Siapa Sebenarnya Si Pitung?

spirit

Mod
84704412249812397314.large

camera Sampul buku Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit, dan Senjata Api karya Margreet van Till.​

Lelaki berkopiah hitam itu bangkit dari kursi pada pertengahan sesi diskusi. Wajahnya memperlihatkan raut marah. Tangannya menunjuk-nunjuk layar presentasi. Di sana terpampang tulisan “Si Pitung, Bandit, dan Ommelanden”.

Itu judul diskusi buku karya sejarawan Margreet van Till, Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit, dan Senjata Api, di Perpustakaan Universitas Indonesia, Depok, 6 Februari 2019.

Lelaki berkopiah hitam itu mengaku sebagai generasi kelima Si Pitung. Dia tak berkenan nama buyutnya dempetan dengan kata ‘Bandit’. “Bandit itu kategori premanisme. Si Pitung, kumpi (moyang, red.) saya, berjuang membela rakyat. Khususnya di Rawa Belong (kampung di Jakarta Barat, red.),” kata MH bersungut-sungut.

MH lepas kendali. Dia menunjukkan kuda-kuda suatu aliran beladiri. Teman-teman MH lekas menenangkan. Dr. Juhdi Syarif, moderator, membacakan shalawat dan al-Fatihah. MH mulai bisa menguasai diri. Dia meninggalkan ruang diskusi dituntun oleh teman-temannya. Kemudian moderator menutup diskusi.

92801203788511857282

Diskusi buku Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit, dan Senjata Api, di Perpustakaan Universitas Indonesia, Depok, 6 Februari 2019.​

Tradisi Lisan tentang Si Pitung
MH sangat meyakini kisah kepahlawanan Si Pitung. Kisah itu menempatkan Si Pitung sebagai pembela petani dan buruh di Rawa Belong. Musuh Si Pitung adalah tuan tanah dan orang Belanda. Dua kelompok ini kerap memeras dan menindas petani dan buruh.

MH memperoleh kisah tersebut dari tuturan kaum tua secara turun-temurun dalam aneka bentuk. Misalnya Rancak, pertunjukan drama tradisional dengan iringan alat musik, syair, dan pantun. Dalam kajian akademis, pengetahuan demikian disebut folklore (cerita rakyat).

Kajian sejarah memasukkan folklore sebagai salah satu bentuk tradisi lisan dan mengakuinya sebagai salah satu sumber penulisan sejarah. Tetapi penggunaannya memerlukan sumber pembanding, semisal dokumen dan media massa sezaman. Begitu pula sebaliknya dengan penggunaan sumber tertulis.

Margreet memaparkan sumber tradisi lisan dan tertulis tentang Si Pitung secara gamblang dalam diskusi dan bukunya. Dia bertemu sejumlah mukimin tua di Marunda, Jakarta Utara. Tak jauh dari Museum Si Pitung.

“Penulis merasakan betapa hal itu menjadi contoh bagus bagaimana keturunan penjajah dan yang terjajah berbicara akrab satu sama lain atas dasar historiografi masing-masing,” ungkap Margreet.

Margreet juga mendapat keterangan tentang Si Pitung dari skripsi berjudul Cerita Si Pitung Sebagai Sastra Lisan: Analisis terhadap Struktur Cerita karya Palupi Damardini di Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1993.

Skripsi tersebut menghadirkan berbagai macam versi cerita lisan tentang Si Pitung. Tapi secara garis besar memuat beberapa keterangan yang sama. Antara lain mengenai asal kampung, nama orangtua, pelajaran silat, mengaji di pesantren, jimat, dan alasan Si Pitung menyerang tuan tanah dan orang Belanda.

Si Pitung berasal dari Kampung Rawa Belong. Wilayah ini pada akhir abad ke-19 termasuk Ommelanden (pinggiran Batavia). “Wilayah yang tidak bisa dikendalikan oleh Belanda,” kata Bondan Kanumoyoso, pengajar pada Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, yang mendalami sejarah Batavia.

Ayah Si Pitung bernama Piung dan ibunya Pinah. Orangtua mengirim Si Pitung belajar di pesantren milik Haji Naipin. Di luar kegiatan pesantren, Si Pitung membantu jualan kambing milik ayahnya. Suatu hari Si Pitung kena musibah. Seorang bandit mencuri uang hasil jualan kambingnya.

“Peristiwa tersebut menjadi pemicu Si Pitung muda melakukan pencuriannya sendiri,” kata Margreet. Si Pitung mempelajari silat demi menemukan bandit pencuri hasil jualan kambingnya. Dari sinilah awal mula Si Pitung bersua dengan para bandit.

“Kadang ditekankan bahwa perebutan uang para bandit itulah yang kemudian meneguhkan reputasinya sebagai jago,” lanjut Margreet.

Jago adalah seseorang yang menguasai beladiri. “Setiap bandit adalah jago, tapi tidak setiap jago adalah bandit,” kata Margreet.

Tradisi lisan menuturkan dua jenis jago. Kelompok pertama menyalahgunakan kemampuan beladirinya untuk memeras orang. Jago seperti ini tidak bekerja sendirian. Banyak dari mereka berada di bawah kuasa tuan tanah dan orang Belanda. Mereka juga kerap berbuat kriminal, seperti merampok dan mencuri harta benda penduduk.

Kelompok jago kedua menggunakan kemampuan beladirinya untuk membela orang-orang lemah. Si Pitung termasuk kelompok jago kedua. Karena itu, dia harus berhadapan dengan jago dari kelompok pertama demi menuntaskan misinya.
Kemenangan berpihak pada Si Pitung. Banyak bandit, tuan tanah, dan orang Belanda takluk pada kemampuan beladiri Si Pitung. Harta benda mereka diambil dan dikasih kembali oleh Si Pitung kepada penduduk.

Bandit, tuan tanah, dan orang Belanda ketakutan dengan sepak terjang Si Pitung. Mereka ingin Si Pitung tumpas. Mereka bersekutu mencari kelemahan Si Pitung.

Pada akhirnya Si Pitung gugur. Tertembak peluru emas oleh A.M.V Hinne, seorang Schout (Kepala Polisi Karesidenan Batavia).

“Kemudian cerita Si Pitung masuk ke teater stambul pada 1910, film Si Pitoeng pada 1930, Rancak pada 1930-an sampai 1970-an, lalu difilmkan kembali pada 1970-an dengan judul Si Pitung Banteng Betawi,” terang Margreet.

Film Si Pitung Banteng Betawi sukses di pasaran. Dicky Zulkarnaen, pemeran Si Pitung, melekat sebagai gambaran ideal fisik Si Pitung. Dia tampan, gagah, dan saleh. Golok terselip di pinggangnya dan sarung tersampir di leher. Ketiklah lema Si Pitung di pencarian gambar Google, orang inilah yang paling banyak muncul.


20796068451217075915

Museum Si Pitung di Marunda, Jakarta Utara.​

Sumber Tertulis Si Pitung


Berbekal tradisi lisan tentang Si Pitung, sekelompok orang sempat mengajukan tokoh ini sebagai pahlawan nasional. “Tapi sayangnya, bahan-bahan kurang,” ungkap Bondan.

Bondan berpendapat peluang itu muncul kembali dengan kehadiran buku Margreet. “Berkat bukunya Bu Margreet, kita punya data,” kata Bondan.

Margreet berupaya meletakkan sosok Si Pitung sebagai tokoh historis. “Menghilangkan mitos-mitos dan mengembalikan sejarah,” lanjut Bondan. Caranya, Margreet turut memaparkan temuannya tentang Si Pitung berdasarkan sumber tertulis dan menganalisis sumber tradisi lisan yang berkembang. Dia tak menelan mentah-mentah dua jenis sumber penulisan sejarah tersebut.

Si Pitung seringkali tersua dalam dokumen dan media massa sepanjang 1892—1893. Nama aslinya Salihoen. Saat beraksi, dia membawa pistol revolver dan mengajak lima temannya.

Margreet menerangkan bagaimana Si Pitung dan teman-temannya memperoleh revolver. Ini tak lepas dari jejaring perdagangan senjata api di Hindia Belanda pada akhir abad ke-19. “Revolver datang ke Hindia Belanda sekitar 1880, sementara senapan sekitar 1890,” tulis Margreet.

Ordonansi melarang orang-orang tempatan memiliki senjata api tanpa izin. Hanya orang Eropa dan pejabat pribumi boleh memilikinya tanpa izin. Tetapi gangguan keamanan di Ommelanden mendorong kepemilikan ilegal senjata api pada banyak orang. Bukan hanya para jago, melainkan juga penduduk pun berupaya memiliki senjata api.

Kepemilikan senjata api pada banyak orang berpotensi memunculkan kerawanan sosial. “Seringkali senjata para perampok lebih bagus ketimbang milik polisi,” tulis Margreet. Keadaan seperti ini mencoreng kewibawaan pemerintah kolonial. Sebab ini berarti kendali negara atas rakyatnya sangat lemah.

Kebetulan Si Pitung termasuk pemilik senjata api. Aksi-aksinya pun bikin pusing pemerintah kolonial. Maka tindakan keras terhadap Si Pitung menjadi pilihan utama pemerintah kolonial.

Si Pitung sempat tertangkap, masuk penjara, minta grasi, kabur dari penjara melalui persekongkolan dengan sipir dan tahanan lain, dan menyamar selama pelarian. Pada suatu hari nahas, penyamarannya ketahuan polisi. Dia baku tembak dengan Schout Hinne. Tembakannya meleset, tapi tidak dengan Schout Hinne.

Tubuh Si Pitung lunglai. Polisi membawanya ke rumah sakit. Tapi dia akhirnya putus nyawa. Begitulah gambaran Si Pitung dalam catatan tertulis pers dan arsip Belanda. Si Pitung seperti manusia umumnya. Dia bisa bangkit sekaligus juga bisa jatuh; bisa bernasib mujur sekaligus juga bisa sial.

Bias pemberitaan memang tak terhindarkan. Pers berbahasa Belanda menganggap Si Pitung sebagai bandit dan menyanjung Schout Hinne sebagai pahlawan. Broeder van Nederlanse Leeuw, itulah medali kehormatan untuk Schout Hinne.

Sumber tradisi lisan dan catatan tertulis memosisikan Si Pitung secara berbeda. Tapi Margreet mengingatkan bahwa kedua sumber tersebut sama-sama penting. Sebab keduanya saling mengisi untuk memberikan gambaran utuh sosok Si Pitung. Dari sosok inilah dimensi kompleks sejarah sosial penduduk kota bisa diuraikan secara perlahan.

Sejarah sosial penduduk Batavia akhir abad ke-19 tersusun atas beragam dimensi. Dari definisi jago, masalah keamanan kota, wibawa negara, perdagangan senjata api, sampai ketimpangan sosial ekonomi antara pusat kota dan pinggiran.

“Si Pitung adalah kendaraan penting dalam sejarah sosial penduduk kota di Indonesia,” kata Margreet.




 
Back
Top