gaji DPR dan DPRD kok malah naik

zabuza

New member
gaji anggota DPR dan DPRD kok malah naik ditengah penderitaan masyarakat sekarang ini??????//
padahal banak rakyat menderita,seharusnya mereka lihat kebawah banyak rakyat kelaparan, kemiskinan merajalela,bencana dimana-mana.apa mereka bukan anusia ya??
menurut anda apakah anda setuju bila gaji anggota dewan naik??
____________________________________________________________-
mau cepet kaya? sekarang gampang di main forex aja di Forex | Forex Trading | Forex Minis | Online Currency Trading sign up langsung dapat $50 .sehari bisa dapet $10
kalau lagi beruntung bisa dape $100 sehai.jadi sign up di Forex | Forex Trading | Forex Minis | Online Currency Trading.
kalau belom puas coba gabung di ASIA FX Online - Forex Online Trading Pertama Di Indonesia.
bagi yg sudah gabung untuk mengetahui suku bunga bisa dilihat di www.fx-chart.com.
bagi yg jago main game bisa cari uang dengan main game online di bogc.biz.
kalau mau yg bahasa indonesia bisa di www.gemtaped.web.id.
kalau yg pintar bahasa inggris bisa cari uang dengan diskusi bahasa inggris kayak di indonesiaindonesia.com.
di myLot
 
Kalau kita mau runut ke belakang maka persoalan ini bukan salah anggota dewan semata. Secara sistem dan budaya sudah keliru dari sononya.

Sistem perekrutan dan pencalonan
Sejak perekrutan dan pencalonan anggota dewan sudah terjadi kekeliruan sistem. Kekeliruan ini tampaknya sengaja dipelihara krn menguntungkan semua pihak yg terlibat (kecuali rakyat kecil, tentu saja). Sistem yg sekarang dipakai adalah pemilih mencoblos tanda gambar dan nama orang (kalau mau), tapi sebagian besar orang hanya mencoblos tanda gambarnya saja. Akibatnya para calon tadi ber-lomba? "dgn segala cara" untuk menjadi calon dgn nomor urut atas (atau istilahnya nomor jadi). "Dgn segala cara" disini termasuk main uang dan pengaruh di tingkat petinggi partai yg berkompeten menentukan urutan calon. Sudah jadi rahasia umum bahwa unt masuk dlm daftar calon saja mesti memberi "sumbangan" dlm jumlah puluhan bahkan ratusan juta, apalagi kalau mau masuk urutan nomor jadi.

Setelah daftar calon tersusun rapi, para calon masih harus mengeluarkan biaya yg tak kalah banyak unt operasional kampanye. Singkatnya untuk menjadi anggota DPR/DPRD, seorang calon harus bermodal dana yg sangat? besar. Semua biaya tadi hanya unt sebuah jabatan yg akan kadaluwarsa dlm tempo 5 tahun.

"Penderitaan" mereka belum berhenti sampai disitu. Setelah duduk jadi anggota dewan, mereka masih harus menyetor "iuran wajib" ke partainya masing?. Bisa dibayangkan berapa besar biaya unt jadi anggota dewan.

Paradigma jabatan
Memang blm pernah ada survey berapa persen dari seluruh anggota DPR/DPRD se Indonesia yg menganggap bahwa jabatan mereka adalah pengabdian kepada rakyat. Tapi jumlahnya pasti tidak akan banyak, Bagian terbesar tentu menganggap bahwa jabatan anggota dewan adalah profesi dan pasti berhitung untung rugi secara materi. Kalau sudah begini siapa yg bisa menyalahkan kalau mereka ingin pendapatan yg sangat besar unt mengembalikan modal dan menabung dana buat pencalonan periode mendatang.

Paradigma sosial budaya masyarakat
Tanpa disadari masyarakat juga ikut andil mendorong agar anggota dewan (dan para pejabat yg lain) unt menumpuk kekayaan se-banyak?nya. Pandangan yg beredar di masyarakat kita bahwa yg namanya pejabat itu identik dgn orang kaya. Kalau ada pejabat yg tidak kaya malah jadi sorotan dan terlihat aneh. Tak heran begitu jadi pejabat maka proposal permintaan sumbangan dari berbagai yayasan sudah menumpuk. Dlm salah satu talk-show di TV, seorang anggota DPRD menunjukkan segepok proposal seperti itu. Mereka "terpaksa" memberikan sumbangan dana, bukan krn keikhlasan, tapi lbh sebagai "sogokan lunak" agar periode mendatang mereka tetap terpilih dan unt menjaga "martabat" sebagai pejabat. Demikian pula para pejabat itu punya "kewajiban moral" unt menjunjung tinggi gaya hidup sbg orang kaya. Semua tadi butuh biaya bukan?

Faktor? diatas membuat para pejabat jadi mata duitan. Selama sistem dan paradigmanya masih seperti itu, ya kondisi ini akan terus berulang.

Ini bukan bentuk pembelaan thd para wakil rakyat yg "terhormat" itu. Ini hanya sekedar suatu pandangan berdasar sebab akibat. Lalu PP 37/2006? No Way, man!
 
Back
Top