Bls: Dimana Alloh ?
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy . (QS. Al-A’raf: 54)
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy untuk mengatur segala urusan. (QS. Yunus: 3)
Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan (QS. Ar-Ra’d: 2)
Apakah Arti Istiwa’?
Di dalam kamus Al-Mu’jamul WAshith halaman 466, kata istawa bermakna istaqrra wa tsabata. Istaqarra artinya menetap dan tsabata artinya menetap.
Sedangkan kata istawa ‘ala artinya adalah ‘alaa wa sha’ada, artinya tinggi dan naik. Kalau istawa fulan artinya orang yang telah matang kepemudaannya. Kalau istawa at-tha’amu artinya makanan itu telah matang.
Makna Istiwa’ Menurut Para Ulama
Kalau kita buka kitab tafsir, katakanlah Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Quran karya Al-Qurthubi, pada jilid 1 halaman 381, di sana disebutkan tentang masalah yang anda tanyakan. Al-Qurthubi menjelaskan bahwa pengertian kata istiwa pada ayat 29 dari surat Al-Baqarah itu memang musykilah tersendiri. Setidaknya, menurut beliau, orang-orang terpecah menjadi tiga kelompok pendapat.
1. Pendapat Pertama: Jumhur Ulama
Jumhur Ulama berpendapat bahwa kalau kita menemukan ayat-ayat seperti ini, misalnya tentang bersemayamnya Allah SWT, maka sikap yang paling tepat bagi kita adalah membacanya, lalu mengimaninya, tetapi tidak menafsirkannya.
Salah satu yang mewakili sikap ini adalah Al-Imam Malik rahimahullah. Ketika ada orang datang kepadanya menanyakan hal-hal seperti ini, beliau menjawab tegas, “Istiwa’ itu bukan hal yang majhul (tidak dikenal), namun teknisnya (al-kaifu) tidak bisa dipikirkan secara akal (ghairu ma’qul), sedangkan mengimaninya wajib, dan bertanya tentang itu adalah bid’ah.
2. Pendapat Kedua: Musyabbihin
Sebagian kalangan yang kita sebut musyabbihin bersikap agak lain. Dalam pandangan mereka, kalau ada ayat seperti ini, kita harus membacanya, lalu menafsirkannya sesuai dengan kemungkinan bahasa.
3. Pendapat Ketiga: Ta’wil
Sebagian yang lain lagi mengatakan bahwa ayat seperti ini kita baca namun kita ta’wilkan. Serta kita ganti kemungkinannya kepada bentuk dzhahirnya.
Pendapat Pilihan
Dibandingkan dengan pendapat kedua dan ketiga, kita lebih tepat untuk mengambil pendapat pertama. Selain nyaris seluruh ulama berada pada pendapat pertama, memang pendapat ini adalah pendapat yang paling tengah-tengah.
Kita tidak menyamakan Allah dengan makhluk, tetapi juga tidak menolak keterangan dari Allah SWT sendiri.
Kalau kita menafsirkan kata istiwa’ dengan duduk sebagaimana duduknya kita manunisa, maka jelas sekali kita telah melakukan tasybih, yaitu menyamakan atau menyerupakan Allah SWT dengan makhluk. Dan tentu hal itu haram hukumnya. Sebab Allah SWT sendiri telah menegaskan bahwa Diri-Nya tidak sama dengan makhluk ciptaan-Nya.
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat. (QS. Asy-Syura: 11)
Dan tidak ada satu pun yang sebanding dengan-Nya (QS. Al-Ikhlash: 4)
Namun kita tetap tidak menolak bahwa Allah SWT melakukan istiwa’ (duduk, bersemayam), karena memang Allah SWT tegas menyebutkannya di dalam ayat Quran. Bahkan kami malah berpendapat bahwa sebaiknya kita pun tidak perlu menterjemahkan ke dalam bahasa lain. Kita sebut saja Allah melakukan istiwa’, sesuai dengan bahasa aslinya yaitu bahasa Arab.
Agar jangan lagi terjadi noise atau kesalahan dalam menterjemahkan. Jangan kita bilang bersemayam, duduk, atau terjemahan lain. Sebab dari terjemahan itu seringkali timbul salah pengertian dan salah paham yang berat.
Sebagaimana kita akan jauh lebih bijak kalau menyebut istilah shalat ketimbang sembahyang atau praying, istilah shaum ketimbang puasa atau fasting, isitlah haji ketimbang pilgrimate. Lebih aman dan lebih selamat dari kesalahan interpretasi.