Dipi76
New member
Bls: [Sejarah] Daftar Perang yang Pernah Terjadi di Dunia.
(Lanjutan Perang 6 Hari)
Diplomasi dan taksiran Intelijen
Kabinet Israel melakukan sidang pada tanggal 23 Mei 1967 dan membuat keputusan untuk melancarkan serangan lebih dahulu jika Selat Tiran tidak dibuka sampai tanggal 25 Mei 1967. Setelah suatu pendekatan US Undersecretary of State Eugene Rostow untuk melakukan perundingan sebagai penyelesaian masalah tanpa peperangan, dan Israel setuju untuk menunda serangannya.
Pada tanggal 26 Mei 1967, Menteri Luar Israel Abba Eban mendarat di Washington D.C. untuk memastikan Amerika tentang keputusannya dalam peristiwa ini. Segera setelah Eban tiba, ia mendapat telegram dari pemerintah Israel. Telegram itu menyatakan bahwa Israel telah mempelajari rencana Mesir dan Suriah untuk melancarkan suatu peperangan pemusnahan atas Israel dalam kurun waktu 48 jam yang akan datang. Eban bertemu dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Dean Rusk, Menteri Pertahanan Robert McNamara, dan akhirnya dengan Presiden Johnson. Pihak Amerika menyatakan bahwa sumber intelijen mereka tidak dapat mendukung tuduhan tersebut, kedudukan Mesir di Sinai masih dalam posisi bertahan. Eban meninggalkan Gedung Putih dengan bingung. Sejarahwan Michael Oren menerangkan tentang reaksinya: “Eban sangat bingung dan tidak yakin bahwa Nasser bertekad atau malah berniat menyerang, dan sekarang nampak bahwa pihak Israel membesar-besarkan ancaman Mesir - dan menampilkan kelemahan mereka - untuk menarik janji bahwa Presiden yang dibatasi Kongres, tidak pernah membuatnya. Suatu tindakan tanpa ada tanggung jawab... aneh...' adalah perkataan-perkataan yang ia kirim dalam telegram , dimana ia juga menulis, 'kurang bijaksana, kurang tepat dan kurang kepahaman taktik. Tidak ada siapapun yang benar mengenai hal itu.”
Dalam satu ceramah pada tahun 2002, Oren berkata, “Johnson duduk disekeliling penasehat-penasehatnya dan berkata, "Bagaimana jika sumber intelijen mereka lebih baik daripada sumber intelijen kita?"
Johnson memilih untuk mengirim pesan kepada rekannya di Kremlin, Alexey Kosygin, dimana ia berkata, “Kami mendengar dari Israel, tetapi kami tidak akan mengesahkannya, bahwa wakii anda di Timur Tengah, Mesir, sedang merancang untuk menyerang Israel dalam kurun waktu 48 jam yang akan datang. Jika anda tidak mau memulai krisis global, halangi mereka daripada berbuat demikian.”
Pada pukul 2:30 pagi tanggal 27 Mei 1967, duta besar Uni Soviet di Mesir, Dimitri Pojidaev mengetuk pintu Nasser dan membacakan satu surat pribadi dari Kosygin dimana berkata, “Kami tidak mau Mesir disalahkan sebagai biang keladi atas suatu peperangan di Timur Tengah. Jika anda melancarkan serangan itu, kami tidak dapat mendukung anda.”
Abdel Hakim Amer berunding dengan rekannya di Kremlin, dan mereka telah mengesahkan pesanan Kosygin. Karena putus harapan, Amer memberitahu letnan kolonel angkatan udara Mesir, Mayor Jendral Mahmud Sidqi, bahwa operasi itu dibatalkan." Menurut Wakil Presiden Mesir, Hussein al Shafei, segera Nasser mengetahui apa yang Amer rencanakan sehingga ia membatalkan operasi tersebut.
Pada tanggal 30 Mei 1967, Nasser membalas permintaan Johnson sebelas hari lebih awal dan setuju untuk mengirim Wakil Presiden Mesir, Zakkariya Muhieddin, ke Washington D.C. pada tanggal 7 Juni 1967 untuk mengeksplorasi suatu penyelesaian diplomatik dalam "pembukaan Gedung Putih yang terlihat". Menteri Luar Negeri Dean Rusk sangat kecewa dengan serangan yang dilakukan Israel lebih dulu pada tanggal 5 Juni 1967 karena Amerika Serikat berusaha untuk mendapat penyelesaian diplomatik jika memungkinkan. Sejarahwan Michael Oren telah mencatat bahwa Rusk "marah seperti neraka" dan Johnson kemudian menulis bahwa "Saya tidak dapat menyembunyikan rasa kekesalan saya bahwa Israel telah memutuskan untuk melakukan apa yang telah dibuatnya".
Di kalangan ahli politik Israel, diputuskan bahwa jika Amerika Serikat tidak bertindak, dan jika PBB tidak dapat bertindak, maka Israel akan bertindak. Pada tanggal 1 Juni 1967, Moshe Dayan dilantik sebagai Menteri Pertahanan Israel, dan pada tanggal 3 Juni 1967, administrasi Johnson memberikan suatu pernyataan yang meragukan bahwa Israel kembali dalam persiapan perang. Serangan Israel terhadap Mesir tanggal 5 Juni 1967 bermula dengan apa yang disebut sebagai Perang Enam Hari. Martin van Creveld menerangkan dorongan menuju peperangan: "...konsep bagi 'perbatasan yang dapat dipertahankan' bukanlah bagian dari kamus Angkatan Bersenjata Israel sendiri. Siapapun yang melihat kepada falsafah militer pada saat itu akan melakukannya dalam tekanan. Sebagai gantinya, letnan kolonel Israel berdasarkan pemikiran mereka terutama pada saat perang 1948, kemenangan mereka pada tahun 1956 atas Mesir. Apabila krisis tahun 1967 meletus, mereka yakin akan kemampuan mereka untuk memenangkan peperangan dengan 'tegas, cepat and bergaya', dimana satu dari anggota mereka, Jendral Haim Bar Lev, meletakkannya, dan menekan pemerintahan mereka untuk memulai peperangan secepat mungkin."
Tentara yang bertempur
Terdapat sekitar 100.000 dari 160.000 pasukan Mesir di Sinai, termasuk semua dari 7 divisi (4 infantri, 2 lapis baja dan 1 dimaknisasikan), juga 4 infantri indenpenden dan 4 brigadir lapis baja indenpenden. Tidak kurang 3 dari mereka adalah veteran Mesir yang melakukan intervensi di Yaman pada saat Perang Saudara Yaman dan 3 lainnya adalah cadangan. Pasukan ini memiliki 950 tank, 1.100 APC dan lebih dari 1.000 artileri. Pada waktu yang sama beberapa tentara Mesir (15.000 - 20.000) masih bertempur di Yemen. 2 perasaan Nasser yang bertentangan tentang keinginannya digambarkan dalam perintahnya terhadap militer. Pegawai jenderal mengganti rencana operasional 4 kali pada bulan Mei tahun 1967, yang tiap perubahan harus dilakukan kembali distribusi pasukan, dengan korban yangtidak dapat dihindarkan baik tentara maupun peralatan. Pada saat menuju akhir Mei, Nasser akhirnya melarang pegawai jendral untuk melanjutkan rencana Qahir ("kemenangan"), dimana memanggil layar infantri ringan dalam fortifikasi selanjutnya dengan bagian terbesar pasukan menahan balik untuk menahan serangan balik besar-besaran dan melawan pasukan utama Israel ketika diidentifikasi, dan memerintahkan pertahanan lebih lanjut atas Sinai. Ia melanjutkan mengambil aksi untuk meningkatkan jumlah mobilisasi Mesir, Suriah dan Yordania, untuk membuat tekanan terhadap Israel.
Pasukan Yordania berjumlah 55.000, sedangkan pasukan Suriah memiliki 75.000 pasukan.
Pasukan Israel memiliki pasukan, termasuk pasukan cadangan, yang berjumlah 264.000, walaupun begitu jumlah ini tidak dapat ditopang, apalagi pasukan cadangan sangat vital untuk keselamatan rakyat sipil. James Reston menulis di koran New York Times pada tanggal 23 Mei 1967 mencatat, "Dalam kedisiplinan, pelatihan, moral, peralatan dan kemampuan jendral Mesir dan pasukan lainnya, tanpa bantuan langsung dari Uni Soviet, tidak ada apa-apanya dibanding Israel... Meskipun dengan 50.000 pasukan dan dengan jendral terbaiknya dan pasukan udaranya di Yaman, dia tidak akan bisa untuk melakukan jalannya di negara kecil dan primitif itu, dan usahanya untuk menolong pemberontak Kongo adalah sebuah kegagalan."
Pada sore hari tanggal 1 Juni 1967, Menteri Pertahanan Israel Moshe Dayan memanggil jendral Yitzhak Rabin dan Jendral Brigadir Komando Selatan Yeshayahu Gavish untuk menghadiri rencana melawan Mesir. Rabin telah mencampur rencana dimana komando selatan akan bertempur dalam perjalanannya menuju Jalur Gaza dan lalu menahan teritori dan orang-orangnya sebagai sandra hingga Mesir setuju untuk membuka kembali Selat Tiran, dimana Gavish memiliki rencana luas untuk memusnahkan pasukan Mesir di Sinai. Rabin lebih menyukai rencana Gavish, dimana disetujui oleh Dayan dengan hati-hati bahwa serangan serempak melawan Suriah harus dihindari.
Bersambung
-dipi-
(Lanjutan Perang 6 Hari)
Diplomasi dan taksiran Intelijen
Kabinet Israel melakukan sidang pada tanggal 23 Mei 1967 dan membuat keputusan untuk melancarkan serangan lebih dahulu jika Selat Tiran tidak dibuka sampai tanggal 25 Mei 1967. Setelah suatu pendekatan US Undersecretary of State Eugene Rostow untuk melakukan perundingan sebagai penyelesaian masalah tanpa peperangan, dan Israel setuju untuk menunda serangannya.
Pada tanggal 26 Mei 1967, Menteri Luar Israel Abba Eban mendarat di Washington D.C. untuk memastikan Amerika tentang keputusannya dalam peristiwa ini. Segera setelah Eban tiba, ia mendapat telegram dari pemerintah Israel. Telegram itu menyatakan bahwa Israel telah mempelajari rencana Mesir dan Suriah untuk melancarkan suatu peperangan pemusnahan atas Israel dalam kurun waktu 48 jam yang akan datang. Eban bertemu dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Dean Rusk, Menteri Pertahanan Robert McNamara, dan akhirnya dengan Presiden Johnson. Pihak Amerika menyatakan bahwa sumber intelijen mereka tidak dapat mendukung tuduhan tersebut, kedudukan Mesir di Sinai masih dalam posisi bertahan. Eban meninggalkan Gedung Putih dengan bingung. Sejarahwan Michael Oren menerangkan tentang reaksinya: “Eban sangat bingung dan tidak yakin bahwa Nasser bertekad atau malah berniat menyerang, dan sekarang nampak bahwa pihak Israel membesar-besarkan ancaman Mesir - dan menampilkan kelemahan mereka - untuk menarik janji bahwa Presiden yang dibatasi Kongres, tidak pernah membuatnya. Suatu tindakan tanpa ada tanggung jawab... aneh...' adalah perkataan-perkataan yang ia kirim dalam telegram , dimana ia juga menulis, 'kurang bijaksana, kurang tepat dan kurang kepahaman taktik. Tidak ada siapapun yang benar mengenai hal itu.”
Dalam satu ceramah pada tahun 2002, Oren berkata, “Johnson duduk disekeliling penasehat-penasehatnya dan berkata, "Bagaimana jika sumber intelijen mereka lebih baik daripada sumber intelijen kita?"
Johnson memilih untuk mengirim pesan kepada rekannya di Kremlin, Alexey Kosygin, dimana ia berkata, “Kami mendengar dari Israel, tetapi kami tidak akan mengesahkannya, bahwa wakii anda di Timur Tengah, Mesir, sedang merancang untuk menyerang Israel dalam kurun waktu 48 jam yang akan datang. Jika anda tidak mau memulai krisis global, halangi mereka daripada berbuat demikian.”
Pada pukul 2:30 pagi tanggal 27 Mei 1967, duta besar Uni Soviet di Mesir, Dimitri Pojidaev mengetuk pintu Nasser dan membacakan satu surat pribadi dari Kosygin dimana berkata, “Kami tidak mau Mesir disalahkan sebagai biang keladi atas suatu peperangan di Timur Tengah. Jika anda melancarkan serangan itu, kami tidak dapat mendukung anda.”
Abdel Hakim Amer berunding dengan rekannya di Kremlin, dan mereka telah mengesahkan pesanan Kosygin. Karena putus harapan, Amer memberitahu letnan kolonel angkatan udara Mesir, Mayor Jendral Mahmud Sidqi, bahwa operasi itu dibatalkan." Menurut Wakil Presiden Mesir, Hussein al Shafei, segera Nasser mengetahui apa yang Amer rencanakan sehingga ia membatalkan operasi tersebut.
Pada tanggal 30 Mei 1967, Nasser membalas permintaan Johnson sebelas hari lebih awal dan setuju untuk mengirim Wakil Presiden Mesir, Zakkariya Muhieddin, ke Washington D.C. pada tanggal 7 Juni 1967 untuk mengeksplorasi suatu penyelesaian diplomatik dalam "pembukaan Gedung Putih yang terlihat". Menteri Luar Negeri Dean Rusk sangat kecewa dengan serangan yang dilakukan Israel lebih dulu pada tanggal 5 Juni 1967 karena Amerika Serikat berusaha untuk mendapat penyelesaian diplomatik jika memungkinkan. Sejarahwan Michael Oren telah mencatat bahwa Rusk "marah seperti neraka" dan Johnson kemudian menulis bahwa "Saya tidak dapat menyembunyikan rasa kekesalan saya bahwa Israel telah memutuskan untuk melakukan apa yang telah dibuatnya".
Di kalangan ahli politik Israel, diputuskan bahwa jika Amerika Serikat tidak bertindak, dan jika PBB tidak dapat bertindak, maka Israel akan bertindak. Pada tanggal 1 Juni 1967, Moshe Dayan dilantik sebagai Menteri Pertahanan Israel, dan pada tanggal 3 Juni 1967, administrasi Johnson memberikan suatu pernyataan yang meragukan bahwa Israel kembali dalam persiapan perang. Serangan Israel terhadap Mesir tanggal 5 Juni 1967 bermula dengan apa yang disebut sebagai Perang Enam Hari. Martin van Creveld menerangkan dorongan menuju peperangan: "...konsep bagi 'perbatasan yang dapat dipertahankan' bukanlah bagian dari kamus Angkatan Bersenjata Israel sendiri. Siapapun yang melihat kepada falsafah militer pada saat itu akan melakukannya dalam tekanan. Sebagai gantinya, letnan kolonel Israel berdasarkan pemikiran mereka terutama pada saat perang 1948, kemenangan mereka pada tahun 1956 atas Mesir. Apabila krisis tahun 1967 meletus, mereka yakin akan kemampuan mereka untuk memenangkan peperangan dengan 'tegas, cepat and bergaya', dimana satu dari anggota mereka, Jendral Haim Bar Lev, meletakkannya, dan menekan pemerintahan mereka untuk memulai peperangan secepat mungkin."
Tentara yang bertempur
Terdapat sekitar 100.000 dari 160.000 pasukan Mesir di Sinai, termasuk semua dari 7 divisi (4 infantri, 2 lapis baja dan 1 dimaknisasikan), juga 4 infantri indenpenden dan 4 brigadir lapis baja indenpenden. Tidak kurang 3 dari mereka adalah veteran Mesir yang melakukan intervensi di Yaman pada saat Perang Saudara Yaman dan 3 lainnya adalah cadangan. Pasukan ini memiliki 950 tank, 1.100 APC dan lebih dari 1.000 artileri. Pada waktu yang sama beberapa tentara Mesir (15.000 - 20.000) masih bertempur di Yemen. 2 perasaan Nasser yang bertentangan tentang keinginannya digambarkan dalam perintahnya terhadap militer. Pegawai jenderal mengganti rencana operasional 4 kali pada bulan Mei tahun 1967, yang tiap perubahan harus dilakukan kembali distribusi pasukan, dengan korban yangtidak dapat dihindarkan baik tentara maupun peralatan. Pada saat menuju akhir Mei, Nasser akhirnya melarang pegawai jendral untuk melanjutkan rencana Qahir ("kemenangan"), dimana memanggil layar infantri ringan dalam fortifikasi selanjutnya dengan bagian terbesar pasukan menahan balik untuk menahan serangan balik besar-besaran dan melawan pasukan utama Israel ketika diidentifikasi, dan memerintahkan pertahanan lebih lanjut atas Sinai. Ia melanjutkan mengambil aksi untuk meningkatkan jumlah mobilisasi Mesir, Suriah dan Yordania, untuk membuat tekanan terhadap Israel.
Pasukan Yordania berjumlah 55.000, sedangkan pasukan Suriah memiliki 75.000 pasukan.
Pasukan Israel memiliki pasukan, termasuk pasukan cadangan, yang berjumlah 264.000, walaupun begitu jumlah ini tidak dapat ditopang, apalagi pasukan cadangan sangat vital untuk keselamatan rakyat sipil. James Reston menulis di koran New York Times pada tanggal 23 Mei 1967 mencatat, "Dalam kedisiplinan, pelatihan, moral, peralatan dan kemampuan jendral Mesir dan pasukan lainnya, tanpa bantuan langsung dari Uni Soviet, tidak ada apa-apanya dibanding Israel... Meskipun dengan 50.000 pasukan dan dengan jendral terbaiknya dan pasukan udaranya di Yaman, dia tidak akan bisa untuk melakukan jalannya di negara kecil dan primitif itu, dan usahanya untuk menolong pemberontak Kongo adalah sebuah kegagalan."
Pada sore hari tanggal 1 Juni 1967, Menteri Pertahanan Israel Moshe Dayan memanggil jendral Yitzhak Rabin dan Jendral Brigadir Komando Selatan Yeshayahu Gavish untuk menghadiri rencana melawan Mesir. Rabin telah mencampur rencana dimana komando selatan akan bertempur dalam perjalanannya menuju Jalur Gaza dan lalu menahan teritori dan orang-orangnya sebagai sandra hingga Mesir setuju untuk membuka kembali Selat Tiran, dimana Gavish memiliki rencana luas untuk memusnahkan pasukan Mesir di Sinai. Rabin lebih menyukai rencana Gavish, dimana disetujui oleh Dayan dengan hati-hati bahwa serangan serempak melawan Suriah harus dihindari.
Bersambung
-dipi-