jainudin
New member
JAKARTA Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menilai anggota Dewan Perwakilan Daerah tidak harus berdomisili di wilayah yang dia wakili. Sehingga, dalam perumusan UU Nomor 8 Tahun 2012, syarat domisili tetap seluruh wilayah Negara Kesatuan Ropubiik Indonesia (NKRI).
Wakil Ketua Komisi II DPR Arif Wibowo mengatakan upaya anggota DPD untuk memperjuangkan kepentingan rakyat tidak semata-mata untuk wilayah yang dia wakili. Tetapi, untuk seluruh rakyat Indonesia. “Lagi pula, daerah-daerah di Indonesia memiliki karakteristik
dan persoalan yang hampir mirip,” kata Arif Wibowo, Senin (24/6).
Menurut Arif, putusan MK yang mensyaratkan anggota DPD harus berdomisili dan provinsi asal memang harus dipertimbangkan supaya aspek konstitusionalitasnya terpenuhi. Tetapi, kata dia, bisa saja putusan MK itu dilewatkan atau ditindaklanjuti dengan perubahan undang-undang (UU). “Putusan MK juga harus dilihat dan ditafsirkan terlebih dahulu. Publik lebih paham undang-undang dibanding putusan MK,” katanya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai pembuat undang-undang telah mengabaikan putusan MK. Menurut Titi,
calon anggota DPD memang seharusnya berdomisili di provinsi yang diwakilinya. “Tapi, pembuat undang-undang berbeda, tidak merujuk pada putusan MK,” katanya.
Artinya, lanjut Titi, saat membuat UU Pemilu Nomor 8 Tahun 2012, DPR dan pemerintah masih merujuk pada UU yang lama. Padahal, pada Juli 2008 telah diterbitkan putusan MK tersebut.
Tetapi, atas pengabaian putusan MK itu, menurut Titi, kesalahan tidak bisa dilimpahkan kepada calon anggota DPD. Sebab, mereka memenuhi persyaratan sesuai dengan UU Pemilu Nomor 8 Tahun 2012. “Pecalonannya tidak bisa dibatalkan,” ujarnya. ned: muhammad fakhruddin
Sumber : republika / tangsel pos
Wakil Ketua Komisi II DPR Arif Wibowo mengatakan upaya anggota DPD untuk memperjuangkan kepentingan rakyat tidak semata-mata untuk wilayah yang dia wakili. Tetapi, untuk seluruh rakyat Indonesia. “Lagi pula, daerah-daerah di Indonesia memiliki karakteristik
dan persoalan yang hampir mirip,” kata Arif Wibowo, Senin (24/6).
Menurut Arif, putusan MK yang mensyaratkan anggota DPD harus berdomisili dan provinsi asal memang harus dipertimbangkan supaya aspek konstitusionalitasnya terpenuhi. Tetapi, kata dia, bisa saja putusan MK itu dilewatkan atau ditindaklanjuti dengan perubahan undang-undang (UU). “Putusan MK juga harus dilihat dan ditafsirkan terlebih dahulu. Publik lebih paham undang-undang dibanding putusan MK,” katanya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai pembuat undang-undang telah mengabaikan putusan MK. Menurut Titi,
calon anggota DPD memang seharusnya berdomisili di provinsi yang diwakilinya. “Tapi, pembuat undang-undang berbeda, tidak merujuk pada putusan MK,” katanya.
Artinya, lanjut Titi, saat membuat UU Pemilu Nomor 8 Tahun 2012, DPR dan pemerintah masih merujuk pada UU yang lama. Padahal, pada Juli 2008 telah diterbitkan putusan MK tersebut.
Tetapi, atas pengabaian putusan MK itu, menurut Titi, kesalahan tidak bisa dilimpahkan kepada calon anggota DPD. Sebab, mereka memenuhi persyaratan sesuai dengan UU Pemilu Nomor 8 Tahun 2012. “Pecalonannya tidak bisa dibatalkan,” ujarnya. ned: muhammad fakhruddin
Sumber : republika / tangsel pos