Dipi76
New member
Bls: Babad Mojopahit
Pupuh LI
1. Izinkanlah saya bertanya kepada sang raja satwa, Sekarang raja merayah hutan, apa yang diperbuat? Menanti mati sambil berdiri ataukah kita lari, Atau tak gentar serentak melawan, jikalau diserang?
2. Seolah-olah demikian kata srigala dalam rapat, Kijang, kaswari, rusa dan kelinci serempak menjawab: “Hemat patik tidak ada jalan lain kecuali lari Lari mencari keselamatan diri sedapat mungkin”.
3. Banteng, kerbau, lembu serta harimau serentak berkata: “Amboi! Celaka bang kijang, sungguh binatang hina lemah Bukanlah sifat perwira lari, atau menanti mati, Melawan dengan harapan menang, itulah kewajiban.”
4. Jawab singa: Usulmu berdua memang pantas diturut, Tapi harap dibedakan, yang dihadapi baik atau buruk, Jika penjahat, terang kita lari atau kita lawan, Karena sia-sia belaka, jika mati terbunuh olehnya.
5. Jika kita menghadapi tripaksa, resi Siwa-Buda, Seyogyanya kita ikuti saja jejak sang pendeta, Jika menghadapi raja berburu, tunggu mati saja, Tak usah engkau merasa enggan menyerahkan hidupmu.
6. Karena raja berkuasa mengakhiri hidup makhluk, Sebagai titisan Batara Siwa berupa narpati, Hilang segala dosanya makhluk yang dibunuh beliau, Lebih utama daripada terjun ke dalam telaga.
7. Siapa di antara sesama akan jadi musuhku? Kepada tripaksa aku takut, lebih utama menjauh, Niatku, jika berjumpa raja, akan menyerahkan hidup, Mati olehnya, tak akan lahir lagi bagai binatang.
Pupuh LII
1. Bagaikan katanya: “Marilah berkumpul!”, Kemudian serentak maju berdesak, Prajurit darat yang terlanjur langkahnya, Tertahan tanduk satwa, lari kembali.
2. Tersebut adalah prajurit berkuda, Bertemu celeng sedang berdesuk kumpul, Kasihan! Beberapa mati terbunuh, Dengan anaknya dirayah tak berdaya.
3. Lihatlah celeng jalang maju menerjang, Berempat, berlima, gemuk, tinggi, marah, Buas membekos-bekos, matanya merah, Liar dahsyat, saingnya seruncing golok.
Pupuh LIII
1. Tersebut pemburu kijang rusa riuh seru menyeru, Ada satu yang tertusuk tanduk, lelah lambat jalannya, Karena luka kakinya, darah deras meluap-luap, Lainnya mati terinjak-injak, menggelimpang kesakitan.
2. Bala kembali berburu, berlengkap tombak serta lembing, Berserak kijang rusa di samping bangkai bertumpuk timbun, Banteng serta binatang galak lainnya bergerak menyerang, Terperanjat bala raja bercicir lari tunggang langgang.
3. Ada yang lari berlindung di jurang, semak, kayu rimbun, Ada yang memanjat pohon, ramai mereka berebut puncak, Kasihanlah yang memanjat pohon tergelincir ke bawah, Betisnya segera diseruduk dengan tanduk, pingsanlah!.
4. Segera kawan-kawan datang menolong dengan kereta, Menombak, melembing, menikam, melanting, menjejak-jejak, Karenanya badak mundur, meluncur berdebak gemuruh, Lari terburu, terkejar; yang terbunuh bertumpuk timbun.
5. Ada pendeta Siwa dan Buda yang turut menombak, mengejar, Disengau harimau, lari diburu binatang mengancam, Lupa akan segala darma, lupa akan tata sila, Turut melakukan kejahatan, melupakan darmanya.
Pupuh LIV
1. Tersebut Baginda telah mengendarai kereta kencana, Tinggi lagi indah ditarik lembu yang tidak takut bahaya, Menuju hutan belantara, mengejar buruan ketakutan, Yang menjauhkan diri lari bercerai-berai meninggalkan bangkai.
2. Celeng, kaswari, rusa dan kelinci tinggal dalam ketakutan, Baginda berkuda mengejar yang riuh lari bercerai-berai, Menteri, tanda dan pujangga di punggung kuda turut memburu, Binatang jatuh terbunuh, tertombak, terpotong, tertusuk, tertikam.
3. Tanahnya luas lagi rata, hutannya rungkut, di bawah terang, Itulah sebabnya kijang dengan mudah dapat diburu kuda, Puaslah hati Baginda, sambil bersantap dihadap pendeta, Bercerita tentang caranya berburu, menimbulkan gelak tawa.
Pupuh LV
1. Terlangkahi betapa narpati sambil berburu menyerap sari keindahan, Gunung dan hutan, kadang-kadang kepayahan kembali ke rumah perkemahan, Membawa wanita seperti cengkerma; di hutan bagai menggempur negara, Tahu kejahatan satwa, beliau tak berdosa terhadap darma ahimsa.
2. Tersebut beliau bersiap akan pulang, rindu kepada keindahan pura, Tatkala subakala berangkat menuju Banyu Hanget, Banir dan Talijungan, Bermalam di Wedwawedan, siangnya menuju Kuwarahan, Celong dan Dadamar, Garuntang, Pagar Telaga, Pahanjangan, sampai di situ perjalanan beliau.
3. Siangnya perjalanan melalui Tambak, Rabut, Wayuha terus ke Balanak, Menuju Pandakan, Banaragi, sampai Pandamayan beliau lalu bermalam, Kembali ke selatan, ke barat, menuju Jejawar di kaki gunung berapi, Disambut penonton bersorak gembira, menyekar sebentar di candi Makam.
Pupuh LVI
1. Adanya candi makam tersebut sudah sejak zaman dahulu, Didirikan oleh Sri Kertanagara, moyang Baginda raja, Di situ hanya jenazah beliau sahaja yang dimakamkan, Kar’na beliau dulu memeluk dua agama Siwa-Buda.
2. Bentuk candi berkaki Siwa, berpuncak Buda, sangat tinggi, Di dalamnya terdapat arca Siwa, indah tak dapat dinilai, Dan arca Maha Aksobya bermahkota tinggi tidak bertara, Namun telah hilang; memang sudah layak, tempatnya: di Nirwana.
Pupuh LVII
1. Konon kabarnya tepat ketika arca Hyang Aksobya hilang, Ada pada Baginda guru besar, mashur, Pada Paduka, Putus tapa, sopan suci penganut pendeta Sakyamuni, Telah terbukti bagai mahapendeta, terpundi sasantri.
2. Senang berziarah ke tempat suci, bermalam dalam candi, Hormat mendekati Hyang arca suci, khidmat berbakti sembah, Menimbulkan iri di dalam hati pengawas candi suci, Ditanya, mengapa berbakti kepada arca dewa Siwa.
3. Pada Paduka menjelaskan sejarah candi makam suci, Tentang adanya arca Aksobya indah, dahulu di atas, Sepulangnya kembali lagi ke candi menyampaikan bakti, Kecewa! Tercengang memandang arca Maha Aksobya hilang.
4. Tahun Saka api memanah hari (1253) itu hilangnya arca, Waktu hilangnya halilintar menyambar candi ke dalam, Benarlah kabaran pendeta besar bebas dari prasangka, Bagaimana membangun kembali candi tua terbengkalai?.
5. Tiada ternilai indahnya, sungguh seperti surga turun, Gapura luar, mekala serta bangunannya serba permai, Hiasan di dalamnya naga puspa yang sedang berbunga, Di sisinya lukisan puteri istana berseri-seri.
6. Sementara Baginda girang cengkerma menyerap pemandangan, Pakis berserak sebar di tengah tebat bagai bulu dada, Ke timur arahnya di bawah terik matahari Baginda, Meninggalkan candi Pekalongan girang ikut jurang curam.
Pupuh LVIII
1. Tersebut dari Jajawa Baginda b’rangkat ke desa Padameyan, Berhenti di Cunggrang, mencahari pemandangan, masuk hutan rindang, Ke arah asrama para pertapa di lereng kaki gunung menghadap jurang, Luang jurang ternganga-nganga ingin menelan orang yang memandang.
2. Habis menyerap pemandangan, masih pagi kereta telah siap, Ke barat arahnya menuju gunung melalui jalannya dahulu, Tiba di penginapan Japan, barisan tentara datang menjemput, Yang tinggal di pura iri kepada yang gembira pergi menghadap.
3. Pukul tiga itulah waktu Baginda bersantap bersama-sama, Paling muka duduk Baginda, lalu dua paman berturut tingkat, Raja Matahun dan Paguhan bersama permaisuri agak jauhan, Di sisi Sri Baginda; terlangkahi berapa lamanya bersantap.
Pupuh LIX
1. Paginya pasukan kereta Baginda berangkat lagi, Sang pujangga menyidat jalan ke Rabut, Tugu, Pengiring, Singgah di Pahyangan, menemui kelompok sanak kadang, Dijamu sekadarnya karena kunjungannya mendadak.
2. Banasara dan Sangkan Adoh telah lama dilalui, Pukul dua Baginda t’lah sampai di perbatasan kota, Sepanjang jalan berdesuk-desuk, gajah, kuda, pedati, Kerbau, banteng dan prajurit darat sibuk berebut jalan.
3. Teratur rapi mereka berarak di dalam deretan, Narpati Pajang, permaisuri dan pengiring paling muka, Di belakangnya, tidak jauh, berikut Narpati Lasem, Terlampau indah keretanya, menyilaukan yang memandang.
4. Rani Daha, rani Wengker semuanyan urut belakang, Disusul rani Jiwana bersama laki dan pengiring, Bagai penutup kereta Baginda serombongan besar, Diiringi beberapa ribu perwira dan para ment’ri.
5. Tersebut orang yang rapat rampak menambak tepi jalan, Berjejal ribut menanti kereta Baginda berlintas, Tergopoh-gopoh perempuan ke pintu berebut tempat, Malahan ada yang lari telanjang lepas sabuk kainnya.
6. Yang jauh tempatnya, memanjat ke kayu berebut tinggi, Duduk berdesak-desak di dahan, tak pandang tua muda, Bahkan ada juga yang memanjat batang kelapa kuning, Lupa malu dilihat orang, karena tepekur memandang.
7. Gemuruh dengung gong menampung Sri Baginda raja datang, Terdiam duduk merunduk segenap orang di jalanan, Setelah raja lalu, berarak pengiring di belakang, Gajah, kuda, keledai, kerbau berduyun beruntun-runtun.
Pupuh LX
1. Yang berjalan rampak berarak-arak, Barisan pikulan bejalan belakang, Lada, kesumba, kapas, buah kelapa, Buah pinang, asam dan wijen terpikul.
2. Di belakangnya pemikul barang berat, Sengkeyegan lambat berbimbingan tangan, Kanan menuntun kirik dan kiri genjik, Dengan ayam itik di k’ranjang merunduk.
3. Jenis barang terkumpul dalam pikulan, Buah kecubung, rebung, s’ludang, cempaluk, Nyiru, kerucut, tempayan, dulang, periuk, Gelaknya seperti hujan panah jatuh.
4. Tersebut Baginda telah masuk pura, Semua bubar masuk ke rumah masing-masing,
Ramai bercerita tentang hal yang lalu, Membuat gembira semua sanak kadang.
bersambung
-dipi-
Pupuh LI
1. Izinkanlah saya bertanya kepada sang raja satwa, Sekarang raja merayah hutan, apa yang diperbuat? Menanti mati sambil berdiri ataukah kita lari, Atau tak gentar serentak melawan, jikalau diserang?
2. Seolah-olah demikian kata srigala dalam rapat, Kijang, kaswari, rusa dan kelinci serempak menjawab: “Hemat patik tidak ada jalan lain kecuali lari Lari mencari keselamatan diri sedapat mungkin”.
3. Banteng, kerbau, lembu serta harimau serentak berkata: “Amboi! Celaka bang kijang, sungguh binatang hina lemah Bukanlah sifat perwira lari, atau menanti mati, Melawan dengan harapan menang, itulah kewajiban.”
4. Jawab singa: Usulmu berdua memang pantas diturut, Tapi harap dibedakan, yang dihadapi baik atau buruk, Jika penjahat, terang kita lari atau kita lawan, Karena sia-sia belaka, jika mati terbunuh olehnya.
5. Jika kita menghadapi tripaksa, resi Siwa-Buda, Seyogyanya kita ikuti saja jejak sang pendeta, Jika menghadapi raja berburu, tunggu mati saja, Tak usah engkau merasa enggan menyerahkan hidupmu.
6. Karena raja berkuasa mengakhiri hidup makhluk, Sebagai titisan Batara Siwa berupa narpati, Hilang segala dosanya makhluk yang dibunuh beliau, Lebih utama daripada terjun ke dalam telaga.
7. Siapa di antara sesama akan jadi musuhku? Kepada tripaksa aku takut, lebih utama menjauh, Niatku, jika berjumpa raja, akan menyerahkan hidup, Mati olehnya, tak akan lahir lagi bagai binatang.
Pupuh LII
1. Bagaikan katanya: “Marilah berkumpul!”, Kemudian serentak maju berdesak, Prajurit darat yang terlanjur langkahnya, Tertahan tanduk satwa, lari kembali.
2. Tersebut adalah prajurit berkuda, Bertemu celeng sedang berdesuk kumpul, Kasihan! Beberapa mati terbunuh, Dengan anaknya dirayah tak berdaya.
3. Lihatlah celeng jalang maju menerjang, Berempat, berlima, gemuk, tinggi, marah, Buas membekos-bekos, matanya merah, Liar dahsyat, saingnya seruncing golok.
Pupuh LIII
1. Tersebut pemburu kijang rusa riuh seru menyeru, Ada satu yang tertusuk tanduk, lelah lambat jalannya, Karena luka kakinya, darah deras meluap-luap, Lainnya mati terinjak-injak, menggelimpang kesakitan.
2. Bala kembali berburu, berlengkap tombak serta lembing, Berserak kijang rusa di samping bangkai bertumpuk timbun, Banteng serta binatang galak lainnya bergerak menyerang, Terperanjat bala raja bercicir lari tunggang langgang.
3. Ada yang lari berlindung di jurang, semak, kayu rimbun, Ada yang memanjat pohon, ramai mereka berebut puncak, Kasihanlah yang memanjat pohon tergelincir ke bawah, Betisnya segera diseruduk dengan tanduk, pingsanlah!.
4. Segera kawan-kawan datang menolong dengan kereta, Menombak, melembing, menikam, melanting, menjejak-jejak, Karenanya badak mundur, meluncur berdebak gemuruh, Lari terburu, terkejar; yang terbunuh bertumpuk timbun.
5. Ada pendeta Siwa dan Buda yang turut menombak, mengejar, Disengau harimau, lari diburu binatang mengancam, Lupa akan segala darma, lupa akan tata sila, Turut melakukan kejahatan, melupakan darmanya.
Pupuh LIV
1. Tersebut Baginda telah mengendarai kereta kencana, Tinggi lagi indah ditarik lembu yang tidak takut bahaya, Menuju hutan belantara, mengejar buruan ketakutan, Yang menjauhkan diri lari bercerai-berai meninggalkan bangkai.
2. Celeng, kaswari, rusa dan kelinci tinggal dalam ketakutan, Baginda berkuda mengejar yang riuh lari bercerai-berai, Menteri, tanda dan pujangga di punggung kuda turut memburu, Binatang jatuh terbunuh, tertombak, terpotong, tertusuk, tertikam.
3. Tanahnya luas lagi rata, hutannya rungkut, di bawah terang, Itulah sebabnya kijang dengan mudah dapat diburu kuda, Puaslah hati Baginda, sambil bersantap dihadap pendeta, Bercerita tentang caranya berburu, menimbulkan gelak tawa.
Pupuh LV
1. Terlangkahi betapa narpati sambil berburu menyerap sari keindahan, Gunung dan hutan, kadang-kadang kepayahan kembali ke rumah perkemahan, Membawa wanita seperti cengkerma; di hutan bagai menggempur negara, Tahu kejahatan satwa, beliau tak berdosa terhadap darma ahimsa.
2. Tersebut beliau bersiap akan pulang, rindu kepada keindahan pura, Tatkala subakala berangkat menuju Banyu Hanget, Banir dan Talijungan, Bermalam di Wedwawedan, siangnya menuju Kuwarahan, Celong dan Dadamar, Garuntang, Pagar Telaga, Pahanjangan, sampai di situ perjalanan beliau.
3. Siangnya perjalanan melalui Tambak, Rabut, Wayuha terus ke Balanak, Menuju Pandakan, Banaragi, sampai Pandamayan beliau lalu bermalam, Kembali ke selatan, ke barat, menuju Jejawar di kaki gunung berapi, Disambut penonton bersorak gembira, menyekar sebentar di candi Makam.
Pupuh LVI
1. Adanya candi makam tersebut sudah sejak zaman dahulu, Didirikan oleh Sri Kertanagara, moyang Baginda raja, Di situ hanya jenazah beliau sahaja yang dimakamkan, Kar’na beliau dulu memeluk dua agama Siwa-Buda.
2. Bentuk candi berkaki Siwa, berpuncak Buda, sangat tinggi, Di dalamnya terdapat arca Siwa, indah tak dapat dinilai, Dan arca Maha Aksobya bermahkota tinggi tidak bertara, Namun telah hilang; memang sudah layak, tempatnya: di Nirwana.
Pupuh LVII
1. Konon kabarnya tepat ketika arca Hyang Aksobya hilang, Ada pada Baginda guru besar, mashur, Pada Paduka, Putus tapa, sopan suci penganut pendeta Sakyamuni, Telah terbukti bagai mahapendeta, terpundi sasantri.
2. Senang berziarah ke tempat suci, bermalam dalam candi, Hormat mendekati Hyang arca suci, khidmat berbakti sembah, Menimbulkan iri di dalam hati pengawas candi suci, Ditanya, mengapa berbakti kepada arca dewa Siwa.
3. Pada Paduka menjelaskan sejarah candi makam suci, Tentang adanya arca Aksobya indah, dahulu di atas, Sepulangnya kembali lagi ke candi menyampaikan bakti, Kecewa! Tercengang memandang arca Maha Aksobya hilang.
4. Tahun Saka api memanah hari (1253) itu hilangnya arca, Waktu hilangnya halilintar menyambar candi ke dalam, Benarlah kabaran pendeta besar bebas dari prasangka, Bagaimana membangun kembali candi tua terbengkalai?.
5. Tiada ternilai indahnya, sungguh seperti surga turun, Gapura luar, mekala serta bangunannya serba permai, Hiasan di dalamnya naga puspa yang sedang berbunga, Di sisinya lukisan puteri istana berseri-seri.
6. Sementara Baginda girang cengkerma menyerap pemandangan, Pakis berserak sebar di tengah tebat bagai bulu dada, Ke timur arahnya di bawah terik matahari Baginda, Meninggalkan candi Pekalongan girang ikut jurang curam.
Pupuh LVIII
1. Tersebut dari Jajawa Baginda b’rangkat ke desa Padameyan, Berhenti di Cunggrang, mencahari pemandangan, masuk hutan rindang, Ke arah asrama para pertapa di lereng kaki gunung menghadap jurang, Luang jurang ternganga-nganga ingin menelan orang yang memandang.
2. Habis menyerap pemandangan, masih pagi kereta telah siap, Ke barat arahnya menuju gunung melalui jalannya dahulu, Tiba di penginapan Japan, barisan tentara datang menjemput, Yang tinggal di pura iri kepada yang gembira pergi menghadap.
3. Pukul tiga itulah waktu Baginda bersantap bersama-sama, Paling muka duduk Baginda, lalu dua paman berturut tingkat, Raja Matahun dan Paguhan bersama permaisuri agak jauhan, Di sisi Sri Baginda; terlangkahi berapa lamanya bersantap.
Pupuh LIX
1. Paginya pasukan kereta Baginda berangkat lagi, Sang pujangga menyidat jalan ke Rabut, Tugu, Pengiring, Singgah di Pahyangan, menemui kelompok sanak kadang, Dijamu sekadarnya karena kunjungannya mendadak.
2. Banasara dan Sangkan Adoh telah lama dilalui, Pukul dua Baginda t’lah sampai di perbatasan kota, Sepanjang jalan berdesuk-desuk, gajah, kuda, pedati, Kerbau, banteng dan prajurit darat sibuk berebut jalan.
3. Teratur rapi mereka berarak di dalam deretan, Narpati Pajang, permaisuri dan pengiring paling muka, Di belakangnya, tidak jauh, berikut Narpati Lasem, Terlampau indah keretanya, menyilaukan yang memandang.
4. Rani Daha, rani Wengker semuanyan urut belakang, Disusul rani Jiwana bersama laki dan pengiring, Bagai penutup kereta Baginda serombongan besar, Diiringi beberapa ribu perwira dan para ment’ri.
5. Tersebut orang yang rapat rampak menambak tepi jalan, Berjejal ribut menanti kereta Baginda berlintas, Tergopoh-gopoh perempuan ke pintu berebut tempat, Malahan ada yang lari telanjang lepas sabuk kainnya.
6. Yang jauh tempatnya, memanjat ke kayu berebut tinggi, Duduk berdesak-desak di dahan, tak pandang tua muda, Bahkan ada juga yang memanjat batang kelapa kuning, Lupa malu dilihat orang, karena tepekur memandang.
7. Gemuruh dengung gong menampung Sri Baginda raja datang, Terdiam duduk merunduk segenap orang di jalanan, Setelah raja lalu, berarak pengiring di belakang, Gajah, kuda, keledai, kerbau berduyun beruntun-runtun.
Pupuh LX
1. Yang berjalan rampak berarak-arak, Barisan pikulan bejalan belakang, Lada, kesumba, kapas, buah kelapa, Buah pinang, asam dan wijen terpikul.
2. Di belakangnya pemikul barang berat, Sengkeyegan lambat berbimbingan tangan, Kanan menuntun kirik dan kiri genjik, Dengan ayam itik di k’ranjang merunduk.
3. Jenis barang terkumpul dalam pikulan, Buah kecubung, rebung, s’ludang, cempaluk, Nyiru, kerucut, tempayan, dulang, periuk, Gelaknya seperti hujan panah jatuh.
4. Tersebut Baginda telah masuk pura, Semua bubar masuk ke rumah masing-masing,
Ramai bercerita tentang hal yang lalu, Membuat gembira semua sanak kadang.
bersambung
-dipi-