Tuntutan Korban Pembantaian Rawagede Dikabulkan Pengadilan Den Haag

Dipi76

New member
Tuntutan pembantaian Rawagede dikabulkan
Terbaru 14 September 2011 - 22:23 WIB

Pengadilan distrik Den Haag memerintahkan pemerintah Belanda memberikan ganti rugi kepada tujuh janda korban pembantaian massal Rawagede, Jawa Barat, dan seorang pria yang menderita luka tembak pada 1947.

"Pengadilan ini menemukan bahwa negara Belanda bersalah karena melakukan eksekusi dan negara bertanggung jawab membayar ganti rugi sesuai dengan hukum," kata hakim Daphne Schreuder.

Pengadilan menegaskan tidak masuk akal bagi pemerintah Belanda untuk berpandangan bahwa para janda korban tidak berhak mendapatkan ganti rugi karena kasusnya kadaluwarsa.

Pengacara penggugat Liesbeth Zegveld mengatakan dengan keputusan ini maka keadilan telah ditegakkan.

"Ini berarti negara tidak bisa tinggal diam selama 60 tahun menunggu kasusnya hilang atau menunggu pihak penggugat meninggal dunia dan kemudian naik banding karena keterbatasan undang-undang," katanya.

Menurut Junito Drias, wartawan Radio Netherlands yang meliput putusan pengadilan di Den Haag, hakim tidak mengabulkan semua gugatan mengingat kasus ini merupakan gugatan berlapis.
Nilai ganti rugi

"Yang penting hakim Belanda atau hakim di Den Haag menyatakan bahwa permintaan pertama semacam pengakuan bahwa ini adalah kejahatan perang, kejahatan berat itu dikabulkan. Artinya, sekarang Belanda secara resmi mengatakan apa yang terjadi di Rawagede adalah sebuah kejahatan besar," jelasnya kepada BBC Indonesia.

Pengakuan resmi ini penting, lanjut Junito Drias, karena Belanda selama ini tidak pernah secara hukum menyatakan Belanda melakukan tindak kejahatan di masa lalu.

Pada tahap ini belum dirinci berapa nilai nominal ganti rugi dan akan ditangani dalam sidang terpisah.

"Angka nominal belum ada. Itu ada dalam permohonan hukum terpisah yang akan diajukan oleh pengacara korban Rawagede," tambahnya.

Gugatan diajukan pada 2008 oleh para janda korban penembakan dan satu korban selamat, Saih bin Sakam, atas dasar pembantaian massal pria dan anak laki-laki oleh pasukan penjajah.

Peristiwa berdarah terjadi di Rawanggede yang kemudian berganti nama Balongsari, pada 9 Desember 1947.

Menurut kumpulan keluarga korban, jumlah warga yang tewas mencapai 431 orang tetapi pihak Belanda mengatakan 150 orang tewas.

Putusan pengadilan Den Haag ini terlambat bagi salah satu penggugat, Saih bin Sakam, karena satu-satunya korban hidup itu meninggal dunia baru-baru ini.


BBC.co.uk

=============================

Untuk hal yang lebih detail soal peristiwa ini, silahkan dibaca di thread forum history dengan judul Pembantaian Rawagede 1947

-dipi-
 
Surat Tanpa Nama dari Pembantai Rawagede
Egidius Patnistik | Kamis, 15 September 2011 | 12:31 WIB

1047017620X310.jpg


DEN HAAG, KOMPAS.com — Sebuah surat tanpa nama pengirim tiba di tangan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) di Belanda. Surat itu bukan disampaikan lewat pos, melainkan diberikan seseorang yang mengaku menerima dari seorang veteran perang. Isinya menunjukkan sebuah guratan penyesalan seorang tentara Belanda yang diduga ikut dalam proses pembunuhan warga Rawagede.

Seberapa jauh surat ini orisinal, tidak ada yang tahu. Sang penyampai dan sang penulis tetap ingin tidak diketahui. Berikut adalah versi lengkap surat itu sebagaimana dilansir Radio Nederland, Selasa (13/9/2011).
Wamel Rawa Gedeh

Namaku tidak bisa aku sebutkan, tapi aku bisa ceritakan kepada Anda apa yang sebenarnya terjadi di desa RAWA GEDEH.

Anda tahu, antara tahun 1945 – 1949, kami mencoba merebut kembali jajahan kami di Asia Tenggara. Untuk itu dari tahun 1945 sampai 1949, sekitar 130.000 tentara Belanda dikirim ke bekas Hindia Belanda, sekarang Indonesia. Di sana terjadi berikut ini:

Di Jawa Barat, timur Batavia, di daerah Krawang, ada desa Rawa Gedeh. Dari arah Rawa Gedeh tentara Belanda ditembaki. Maka diputuskanlah untuk menghajar desa ini untuk dijadikan pelajaran bagi desa-desa lain.

Saat malam hari Rawa Gedeh dikepung. Mereka yang mencoba meninggalkan desa, dibunuh tanpa bunyi (diserang, ditekan ke dalam air sampai tenggelam; kepala mereka dihantam dengan popor senjata dll)

Jam setengah enam pagi, ketika mulai siang, desa ditembaki dengan mortir. Pria, wanita dan anak-anak yang mau melarikan diri dinyatakan patut dibunuh: semuanya ditembak mati. JUMLAHNYA RATUSAN.

Setelah desa dibakar, tentara Belanda menduduki wilayah itu. Penduduk desa yang tersisa lalu dikumpulkan, jongkok, dengan tangan melipat di belakang leher. Hanya sedikit yang tersisa. Rawa Gedeh telah menerima 'pelajarannya'.

Semua lelaki ditembak mati – kami dinamai 'Angkatan Darat Kerajaan'. Semua perempuan ditembak mati – padahal kami datang dari negara demokratis. Semua anak ditembak mati – padahal kami mengakunya tentara yang kristiani. Pekan adven 1947

Sekarang aku siang malam teringat Rawa Gedeh, dan itu membuat kepalaku sakit dan air mataku terasa membakar mata, terutama kalau aku teringat anak-anak yang tangannya masih terlalu pendek untuk melipat tangan di belakang leher, dan mata mereka terbelalak, ketakutan dan tak faham.

Aku tidak bisa menyebut namaku, karena informasi ini tidak disukai kalangan tertentu.

Tapi mungkin dari Wamel, justru dari Wamel, akan muncul inisiatif. Aku tidak tahu bagaimana.


Wamel merupakan sebuah desa di Provinsi Gerderland, Belanda timur. Desa ini pada tanggal 20 September 1944 diserbu tentara Jerman. Sebanyak 14 warga sipil tewas dibunuh secara keji oleh tentara Jerman. Sekarang di sana dibangun monumen peringatan. Uniknya, di antara nama-nama yang tercantum pada monumen, terdapat satu nama korban kekejaman perang di Hindia Belanda.


Kompas



-dipi-
 
Cuma Sedikit yang Tahu Tragedi Rawagede
Egidius Patnistik | Kamis, 15 September 2011 | 09:00 WIB

DEN HAAG, KOMPAS.com - Pada 20 Juni 2011, sembilan janda korban pembantaian di desa Rawagede, Karawang, Jawa Barat, mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pemerintah Belanda. Rabu (14/09), Pengadilan Den Haag menerbitkan vonis atas perkara itu yang memenangkan tuntutan sembilan janda tersebut. Pengadilan memerintahkan Pemerintah Belada membayar sejumlah ganti rugi kepada mereka.

Rushdy Hoesein, sejarawan, pada tahun 1995 ikut membuat liputan televisi tentang kasus Rawagede itu. Kepada Radio Nederland, Rushdy mengemukakan, berbeda dengan situasi di Belanda, sejauh ini perhatian masyarakat, pers dan kalangan akademisi di Indonesia mengenai berbagai kasus kejahatan perang pada masa perang kemerdekaan sangat minimal. Menurut Rushdy, sebagaimana dilaporkan Radio Nederland, Rabu (14/9/2011), sebabnya pertama-tama masyarakat Indonesia tidak begitu menguasai pengetahuan sejarah. Bukan melupakan sejarah, tapi banyak informasi kesejarahan yang tidak akurat.

Akibatnya bukan saja mereka tidak tahu, tetapi juga tidak ingin memperdalam pengetahuan di bidang sejarah. Terutama mengenai sejarah kontemporer. Periode mengenai proklamasi sampai dengan perang kemerdekaan dan sebagainya. Hal itu, kata dia, mungkin ada pengaruh dari masa kekuasaan militer pada periode Orde Baru. Generasi muda justru lebih tertarik pada kejadian-kejadian sebelum perang. Terutama yang berkaitan dengan gedung-gedung bersejarah. Seperti Kota Tua itu justru malahan lebih menarik ketimbang upaya memahami peristiwa-peristiwa setelah proklamasi kemerdekaan.

Soeharto memang sudah lama meninggal dunia, namun dampak kekuasaan militer tampaknya masih terasa. Walau demikian sekarang sudah ada kemajuan. Cukup banyak orang yang ingin mengetahui lebih jauh mengenai tokoh-tokoh pergerakan. Baik pada masa perintis kemerdekaan, mau pun pada masa mempertahankan proklamasi, periode perang kemerdekaan.

Jadi, kata Rusdhy, sudah ada perubahan, tapi belum begitu banyak. Belum begitu sempurna. Pengetahuan masyarakat Indonesia mengenai kasus kejahatan perang, sebagaimana yang terjadi di Rawagede belum banyak. Faktanya demikian, kata Rushdy Hoesein.

Memang ada sekelompok orang yang mengusahakan. Terutama yang berkaitan dengan yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB). Tapi kadang-kadang tidak melekat langsung dengan masalah kepahlawanan. Sebetulnya sebagian besar bangsa Indonesia kurang paham. Kita tahu ada buku yang namanya De Excessennota. Tapi hanya beberapa orang saja yang memiliki buku tersebut. Karena ditulis dalam bahasa Belanda. Dan tidak ada terjemahannya.

Dekat Jakarta

Radio Nederland melaporkan, perhatian terhadap peristiwa Rawagede berkaitan dengan tim wartawan Belanda yang membuat film mengenai kasus kejahatan perang di Indonesia, pada tahun 1995. Film itu dibuat sehubungan dengan rangkaian acara peringatan 50 tahun kemerdekaan Indonesia. Rushdy Hoesein ikut terlibat dalam kegiatan tim wartawan Belanda tersebut. Pilihan untuk meliput Rawagede semata-mata karena letaknya dekat Jakarta.

Para wartawan tersebut antara lain diantar oleh sejumlah veteran yang masih hidup. Kalau mereka misalnya pergi ke Pronojiwo di Jawa Timur, akan terlalu jauh. Padahal kejahatan perang yang terjadi di sana sebenarnya jauh lebih besar. Maka jadilah film tersebut, yang kemudian ditayangkan di televisi Belanda.

Menurut Rushdy minat di kalangan akademisi Indonesia terhadap berbagai kasus kejahatan perang antara tahun 1945 hingga 1949 juga nyaris tidak ada. Mungkin karena bahannya sangat berat. Karena ini menyangkut operasi militer. Selain itu juga berkaitan dengan serangkaian perundingan antara pihak Indonesia dan Belanda. Peristiwa pembantaian di Rawagede terjadi pada saat Indonesia dan Belanda bersiap-siap menyelenggarakan perundingan Renville.

Sejauh ini, pemerintah Indonesia tidak pernah mengangkat masalah kejahatan perang ini pada pemerintah Belanda. Menurut Rushdy Hoesein permasalahannya adalah Indonesia dan Belanda sepakat, tidak akan mempersoalkan berbagai kasus kejahatan perang yang terjadi sebelum saat pengakuan kedaulatan pada tahun 1949.

Contohnya, kasus Kapten Raymond Westerling menjadi masalah, bukan karena kejahatan perang yang ia lakukan di Sulawesi Selatan. Tapi karena peristiwa APRA di Bandung. Itu terjadi pada tahun 1950. Jadi, dengan adanya kesepakatan Kesepakatan Meja Bundar (KMB), semua dianggap selesai. Karena, peristiwa pembantaian di Rawagede terjadi pada tahun 1947.



Kompas



-dipi-
 
wah ternyata kasus2 yang dulu mau diangkat lagi ya?seperti saya ini yang masih awam tentang sejarah bangsa sendiri harus belajar lagi..
 
Cuma Sedikit yang Tahu Tragedi Rawagede
Bukan hanya sedikit yang tahu, tapi juga cuma sedikit yang tertarik.
Orang sini itu akan merasa lebih keren kalau tahu soal holocaust.
Rawagede mah katrok dan nggak cukup bombastis.
 
Back
Top