Tanah Air Beta Gagal Bola
Bola.net - Oleh: Ardi Winangun
Untuk lebih memacu, menggairahkan, dan meningkatkan prestasi sepakbola Indonesia, Kantor Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah dan Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) memprakarsai "Indonesia Tanah Air Beta." Program ini dilakukan dengan cara mendatangkan kapten tim nasional Belanda, Giovannie Van Bronckhorst, ke Indonesia.
Bronckhorst dipilih sebagai magnet dalam program itu sebab ia adalah pemain Timnas Belanda keturunan Indonesia. Dengan program itu maka para pemain sepak bola Belanda yang keturunan Indonesia semakin cinta dengan tanah air dan mau memberikan kontribusi kepada dunia persepakbolaan Indonesia.
Satu paket itu, selain mendatangkan Bronckhorst, dua kementerian tersebut juga akan mengundang 20 pemain Belanda keturunan Indonesia yang bermain di Eropa. Dalam program itu, Bronckhorst dan The Jong Indonesia Team akan mengadakan workshop pembinaan usia muda, coaching clinic, dan menggelar pertandingan persahabatan di beberapa kota seperti, Denpasar, Ambon, dan Jakarta pada 13 hingga 23 Maret.
Apa yang dilakukan dua kementerian itu merupakan salah satu bentuk dari pembinaan sepakbola Indonesia. Menjadi pertanyaan mengapa pembinaan harus dilakukan dengan mendatangkan pemain dari luar? Jawabannya adalah ini merupakan sebuah kegagalan dari pembinaan dari dalam yang dilakukan oleh PSSI selama ini.
Akibat dari kegagalan ini maka, PSSI di bawah pimpinan Nurdin Halid melakukan jalan pintas agar prestasi sepakbola Indonesia terdongkrak dengan jalan naturalisasi. Meski program naturalisasi sudah berjalan, di Timnas ada 2 pemain naturalisasi, seperti Irfan Bachdim dan Christian Gonzales, dan di Timnas U-23 ada beberapa pemain, seperti Ruben Wuarbanaran, Diego Micheils, dan Joey Suk, namun hasilnya gagal. Timnas gagal dalam AFF, sedang Timnas U-23 juga gagal dalam pra olimpiade.
Mengapa naturalisasi gagal? Dengan meminjam dari mantan pemain Timnas Belanda dan Ajax FC yang juga keturunan Indonesia, Simon Tahamata, bahwa PSSI harus berhati-hati dan cermat untuk melakukan naturalisasi terhadap para pemain asing keturunan Indonesia. Perhitungan PSSI harus matang dan cermat dalam melakukan naturalisasi pemain. Jika tidak maka program ini tidak akan berhasil mendongkrak prestasi Indonesia di pentas sepak bola internasional.
Lebih lanjut dikatakan, PSSI harus selektif memilih pemain asing yang akan dinaturalisasi menjadi warga negara Indonesia. Percuma saja jika pemain yang dinaturalisasi berkualitas sama dengan para pemain yang bermain di berbagai klub di Tanah Air saat ini.
Naturalisasi dan Antiiimigrant
Belajar dari kegagalan naturalisasi dan menyimak dari apa yang dikatakan oleh Simon Tahamata bahwa naturalisasi yang dilakukan oleh PSSI sangat sembarangan dan serampangan. Naturalisasi dalam statuta FIFA itu syah-syah saja, namun banyak negara melakukan naturalisasi dilakukan secara hati-hati. Faktornya selain mengisi kekosongan posisi, bukan karena kegagalan prestasi, namun juga harus memperhatikan sentiment antiiimigrant.
Jerman melakukan naturalisasi bukan karena kegagalan pembinaan namun mengisi kekosongan posisi yang ada, selain pemain yang dinaturalisasi sejak lahir berada di negara tersebut. Kalau Indonesia melakukan naturalisasi dengan cara mentransfer pemain dari luar. Tak heran bila program dari dua kementerian itu bernama, "Indonesia Tanah Air Beta," dengan tujuan (menumbuhkan ) semakin cinta dengan tanah air Indonesia.
Jerman melakukan naturalisasi terhadap Samir Khadira, Mezut Oezil, dan Jerome Boateng bukan sebuah langkah yang gampang. Sentimen antiimigran di negara itu masih kuat.
Dulu di Timnas Jerman ada pemain berdarah Ghana, Afrika, yang bernama Gerald Asamoah. Ketika Jerman di bawah pelatih Jurgen Klinsman banyak suporter timnas dan pengurus DFB yang tidak setuju dengan langkah Jurgen Klinsmann memasukan Asamoah ke dalam tim yang dijuluki Panzer itu. Mereka belum bisa menerima pemain dari kaum imigran dan kulit hitam.
Naturalisasi ketiga pemain, Khadira yang berdarah Tunizia, Oezil berdarah Turki, dan Boateng berdarah Ghana tidak menjadi masalah. Sebab, ketiga pemain itu menunjukkan prestasinya saat di Timnas Junior Jerman. Dan, selanjutnya ketiga pemain itu mampu menjadi tulang punggung Timnas Jerman dalam Piala Dunia 2010.
Demikian pula di Perancis. Sentimen antiimigran bisa menyebabkan banyak orang keturunan Aljazair, Maroko, dan negara-negara Afrika bekas koloni Perancis tidak bisa menjadi bagian dari nasionalisme Perancis. Namun, karena kelihaian Zidene Zidane, Nasri Samir, Karim Benzema, Eric Abidal, Hatem Ben Arfa, dan pemain lainnya dalam bermain bola maka mereka menjadi bagian dari nasionalisme Perancis dengan menjadi pemain timnas sepak bola negara yang berjuluk Pangeran Biru itu.
Ada beberapa negara tetangga kita seperti Singapura dan Philiphines gencar melakukan naturalisasi. Kita menganggap wajar apa yang dilakukan kedua negara tersebut. Singapura melakukan naturalisasi karena minimnya jumlah penduduk, sedang Philiphines melakukan naturalisasi sebab sepakbola di negara tersebut tidak berkembang, banyak generasi mudanya yang tidak menyukai sepakbola dan memilih bola basket, sehingga wajar bila negara berbahasa tagalog itu 9 dari 11 pemainnya adalah naturalisasi.
Lha kalau Indonesia, jumlah penduduknya banyak di atas 200 juta jiwa, dan potensinya melimpah. Menjadi pertanyaan kalau kemudian PSSI melakukan naturalisasi. Naturalisasi jelas menunjukan kegagalan PSSI melakukan pembinaan.
Potensi muda Indonesia itu akan semakin tenggelam bila. Pertama, gagalnya pembinaan. Kedua, naturalisasi yang melimpah. Naturalisasi yang dilakukan PSSI di bawah Nurdin Halid ini merupakan sebuah sebuah upaya sistematis ke depan yang tidak akan memberi kesempatan kepada talenta-talenta muda Indonesia. Dengan program naturalisasi yang terus digencarkan hal demikian akan semakin tidak memberi kesempatan kepada talenta muda untuk tampil