JINGGA

zoeratmand

New member
ini saya share lagi cerbung yang kedua, tapi mungkin akan lama selesainya,,,:)

monggo disimak,,[<:)

nb : kalo sudah pernah ada judul ini mohon di close ya,,,









Jingga menggabungkan energi warna merah dan keceriaan warna kuning. Jingga
berhubungan dengan kebahagiaan, cahaya matahari dan daerah-daerah tropis. Jingga
mewakili antusiasme, kepuasaan, keceriaan, kreativitas, kegigihan,
ketertarikan, kesuksesan, dukungan dan stimulasi.
Di mata manusia, jingga adalah warna yang “panas”, sehingga memberi sensasi
kehangatan tertentu. Meskipun begitu, warna jingga tidak seagresif warna merah. Jingga
meningkatkan suplai oksigen ke otak, memproduksi efek invigoratif dan menstimulasi
aktivitas mental. Jingga sangat diterima oleh kaum muda. Sebagai salah satu warna
sitrus, jingga dihubungkan dengan makanan sehat dan meningkatkan selera. Jingga
adalah warna musim gugur dan masa panen. Jingga juga merupakan simbol kekuatan dan
ketegaran.
 
Last edited:
1 - Home

Awal Juni 2006
NAMA SAYA LANGGE. EHM, ERLANGGA GANESHA.
Kemarin saya baru saja dinyatakan tamat SMA. Saya dan teman-teman
seangkatan mencorat-coret baju dengan cat aerosol spray. Pfft. Hal yang tidak berguna
sebenarnya. Mereka mencoret pakaian saya hingga putih kemeja tak lagi kelihatan.
Sementara saya hanya mau diwarnai dengan warna jingga. Hanya itu. Warna yang
paling saya sukai.
Bagaimanapun juga, semuanya hanya akan terkristalisasi, menjadi kenangan.
Mau mereka menyablon kemeja SMA dengan foto kami satu angkatan pun, semua tetap
saja cuma akan jadi kenangan. Kenangan... Suatu hal yang tidak dapat saya reguk. Yang
manisnya tidak bisa saya teguk. Cuma bisa dilihat, atau minimal, kita bayangkan. Itupun
kalau kita cukup imajinatif dan bisa membedakan mana yang dulu benar-benar pernah
terjadi, atau hal-hal yang dulu inginnya terjadi. Realitas dan harapan memang tipis
perbedaannya. Saya rasa saya belum cukup dewasa untuk bisa memilih satu di antara
itu. Saya ingin harapan saya menjadi realitas. Sayangnya, realitas yang terjadi tidak
sesuai harapan saya.
Saya memilih mengikuti SPMB2, semata-mata hanya untuk memuaskan mereka.
Mereka, keluarga saya. Mereka, guru-guru saya. Mereka, teman-teman saya. Orangorang
yang percaya bahwa saya akan menjadi seseorang yang sukses suatu hari nanti.
Definisikan sukses. Saya punya deskripsi kata “sukses” yang berbeda dengan deskripsi
yang mereka buat. Tetap saja pada akhirnya, saya mengalah dan memilih fakultas
kedokteran, karena kedokteran adalah fakultas yang paling diinginkan oleh keluarga.
Ah, sebenarnya siapa yang mau kuliah? Saya atau keluarga?
 
Jujur saja, saya sudah lelah dengan semuanya. Semua realitas yang terjadi, atau
harapan orang lain yang harus saya wujudkan, sementara mereka tidak pernah
mewujudkan harapan saya. Padahal, menurut saya, semua orang memiliki mimpi dan
berkewajiban untuk mewujudkan mimpi mereka masing-masing. Semua manusia punya
porsi sendiri-sendiri, yaitu tidak boleh mencuri mimpi orang lain serta lalu
mewujudkannya. Setiap manusia harus membuat rencananya sendiri-sendiri, dong.
Saya punya mimpi dan cita-cita. Sebetulnya, tentu saja saya berhak mewujudkan
itu semua, sesuai dengan mau saya. Namun, latar belakang dan kebaikan orang-orang di
sekitar saya, membuat saya sungkan untuk mewujudkannya. Semua kondisi tidak
mendukung untuk menolak permintaan-permintaan mereka. Meskipun sebenarnya, saya
berhak. Saya berhak menolak keinginan orangtua. Saya sangat berhak. Siapapun “orang
lain” itu, tentu saja tidak berkesempatan mendikte hidup saya. Kepemilikan hidup saya
pada tangan saya tentu saja absolut. Tidak bisa diganggu-gugat, tidak relatif, tidak
akomodatif. Hanya punya saya. Mungkin terdengar egois, tetapi itulah keadaannya.
Saya punya mimpi untuk pergi keliling dunia. Karena, saya lebih mempercayai
suatu ilmu yang kita dapat langsung dari alam dibandingkan dari manusia. Buku pun
ditulis oleh tangan-tangan manusia. Sementara alam? Mereka ditulis oleh tangan-tangan
Tuhan, tangan-tangan yang tidak terhingga jumlahnya dan sudah pasti sempurna. Alam
tidak pernah selicik manusia hingga memiliki keinginan untuk berbohong.
Karya yang mereka berikan sudah tentu murni, tidak minta bayaran, tidak minta pamrih, tidak minta
jabatan, bahkan sedikitpun ucapan terima kasih.
 
Langge melangkah turun dari bis kota di dekat sebuah masjid. Ia membenarkan
posisi tas ransel yang tergantung di bahunya—meski isinya tidak begitu penting. Ponsel
monokromnya Ia simpan di saku celana jins lusuh yang entah kapan terakhir kali Ia cuci.
Di dalam tasnya hanya ada jaket dan kaus ganti yang selalu Ia bawa ke mana-mana, dan
jurnal perjalanannya. Oh iya, sekantong plastik kresek berisi makanan kecil—untuk anakanak
kecil tentunya.

Sepertinya hari ini tidak akan ada hal apapun yang spesial, mengingat baru saja
kemarin Ia dinyatakan tamat SMA dan kemungkinan besar banyak hal yang harus Ia urus
di sekolah. Mungkin belum liburan. Langge sebentar lagi ulangtahun kedelapanbelas, di
mana berarti Ia masih berumur tujuhbelas tahun saat ini. Ia berjalan masuk ke dalam
sebuah panti asuhan yang memang rutin dikunjunginya setiap Hari Selasa sore.

Menyapa pengasuh anak-anak yatim-piatu di sana. Langge menyempatkan diri
menengok dua anak penderita hydrocephalus yang dirawat di bangsal khusus: Ayu dan
Wisnu. Langge hanya memberi sepatah-duapatah kata dan senyum tulus—karena
menurutnya itu sudah cukup mengurangi beban Ayu dan Wisnu. Terus terang, Langge
tidak sanggup berbuat apa-apa kepada mereka. Karena Ia tidak mengerti, harus apa.

Melihat Ayu dan Wisnu setiap minggunya, membuat Langge bisa sangat jauh
lebih menghargai hidupnya, dan keluarganya, yang kerap kali Ia caci-maki di dalam hati.
‘Kenapa orangtua gue konservatif. Kenapa mereka cuma mau gue jadi dokter. Kenapa
mereka cuma melihat nilai Fisika gue (yang untungnya bagus) dibandingkan nilai Seni.
Kenapa mereka nggak pernah mau nonton gue manggung. Kenapa mereka gak pernah
membelikan tiket konser atau pagelaran teater buat gue. Kenapa mereka menentang gue
masuk IKJ. Kenapa mereka gak ngasih santunan supaya gue bisa keliling dunia.’ Dan
kenapa-kenapa-kenapa yang lainnya. Tetapi, setiap Selasa sore (dan kadang-kadang
sampai Selasa sore berikutnya), Langge bersyukur. ‘Paling tidak gue punya keluarga.’

Ia melangkah menuju ruangan tempat para bayi dirawat, di mana mereka
merangkak dan bermain bersama para pengasuh berpakaian seragam berwarna putih.
Kebanyakan dari perawat-perawat itu mengenakan jilbab meskipun masih muda. Langge
menyapa Fabian, bayi yang baru lahir dua bulan yang lalu. Sebenarnya tidak diketahui
secara pasti, tetapi orangtua Fabian meninggalkannya di depan pintu yayasan panti
asuhan tersebut sekitar dua bulan lalu, saat Fabian masih merah.
 
Ia begitu menyukai Fabian. Selain namanya yang terdengar bule, rambutnya juga
agak pirang dibandingkan dengan bayi lainnya. Meskipun setelah dipikir-pikir, agak
mustahil juga pasangan turis membuang bayinya ke panti asuhan ini. Langge masih
menganggap betapa konyolnya orangtua yang membuang anaknya sia-sia seperti itu.
Seperti orangtuanya. Bagaimanapun juga, anak adalah titipan Tuhan yang paling
berharga dan harus dirawat baik-baik. Tidak adakah cara yang lebih manusiawi bagi
sepasang orangtua untuk meminta orang lain merawat anak mereka? Selain Fabian,
Langge juga menyapa bayi-bayi yang lain.

Tidak jarang Langge berpikir, kenapa Fabian yang begitu tampan bisa disiasiakan
oleh kedua orangtuanya dengan cara yang tidak manusiawi. Meletakkannya hanya
berselimut bedong tipis di lantai, di depan pintu panti asuhan. Tidakkah iba ibunya?
Sementara banyak wanita-wanita lain yang begitu mendambakan anak.

Setelah menghabiskan kira-kira limabelas menit dengan menyaksikan tingkah
laku bayi-bayi mungil yang lucu-lucu, Langge melangkah menuju tempat anak-anak
berusia sekitar enam tahun ke bawah bermain game dan menyantap makan sore.
Kehadirannya disambut ceria oleh anak-anak itu. "“Kakak Langge!”" teriak mereka tanpa
henti. Langge tersenyum bahagia melihat tawa mereka yang ceria.

Ia mengeluarkan isi kantong plastik kresek yang dibawanya. Ada cokelat, permen
dan kudapan lainnya yang terlihat begiu lezat. Akilla, Reno dan Oppie terlihat begitu
bersemangat menerima cokelat pemberian Langge—seperti biasanya. Yang lainnya yang
kebagian keripik pun tidak begitu kecewa. Tapi, ada satu anak yang menyita perhatian
Langge karena belum pernah Ia lihat sebelumnya. Ditambah lagi, anak itu usianya
mungkin dua kali lipat dari anak-anak yang lain. Ia berusia sekitar 10 tahun.
 
"“Itu yang di pojok siapa? Sini, ayo, mau cokelat dari Kakak juga nggak? Masih
banyak lho. Sini, ayo. Kenalan dulu sama Kakak Langge…”..." ajak Langge dengan sabar.
Salah satu pengasuh yang bernama Lita pun angkat bicara, membantu Langge untuk
membujuk anak itu yang masih saja berdiri di pojok, menempel ke tembok.

Sepertinya Ia baru saja mandi. Rambutnya diikat tinggi dan berponi, mengenakan
gaun berkerut-kerut di bagian dada dan perut, bermotif kotak-kotak dengan warna biru
dan merah muda. Ia terlihat manis sekali, dengan kulitnya yang putih dan bibirnya yang
mungil.

"“Ga, ayo kamu ke sana. Itu namanya Kakak Langge, dia baik kok, dia suka bawa
makanan. Kamu gak laper, Ga?"” tanya Lita.

"Anak itu menggeleng pelan, takut-takut. Langge tersenyum tipis mendengarnya.
“Nggak apa-apa kok, Mbak Lita. Ini Mbak aja yang pegang cokelatnya, nanti kalau dia
udah mau, Mbak aja yang kasih. Emangnya namanya siapa, Mbak?"” tanya Langge, pelan,
karena Lita berada tidak jauh darinya.

“"Jingga.”"

Kenapa saya menyukai warna jingga? Warna yang relatif tidak lazim disukai
anak laki-laki. Tapi, sejak kecil saya suka warna jingga dan kukuh menyebutnya dengan
kata ‘jingga’. Bukan orange, apalagi oranye. Menurut saya kata ‘jingga’ adalah sebuah
kata yang indah, seindah dan secerah warnanya.


"“HAH?”" Langge terdengar kaget setengah mati mendengar nama anak perempuan
itu disebutkan oleh Lita.

“"Jingga..."…” ulang Lita. Wow, gumam Langge di dalam hatinya. Lucu sekali! Ia
jadi tertarik untuk mengetahui tentang Jingga lebih lanjut.

"“Dia baru ya, Mbak? Gimana ceritanya kok bisa sampai di sini?"” tanya Langge
antusias. Lita pun antusias menceritakan tentang Jingga.
 
Katanya, Jingga datang pada Hari Minggu kemarin ke panti asuhan. Menurut
Jingga, Ia kabur dari ‘rumah’ tempat Ia biasa tidur, dari keluarganya, karena Ia seringkali
dipukuli ayahnya. Ibunya sudah pergi, entah ada di mana. Dulu katanya kerja di luar
negeri, tetapi tidak kunjung pulang. Ayah Jingga adalah preman yang (tentunya) galak,
pemabuk dan tukang ****. Karena Jingga tidak tahan, pada Hari Jumat subuh Jingga lari.
Lari tanpa arah yang jelas, hanya ke mana kakinya melangkah dengan cepat. Tidur di
manapun Ia bisa, sampai Ia berhenti dan menemukan sebuah panti asuhan, di mana Ia
melihat anak-anak kecil bermain dan bernyanyi bersama di halaman. Jingga masuk ke
sana.

Langge mengangguk-angguk mengerti sekaligus kagum mendengarnya.
Bagaimana mungkin, remaja-remaja wanita di Jakarta bisa diperkosa padahal mereka
sudah tahu banyak kriminalitas, sementara anak perempuan berumur 10 tahun yang polos
‘terombang-ambing’ di jalanan selama 2 hari tanpa cacat sedikitpun dan tanpa keluhan?
Sungguh dunia yang aneh.

Ketika hari mulai petang, Langge melangkah menaiki bis kota. Pulang.

Sepanjang perjalanan pulang, Ia tidak lagi memikirkan mengenai anak ‘ajaib’
yang bernama Jingga itu. Sekarang Ia justru mengingat-ingat pacarnya ketika masih
duduk di kelas 1 SMA dulu. Seseorang yang selalu Ia rindukan, yang entah kenapa,
Jingga mengingatkan dirinya akan sosok itu.

Namanya Ebiet. Kutubuku dan cewek paling pintar di angkatannya yang mencuri
hati Langge. Bahkan, boleh dibilang, Ebiet merupakan satu-satunya cewek yang pernah
mengisi hati Langge. Sampai saat ini. Langge tidak pernah tertarik dengan wanita lain,
tidak pernah dekat wanita lain. Bukan saja karena Ia anti-sosial, tetapi Ia juga terlalu
mencintai Ebiet sampai-sampai tidak mampu melupakannya.

Apa yang terjadi sampai-sampai cinta itu harus kandas di tengah jalan? Baru
sekitar 2 bulan berpacaran, Ebiet mendapat beasiswa untuk menempuh bangku SMA di
Singapura dari ASEAN. Sama seperti Langge, Ebiet juga bercita-cita supaya bisa pergi
travelling keliling dunia, mengenal orang dari berbagai kultur. Ebiet akan disekolahkan
di sebuah sekolah international, Singapore Overseas School, sehingga Ia tidak mungkin
menyia-nyiakan kesempatan emas tersebut.

Pada awalnya, semua hal berjalan indah-indah saja, dan tentu saja menyenangkan,
terutama bagi Ebiet. Namun ternyata, Ebiet tidak menganut faham long-distance
relationship. Di winter holidays pertamanya, ketika Ebiet pertama kali pula pulang ke
Indonesia, Ia memutuskan hubungan mereka. Atau lebih tepatnya, menunda, yang entah
sampai kapan. Sejak saat itu, Langge bertekad bahwa Ia ingin menunggu gadis pujaan
hatinya. Selalu. Meskipun sepertinya... hal itu tidak masuk di akal.
 
Tidak sia-sia memang. Meskipun Ia menangis tidak karuan ketika memutuskan
hubungannya dengan Langge, Ia berniat melupakan gita cinta itu dengan cara belajar
terus menerus. Hasilnya, Ebiet mendapat nilai A untuk 6 mata pelajaran di SMA-nya,
Singapore Overseas School, yang terletak di belakang Orchard Road. Nilai tersebut
termasuk untuk 3 mata plajaran wajib, yakni Science, English dan Math. Ini adalah kali
kedua Ebiet pulang ke Indonesia. Di kali pertamanya, adalah saat Ebiet memutuskan
hubungan mereka.

Terus terang, Langge tidak pernah berhenti menyayangi Ebiet. Ia tidak pernah
berusaha mencari orang lain untuk menggantikan gadis itu, tidak pernah sama sekali. Ia
belajar dengan giat tanpa beralasan untuk melupakan Ebiet. Hanya ingin belajar saja,
supaya Ia sedikit terlihat pintar di mata kedua orangtuanya, dan di mata gadis yang Ia
cintai.

"“Kamu kapan ke Singapore lagi?"” ujar Langge. Menghitung-hitung, kira-kira
berapa lama waktu yang Ia butuhkan untuk menikmati indahnya cinta yang bersemi di
antara mereka berdua. Karena Langge tahu, perasaan Ebiet pun sama seperti dirinya.
Perasaan yang terbalas itu hanya terganjar oleh besarnya jarak, sekaligus sempitnya
waktu yang mereka miliki.

"“Masih lama kok...… 2 bulan lagi, sekitar 7 minggu...… Aku masuk lagi Bulan
Agustus, sekarang lagi summer holidays.”" jawab Ebiet.

Bagus, batin Langge di dalam hatinya. Ia merasa punya banyak waktu yang bisa
dihabiskan bersama Ebiet. “"Teman-temanku banyak yang ikut school trip ke Jepang.
Biayanya sebenarnya murah, tapi aku nggak punya cukup uang, karena nggak termasuk
di dana beasiswa yang aku terima. Sebelas juta untuk 8 hari di sana... Lumayan, kan?
Tapi, aku memilih pulang, daripada kesepian di sana. Lagian, aku kangen Jakarta...”"
lanjutnya.

“Aku kangen kamu. Aku selalu kangen kamu, sampai bosen, kangen melulu.”
Lagi-lagi, kalimat yang mengentaskan kerinduan itu hanya terucap di hati Langge, bukan
di bibirnya. Harga dirinya bisa jatuh secara signifikan di mata semua orang apabila Ia
sampai mengutarakan kalimat barusan.

Langge bercerita tentang banyak hal. Saking banyaknya, Ia sampai lupa bahwa
hari ini Ia berencana membeli sepatu olahraga di Lotus. Ia sampai lupa segala hal selain
mengobrol dengan Ebiet sambil menunggu bis kota, yang juga akan mereka tumpangi
berdua.

Langge jadi teringat saat-saat seperti ini. Dulu, di SMA-nya, di halte depan
sekolah. Mengobrol tanpa mempedulikan orang-orang yang wara-wiri, maupun bis kota
yang mondar-mandir. Menghabiskan sesorean berduaan saja, hanya membicarakan topiktopik
yang mereka sukai. Impian-impian mereka. Harapan-harapan mereka berdua.

Ia sadar, mereka berdua hampir selalu berjalan beriringan, meskipun berbeda dari
tampak luarnya. Impian Langge keliling dunia dan impian Ebiet ingin menuntut ilmu di
luar negeri. Minat mereka yang tinggi terhadap karya seni. Langge senang sekali
memotret, sementara Ebiet begitu berbakat dalam melukis. Kasih sayang terhadap satu
sama lain yang seolah-olah tiada batasnya.
 
Langge tertarik untuk mendengar cerita Ebiet lebih lanjut. Katanya, Ia bosan di
Singapura. Teman-temannya di sana hampir tiap Minggu ke Zouk! dan The Cannery –
dua tempat hip di Singapura (clubs, to be exact), yang berpacaran bebas berciuman di
lorong kelas—persis seperti di film-film remaja keluaran Amerika, orang-orang banyak
yang individualistis, sementara Ia tergolong dalam kategori “Asian Nerds” di
sekolahnya. Padahal, penampilan Ebiet sudah banyak jauh berubah dibandingkan ketika
Ia masih di Indonesia. Ebiet telah mengganti kacamata frame tebalnya dengan contact
lens, Ebiet telah mengubah “setelan kebangsaan”-nya dari kaus dan celana jins menjadi
lebih bermacam-macam dan lebih stylish, meskipun tidak juga feminin.

Pria-pria Singapura berasal dari bermacam-macam bangsa. Mayoritas Cina dan
Korea, ada juga yang Kaukasian—entah Amerika Serikat maupun Eropa, India, Jepang,
dan tentunya Indonesia. Di sekolah Ebiet sendiri, bulenya kebanyakan berasal dari
Norwegia. Dan mereka, tidak ada yang seperti Langge.

Hari ini pun berjalan jauh lebih indah lagi, di mata mereka berdua.

***​
 
Langge menatap langit-langit kamarnya yang suram dan gelap, karena dinding
kamarnya berwarna kelabu. Itu merupakan perintah ibunya, Langge sudah meminta agar
kamarnya diwarnai dengan warna jingga, yang tentunya ditolak mentah-mentah oleh
ibunya yang mengenyam program studi desain interior di bangku kuliah. Bukan karena
jingga adalah satu warna yang terlarang atau apa. Ibu manapun akan menganggap anak
laki-lakinya ‘kurang normal’ apabila memiliki kamar berwarna jingga terang.

Di sana, tertempel foto-foto hasil jepretannya, terutama foto Ebiet dan anak-anak
di panti asuhan. Simpel alasan Langge menempelkan foto-foto itu di sana: supaya Ia
dapat memimpikan keceriaan anak-anak, maupun memimpikan memeluk Ebiet dan
menghangatkannya. Ya. Ebiet yang tidak tahan cuaca dingin. Ebiet yang selalu melendot
di bahu Langge.

Kalau bangun tidur pun Langge bisa sesegera mungkin melihat foto Ebiet dan
pasti mengingat Ebiet. Love is when you wake up thinking nothing else but her. Dan
Langge tidak rela jika Ia sampai mengingat hal lain selain Ebiet ketika bangun dari
tidurnya.

"“Ma, tadi dong Langge ketemu Ebiet. Dia lagi pulang,"” ujarnya ceria ketika
ibunya meletakkan keranjang seterikaan di kamar Langge. ‘'Lagi pulang? Jadi pulangnya
Ebiet itu memang gak pernah lama ya...’'


Suaranya cerita, namun kepalanya sakit bukan main. Tetapi, Ia tidak ingin tertidur
dulu. Ia ingin mengingat-ingat dan mengenang seluruh kenangan indahnya bersama
Ebiet, dan kenangan yang baru saja terukir petang tadi. Selama beberapa tahun
belakangan, selama Ebiet "“meninggalkannya”," Langge terlalu sering menggunakan
otaknya dibandingkan perasaan. Sesuai sekali dengan kodrat laki-laki. Sebab itu, hatinya
tidak lagi terasah untuk menyatakan cinta dan kerinduannya pada Ebiet. Ia sudah lupa
bagaimana caranya.

Langge sampai-sampai sering sekali berharap bahwa ada salah satu malaikat di
muka bumi yang ditugaskan oleh Tuhan untuk membuat story-line dari masing-masing
ciptaan-Nya. Kalau nanti Ia mati, Ia ingin sekali melihat story-line atau rekaman
hidupnya untuk ditonton. Khusus bagian-bagian indahnya saja, saat-saat di mana Ia
bersama dengan Ebiet.

Mama menanggapi seadanya. Langge semakin capek hati. Apakah semua anak
adopsi diperlakukan seperti dirinya? Seolah-olah dianaktirikan. Setiap adik-adiknya
mengajak orangtuanya berbicara, mereka selalu menanggapi dengan ramah dan penuh
senyum. Sementara apabila Langge yang angkat suara, mereka hanya menanggapi pelan,
lelah, sampai runyam: “"iya”", “"enggak”", “"oke”."
 
Tidak jarang Langge merasa iri mendengar adik-adiknya yang lahir dari rahim
ibunya bercandatawa dengan ayahnya. Ayahnya selalu keras pada Langge, dan
sebaliknya, lembut pada kedua adiknya. Tapi Langge tidak pernah boleh membantah. Ia
tidak pernah mau membantah. Karena, suami-istri itu adalah kedua orangtua yang telah
memungutnya dan membesarkannya.

Langge tidak tahu ayah dan ibu kandungnya ada di mana. Yang Ia tahu, ayahnya
bernama Gunaryo, bekerja sebagai buruh ketika menaruhnya di depan Rumah Talitemali,
panti asuhan yang rutin Ia kunjungi setiap Selasa sore itu. Itulah mengapa Ia memilih
panti asuhan tersebut sebagai ‘rumah kedua’nya, karena rumahnya yang sebenarnya
memang di sana. Langge memilih berbakti untuk orang-orang yang dulu merawatnya
ketika Ia masih merah.

Salah seorang perawat yang berperan pentinga dalam membesarkannya dulu
bernama Ibu Minah, yang sampai sekarang masih bekerja dan tinggal di Rumah
Talitemali. Namun, belakangan ini Langge belum bertemu dengannya. Kata Lita, Ibu
Minah sedang dinas di luar kota.

16 tahun yang lalu, orangtua angkatnya mengadopsi Langge dari Rumah
Talitemali dan membesarkannya hingga sekarang. Karena itu, Ia paling anti membantah
kedua orangtuanya selama 16 tahun ini. Tetapi sekarang Langge merasa harus mengikuti
kata hatinya dan mewujudkan mimpi-mimpinya, meskipun itu berarti dalam hati Ia
menentang kedua ayah-ibunya.
 
3 – Our Lives​

LANGGE MELANGKAH TURUN DARI BIS KOTA.
Jujur. Saya begitu merindukannya. Merindukan Ia di dalam dekapan saya, yang
hangat untuknya. Merindukan Ia meringkuk di sebelah saya ketika tertidur. Merindukan
Ia. Merindukan Ebiet.

Tapi, hanya merindukannya saja. Saya tidak tahu harus melakukan apa untuk
menghadapinya. Padahal selama ini, saya sering sekali “berlatih”, bagaimana
menghadapi situasi jika tiba-tiba bertabrakan dengan Ebiet di Orchard Road,
bagaimana menghadapi situasi jika bertemu dengannya di reuni SMA, apa yang harus
saya katakan, saya lakukan, gestur tubuh yang bagaimana yang akan menarik hatinya
lagi. Hal-hal bodoh seperti itu.

Lebih bodohnya lagi, semua itu saya pelajari dan praktekkan: tidak di depan
Ebiet. Di depannya, saya hanya mematung seperti orang bodoh dengan canggung dan
kata-kata yang saya ucapkan jauh sekali dari apa yang saya pikirkan di kepala.


Sudah Hari Selasa lagi. Saatnya bagi Langge untuk menjenguk adik-adiknya di
Rumah Talitemali. Langkahnya begitu pasti. Seperti kepastian akan rindunya terhadap
Ebiet. Sepasti keinginannya untuk mengenal adik barunya yang bernama Jingga, warna
kesukaannya, warna tas yang selalu Ia pakai ke mana-mana meskipun sudah lusuh.

Tadinya Langge berniat untuk mengajak Ebiet ke Rumah Talitemali, tetapi Ebiet
harus menemani ibunya ke suatu tempat, Langge lupa. Seperti semua orang tahu, lakilaki
memang jarang mengingat hal-hal detil seperti tanggal ulangtahun dan tempat-tempat
penting. Tentang orang yang paling Ia sayangi sekalipun.

Seperti biasa, rute langkah kaki Langge menuju masih sama seperti yang kemarinkemarin.
Dari bangsal khusus penderita hydrocephalus dan cacat lainnya, lalu ke kamar
di mana bayi-bayi bercanda (yang hari ini mereka tertidur pulas, karena sedang jam tidur
siang), lalu baru ke tempat balita-balita bermain game.

"“Adik-adik... Kakak Langge datang tuh!"” ucap Lita yang selalu menyambut
kedatangan Langge dengan senyum tulusnya. Lita telah hampir sepuluh tahun bekerja di
sana, namun masih tergolong muda.

Satu orang mencuri pandangan Langge. Ia segera melangkah ke arah orang itu.
Derap langkahnya begitu pasti. Tidak, ini bukan Jingga. Belum.
“
"Ibu Minah!”" sapa Langge ceria, menyapa seorang ibu yang sudah agak tua tetapi
masih terlihat bugar, auranya menutupi keriput-keriput di wajahnya dan warna kulit yang
sudah memudar. “"Ibu apa kabar?"” tambah Langge.

“"Kabar Ibu baik, Langge. Kamu sendiri gimana?"” tanya Ibu Minah. Ibu Minahlah
yang ketika Langge bayi sampai diadopsi merawatnya di Rumah Talitemali. Oleh
karena itu, Langge merasa sangat berhutang budi terhadapnya.

“"Baik-baik juga, Bu. Kemarin-kemarin kok Ibu gak ada?”"

“"Ibu ditempatkan sebentar di cabang Talitemali yang di Jogja, untuk melatih
perawat-perawat baru. Sekitar satu bulan. Gimana, hasil ujiannya? Sudah pengumuman?
Waktu lihat anak-anak Jogja lulus-lulusan, Ibu langsung teringat kamu,"” ujar Ibu Minah,
mengingat Langge adalah satu dari sedikit anak-anak yang dulu tinggal di Rumah
Talitemali yang masih mengunjungi tempat mereka dibesarkan tersebut. Ada yang sudah
jadi selebriti, ada yang hanya lupa akan masa kecilnya, atau ada yang meminta mereka
untuk melupakannya.
 
“"Alhamdulillah, lulus, Ibu. Kemarin juga Langge bertemu sama pacar Langge
waktu SMA, yang di Singapur itu lho, Ibu. Kapan-kapan Langge ajak ke sini deh, Bu,
Langge kenalkan,"” janjinya.

Setelah berbincang-bincang sejenak dengan Ibu Minah, Langge dipanggil oleh
anak-anak yang sudah tidak sabar menerima cokelat dan kudapan yang biasa Ia berikan.
Hari ini Langge tidak membawa cokelat, tetapi Ia malah membelikan jajanan pasar
seperti kue lapis pepe, lemper, risoles, kue cubit dan kue ape.

"“Kakak Langge, mana cokelatnya?"” tanya Oppie yang memang tergila-gila akan
cokelat.

“"Ah, aku sih gak apa-apa makan apa saja, asal dari Kakak Langge, aku mau
makan,"” timpal Akilla, yang membuahkan kalimat protes dari Reno.

“"Huh, kamu, Kill. Mentang-mentang Kakak Langge ganteng. Tapi kan udah tua,
sama aku aja deh kamu mendingan!"” Kalimat Reno tersebut memancing tawa belasan
anak yang ada di sana. Sementara di satu sudut, ada seorang anak yang sedang
memainkan permainan Solitaire dengan kartu remi. Jingga. Entah dari mana Ia
mempelajarinya.

"“Aku hari ini gak bawa cokelaaat...”" kata Langge, jujur.

"“YAAAAAAHHHHH...”" Hampir semua anak mengucapkan kata tersebut.

“"Tapi aku bawa ini!”" Langge berkata dengan ceria sambil mengeluarkan
bungkusan jajanan pasar tersebut. Kata ‘yah’ tadi berubah menjadi

“"HOORREEEE!!" kata mereka dengan kompaknya. Masing-masing anak mulai
memilah-milih makanan yang mau mereka santap.

Langge tersenyum senang. Ia ingin adik-adiknya menyukai jajanan pasar, seperti
dirinya. Jajanan tradisional yang biasa dijual secara grosir di Pasar Subuh Senen, dari kue
lapis pepe, combro-misro, kue mangkok (Langge senang bisa mendapatkan kue dengan
kelapanya, karena sekarang sudah jarang), klepon, dan kudapan lainnya. Menurutnya,
jajanan tradisional Indonesia memang tiada duanya. Indonesia juga tidak ada duanya. Ia
heran mengapa bisa-bisanya masyarakat Indonesia membakar hutan dan menoreh nama
Indonesia di Guinness World Book of Records edisi tahun 2008 pada kategori ‘negara
penghancur hutan tercepat’. Mungkinkah mental kita masih terjajah?

Langge teringat lagi akan Ebiet. Sejak Ia mengenal Ebiet, gadis itu selalu
menyukai jajanan pasar yang murah meriah. Ebiet jauh lebih menyukai lapis pepe
dibandingkan dengan cheesecake, dan lebih menyukai es podeng daripada gelato. Ebiet
lebih senang nonton kartun Si Unyil daripada anime yang diputar di televisi. Karena pola
pikirnya seringkali terpusat pada fakta bawa Jepang telah menjajah bangsa kita dengan
semena-mena, karena itu Ia tidak mungkin membalas dengan menyukai hal-hal mengenai
negara tersebut sedikitpun. Langge tidak tahu apakah prinsip Ebiet sekarang sudah
berubah atau belum, mengingat di Singapura juga ada segelintir orang Jepang yang
bermukim.

Pandangannya lagi-lagi tercuri pada sosok satu anak yang dari tadi menyendiri.
Atau berdua, bersama kartu-kartu yang tergeletak dengan susunannya yang rapi di
depannya (ataukah semestinya kusebut, mereka ada berlimapuluhtiga?). Langge
meninggalkan anak-anak dengan plastik-plastik berisi kue, sementara Ia melangkahkan
kakinya menuju Jingga.
 
“"Jingga?”" panggilnya pelan, takut-takut Jingga justru malah takut akan dirinya.

Jingga mendongak, karena Ia sedang berduduk sila seperti sedang bertapa di
lantai sementara Langge yang jauh lebih tinggi darinya berdiri membungkuk, memegangi
lututnya layaknya posisi shalat yang disebut rukuk.

"“Kamu lagi main apa?"” tanyanya, mencoba ramah dan sabar menghadapi anak
itu.

Jingga menunjuk ke arah sebuah kartu.

“"Ooh, kartu. Solitaire kan? Kenapa gak main sama yang lain?"” tanya Langge lagi.

Jingga menggeleng tanpa menatapnya. Ia terus memainkan kartu-kartu remi itu.
“"Kamu kan bisa ajarin mereka. Main apa ya? 41 mungkin, atau cangkul?
Gampang kan?”"

Jingga hanya mengangguk. Tetapi Langge tidak mau menyerah. Ia memilih untuk
duduk di dekat Jingga dan melihat gadis kecil itu bermain kartu. Entah mengapa, Langge
merasa ada suatu hal yang familiar dari Jingga, suatu perasaan di mana kau merasakan
perasaan orang lain. Seperti ada hubungan batin yang aneh, tapi entah apa.

Ia menawarkan lagi kepada Jingga, apa kue yang diinginkan oleh anak itu. Tetapi
Jingga hanya menggeleng dan menggeleng, lalu memainkan kartu tanpa henti. Ia tidak
pernah gagal menyelesaikan setiap permainan.

Ketika jam dinding berdentang empat kali, Jingga merapikan kartu-kartunya dan
beranjak melakukan hal lain. Pada saat yang tidak jauh berbeda, Langge menerima SMS.
Langge mau temenin Ebiet makan es krim ga? Ragusa. Makasih Langge.

Beberapa saat kemudian, Langge membalas SMS Ebiet. Mengiyakan ajakan gadis
itu.
 
Ragusa, 17:10

Akhirnya, sampai juga di kedai es krim Italia Ragusa.
Es krim Ragusa memiliki rasa yang khas, karena campuran susunya lebih banyak
dibandingkan es krim lainnya yang lebih banyak menggunakan krim pada bahanbahannya.
Itulah sebabnya, mengapa Ebiet sangat, sangat ingin menyantap es krim ini
selagi berada di Jakarta. Mereka berdua tadi bahkan tidak tahu mau naik apa ke Jalan
Veteran, di mana kedai es krim itu berada.

Alhasil, setelah bertemu Ebiet, Langge mengajak gadis itu naik bis kota dan turun
di Terminal Blok M. Dari sana, mereka berdua naik TransJakarta dan pindah koridor di
Halte Harmoni. Malangnya, karena kesoktahuan Langge, mereka berdua salah naik bus.
Bukannya bus yang biru, mereka malah naik bus yang berwarna abu-abu. Langge sudah
sedikit lega ketika itu, karena saat Ia bertanya pada staf TransJakarta, katanya bus abuabu
itu juga turun di Gambir. Ternyata, halte Gambir yang dimaksud jauh sekali dari
Jalan Veteran. Jadi, mereka berdua memilih tidak turun di sana.

Namun, bus berjalan jauh sekali, dan tidak menemukan pemberhentian
berikutnya. Karena takut nyasar, Langge pun memutuskan untuk turun di halte
berikutnya agar tidak begitu jauh dari Masjid Istiqlal, yang menjadi patokannya untuk
mencapai kedai tersebut. Mereka pun berhenti di Halte Kwitang, yang ternyata
merupakan sebuah halte yang hanya berfungsi untuk menurunkan penumpang dari arah
Gambir, bukan dari arah Senen, jadi mereka berdua tidak bisa naik bus lagi kecuali ke
arah Senen.

Langge dan Ebiet pun berduaan naik bajaj ke Jalan Veteran. Mungkin bagi
beberapa orang, itu merupakan hal yang romantis, tapi tidak bagi mereka berdua!
Bagaimana bisa romantis? Di sepanjang perjalanan, Ebiet selalu diperhatikan dari ujung
kepala sampai ujung kaki oleh cowok-cowok, abang-abang, mas-mas yang ada di
sekitarnya, sampai-sampai gadis itu urung melepas genggamannya dari tangan Langge.
Saat itu, Langge berubah menjadi super protektif terhadap perempuan yang kadangkadang
Ia anggap kekasihnya itu – secara sepihak.

Syukurlah, mereka berdua kini telah sampai dengan selamat di kedai es krim ini.
Suasananya begitu intim, klasik, penuh cinta. Langge menyukai semuanya. Hawanya,
udaranya, cuacanya, atmosfirnya, dan terlebih lagi... orang yang ada dengannya untuk
menikmati momen yang tiada duanya ini.
 
“"Tadi romantis ya, Ngge? Baru pertama kalinya lho Ebiet berduaan naik bajaj
sama cowok,”" kata Ebiet, out of the blue. Langge begitu ingin menyambit cewek di
hadapannya itu dengan kamera yang langsung Ia utak-atik sesampainya di Ragusa dan
mendapatkan tempat duduk.

"“Romantis, romantis. Romantis tuh ya, Biet, kamu nemenin aku ke Camp Nou di
Barcelona untuk nengokin Ronaldinho sama Eto’o. Duduk-duduk di pantai juga romantis.
Mana ada yang namanya naik bajaj itu romantis?!"” Dasar cewek, batinnya kemudian.

"“Idih, lucu tau,”" Ebiet lalu melahap spaghetti ice cream yang Ia pesan. “"Rasanya
nggak pernah berubah ya?”"

Spaghetti ice cream adalah salah satu penganan spesial yang disajikan kedai es
krim Italia itu, yaitu es krim vanila yang disajikan dalam bentuk pasta spaghetti dengan
saus cokelat, kacang, dan potongan buah sukade. Ebiet begitu menyukainya, meskipun
harganya relatif mahal.

“"Ebiet juga gak berubah. Emangnya di Singapura gak ada es krim?"” tanya Langge
ingin tahu. Ia sedang memotret-motret Ebiet dengan semangat di dalam hati, kendati
pembawaannya tetap tenang.

Mereka berdua sama-sama menyukai atmosfir sore itu. Angin yang semilir
melambai dan menyejukkan suasana, pengamen yang ada sekitar semeter dari mereka
berdua sedang menyanyikan lagu “"How Deep Is Your Love?"” versinya sendiri, tukang
otak-otak yang bercanda dengan tukang rujak juhi di depan kedai, seorang kakek yang
meracik es krim di balik konter, bunyi jepretan kamera Langge yang kerap kali merekam
memori mereka berdua, kursi-kursi rotan yang agak reyot, interior kedai—serasa di
jaman tempo dulu...

"“Ah, Langge... Kan gak ada yang pemandangannya ke tukang otak-otak, gak ada
yang disajikan sebelah rujak, gak ada restoran yang ada Langge motret-motret begini...”"
Ebiet berujar. "“Aaaaaaa’...”."

Ia menyuap sesendok es krim ke mulut Langge sambil menyuruh cowok itu
membuka mulutnya.

“"Sini, aku suap sendiri,"” pinta Langge. Memangnya dia masih TK apa sampai sampai
mau disuapi seperti itu?

"“Udah deh! Terima aja kenapa sih? Bawel!"” Ebiet setengah membentak.
Akhirnya, Langge menerima suapan itu dengan pasrah. Siapa sih yang bisa menolak
kenikmatan es krim? Dingin dan manis, kombinasi yang sempurna. Seperti Ebiet, yang
dingin, tapi tidak pernah tidak manis di mata Langge.
 
“"Eh, Teater Tanah Air menang lagi lho, Biet,"” cerita Langge, tanpa berhenti
memotret Ebiet sekali-sekali. Ia tahu, Ebiet begitu menyukai topik yang ada
hubungannya dengan seni, tidak berbeda dengan dirinya. Apalagi Ebiet begitu cerdas dan
berwawasan luas, hal itu didukung pula dengan sekolah Ebiet di Singapura yang
sepertinya begitu mendukung hasratnya.

"“Oh ya? Judulnya apa, Ngge?" Ebiet lupa.”
“"Bumi di Tangan Anak-anak. 19 medali emas, termasuk Best Performance, Best
Director di World Festival, di Lingen, Jerman. Keren ya? Dengar-dengar sih tahun depan
mereka mau road show keliling dunia...”" kata Langge.

“"Wow. Eh, di sekolahku ya, sering banget diadain konser, Ngge. Yang paling
besar sih United Nations Night, karena siswa SOS mayoritas ‘'pendatang'’ dari berbeda-beda
negara. Di waktu-waktu tertentu juga ada konser yang lebih kecil, misalnya
christmas atau spring concert. Ada juga Global Picnic, acara semacam United Nations
Night, tapi lebih mirip dengan bazar. Stand dari Indonesia juga ada, kita bikin makanan
khas Indonesia dan ngasih suvenir ke pengunjung. Yang paling seru sih waktu itu teman
Ebiet yang hometown-nya di Jawa Barat, bawain pensil yang di atasnya ada wayang
golek mini... Lucu banget deh. Tadinya Ebiet mau ngasih ke Langge, tapi ketinggalan di
sana...”" cerita Ebiet dengan antusias, Langge pun ikut antusias mendengarnya.

Langge ingin sekali hidup seperti itu, seperti di sekolah Ebiet, dikelilingi orang
dengan berbagai macam karakteristik dan dari berbagai bangsa. Berbeda warna kulit,
berbeda bahasa, aksen dan dialek, berbeda sudut pandang. Pasti Ia bisa menjadi lebih
‘kaya’ akan pengetahuan dan wawasan, apalagi Langge merasa mampu
mengabadikannya menjadi sangat indah ke dalam kameranya.

“"Asik amat..."” Hanya itu yang dapat Langge utarakan.

“"Tapi capek banget deh, belakangan ini ada banyak banget PR, terutama dari
pelajaran Art. Kan Ebiet ngambil itu, apalagi Ebiet pengen banget kuliah di NAFA, jadi
mesti ngambil Art. Enak sih, tapi capek juga. Pernah waktu itu yang namanya art exam,
dua hari berturut-turut, mesti bikin prep work, tapi tugas itu barengan sama pas aku harus
bikin science lab report! Hhhhh, Thank God udah lewat, hehehe... Untungnya kalo lupalupa
tugasnya apa aja, bisa akses school web. Bisa langsung e-mail gurunya pula, nanya
PR,"” kata Ebiet lagi.

"“Indonesia lagi niru tuh, Biet. Sepupuku yang sekolah di SMA negeri aja
sekarang rapornya cuma berupa kertas, murni hasil print dari internet.”"

Obrolan itu berlangsung sepanjang satu sore di Bulan Juni.
 
4 – Everything Comes In Three​

SAYA DAN EBIET?
Saya bertemu dengannya sekitar tiga tahun yang lalu, di awal-awal SMA. Sejak
menjadi anak berseragam putih-abu, kami memang sering bertemu tatap. Tetapi, saya
tidak pernah memperhatikannya, apalagi diperhatikan olehnya.

Ebiet adalah anak yang rajin dan pintar, bahkan sampai sekarang. Ia adalah
seorang jenius yang berparas cantik, mungkin seperti Natalie Hershlag (well, nama
bekennya Natalie Portman, tapi saya lebih suka nama aslinya), yang merupakan lulusan
Harvard University dan menguasai 7 bahasa.

Ebiet hampir selalu membawa buku tebal ke mana-mana. Kadang novel, antalogi
puisi, tapi seringnya sih, buku pelajaran. Tidak jarang Ia membaca “Buku Pintar” dan
ensiklopedia yang Ia pinjam dari perpustakaan (saya mengetahuinya karena di buku
tersebut ada label huruf R-nya), menggunakan kedua bola mata yang terbingkai indah
oleh kacamata ber-frame tebalnya.

Saya tidak pernah berani mendekatinya. Saat itu, saya hanyalah seorang
berandal angkatan, yang kerjaannya hanya nongkrong setiap pulang sekolah dan datang
pagi-pagi sekali untuk mencontek PR. Kebetulan, IQ saya 166. Itu cukup menolong,
mengangkat derajat dan martabat saya di mata Papa—yang selalu menganggap saya
adalah orang yang begitu bodoh tapi sok pintar, bukan orang pintar yang sok bodoh
seperti dirinya.

Saat itu Bulan Februari 2004. Kata orang, Bulan Februari adalah bulan cinta,

maybe it’s regarding to the Saint Valentine’s Day which happens in February. Awalnya
saya tidak berpikir demikian, tetapi setelah menjalani beberapa kejadian bersamanya,
dan jatuh cinta, saya ikut-ikutan merasa bahwa Februari adalah bulan cinta
(for you to
be noted, I don’t think a day named Saint Valentine’s Day exists, anyway.

Latihan sepakbola selalu usai ketika langit sudah mulai berwarna kejinggaan.
Ketika hal itu tiba, saya menaruh pantat di pinggir lapangan sambil menenggak botol air
mineral 1,5 liter yang akan segera saya habiskan. Rutin diadakannya pada Hari Selasa
dan Kamis, karena di Hari Rabu dan Jumat, lapangan dipakai oleh tim basket andalan
sekolah kami. Saya suka main basket sebenarnya, tetapi tidak bergabung di ekskul.

Menurut saya – seperti sebagian besar kaum laki-laki, sepakbola boleh dibilang
merupakan “segalanya”. Di tim, saya suka pindah-pindah posisi, tetapi paling sering
memegang posisi bek, kadang-kadang malah pemain tengah. Saya senang memegang
posisi itu karena dengan menjadi bek, kita tidak akan dipersalahkan jika tim kita kalah,
tetapi dipuji jika berhasil menghalau lawan.

Saya meluruskan kaki yang pegal, dan menyandarkan tubuh di pilar yang
menyangga koridor. Ketika itulah saya mendengar suara Fari, teman main saya di SMA,
memanggil saya dari kejauhan. Ia bertanya, kapan saya akan pulang. Fari adalah anak
yang cuek dari potongan luarnya, tetapi Ia sangat perhatian jika kita telah mengenalnya
dengan baik. Matahari sudah berada menuju terbenam, langit pun menjadi semakin
jingga...
 
“"Entaaar... Lo balik aja duluan, rumah gue kan tinggal nggelinding dikit juga
nyampe!"” teriak saya pada Fari. Saya memerosotkan sandaran yang sebelumnya pada
pilar, menjadi pada tas berisi pakaian seragam dan buku-buku pelajaran saya. Seragam
abu-abu dan putih itu bentuknya sudah tidak karuan, kusut. Kemungkinan besar karena
saya meletakkannya dengan asal-asalan. Saya tidak pernah mau terlambat latihan
sepakbola hanya karena harus merapikan pakaian!

Saya begitu menyukai warna jingga. Bagi saya, warna jingga bisa mencerminkan
banyak hal. Kegembiraan dan keceriaan saya; perpaduan sang dwiwarna—karena saya
juga nasionalis seperti Ebiet; warna yang mencerminkan transformasi antara siang dan
petang, dan ketika langit berwarna jingga petang itu, saya memejamkan mata— sejenak.
 
November 2003

“"Far, itu siapa sih? Yang pakai kacamata tebal warna toska?"” tanya Langge suatu
siang. Ia sedang asyik melahap kwetiau gorengnya yang tinggal sedikit ketika seorang
perempuan berkacamata melewatinya dan Fari. Gadis itu memakai sweater berwarna biru
elektrik yang sangat kegedean dan sedang membaca kertas-kertas di tangannya dengan
serius. Sesekali Ia menyeruput minumannya, sepertinya lemon squash.

Beautiful geek.

Langge terpesona bukan main, karena gadis itu tampak lucu sekali dengan balutan
sweater tersebut, mengingat postur tubuhnya ultramungil. Seperti anak kecil yang
memakai kemeja ayahnya, yang kegedean, seperti Sherina di sampul album "“Andai Aku
Besar Nanti"”-nya.

“"Ooh, itu Ebiet. Temen SMP gue. Cantik yak? Pinter banget anaknya... NEM-nya
kan paling tinggi waktu masuk sini. Geek lucu gitu,"” terang Fari yang siang itu memilih
nasi uduk dan ayam goreng sebagai menu makan siang.

“"Good. Gue paling rendah, gelombang dua pula. Keren.”" Langge melanjutkan
santapannya. Ia berhenti memperhatikan Ebiet, yang sudah menghilang dari
pandangannya.

Keesokan harinya, Langge sedang berada di pinggir lapangan basket sehabis
bermain bola di jam istirahat ketika Ebiet lewat di belakangnya, menuju ke ruang guru
yang letaknya tidak begitu jauh dari sana.

Langge segera beranjak berdiri dan mengejarnya secepat mungkin, kendati
kakinya masih pegal bekas bermain bola sebagai striker. Langge senang sekali bergontaganti
posisi sebagai seorang laki-laki. Terkadang Ia menjadi striker, bek, kiper di tim bola
sekolah. Satu-satunya hal yang tidak pernah berubah hanyalah, Langge tetap menjadi
seorang jenius yang cuek, jenius dari akar-akarnya yang merupakan anugerah dari Tuhan,
namun sayangnya tidak pernah Ia manfaatkan.

Derap langkahnya semakin cepat, seiring semakin dekat pula dirinya dengan
Ebiet, yang Ia targetkan hari ini dapat Ia ajak berkenalan. Paling tidak, Langge harus bisa
mendapatkan nomor ponsel Ebiet. Langge bukan geek yang susah mendapatkan cewek.
Justru sebaliknya, Ia termasuk di dua kasta teratas di angkatannya pada saat ini,
mengingat statusnya sebagai anak kesayangan pelatih tim bola SMA-nya. Sayangnya,
Langge lebih tertarik untuk menjadi orang yang anti-sosial. Sedikit teman. Cuek.
Langge pun berlari melewati Ebiet kemudian berhenti di depan gadis itu,
menghalangi jalannya.

"“Halo! Ebiet ya? Kenalan yuk!"” sapa Langge ceria. Senyumnya ramah sekali,
berbeda dari biasanya. Hal ini disebabkan karena Ia sangat, sangat ingin berkenalan
dengan gadis yang berada di hadapannya ini.

Raut wajah Ebiet yang tadi begitu datar tetap saja tidak berubah, masih datar dan
kosong. Raut wajah khas wanita independen yang seolah-olah menyerukan, "“Lo tau
nggak, gue gak butuh cowok buat hidup!!!"”
 
Back
Top