nurcahyo
New member
TIDAK BOLEH MENGABAIKAN DAKWAH KEPADA KELUARGA DAN PERGI MENDAKWAHI ORANG LAIN
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana pendapat Syaikh tentang orang yang mengatakan Apabila saya keluar fi sabilillah dan saya pergi untuk masa yang panjang walaupun boleh jadi anak-anak(ku) akan melakukan penyimpangan-penyimpangan, karena saya keluar dalam rangka memenuhi perintah Allah, dan saya akan menghibur diri tentang penyimpangan yang dilakukan anak-anak dengan Nabi Nuh yang tidak dapat memberikan hidayah kepada anaknya. Maka apakah pandangan Syaikh terhadap ucapan yang seperti ini ?
Jawaban
Pendapat saya adalah bahwa ini merupakan ijtihad dari orang yang mengatakannya, namun tidak semua orang yang berijtihad itu benar, dan yang menjadi kewajiban seorang insan adalah tetap tinggal bersama keluarganya jika ia khawatir mereka menyimpang, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman.
Artinya : Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat [Asy-Syu'ara : 214]
Maka Ia memerintahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk memperingatkan kearabatnya dan ia mendapat tanggung jawab secara 'ain untuk menjaga keluarganya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
'Artinya : Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya' [1]
Adapun keluarnya untuk mendakwahi manusia, maka ini merupakan fardhu kifayah, apabila telah cukup orang melaksanakannya maka gugurlah kewajiban itu dari yang lain. Dan telah dimaklumi bahwasanya tidak mungkin mendahulukan fardhu kifayah atas fardhu 'ain, dan tidak mungkin pula ia memperhatikan untuk memberi petunjuk kepada orang yang jauh padahal ia sendiri khawatir dengan orang dekat (kerabat). Maka tidak boleh bagi seseorang menyia-nyiakan keluarganya baik berupa putra, putri, istri, ibu atau saudari sementara ia merasa khawatir akan mereka, lalu pergi mendakwahi orang lain (yang merupakan) fardhu kifayah, pafahal menjaga keluarga adalah fardhu 'ain baginya. Ini sudah jelas bila orang yang mengatakannya mencoba memperhatikan apa yang saya sebutkan sekarang, niscaya jelas baginya bahwa apa yang ia sebutkan itu tidaklah benar.
[Disalin dari kitab Ash-Shahwah Al-Islamiyah Dhawabith wa Taujihat, edisi Indonesia Panduan Kebangkitan Islam, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Darul Haq]
_________
Foote Note
[1]. Bagian dari hadits yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari no. 893 dalam kitab Al-Jum'ah, bab Al-Jum'ah Fil Quraa wal Mudun. Dan juga dikeluarkannya di beberapa tempat lain. Dan (juga dikeluarkan oleh) Muslim no. 1829 dalam kitab Al-Imarah, bab Fadhilah Al-Imam Al-Adil dari hadits Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu.
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana pendapat Syaikh tentang orang yang mengatakan Apabila saya keluar fi sabilillah dan saya pergi untuk masa yang panjang walaupun boleh jadi anak-anak(ku) akan melakukan penyimpangan-penyimpangan, karena saya keluar dalam rangka memenuhi perintah Allah, dan saya akan menghibur diri tentang penyimpangan yang dilakukan anak-anak dengan Nabi Nuh yang tidak dapat memberikan hidayah kepada anaknya. Maka apakah pandangan Syaikh terhadap ucapan yang seperti ini ?
Jawaban
Pendapat saya adalah bahwa ini merupakan ijtihad dari orang yang mengatakannya, namun tidak semua orang yang berijtihad itu benar, dan yang menjadi kewajiban seorang insan adalah tetap tinggal bersama keluarganya jika ia khawatir mereka menyimpang, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman.
Artinya : Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat [Asy-Syu'ara : 214]
Maka Ia memerintahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk memperingatkan kearabatnya dan ia mendapat tanggung jawab secara 'ain untuk menjaga keluarganya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
'Artinya : Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya' [1]
Adapun keluarnya untuk mendakwahi manusia, maka ini merupakan fardhu kifayah, apabila telah cukup orang melaksanakannya maka gugurlah kewajiban itu dari yang lain. Dan telah dimaklumi bahwasanya tidak mungkin mendahulukan fardhu kifayah atas fardhu 'ain, dan tidak mungkin pula ia memperhatikan untuk memberi petunjuk kepada orang yang jauh padahal ia sendiri khawatir dengan orang dekat (kerabat). Maka tidak boleh bagi seseorang menyia-nyiakan keluarganya baik berupa putra, putri, istri, ibu atau saudari sementara ia merasa khawatir akan mereka, lalu pergi mendakwahi orang lain (yang merupakan) fardhu kifayah, pafahal menjaga keluarga adalah fardhu 'ain baginya. Ini sudah jelas bila orang yang mengatakannya mencoba memperhatikan apa yang saya sebutkan sekarang, niscaya jelas baginya bahwa apa yang ia sebutkan itu tidaklah benar.
[Disalin dari kitab Ash-Shahwah Al-Islamiyah Dhawabith wa Taujihat, edisi Indonesia Panduan Kebangkitan Islam, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Darul Haq]
_________
Foote Note
[1]. Bagian dari hadits yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari no. 893 dalam kitab Al-Jum'ah, bab Al-Jum'ah Fil Quraa wal Mudun. Dan juga dikeluarkannya di beberapa tempat lain. Dan (juga dikeluarkan oleh) Muslim no. 1829 dalam kitab Al-Imarah, bab Fadhilah Al-Imam Al-Adil dari hadits Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu.
Last edited: