resi_dj
New member
Banyak orangtua, tanpa sadar, rentan mengalami kesalah pahaman dengan anak-anak mereka. Bahkan, ada kalanya orangtua secara negatif melakukan tindakan “menghakimi” anak. Maksudnya mendidik, tetapi cara yang dilakukan malah bisa menjadi bumerang, dan mengendurkan hubungan orangtua-anak.
Selain itu juga, jika sampai melakukan tindakan kekerasan, bukan pendidikan yang diperoleh, tapi justru akan menyebabkan efek psikologis yang buruk pada anak- anak, maka berhati- hati saja..pelan tapi pasti dalam mendidik anak- anak kita.........
Para orang tua, hindari hal ini ya...
Memukul
Memukul...Secara psikologis bisa saja lebih menyakitkan ketimbang dampak fisiknya. Sangat tidak tepat bila orangtua beralasan mendisiplinkan anak dengan cara memukul. Karena, disiplin merupakan proses mengajarkan anak untuk membedakan hal yang benar dan salah dengan maksud anak dapat bertanggung jawab, bekerja sama, dan mengendalikan diri. Disiplin juga akan mengarahkan anak untuk belajar hal-hal baik sebagai persiapan menuju masa dewasa. Hanya saja, perlu dibedakan antara disiplin dan kekerasan. Disiplin tidaklah sama dengan tindak kekerasan.
Tindakan dengan atas nama disiplin yang cenderung mengacu pada ancaman, teriakan, dan sikap merendahkan, justru tak akan membuat anak menjadi disiplin. Sebaliknya, anak jadi takut dan memendam rasa amarah terhadap orangtua. Kepercayaan diri anak pun bisa turun. Dan hasil akhirnya, bisa merusak hubungan orangtua dan anak.
Menurut salah satu pakar psikologis, kalau orangtua sudah menggunakan pola memukul, pemukulan itu sudah mengalami penyimpangan dari tujuan semula, yaitu pendisiplinan. Pemukulan yang menjadi hukuman rutin bisa jadi merupakan manifestasi dari problem emosional dan psikologis orangtua. Contohnya dapat dilihat pada orangtua yang memiliki ambisi dan idealisme maupun perfeksionis yang overdosis. Ketika anak tidak bertindak sesuai aturan dan norma orangtua, amarah orangtua pun muncul.
Sebenarnya kemarahan orangtua lebih menunjuk pada dirinya sendiri ketimbang pada anaknya. Namun, karena anak berada dalam posisi lebih lemah, lebih mudah menjadi sasaran.
Pemukulan memberi dampak sangat destruktif bagi harga diri anak, meski terjadi secara insidentil. Rasa penyesalan orangtua karena memukul sah-sah saja. Mereka bisa meminta maaf atas kekerasan tersebut, tetapi bukan berarti menjadi toleran terhadap anak. Dengan mengemukakan alasan yang rasional, akan membuat anak tahu bahwa kekerasan itu salah. Anak juga perlu tahu kalau dirinya memiliki kesalahan yang tidak bisa dihilangkan begitu saja dengan meminta maaf. Kesalahan anak dan orangtua harus sama-sama diperbaiki.
Mengkritik
Orangtua sering salah arti dengan kritik. Mereka kerap berpikir bahwa kritikan pedas akan memotivasi anak. Nyatanya, yang terjadi berbeda. Anak malah cemas dan takut.
Mengkritik yang baik, mesti jujur dan bersih. Kritikan yang dilontarkan hendaknya didasarkan atas sesuatu hal yang harus diperbaiki oleh anak. “Pada dasarnya kritik itu baik agar anak tidak menjadi narsisis.”
Anak yang dipuji terus-menerus juga bisa berdampak buruk karena ia bisa merasa tidak memiliki kelemahan.
Untuk itu, beri kritikan pada anak secara jujur dan netral. Orangtua perlu mengembalikan kritikan kepada anak agar mereka dapat memperbaiki sesuatu yang dikritik itu dengan caranya. “Beri dia kebebasan untuk memperbaiki. Kalau masih salah, ya diberi tahu sampai caranya benar.”
Menyela Pembicaraan
Coba anda ingat, apakah Anda selalu mendengarkan ucapan anak hingga ia selesai mengutarakannya? Jika Anda menginterupsi atau memotong pembicaraan anak, sama artinya dengan memotong kesempatan dia untuk memecahkan masalah. Anak yang selalu diinterupsi saat berbicara merasa tidak didengar dan akan menghentikan komunikasinya dengan orangtua.
Dengan memotong pembicaraan, anda akan merampas proses pembelajaran anak dalam hal mendengarkan. Padahal, mendengarkan menempati porsi besar dalam hal kecerdasan emosi. Hal tersebut membantu Anda untuk mengetahui perasaan Anda sendiri dan membaca perasaan orang lain. Selain mengajarkan anak untuk berkomunikasi dengan baik, mendengarkan juga menjadi jalan bagi anak untuk membentuk harga dirinya.
Mengungkit Kesalahan
Setiap orang pernah melakukan kesalahan. Diharapkan dari kesalahan akan timbul pembelajaran agar tidak berbuat kesalahan yang sama. Memang ada kalanya kesalahan serupa terulang tanpa disengaja. Dan ada orangtua yang suka mengungkit-ungkit kesalahan anaknya.
Menceritakan kembali kesalahan masa lalu,sebetulnya, sah-sah saja, tetapi tergantung tujuannya. Kalau cerita itu dimaksudkan untuk mempelajari kembali dan menganalisis kesalahan anak supaya tidak terjadi lagi, hal itu tidak menjadi masalah.
Menjadi salah bila orangtua mengungkit kesalahan anak karena tidak bisa memaafkannya. Hal itu kemudian dijadikan alat oleh orangtua untuk memanipulasi anak. Alat yang dapat membangkitkan rasa bersalah dan rasa malu anak. “Ini yang tidak sehat."
Anak akan tumbuh menjadi sosok yang penuh rasa bersalah dan malu. Anak menjadi pribadi yang tidak bisa menerima dirinya dan melihat kebaikan dirinya. Juga sulit menerima kritik karena selama hidup ia menjadi yang sempurna seperti yang diharapkan orangtua.
Ketidaksempurnaan adalah dosa Dampaknya akan buruk bagi perkembangan anak. Ia takut untuk tidak bisa menjadi sempurna, takut salah, takut mencoba, dan takut dikritik!
Mengancam
Saat anak tidak mengerjakan tugas sekolah, orangtua kemudian mengeluarkan ultimatum dengan nada ancaman. Apakah hal ini berdampak positif? “Tergantung".
Apakah akan menghasilkan sesuatu sesuai keinginan antara aksi dan konsekuensinya?
Contohnya, orangtua mengatakan kalau si anak tidak mengerjakan PR, ia tidak boleh ikut pertandingan basket di sekolahnya.
Apakah ancaman tersebut rasional? Kalau tidak rasional, sama artinya dengan mengajari anak untuk menjadi seorang pengancam dan pembohong. Sebab, orangtua juga tidak memiliki alasan yang kuat untuk melarang anaknya bertanding basket. “
Orangtua ingin melihat anaknya menjadi jagoan di lapangan basket ‘kan? Jadi yang baik itu, beritahu anak apa dampaknya bila ia tidak melakukan tanggung jawabnya secara rasional dan berkesinambungan,” kata Rini.
Jadi, bila anak tidak mengerjakan PR, berarti hari itu ia tidak boleh main, pergi, atau menonton TV. Hal ini cukup logis. Kalau tidak melakukan pekerjaannya dulu, mereka tidak bisa bersantai. Dan kalau mereka ingin santai, berarti mereka harus belajar dulu.
Berbohong
Beberapa orangtua menggunakan jurus berbohong manakala sulit menjawab atau bahkan menghindari pertanyaan anak yang sulit. Ketimbang berbohong, lebih baik katakan yang sebenarnya. Bila anak mengetahui Anda berbohong, mereka akan berpikir bahwa berbohong itu baik.
Akibatnya, tidak ada lagi nilai-nilai dari norma dan moralitas yang kuat dan tertanam dalam diri anak karena dalam keluarganya, tidak diajarkan moralitas yang kuat. Selain itu, anak juga akan sulit mempercayai Anda.
Cara terbaik, tentu saja bersikap terbuka, sehingga mendorong anak untuk jujur. Jika anak merasa Anda tidak jujur, mereka akan merasa orangtua tidak mempercayai mereka.
@-->@-->Semoga bermanfaat......
-perempuan-
Selain itu juga, jika sampai melakukan tindakan kekerasan, bukan pendidikan yang diperoleh, tapi justru akan menyebabkan efek psikologis yang buruk pada anak- anak, maka berhati- hati saja..pelan tapi pasti dalam mendidik anak- anak kita.........
Para orang tua, hindari hal ini ya...
Memukul

Tindakan dengan atas nama disiplin yang cenderung mengacu pada ancaman, teriakan, dan sikap merendahkan, justru tak akan membuat anak menjadi disiplin. Sebaliknya, anak jadi takut dan memendam rasa amarah terhadap orangtua. Kepercayaan diri anak pun bisa turun. Dan hasil akhirnya, bisa merusak hubungan orangtua dan anak.
Menurut salah satu pakar psikologis, kalau orangtua sudah menggunakan pola memukul, pemukulan itu sudah mengalami penyimpangan dari tujuan semula, yaitu pendisiplinan. Pemukulan yang menjadi hukuman rutin bisa jadi merupakan manifestasi dari problem emosional dan psikologis orangtua. Contohnya dapat dilihat pada orangtua yang memiliki ambisi dan idealisme maupun perfeksionis yang overdosis. Ketika anak tidak bertindak sesuai aturan dan norma orangtua, amarah orangtua pun muncul.
Sebenarnya kemarahan orangtua lebih menunjuk pada dirinya sendiri ketimbang pada anaknya. Namun, karena anak berada dalam posisi lebih lemah, lebih mudah menjadi sasaran.
Pemukulan memberi dampak sangat destruktif bagi harga diri anak, meski terjadi secara insidentil. Rasa penyesalan orangtua karena memukul sah-sah saja. Mereka bisa meminta maaf atas kekerasan tersebut, tetapi bukan berarti menjadi toleran terhadap anak. Dengan mengemukakan alasan yang rasional, akan membuat anak tahu bahwa kekerasan itu salah. Anak juga perlu tahu kalau dirinya memiliki kesalahan yang tidak bisa dihilangkan begitu saja dengan meminta maaf. Kesalahan anak dan orangtua harus sama-sama diperbaiki.
Mengkritik

Mengkritik yang baik, mesti jujur dan bersih. Kritikan yang dilontarkan hendaknya didasarkan atas sesuatu hal yang harus diperbaiki oleh anak. “Pada dasarnya kritik itu baik agar anak tidak menjadi narsisis.”
Anak yang dipuji terus-menerus juga bisa berdampak buruk karena ia bisa merasa tidak memiliki kelemahan.
Untuk itu, beri kritikan pada anak secara jujur dan netral. Orangtua perlu mengembalikan kritikan kepada anak agar mereka dapat memperbaiki sesuatu yang dikritik itu dengan caranya. “Beri dia kebebasan untuk memperbaiki. Kalau masih salah, ya diberi tahu sampai caranya benar.”
Menyela Pembicaraan

Dengan memotong pembicaraan, anda akan merampas proses pembelajaran anak dalam hal mendengarkan. Padahal, mendengarkan menempati porsi besar dalam hal kecerdasan emosi. Hal tersebut membantu Anda untuk mengetahui perasaan Anda sendiri dan membaca perasaan orang lain. Selain mengajarkan anak untuk berkomunikasi dengan baik, mendengarkan juga menjadi jalan bagi anak untuk membentuk harga dirinya.
Mengungkit Kesalahan

Menceritakan kembali kesalahan masa lalu,sebetulnya, sah-sah saja, tetapi tergantung tujuannya. Kalau cerita itu dimaksudkan untuk mempelajari kembali dan menganalisis kesalahan anak supaya tidak terjadi lagi, hal itu tidak menjadi masalah.
Menjadi salah bila orangtua mengungkit kesalahan anak karena tidak bisa memaafkannya. Hal itu kemudian dijadikan alat oleh orangtua untuk memanipulasi anak. Alat yang dapat membangkitkan rasa bersalah dan rasa malu anak. “Ini yang tidak sehat."
Anak akan tumbuh menjadi sosok yang penuh rasa bersalah dan malu. Anak menjadi pribadi yang tidak bisa menerima dirinya dan melihat kebaikan dirinya. Juga sulit menerima kritik karena selama hidup ia menjadi yang sempurna seperti yang diharapkan orangtua.
Ketidaksempurnaan adalah dosa Dampaknya akan buruk bagi perkembangan anak. Ia takut untuk tidak bisa menjadi sempurna, takut salah, takut mencoba, dan takut dikritik!
Mengancam
Saat anak tidak mengerjakan tugas sekolah, orangtua kemudian mengeluarkan ultimatum dengan nada ancaman. Apakah hal ini berdampak positif? “Tergantung".
Apakah akan menghasilkan sesuatu sesuai keinginan antara aksi dan konsekuensinya?
Contohnya, orangtua mengatakan kalau si anak tidak mengerjakan PR, ia tidak boleh ikut pertandingan basket di sekolahnya.
Apakah ancaman tersebut rasional? Kalau tidak rasional, sama artinya dengan mengajari anak untuk menjadi seorang pengancam dan pembohong. Sebab, orangtua juga tidak memiliki alasan yang kuat untuk melarang anaknya bertanding basket. “
Orangtua ingin melihat anaknya menjadi jagoan di lapangan basket ‘kan? Jadi yang baik itu, beritahu anak apa dampaknya bila ia tidak melakukan tanggung jawabnya secara rasional dan berkesinambungan,” kata Rini.
Jadi, bila anak tidak mengerjakan PR, berarti hari itu ia tidak boleh main, pergi, atau menonton TV. Hal ini cukup logis. Kalau tidak melakukan pekerjaannya dulu, mereka tidak bisa bersantai. Dan kalau mereka ingin santai, berarti mereka harus belajar dulu.
Berbohong
Beberapa orangtua menggunakan jurus berbohong manakala sulit menjawab atau bahkan menghindari pertanyaan anak yang sulit. Ketimbang berbohong, lebih baik katakan yang sebenarnya. Bila anak mengetahui Anda berbohong, mereka akan berpikir bahwa berbohong itu baik.
Akibatnya, tidak ada lagi nilai-nilai dari norma dan moralitas yang kuat dan tertanam dalam diri anak karena dalam keluarganya, tidak diajarkan moralitas yang kuat. Selain itu, anak juga akan sulit mempercayai Anda.
Cara terbaik, tentu saja bersikap terbuka, sehingga mendorong anak untuk jujur. Jika anak merasa Anda tidak jujur, mereka akan merasa orangtua tidak mempercayai mereka.
@-->@-->Semoga bermanfaat......
-perempuan-