah dan DPR sebagai bahan kajian dalam penyusunan UU Pemilu.
"Kita ingin TNI sebagai kekuatan pertahanan bisa terus menjalankan tugasnya dengan baik. Tidak sepatutnya (TNI) mendapatkan persoalan dalam dirinya dalam mengemban tugas-tugas itu," kata SBY.
Dalam penutupan Rapimnas itu, hadir Panglima TNI Marsekal TNI Djoko Suyanto, KSAL Laksamana Slamet Soebijanto, KSAD Jenderal Djoko Santoso, KSAU Marsekal Herman Prajitno, serta Pangdam-Pangdam. Hadir juga Kepala BIN Syamsir Siregar, Menko Polhukam Widodo A.S., Menhan Juwono Sudarsono, dan Mendagri Moh. Ma?ruf.
Pernyataan SBY itu merespons sambutan Panglima TNI Djoko Suyanto. Saat itu, mantan KSAU tersebut mengatakan, Rapimnas juga telah membahas masalah hak pilih TNI dalam Pemilu 2009. Meski belum ada keputusan di internal TNI tentang hak pilih dalam Pemilu 2009, perwira tinggi yang pro terhadap wacana hak pilih TNI pada Pemilu 2009 cukup banyak.
Selain membahas soal hak pilih TNI, SBY juga menyinggung pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista). SBY meminta pengadaan alutsista TNI sesuai dengan sistem dan prosedur yang berlaku. "Jangan mempermainkan harga karena setiap rupiah uang rakyat yang dianggarkan untuk mengadakan perlengkapan militer itu harus dipertanggungjawabkan," tutur SBY.
TNI juga diminta memprioritaskan persenjataan produksi dalam negeri. Ketepatan pemilihan senjata juga harus ditingkatkan. Sebab, pemilihan peralatan persenjataan berkaitan langsung dengan keselamatan prajurit. "Misalnya, membeli rompi antipeluru atau alat komunikasi -kalau tidak tepat- bisa membahayakan nyawa prajurit," katanya.
Panglima TNI Djoko Suyanto seusai acara mengatakan, apa yang disampaikan presiden (belum saatnya TNI menggunakan hak pilih) itu bukan harga mati. "Presiden kan bilang, kalau merugikan TNI, jangan. Kalau menguntungkan, silakan. Masih dikaji," ujarnya.
Djoko menganggap pernyataan presiden yang lugas itu belum directive. "Masalah hak pilih TNI ditentukan institusi TNI. Bukan oleh Panglima TNI," kata mantan komandan Lanud Iswahyudi Magetan itu.
Djoko juga membantah banyak purnawirawan TNI yang meminta institusinya memperjuangkan TNI mendapat hak pilih pada Pemilu 2009. "Tidak ada hubungannya dengan purnawirawan. Purnawirawan tidak bisa memengaruhi prajurit," katanya.
Pengamat militer Universitas Indonesia Andi Widjajanto mengatakan, "instruksi" presiden itu dapat membingungkan TNI. Sebab, hasil pengkajian dari tim Mabes TNI soal hak pilih belum selesai.
"Sikap tentara yang profesional memang harus lepas dari politik praktis. Tapi, itu tidak bisa ditentukan oleh presiden," kata Andi. Karena itu, independensi TNI dipertaruhkan dalam menyikapi "instruksi" presiden tersebut.
Apakah itu terkait dengan gerakan politik sejumlah purnawirawan? Menurut Andi, terlalu tergesa-gesa jika menyimpulkan seperti itu. "Doktrin TNI untuk tidak berpolitik sudah ditentukan dalam UU 34 Tahun 2004. Jadi, jauh sebelum ada ramai-ramai soal manuver politik purnawirawan," katanya.
Sebagaimana diketahui, banyak purnawirawan jenderal yang kini aktif di berbagai partai politik. Yang terbaru, mantan Panglima ABRI Jenderal Wiranto mendeklarasikan Partai Hanura (Hati Nurani Rakyat). Para jenderal itu masih punya pengaruh pada para anggota TNI yang masih aktif.
Perspektif yang agak berbeda diungkapkan Dr Kusnanto Anggoro. Menurut dia, instruksi presiden itu mencerminkan sikap waspada. "Dalam konteks kekuasaan, tidak ada salahnya melakukan positioning lebih awal," ujarnya. Apalagi, beberapa hari yang lalu SBY sudah menugaskan Menko Polhukam Widodo A.S. dan Kepala BIN Syamsir Siregar bertemu langsung dengan sejumlah senior. "Budaya patriarki di tubuh militer kuat dan itu bisa memengaruhi iklim politik, meskipun sudah bukan lagi militer aktif," katanya.
Hal senada juga diungkapkan pakar politik CSIS J. Kristiadi. Menurut dia, "instruksi" presiden itu harus disikapi secara positif. Bahkan, merupakan angin segar bagi demokrasi. Sebab, tentara akan lebih berkonsentrasi untuk memikirkan fungsi pertahanan negara. Hal itu sesuai dengan doktrin baru TNI yang berlaku mulai 2007, yakni Tri Dharma Eka Karma. "Profesionalisme menjadi terwadahi secara gamblang dan lugas," katanya.
Anggota Komisi 1 (Bidang Pertahanan) DPR Deddy Djamaluddin Malik juga menyambut positif perintah presiden itu. Secara implisit, sebenarnya SBY sudah menunjukkan sikap tegas. "TNI memang tidak diperbolehkan untuk condong pada partai atau kelompok tertentu."(tom/rdl