Megha
New member
BUKAN sekali ini muncul klaim dari sosok yang menyebut dirinya Supriyadi. Tapi, yang dilakukan warga Semarang, Andaryoko Wisnuprabu, menjelang ultah ke-63 Proklamasi Kemerdekaan RI ini lebih meyakinkan. Tak sekadar mengaku sebagai sosok pahlawan nasional yang hilang misterius, tapi dia juga menerbitkan memoar.
Dalam buku Mencan Supriyadi: Kesaksian Pembantu Bung Karno, penulisan sejarah hidup Supriyadi alias Andaryoko Wisnuprabu dibantu sejarahwan Baskara T. Wardaya dan Universitas Sanata Dharma, Jogja.
Saat ditemui di rumahnya, Jalan Mahesa Raya No 1 Pedurungan Tengah, Semarang, kemarin, Andaryoko yang kini 88 tahun masih terlihat tegar. Dia mengaku lahir 23 Maret 1920 dengan nama Supriyadi. Dia mulai bergabung dengan Peta (Pembela Tanah Air), tentara bentukan serdadu Jepang, pada 1943. Dua tahun bergabung, dia memimpin pemberontakan melawan pasukan Jepang. Pemberontakan itu gagal, Supriyadi lantas buron tak diketahui rimbanya. Lewat bukunya, dalam pelariannya dia bertemu Soekarno pada Juni 1946. Supriyadi minta saran agar terhindar dari kejaran pasukan Jepang.
Oleh Bung Karno, dia diminta menghadap Wakil Residen Semarang KRT Wongsonegoro. Pertemuan dengan Wongsonegoro yang kelak menjadi gubernur Jawa Tengah pertama itulah yang mengubah jalan hidup Supriyadi. Dia diminta untuk mengganti namanya menjadi Andaryoko. ?Mulai saat itu saya membiarkan kumis saya tumbuh,? jelasnya.
Setelah berganti identitas menjadi Andaryoko, aktivitasnya tak jaub-jauh dan Bung Karno. Bisa dikatakan dia menjadi seorang asisten atau pembantu utama presiden pertama RI. Dia selalu menemani Bung Karno mulai menjabat presiden hingga dilengserkan lewat keputusan MPRS 1967. Karena Bung Karno mengetahui bahwa Supriyadi masih hidup, di masa Orde Lama, pemerintah tidak memberikan gelar pahlawan untuk Supriyadi. Gelar pahlawan nasional baru diberikan pada 9 Agustus 1975 oleh Presiden Soeharto yang menganggap Supriyadi telah gugur seperti catatan sejarah.
Saat gelar pahlawan nasional diberikan pemerintah kepada Supriyadi,Andaryoko sengaja tetap menyembunyikan identitas. Dia khawatir pemerintah Orde Baru malah menangkap dan membuangnya ke Pulau Buru seperti nasib para tahanan politik lain.
Begitu rapi dia menyimpan rahasia, hingga sangat jarang yang mengenalinya sebagai Supriyadi. ?Saya memang tidak menceritakan ke siapa-siapa sebelum ini, termasuk kepada anak saya,? tutur Ketua Umum Perkumpulan Kesenian Sobokarti Semarang ini.
Untuk meyakinkan bahwa dirinya adalah Supriyadi, Andaryoko menceritakan peristiwa-peristiwa penting sejarah bangsa Indonesia. Termasuk mengenai perjuangan Peta dan kemerdekaan Indonesia. Meski sudah sepuh, Andaryoko masih mengingat dengan jelas peristiwa-peristiwa puluhan tahun lalu itu. Ingatan Andaryoko memang sangat tajam. Cerita-cerita itu dituangkan dalam buku setebal 230 halaman tersebut.
Dia juga memiliki banyak foto semasa masih muda. Dilihat dari foto yang dipunyainya, wajah Andaryoko muda memang tidak berbeda dengan gambar Supriyadi yang kini beredar di masyarakat. Mengapa baru membuka diri sekarang? Andaryoko mengaku menuruti pesan Bung Karno. Dia diminta mencernitakan sejarah bangsa yang banyak diketahuinya.
?Sekarang saatnya saya melaksanakan pesan Bung Karno, karena saya sudah berusia lanjut,? kata Andaryoko yang memiliki empat anak itu.
Keinginan membuka diri bahwa dirinya adalah Supriyadi sudah ada dalam hati Andaryoko sejak 2006 atau 2 tahun setelah istrinya meninggal. Apalagi, usianya semakin bertambah. Dia menyatakan siap dikonfrontasi jika ada pihak-pihak yang masih meragukan ideatitasnya sebagai Supriyadi. ?Ya, silakan kalau mau (datang ke sini),? kata Andaryoko.
Selama tinggal di Semarang, Andaryoko berpindah-pindah tempat. Pada awalnya dia tinggal di Jalan Majapahit. Terakhir, pada 2001 hingga kini, dia menempati rumah di Jalan Mahesa Raya, Pedunungan Tengah. (supratono/jpnnlruk/eL/IP)