JINGGA

Hari ini, Ia memakai motor trail-nya. Langge selalu lebih senang naik motor
daripada naik mobil. Alasannya simpel: Jakarta itu macet. Dulu, ketika baru duduk di
Kelas XI dan berulangtahun yang ketujuhbelas, Papa membelikannya sebuah motor
bermerek Honda yang sudah uzur tetapi masih bisa dipakai. Papa memang seperti itu,
meski beliau memiliki cukup uang, tetapi beliau tidak pernah mau membiarkan Langge
bermanja-manja dan melupakan susahnya berusaha untuk mendapatkan sesuatu.

Alhasil, Ia meminta tolong Dera, salah seorang teman sekompleknya, untuk
memodifikasi motor tua tersebut. Stangnya ditinggikan, jok serta spakbornya pun diganti.
Khusus untuk spakbornya, Langge mati-matian memohon pada Dera untuk mencarikan
spakbor plastik yang berwarna Jingga untuk dipasang di motor yang sekarang menjadi
kendaraan kesayangannya itu. Jadilah motor Langge sebagai motor yang one of a kind,
tidak hanya di sekolah, tetapi di mana pun! Kendati begitu, Ia tetap memilih untuk
membawa mobil di saat-saat tertentu. Mau pergi dengan Ebiet, misalnya. Ebiet kan tidak
tahan terhadap udara dingin.

Langge memarkir motornya di dekat pintu masuk Rumah Talitemali. Ia
menitipkannya kepada satpam tidak resmi yang dimiliki panti, yang berjaga di dekat situ
dan sudah dikenalnya dengan sangat baik. Ia melangkah lelah, menuju ke dalam panti.
Kali ini, Ia tidak mengajak gadis yang belakangan ini menemani hari-harinya.

Langge harus terbiasa ditinggalkan Ebiet (lagi). Semalam, ketika Ia menatap langit-langit
kamarnya yang dipenuhi oleh foto jepretannya, Ia teringat pada anak kecil yang namanya
sama dengan nama warna kesukaannya. Anak kecil yang suka menyendiri sambil
bermain kartu di salah satu ruangan di Rumah Talitemali.

Sesampainya di dalam panti, seperti biasa Ia menyapa para perawat di sana,
mengunjungi bayi-bayi dan anak-anak luar biasa seperti Ayu dan Wisnu. Terakhir, Ia
baru mengunjungi ruangan di mana para balita bermain bersama sambil menyantap
kudapan sore. Hari ini Langge tidak membawa oleh-oleh apapun. Ia menyapa Lita.

"“Sore Mbak Lita, tolong panggilkan Jingga dong,"” pintanya. Ia menanti anak
yang ingin Ia temui. Anak itu baru saja selesai mandi dan memakai baju rupanya, Ia
memakai gaun yang sama seperti di saat Langge pertama kali melihatnya.

"“Hai, Jingga,"” sapa Langge, berusaha terlihat ceria di mata anak itu, karena
ekspresi Jingga masih saja datar, tidak seperti anak-anak lainnya yang bebas tertawa dan
bermain bersama. Jingga selalu memilih untuk sendiri. "“Kakak Langge ada tugas nih,
tugas sekolah, harus wawancara. Kakak Langge mau tanya-tanya ke Jingga, boleh ya?”"
pintanya, berbohong. Di matanya, Jingga begitu misterius, dan Langge sangat berharap
bisa menguak misteri tersebut.

"“Tapi gak bawa catatan,”" komentarnya singkat. Pada awalnya, Langge mengira
bahwa maksud anak itu adalah Ia tidak memiliki buku tulis, Langge baru saja akan
mengatakan '‘tidak apa-apa, tidak perlu'’ ketika Ia menyadari bahwa maksud anak ini
adalah mengapa Langge tidak membawa catatan atau alat perekam jika Ia memang ingin
mewawancara Jingga untuk tugas.

"“Iya, ngobrol-ngobrol secara umum dulu ya… Jingga gimana ceritanya bisa
sampai di panti ini?"” tanya Langge kemudian.
“
"Tanya Mbalit."”

"“Kenapa sih kamu lari dari rumah?”" Langge bertanya, straight to the point, karena
sepertinya Jingga harus dihadapi dengan cara yang seperti itu.

"“Jingga benci Papar yang suka mabok dan ****. Jingga benci dipukul Papar.
Jingga mau cari kakaknya Jingga yang Papar buang."” Jingga mengatakannya seolah-olah
tanpa beban apapun, datar saja, seperti kalimat-kalimat yang lain, yang sering Ia ucapkan
meskipun sedikit.

Papar? Langge memilih untuk tidak bertanya, siapa itu Papar. Ia berasumsi
bahwa Papar adalah kata lain dari ‘ayah’, atau ‘Papa’, panggilan yang Jingga buat sendiri
untuk ayahnya. Mungkin maksudnya adalah ‘Jingga’.

"“Kakaknya Jingga dibuang Papar? Kok Jingga bisa tahu?”"

"“Bubung yang cerita."” Lagi-lagi, Ia punya panggilan khusus untuk ibundanya.

"“Waktu umur dua tahun, Kakak dibuang Papar. Gak tahu ke mana. Bubung cuma cerita
segitu. Jingga mau cari Kakak.”"

"“Cari Kakak ke mana?"” Langge berujar. Ia mengayunkan ayunan yang sedang Ia
duduki itu. Pelan.
“
"Entah."”
 
Last edited:
8 – Are We Celebrating Something?

HARI INI, MASIH SAMA SEPERTI HARI-HARI YANG SEBELUMNYA BAGI LANGGE.
Kecuali bagian di mana Ia tidak dapat menemukan charger ponselnya, sehingga
Langge tentu saja kesulitan menghubungi Ebiet, atau mungkin saja Ebiet ingin
menghubunginya. Rumahnya kosong. Sekarang sepertinya sudah mencapai tanggal
belasan di Bulan Juli, Langge lupa hari ini tanggal berapa. Ia selalu melupakan tanggal - tanggal.
Nampaknya adik-adiknya sudah kembali sekolah, Papa pergi bekerja seperti
biasanya sementara Mama bakal seharian di bintaro, di rumah Oma. Ebiet?

Beberapa detik kemudian, Langge mengumpat kesal. Ia sangat membenci
keputusan sang ayah untuk memutus sambungan keluar di telepon rumahnya. Karena
seluruh anggotanya sudah memiliki ponsel masing-masing, hal itu pun dianggap tidak
perlu. Lalu, Ia mengumpat lagi, mengapa telepon umum di Indonesia tidak bisa
digunakan untuk menghubungi ponsel? Di sekitar rumahnya pun tidak terdapat wartel.

Ia menyalakan PlayStation 2 di ruang TV untuk bermain Winning Eleven, sekedar
mengusir kebosanannya saja. Tepat ketika Ia baru saja memilih Barcelona FC sebagai
timnya, ada seseorang yang membunyikan bel. Langge hanya melengos, bukannya
mengumpat lagi. Ia melangkah menuju garasi dan menemukan Ebiet sedang berdiri
di depan pagar rumahnya sambil membawa sebuah bungkusan. Langge terkejut
sekali melihat gadis yang Ia rindukan ada tepat di depan gerbang rumahnya. Out of the blue.

"“Hey!”" Senyumnya mengembang, melihat balasan Ebiet yang tersenyum manis di
balik barisan besi itu. “Pas banget, rumah gue lagi kosong. Jadi gak bakal diinterogasi
Papa deh.” Langge tersenyum lagi sembari membukakan gembok pintu rumahnya.

Setelah mempersilahkan Ebiet ke ruang tamu, barulah Langge menanyakan apa
yang Ebiet bawa. Ebiet meletakkan kotak itu di meja dan menyuruh Langge
membukanya. "“Lho, ini buatku?"” tanya Langge bingung.

Ebiet mengangguk, Langge pun membuka kotak itu dan terkesima melihat isinya.

"“Whoa.”" Hanya kata itu yang terucap dari mulutnya.
Kamera Holga produksi LOMO, yang Langge idam-idamkan selama ini.
Mengapa Si Holga ini begitu spesial? Lensa 60mm-nya terbuat dari plastik, memiliki
flashlight yang berbagai macam: clear, merah, kuning dan biru. Selain itu, jika memotret
di hari yang cerah dan di alam terbuka, kadang-kadang menghasilkan vinyet di pinggiran
foto yang diambil. Selama ini, Ia hanya bisa memandangi kamera itu di internet dan
memasukkannya ke dalam Wish List-nya di situs Amazon.com.

"“Happy birthday, Ngge.."…” bisik Ebiet di telinga laki-laki yang duduk di
sebelahnya itu. Langge menengok tak percaya. Ya, Langge mungkin kelewat pelupa, Ia
bahkan melupakan hari ulangtahunnya sendiri.

"“Makasih. Pfh... Sampai speechless aku."” Langge tersenyum ke arah Ebiet. Ia
sebenarnya ingin sekali mencium pipi Ebiet, berpura-pura sebagai ucapan terima kasih,
sekaligus melepas kangennya yang teramat sangat. "“Aku aja lupa!”"

"“Wajar. Cowok kan gak bisa nginget hal-hal detil, termasuk tanggal-tanggal,
apalagi kamu…” ledek Ebiet seraya tersenyum."

"“Yee, mending pelupa daripada penakut,"” kata Langge, singkat. Ebiet hanya
menepuk pundak yang bersangkutan tanda marah. Yang dipukul mengacuhkannya.
 
Langge segera bersemangat menggunakan kamera barunya untuk memotret Ebiet.
Apalagi, di dalam kotak tersebut sudah terdapat baterai dan bahkan film khusus untuk
dipakai memotret menggunakan kamera tersebut.

Ketika Ia sedang sibuk menunduk, memperhatikan kameranya, Ebiet mencium
keningnya. Sedetik. Yang Langge harap, bisa berubah menjadi… selamanya.
Langge hampir saja melongo saat hal itu terjadi. Bagaimana tidak? Ia bahkan
hampir tidak pernah mengecup kening Ebiet, baik selama mereka resmi berpacaran,
maupun belakangan ini. Ia juga tidak tahu dalam rangka apa Ebiet melakukannya.

“"Thank you for being someone who’s always there for me,”" kata Ebiet, seolah - olah
menjawab pertanyaan yang berkecamuk di kepala Langge.

"“Heeey... I should have been the one who did that!"” jawab Langge. Mereka
berdua tertawa bersama di ruang tamu Langge sore itu.

***​
 
Begitu cepat waktu berjalan. Langge telah mendapat telepon dari pengelola
Starbucks Coffee di Indonesia bahwa Ia berkesempatan untuk magang di sana selama 3
minggu lamanya, dimulai dari tanggal 20 Juli. Ia lumayan gembira juga sudah tidak perlu
berkutat dengan masalah ‘cari jurusan’ seperti sebagian mahasiswa lainnya.

Ketika menerima hasil psikotes beberapa bulan sebelumnya, orangtuanya bahkan
tidak peduli akan keterangan di mana Langge dinyatakan cocok bekerja di bidang
Aesthetic yang berarti seni. Entah menjadi pelukis, fotografer, bahkan musisi. Langge
juga ingin sekali menjalani pendidikan seni, terutama di Nanyang Academy of Fine Arts,
supaya berada tidak jauh dari Ebiet yang masih harus menyelesaikan satu tahun lagi di
Singapura. Belum lagi kepintaran Ebiet yang mungkin saja membawanya menuju
beasiswa (lagi) untuk perguruan tinggi.

“"Enak banget magang di Starbucks,”" kata Ebiet dengan nada iri ketika
mendengarnya. Sore itu, Langge bertandang ke rumah Ebiet, tidak mengajak gadis itu ke
mana-mana, karena takut Ebiet kecapekan dan malah jatuh sakit, padahal dalam hitungan
minggu—bahkan hari—Ebiet sudah harus kembali ke Singapura.

Ketika Langge ulangtahun tempo hari, mereka juga menghabiskan seharian di
rumah Langge sampai jam 3 sore, mendekati waktu di mana adik-adik Langge dan kedua
orangtuanya akan tiba di rumah. Banyak yang mereka lakukan, seperti menonton DVD
“Eternal Sunshine of The Spotless Mind” (Langge sangat menikmati ketika menontonnya
meskipun Ia tidak menyukai film romance), “The Tiger and The Snow” (film Italia
kesukaan Ebiet yang disutradarai dan diperankan oleh Roberto Benigni) dan bermain
Tekken Tag Tournament di PlayStation 2 Langge. Maklum, Langge terlalu handal dalam
bermain Winning Eleven sehingga Ebiet tidak bersedia berkompetisi dengan Langge
dalam game yang dimaksud, meskipun Ia juga sedikit-banyak interested di bidang
sepakbola dunia.

Ebiet mengenakan sweater lengan panjang berwarna perak yang kebesaran di
badannya. Tidak seperti gadis-gadis lainnya, Ebiet justru hampir selalu mengenakan
pakaian yang boleh dibilang “sederhana” di depan Langge. Langge justru semakin
menyukai Ebiet dengan gayanya yang seperti itu.

Rambutnya diikat tinggi, membuat Langge semakin deg-degan melihat gadis itu.
Tetapi Langge tidak berani melakukan apa-apa, ataupun memancing dengan kata-kata. Ia
tidak berani. Seorang yang bijak —namanya Tom Krause, pernah berkata, "“Keberanian
adalah kesadaran bahwa kau tidak bisa menang, dan mencoba ketika kau tahu kau bisa
kalah."” Tetapi Langge terlalu takut, Ia takut kehilangan Ebiet lagi karena kesalahannya
sendiri.
 
“"Emangnya kamu di sana nggak bisa magang apa?"” tanyanya.

"“Bukannya nggak bisa, Ngge. Nggak sempat. Tugasku banyak banget, hampir
tiap bulan ada speech competition dan aku selalu disuruh mewakili kelas, teman-teman
Koreaku yang cewek selalu maksa kayak gitu. Eh, ngomong-ngomong Korea, kamu tahu
Hee Ah Lee, nggak?"” tanya Ebiet.

"“Enggak, taunya Park Ji Sung dan Ahn Jung Hwan doang, hehe"…” Langge
tersenyum lebar setelah menyebut nama dua orang pemain bola asal Korea yang kini
telah mendunia tersebut. Ebiet cemberut. Untuk menanggapinya, Langge pun
menanyakan siapa itu Hee Ah Lee. Kendati sebenarnya hanya untuk sekedar basa-basi
belaka.

“"Hee Ah Lee itu pianis terkenal asal Korea. Dia bahkan pernah main bareng
Richard Clayderman, padahal jarinya cuma ada empat!"” Ebiet bercerita dengan antusias
sekaligus takjub. Langge menyukai ekspresi itu. Sangat.

"“Hah? Empat? Ah, nggak se-amazing itu juga ya, cuma kurang satu kan jarinya?”"

“"Bukan! Empat itu totalnya, total jari di dua tangan! Hebat kan?"” Langge tidak
dapat berkata-kata saking kagetnya, Ia segera membayangkan hanya memiliki empat jari.
"“Kayak capit gitu lho bentuknya, Ngge. Tahun depan dengar-dengar dia mau konser di
negara Asia yang lain, doa aja semoga Singapura sama Indonesia didatangi, hehe…”"

"“Iya, udah gitu, tahun depan di Singapore mau ada Radiohead, Muse, sama The
Strokes kan konser bareng? Gimana Langge nggak ngiri coba, Biet? Bayangin, Nick
Valensi sama Dominic Howard main di satu panggung! Nggak ke Indonesia pula. Sakit
hati deh."” Ebiet tertawa mendengar gerutuan Langge.

Seperti biasanya, mereka membicarakan segala hal, dari yang tidak penting,
sampai masalah cita-cita (lagi), bagaimana masa SMA mereka. SMA Langge yang cukup
menyenangkan karena sesekali Ia isi dengan acara bolos sekolah, masa SMA Ebiet yang
masih ada setahun lagi. Ebiet juga mengeluh akan status single-nya (entah ini murni dari
hatinya atau hanya memancing Langge supaya meminta Ebiet menjadi pacarnya —lagi),
karena di sekolahnya, pemandangan yang Ia lihat setiap hari di koridor adalah couples,
couples, couples… Ia juga mengeluh bahwa bioskop di Singapura tidak sebagus di
Indonesia, mahal pula! Singapura yang tidak bisa ‘dijelajahi’ seperti Ia menjelajahi
Jakarta, karena ukurannya yang cukup berbeda.

Menurutnya, Singapura tetap tidak semenyenangkan di Indonesia. Harga barang
di sana mahal-mahal, meskipun negerinya terkenal aman dan teratur. Toko buku juga
tidak semenjamur di Indonesia. Di Indonesia, kita bisa menemukan berbagai macam toko
buku, dari yang mahal dan ada di mana-mana, toko buku internasional, sampai toko buku
loak dengan harga sangat murah. Bukan hanya konsumsi bacaannya kurang, Ebiet juga
semakin jarang membeli kanvas untuk menekuni hobinya, melukis. Kalau untuk
konsumsi bacaan, berhubung koneksi internet di Singapura murah dan sangat cepat, Ebiet
sering membaca berbagai hal melalui internet. Dari novel, cerita pendek, puisi,
ensiklopedia (thanks to [notranslate]Wikipedia[/notranslate]), sampai komik yang bebas Ia download dan baca
gratis. Belum lagi, Ia bisa menonton serial-serial Jepang melalui internet, melihat trailer-
trailer film dan klip video musik yang baru dirilis. Hal-hal tersebutlah yang tidak Ia
dapatkan di Indonesia.
 
Langge tidak banyak mengeluh, hanya menyayangkan dan membagi kesedihan
hatinya akan perlakuan orangtuanya yang terkadang Ia anggap tidak adil kepadanya.
Langge juga bercerita bahwa sampai kelas 3 SMA, teman dekatnya hanya Fari seorang,
yang memperkenalkannya dengan Ebiet. Teman yang lainnya hanya sekedar ‘numpang
lewat’, tidak benar-benar berada di saat susah, hanya di saat senang saja. Sementara Fari
sekarang sedang menjalani program Studienkolleg selama setahun karena tahun depan Ia
akan melanjutkan kuliah teknik arsitektur di Jerman. Maklum, siswa-siswi di Jerman kan
mengenyam pendidikan SMA selama 4 tahun, sehingga yang dari luar Jerman harus
mengikuti program penyetaraan untuk kuliah di sana.

Ia juga bercerita bahwa kadang-kadang Ia masih menghabiskan waktu dengan
bermain futsal di SMA mereka, bersama teman-teman sesama tim bolanya yang dulu.
Maklum, sulit untuk mengumpulkan 22 pemain di sebuah lapangan basket, sehingga
mereka memilih bertanding futsal yang hanya butuh 10 orang saja. Langge juga masih
saja menggemari segala hal berbau fotografi, dan sedang ingin sekali membeli kamera
baru. Bukan lagi kamera analog Konica Minolta tahun 1995 hasil lungsuran dari ibunya.
Bukan lagi kamera digital 3 megapiksel yang rasanya tidak ada apa-apanya untuk
dikaryakan.

Sementara Ebiet bercerita tentang hidupnya di Singapura lagi. Ia tinggal di sebuah
kondo di Villa Marina, East Coast, bersama beberapa temannya yang juga mendapat
beasiswa. Ada yang berasal dari Malaysia, Thailand, dan dua orang lagi dari Indonesia.
Mereka ditemani seorang insinyur wanita yang dulu juga mendapat beasiswa yang sama
dan kini bekerja di Singapura. Setiap pagi, sekitar jam 7.30, mereka berlima naik bus 36
ke sekolah, sementara sang ‘mentor’ mengendarai bus yang berbeda. Jam pelajaran juga
sangat pendek dibandingkan dengan di Indonesia, satu periode kira-kira hanya berdurasi
satu jam, dan hanya ada lima periode dalam satu hari.

Ebiet jarang pulang bareng dengan teman-teman sekondonya, karena masingmasing
memiliki kegiatan tambahan yang berbeda-beda. Ada yang tergabung di tim
cheerleaders sekolah – namanya Michella dari Thailand, ada yang ikut klub debat, ada
juga yang sekedar ingin cuci mata di mall sepulang sekolah. Kalau tidak pulang sendiri,
Ebiet pulang naik bus bersama teman-teman dekat yang tinggal sedaerah dengannya di
East Coast.

Hal-hal yang tidak penting untuk diceritakan memang, tetapi menyenangkan.
Lagi-lagi, Langge yang berada sangat dekat dengan Ebiet merasa… bahagia. Meskipun
mereka tidak berpacaran lagi, tidak berpegangan tangan apalagi bermesraan, Langge
sudah dapat merasa mereka berdua menyatu.
 
9 – Funny Little Frog​

Starbucks Coffee, 16:58
INI SUDAH HARI KEEMPAT LANGGE BEKERJA DI STARBUCKS COFFEE CABANG
MELAWAI sebagai ‘barista cabutan’. Menyenangkan sekali bertemu berbagai jenis
pengunjung dan mendapat ilmu yang dibagi oleh senior-seniornya dalam bidang
membuat kopi. Langge lebih sering berperan sebagai kasir, karena Ia belum begitu lihai
dalam membuat campuran frappucinno, machiato, cappucinno, latté, dan sebagainya. Ia
juga lebih memilih mengambilkan cake daripada disuruh meracik minuman.

Salah seorang barista perempuan begitu baik padanya, namanya juga lucu, Kak
Titut. Langge juga tidak tahu siapa nama aslinya. Ia begitu sabar mengajari Langge dan
apabila Langge berbuat salah, ketegasannya pas dan beralasan sehingga Langge tidak
begitu merasa tertekan.

Ia sedikit-banyak merasa bersalah kepada Ebiet. Karena kesibukan barunya ini,
Ebiet menjadi sedikit terlupakan, padahal sebentar lagi Ebiet kembali ke Singapura.
Tetapi, ini adalah impian Langge sejak lama, sayang sekali jika Ia sia-siakan, apalagi
Ebiet selalu menyuruhnya untuk mengejar semua impiannya.

Sekarang sudah waktunya pulang. Ia senang sekali, bisa bertemu Ebiet lagi,
karena sekarang masih jam 5 sore, shift Langge hari ini pun telah usai. Ia menjinjing tas
kertas berlogo Starbucks itu dan menggantungkannya di stang motor. Ia menunggangi
motornya menuju rumah Ebiet yang tidak begitu jauh dari sana.

Honey, lovin’ you is the greatest thing
I get to be myself and I get to sing
I get to play at being irresponsible
I come home late at night and I love your soul
I never forget you in my prayers
I never have a bad thing to report
You’re my picture on the wall
You’re my vision in the hall
You’re the one I’m talking to when I get in from my work
You are my girl and you don’t even know it
I am livin’ out the life of a poet
I am the jester in the ancient court
You’re the funny little frog in my throat...


Lagu tersebut tiba-tiba terngiang di telinga Langge sepanjang perjalanan. Frasefrase
dan kalimat aneh di dalam lagu itu, sama dengan bentuk keanehan Langge, dalam
mengartikan cintanya kepada Ebiet yang Ia rasa takkan pernah habis. Selamanya.

* * *​
 
Rumah Ebiet, 18:10
“Hey! Nice bike,” komentar Ebiet ketika Langge memarkir motornya di garasi
rumah cewek itu.

“"Don’t talk as if it’s the first time you see that bike of mine,"” tanggap Langge,
sambil tersenyum. Ebiet hanya tertawa kecil mendengarnya.

"“This one’s your favourite, I know, cold caramel machiato..."…” Ia memberikan tas
yang dibuat dari kertas daur ulang itu kepada Ebiet. Salah satu yang begitu Ia sukai dari
kafe maupun toko yang berasal dari luar negeri adalah, mereka umumnya menggunakan
tas kertas hasil daur ulang sebagai bukti kecintaan mereka terhadap lingkungan. Berbeda
dengan restoran dan toko Indonesia yang masih banyak mengemas barang belanjaan
konsumen dengan plastik.

"“Wow, how much does it cost, Signor Barista?"”

"“For you? Free, Signora".” Langge tersenyum. Ternyata ibunya Ebiet hari ini
menginap di rumah neneknya di kawasan Duren Sawit, sehingga Ebiet hanya ditemani
pembantunya.

Ebiet tersenyum. Saat itulah Langge menyadari bahwa mata Ebiet sedikit sembab.
"“Ebiet nangis ya?”" tanyanya, sambil menyentuh tulang pipi gadis itu.

Ebiet spontan menunduk, tetapi kemudian mengiyakan, "“Hari ini, tujuh tahun
yang lalu, adalah saat Ayah meninggal. Tadi Ebiet dengerin “'Dance With My Father'”-
nya Luther Vandross, nangis deh…”...." Ia tersenyum dan menatap Langge. Lagi-lagi,
ekspresinya begitu lucu. “"If I could get another chance, another walk, another dance with
him. I’d play a song that would never, never ends… How I’d love, love, love to dance
with my father again…”..."


"“Dance with me then, if you want. I can do you a favor, you know."” Langge
tersenyum, menunggu reaksi Ebiet yang memang tidak pernah bisa Ia tebak.

Beberapa detik kemudian, Ebiet baru bereaksi seperti biasanya, Ia segera
memeluk tubuh Langge, seerat mungkin. Ia membenamkan wajahnya di bahu Langge,
yang dipeluk hanya balas memeluk, menghangatkan gadis itu lagi seperti ketika mereka
berada di Monas beberapa tahun yang lalu.

Ayah Ebiet dulu merupakan seorang diplomat. Ia jadi sering berpindah-pindah
tempat tinggal. Ketika Ebiet masih kecil, Ia dan ibunya turut serta dibawa oleh sang ayah.
Ebiet mengenyam taman kanak-kanak di Jepang. Meskipun begitu, Ia dimasukkan ke
Sekolah Republik Indonesia Tokyo, di mana semua pelajarannya diajarkan dalam Bahasa
Indonesia. Dari umur enam sampai delapan tahun, masa SD-nya Ia habiskan di Kanada,
karena ayahnya ditransfer ke sana. Ebiet disekolahkan di sebuah sekolah lokal, karena
kualitasnya tentu saja cukup baik dan pengantarnya Bahasa Inggris.

Karir ayahnya di sana terus menanjak, sampai beliau menjadi sekretaris duta
besar, sebuah jabatan yang relatif tinggi bagi diplomat. Di long weekends, mereka sering
kamping di Lake Ontario. Kira-kira ketika Ebiet berusia hampir sembilan tahun, Ia dan
ibunya pulang dan tinggal di Indonesia, sementara ayahnya tetap bermukim dan bekerja
di Kanada. Kurang-lebih setahun kemudian, saat sang ayah berniat pulang ke Jakarta,
pesawatnya mengalami kecelakaan ketika hendak mendarat di Bandara Soekarno-Hatta.
Ebiet memang sempat bertemu untuk terakhir kali, tetapi saat itu ayahnya sudah tidak
lagi bernyawa.

Karena itulah, Ebiet ingin sekali menjadi diplomat. Semata-mata supaya dirinya
mampu menggantikan figur ayahnya. Entah bagi ibunya, maupun untuk diri Ebiet sendiri
yang masih tidak rela akan kehilangan tersebut.

"“Ebiet kangen banget sama Langge, Ebiet nggak mau ke Singapore"…” Ia kembali
mengeluh dengan nada manja. Nada yang sebenarnya juga Langge sukai.

"“Sssh. Jangan ngeluh ke aku, karena aku juga sebenarnya, nggak mau lepas
pelukan ini, sampai kapanpun, biar kamu nggak pergi..."…” ucap Langge, tulus. “"Lagian,
nanti Si Hitomi, sahabat kamu yang orang Jepang itu, apa kabarnya kalo kamu nggak
balik ke sana?"” Ia tersenyum lagi. Ia tidak pernah mau menambah beban gadis yang
sangat Ia sayangi. Sesakit apapun hatinya, Langge selalu memilih untuk memendamnya,
Ia harus menghibur Ebiet.

Langge mengecup rambut Ebiet, menenangkannya.

* * *​
 
Rumah Talitemali – Keesokan Harinya
"“Hai, Jingga! Kakak beliin kartu remi baru nih, ada gambar Disney-nya. Tapi
Kakak cuma tahu yang namanya Jasmin, putri dari kerajaan Islam di Agrabah, pernah
dibawa pacarnya keliling dunia naik karpet terbang.."…” terang Langge sambil
menunjukkan karakter kartun tersebut satu persatu. Tentu saja Ia tahu, karena Ia suka
sekali dengan kartun karya Walt Disney, apapun itu.

Sebenarnya, hari ini Ia merasa cukup bahagia. Karena akhirnya, hari ini SPMB
diumumkan dan Langge diterima. Well, Ia memang agak optimis bakal diterima di UI,
berhubung Ia dapat mengerjakan soal SPMB tanpa kesulitan yang berarti. Namun,
Langge tidak menyangka bahwa Ia akan benar-benar diterima di fakultas kedokteran.

Yah, meskipun Ia tidak begitu antusias, tetapi paling tidak Ia telah membuktikan
kepada ayahnya bahwa Ia bukannya tidak bisa masuk FK, tetapi tidak mau. Hari ini Ia
berniat memberitahukan hal tersebut kepada Bu Minah. Tak disangka, Ia bertemu dengan
Jingga lebih dulu, yang masih saja sama sikapnya seperti kemarin-kemarin.

"“Permadani."” Jingga mengkoreksi kata-kata Langge yang Ia anggap kurang pas.

"“Eh, iya, permadani maksud Kakak."” Jingga menerima sekotak kartu tersebut
tanpa ucapan apapun, tanpa simpati apapun, dan hanya menyimpannya di dalam kantung,
kemudian Ia kembali bermain dengan kartu lamanya yang sudah lusuh dan ringsek.

Langge sedikit kecewa, tetapi Ia berusaha menerima Jingga apa adanya. Mungkin
Ia memang impulsif seperti Ebiet, jadi Langge harus menghadapinya dengan sangat
sabar.

"“Putri Kalang mana?"” tanya Jingga tiba-tiba, tanpa Langge sangka-sangka. Huh,
Jingga dan Ebiet, kemiripannya banyak sekali sih?


"“Hah? Putri siapa?"
”
"“Ebiet."” Jingga menjawab singkat, tanpa sebutan ‘Kakak’ pula.

"“Ooh, Ebiet? Dia gak ikut..."” jawab Langge jujur dan apa adanya. Mendengar
kalimat itulah yang terlontar dari Jingga, hati Langge jadi tergugah untuk memperjelas
hubungannya dengan Ebiet. Tetapi, apakah kata ‘iya’ yang akan Ia terima? Apakah
jawaban yang Ia harapkanlah yang akan terucap dari mulut Ebiet? Ebiet selalu merasa
bahwa hubungan kekasih bukan hanya tentang saling sayang, tetapi juga tanggung jawab,
kedewasaan dan masa depan. Dan yang paling penting, komunikasi dan efisiensi secara
finansial. Ebiet pasti menolak karena alasan yang sama seperti ketika Ia memutuskan
hubungan mereka berdua.

Jarak.

Jarak.

Jarak.

Jarak.

Jarak.

Siapa tahu dengan mengatakannya berkali-kali akan membuat Ebiet berpikir
bahwa kata itu tidak ada artinya sama sekali.

Langge selalu merasa bahwa hubungan kekasih hanya dapat Ia bina dengan Ebiet.
Ebietnya. Putri yang harus Ia lindungi, selamanya.
 
10 – Airports and Farewells

LANGGE TIDAK PERNAH BERHENTI BERMIMPI UNTUK BISA MENGELILINGI DUNIA.
Tetapi, Ia selalu membenci bandara. Ia bahkan membenci taksi yang memasang
label ‘Taksi Bandara Soekarno-Hatta 2006’ di kaca belakangnya. Tidak ada alasan
spesifik kalau tentang taksi. Ia hanya membencinya saja.

Menurutnya, bandara identik dengan perpisahan. Berpisah dengan orang-orang
yang dikasihi, berpisah dengan kota kelahiran, berpisah dengan jati diri... Intinya, Langge
tidak menyukai bandara.

Phew, akhirnya selesai juga. Aku ga bawa baju byk2 sih ke Jkt.

Langge membaca SMS itu sambil menahan nafas. Ia masih mengisi waktu dengan
bekerja magang di Starbucks Coffee, dan hari ini dapat giliran shift sore sampai malam.
Kendati malam ini kedai kopi tersebut cukup ramai sehingga Langge harus melayani
banyak pelanggan, hal itu tidak membuatnya melupakan suatu hal yang terngiang-ngiang
seharian ini di kepalanya.

Besok malam, Ebiet kembali ke Singapura, dan mereka harus berpisah di bandara.
Lagi.

Juni 2004​
"“Langge sedih nggak?”" tanya Ebiet suatu hari. Tepatnya, beberapa hari setelah
Ebiet diberitahukan bahwa Ia menerima beasiswa ke Singapura, tepatnya melanjutkan
SMA di Singapore Overseas School.

"“Why should I?"” Langge balas menanya. Tentu saja saya sedih, membayangkan
sisa masa SMA saya tidak dapat saya habiskan bersama gadis yang paling saya cintai,
terlebih lagi, yang paling mencintai saya. Tapi, dia tidak perlu tahu. Saya repulsif,
kebalikan dari dirinya. Grafik mood saya datar, lurus-lurus saja. Saya bisa mengkontrol
diri.

Menurut saya, grafik mood Ebiet seperti grafik sinus dan cosinus. Naik turun
dengan semena-mena meskipun teratur. Seperti pada gerak harmonik sederhana dalam
pelajaran Fisika.


Ebiet terdiam. Langge angkat bicara lagi. “"Langge justru bangga, punya pacar
yang sehebat kamu. Pinter banget, sih? Pantes ‘nggak-mau-pacaran-sama-orang-bego’!
Hehe..."” Langge tersenyum lebar, mencoba menelan segala sakit hatinya, segala pedih di
hatinya, dan kesadaran bahwa sebentar lagi Ia akan kehilangan Ebiet dari hari-harinya—
untuk waktu yang lama.

Bandara.

Jangan bayangkan cerita saya dengan Ebiet seperti Rangga dan Cinta di film
“"Ada apa dengan Cinta?"”. Tidak sama sekali. Kalian juga tahu, bahwa Ebiet kurang
begitu suka ‘disentuh’. Entah pelukan, pegangan tangan, Ia begitu independent dan
idealis. Impulsif. Seru deh, di mata saya.


Memang benar. Menurut Langge, film-film selalu memiliki cara tersendiri untuk
menggambarkan perpisahan yang terjadi di bandara. Cara yang romantis, dan membuat
penonton ingin sekali merasakan perpisahan di bandara. Baik film Indonesia, maupun
film-film asing. Dari "“Ada Apa dengan Cinta?"” sampai "“Love Actually"” – di mana si
kecil Sam mengejar gadis pujaannya sampai ke bandara hanya untuk mengatakan selamat
tinggal. Langge juga ingin merasakan bagian romantisnya, tetapi Ia tentu saja mau menskip
bagian "“perpisahan”".
 
“"Langge baik amat sih nganterin Ebiet cuma buat bawain koper...”" komentarnya,
lucu sekali--—dan manja. Kadang-kadang, di mata Langge, Ebiet adalah adik kecil--—anak
kecil--—yang spesial di matanya. Yang harus selalu Ia lindungi.

"“Kasihan Ebiet. Kopernya kan berat-berat, kalo ngangkat yang berat-berat,
mindahin yang berat-berat, nanti kamu tambah pendek lho. Mau sependek apalagi
coba?!”"

BUK! Sekepal tangan menonjok punggung Langge. “"AUW!”" teriaknya heboh.
"“Ih, apaan sih! Kasar amat. Aku nih pacaran sama cewek pintar apa atlet karateka
nasional sih?”"

“"Lagian! Kamu nih ngerusak suasana aja! Aku kan lagi nyiptain momen yang
bagus, romantis, sebelum aku berangkat ke sana!”" (Ebiet tidak berani menyebut kata
‘Singapura’ karena belakangan ini kata tersebut menjadi kata yang '‘terlarang'’ untuk
dikatakan ketika mereka sedang pacaran)

"“Lho? Kalo yang kayak gitu kan pakai nangis-nangisan. Aku gak mau deh ada
yang nangis jejeritan di bandara, apalagi seukuran kamu, yang ada ntar aku dikira nyulik
anak orang, lagi."” Langge tertawa lagi mendengarnya. Ebiet semakin kesal, semakin
menjadi-jadi. Pukulan kedua tersarang di punggung Langge lagi.

"“Kamu nih usil banget sih? Kemarin-kemarin nggak begini..."” protes Ebiet.

"“Ini nih buat kamu...”" Langge memberikan secarik kertas hasil sobekan dari
bagian tengah buku tulisnya yang sudah sangat tipis. Tulisannya acak-acakan.

Ebiet membacanya.

Selama di Singapura, Ebiet harus makan yang banyaaaaaak (biar gak makin
petite, fragile, nanti yang jagain kamu di sana siapa?). Langge gak usah ingatin
Ebiet tentang pelajaran kan? Udah pasti belajar dong... Hahaha. Ebiet harus
sering bergaul, kalo ada tempat kerja part-time atau beasiswa fotografi, kasihtau
Langge ya, biar Langge bisa nyusul kamu ke sana.
Seru kali ya, kalo tiap hari kita berangkat bareng ke sekolah, naik MRT yang
sama. Malam minggu aku ajak kamu ke Clarke Quay, atau cuma mantengin
patung Merlion, nonton konser di Esplanade (cari yang murah-murah tapi fun
aja deeeeh =p)... Kita naik cable car ke Sentosa Island, just the two of us. It’s
going to be fun! =)
Ebiet di sana harus jaga diri, gendutin badan ya. Kalo digangguin cowok-cowok,
jangan tertarik, gak bakal ada yang nyaingin Langge deh. Aku lagi nabung beli
webcam nih, kamu juga beli ya... Ini hadiahnya.


Di bawah tulisan itu, terdapat gambar telapak tangan Langge. Ebiet baru saja
ingin bertanya, apa gerangan arti dari telapak tangan itu. Di bawahnya ternyata ada
keterangannya. Ebiet pun batal bertanya.

(biar kita bisa tetap pegangan tangan kalo lagi kangen, hehe). Kalo kamu kangen
banget sama aku, lihat aja matahari. Aku juga pasti lagi ngelihat matahari yang
sama. Jadi ngerasa deket, iya dong?

I love you, aku sayang kamu, Langge sayang Ebiet, wo ai ni, ich liebe dich,
aishiteiru, te quiero, ti amo, everything, anything. Even three words are never
enough...
 
Last edited:
Ebiet menatap ke arah orang-orang yang membawa koper, bukan ke arah Langge.
Ia sangat membenci cerita cinta cheesy dengan adegan tangis-menangis di bandara.
"“Emangnya, aku bakal pergi sejauh itu ya?"” ujarnya, tanpa menengok ke Langge.

Langge tersenyum, menatap Ebiet yang mimiknya kebingungan. Lucu. “"Yah elah,
Biet. Buatku sekarang aja kamu jauh dari aku, tanganku nggak nyampe ke kamu gini,
apalagi Singapore, hehe.”" Langge mencoba bercanda lagi. Karena Ia juga tidak mau
punya cerita sedih di bandara. Ia mau punya cerita yang menyenangkan, dan Ia akan
tertawa saat mengenangnya.

Ebiet tidak tertawa. Ia masih memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang
dengan koper-koper mereka... “"Belum tentu aku bisa pulang ke sini. Bisa aja aku nggak
ada uang buat pulang, bisa aja tiba-tiba internet di seluruh dunia diputus, bisa aja semua
satelit rusak mendadak, bisa aja Singapura tenggelam, bisa aja pesawatnya—”...."

"“Bisa aja aku kepeleset kulit pisang sekarang. Bisa, Biet. Nggak ada yang nggak
bisa. Bisa juga tiba-tiba aku dengan gilanya jual diri terus langsung nyusul kamu ke sana,
bisa aja aku dilamar Natalie Portman dan langsung ngelupain kamu, bisa aja ternyata aku
cewek yang nyamar jadi cowok dan deketin kamu sebagai taruhan. Nggak ada yang
nggak bisa."

"“Tapi, kamu pernah dengar syairnya Jalaludin Rumi nggak?”" tanya Langge
kemudian. Ya, meskipun bagi sebagian orang kalimat penutupnya itu tidak ada kaitannya
dengan kalimat-kalimat yang sebelumnya Ia lontarkan. Akhirnya Ebiet menatapnya
dengan serius. Ebiet menggeleng. “"Ada satu bait yang isinya, ‘Lovers don’t finally meet
somewhere, they’re in each other all along
’. Kamu ada di sini, Biet,”.."-- Langge
menunjuk dadanya--"“Dan aku bisa mati kalo kamu bisa keluar dari situ.”" Langge puas
telah mengatakannya.

Ia tidak bisa membuat puisi untuk Ebiet, hanya bisa mencuri puisi orang lain
untuk dikatakan, ditambah bahasa sehari-harinya. Langge tidak bisa mengungkapkan hal
yang Ia rasakan kepada Ebietnya. Langge tidak bisa menjadi pujangga dalam sehari
untuk Ebiet. Ah. Langge bisa melakukan semua hal tadi dan bisa saja melakukan
kesalahan yang fatal.

"“Gue terlalu sayang sama lo, Biet. Jadi gue nggak kenapa-napa kalo lo ngejar
impian lo! Santai aja... Ya?"” Langge tersenyum lebar. Ah, Biet... Ebiet tiba-tiba memeluk
tubuh Langge, seerat-eratnya, mengingat, time is running out.

Dalam hitungan menit, mereka berdua telah berpisah.
 
Juli 2006
"“Ya ampun, bandara lagi, Biet. Langge. Benci. Bandara,"” keluh Langge ketika
mereka sampai di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Ebiet hanya tersenyum tipis, Ia
juga tidak membawa banyak barang, hanya sebuah ransel dan sebuah travel bag kecil.
Langge membawakan ranselnya. "“This is where you and I always have to say ‘goodbye’
or ‘till we meet again’ or things like those. I hate it,"
” gerutunya. Ia memperhatikan
orang-orang yang berlalu-lalang, walau tidak banyak. Nampaknya, hampir semua orang
memiliki raut wajah yang ceria dan bahagia. Berbeda dengannya yang teramat sangat
sedih.


"“Emangnya kamu aja yang gak suka ke bandara? Aku juga gak suka. Apalagi di
Indonesia bandaranya nggak senyaman di Changi yang ada banyak fasilitasnya. Eh, beli
makanan dulu yuk,"” pinta Ebiet sembari mengalihkan pembicaraan. Ia juga tidak ingin
membicarakan tentang bandara, sebenarnya.
"
“Ya elah, tadi kan di rumah baru makan? Ya udah deh, biar gendutan dikit. Lagi
punya badan kayak lidi. Kalo puasa ngambil cadangan makanannya dari mana coba?
Yuk, yuk, makan.”"

Langge membuntuti Ebiet dari belakang. Suasana bandara hari itu agak lengang,
mengingat mungkin para pelajar sudah masuk sekolah dan kelar liburan ke luar negeri
semenjak minggu lalu. Mendadak Ia teringat percakapannya dengan Fari di messenger
semalam.

Fari: Ge. Lo ga mau nembak dia?
Langge: Kan udah pernah
Fari: Yaileh. Ngajak balik gitu. Masih hts kan?
Langge: Yeah yeah. Gak ah. Gak mau putus lagi
Fari: Duh. Seems like ure meant to be, the both of u
Fari: And I think it will be fun to hear u say “Saya terima nikah dan kawinnya
February Tatiana alias Ebiet.” Hahahahaha
Langge: Ga penting ah curhat sm lo =P


"“Gak mau putus lagi.”"
Kalimat itu yang perlu digarisbawahi dari percakapan mereka semalam. Langge
terlalu takut untuk ‘diputuskan’ lagi oleh Ebiet. Langge terlalu takut mereka berdua harus
berpisah untuk waktu yang lama. Jika mereka benar-benar berpacaran, Ia pasti akan
mengirimi Ebiet puisi cinta setiap harinya lewat e-mail (meskipun tidak ada satupun yang
Ia karang sendiri), Ia pasti akan ‘'jual diri'’ supaya bisa menyusul Ebietnya ke Singapura,
dan melakukan hal-hal gila yang lainnya.

Beberapa jam sebelumnya
Langge menutup layar yang berisi obrolannya dengan Fari dan membuka layar
lainnya, di mana ternyata Ebiet sedang online di messenger yang sama.

Langge: HEI. What are u doing?
Ebiet: Ngecek school web.. Siapa tau ada ass. yg kurang..
Ebiet: *assignment.. So what’s up?
Langge: Jalan2 yuk? Bsk kan kamu pulang/pergi
Langge: Tapi ke mana ya? I have no idea. A big 0
Langge: Ebt? Where are u? =(
Ebiet: Eh, maaf.. Td lagi ngecopy macem2, hehe..
Ebiet: Hm? Pergi?
Langge: Yup. Kujemput ya? Terserah deh mau ke mana. Keliling Jakarta by
car?
Ebiet: Sounds nice.. Knock my door by 7..
 
“"Dadakan banget sih kamu ngajaknya?"” Ebiet tersenyum sambil memandang
Langge yang sedang menyetir sambil bernyanyi-nyanyi ceria. Ia menyanyikan lagu Club
8, yang ternyata ceritanya tetap saja tidak jauh-jauh dari kata ‘'goodbye'’, yaitu “I Wish
You'’d Stay”.


I wish you’d stay, dear,.."” ucap Langge kemudian.
“"I wish I can stay. I wish I can stay too, but I can’t... Kita mau ke mana sih,
Ngge?"” tanya Ebiet kemudian sambil mengalihkan pembicaraan. Mereka masih
berkendara tanpa arah yang jelas, mungkin ke arah Kota, mungkin ke arah Menteng,
tergantung ke mana mobil itu membawa mereka berdua.

"“Aku juga nggak tahu, sih, hahaha... Aku pengen ngobrol aja sama kamu, spend
half of the night...”
" Langge nyengir lebar. Ia selalu menginginkan saat-saat seperti ini,
seperti ketika mereka pergi ke Monas beberapa tahun yang lalu, menikmati cahaya dari
lampu jalan dan gedung-gedung bertingkat di Jakarta.

Mereka berkeliling tanpa arah yang jelas, menikmati suasana yang bercahaya
tetapi tidak sama sekali silau. Seperti biasanya, berbincang tentang hal-hal yang tidak
penting tetapi selalu mereka sukai. Dengan lagu-lagu cinta dari era 70-80an mengalun
dari iPod Langge yang disambungkan ke CD player-nya.

"“Biet, itu ada CD di laci dashboard, warnanya biru, ambil deh. Tolong,"” pinta
Langge sambil memfokuskan pandangannya pada jalanan.

Ebiet menuruti perintah Langge, dan mencari-cari CD yang dimaksud. "“Yang ada
tulisan EBB-nya?"” tanyanya kemudian.

"“Iya,"” jawab Langge. “"Buat kamu itu.”"

"“Hah? Isinya apa? Lagu?”"
“
"Bukan, bukan. Langge dulu pernah ikut Hello Motion Animation Workshop,
terus tugas akhirnya bikin film animasi. Nah, filmnya Langge yang judulnya
“"Anklevippes"” dipilih editor dan dimasukkin ke DVD Hello Screen Volume 3. Itu isinya
copy filmku buat kamu."” terangnya. Obrolan mereka malam itu dilengkapi dengan lagu-lagu
yang sama-sama mereka sukai, meskipun sudah tidak sesuai dengan jamannya.

“"Nothing'’s Gonna Change My Love For You"” milik George Benson, “"How Do I Live”"
milik Trisha Yearwood, sampai lagu-lagu tahun 90-an seperti "“Never Let You Go”" yang
dipopulerkan oleh Third Eye Blind maupun "“I Don’t Wanna Miss A Thing"” oleh
Aerosmith.

Langge memang sering memasang lagu-lagu lama untuk saat-saat tertentu di
iPod-nya yang Ia hubungkan dengan kabel khusus ke audio player mobilnya.

"“Oh iya? Emang ceritanya tentang apa?”"
 
“"Ceritanya tentang pisau yang jatuh cinta sama apel. Semenjak apel jadi penghuni
dapur, si pisau udah jatuh cinta pada pandangan pertama gitu, Biet. Pas akhirnya dia
ditempatkan di sebelah apel sama yang punya rumah, karena terlalu cinta, si pisau ingin
bersatu sama apel. Jadi, dia memotong-motong apel itu dan tanpa sengaja membunuh si
apel. Akhirnya apelnya dimakan sama empunya rumah, pisau pun menyesal setengah
mati karena telah membunuh apel dan secara tidak langsung membuat apel terpisah
dimensi darinya..."” kata Langge panjang lebar.

Cara yang aneh untuk mengucapkan kasih sayang dan cinta. Semua orang
memiliki ‘cara-aneh’-nya tersendiri. Begitu pula dengan pisau itu, begitu pula dengan
saya. Saya begitu mencintai dia, tapi ada jarak, ada waktu yang harus membuat kami
berpisah. Tapi saya sepertinya akan memilih menggunakan ‘cara-aneh’ saya, daripada
tidak menyampaikannya sama sekali.


"“Ih, dasar kamu, nyeni banget sih. Emangnya kenapa judulnya Anklevippes?”"
tanya Ebiet kemudian. Ia menatap Langge dengan seksama, tidak menatap ke jalanan
seperti tadi. Mereka sudah sampai di bundaran Hotel Indonesia, dengan cahaya yang
warnanya silih berganti, dengan pemandangan air mancur...

"“Ah, kalo itu sih anagram apple dan knives. As simple as that... Kita ke mana
ya?"” tanya Langge lagi. Mereka berdua masih belum menentukan arah tujuan mereka.

"“Mau makan di Menteng?"” Ebiet menawarkan usul.

"“Males ah, macet! Rame lagi."” Langge masih sempat-sempatnya bertukar info
tentang perkembangan seni di Indonesia bersama Ebiet.

“"Ya udah, kita parkir di mana kek gitu, terus ngobrol..."” pinta Ebiet. Ebiet
menyemprotkan obat ashtma-nya ke tenggorokannya. Melihat hal itu, Langge agak
panik, sedikit.

"“Kenapa ashtma-nya? Kamu sesak nafas?”"

"“Uhm, enggak kok, cuma... agak... capek aja... Lagian udah malam begini kan...
dingin... Dari tadi sore... udaranya lembab, tapi... nggak hujan."” jawab Ebiet singkat,
namun putus-putus kalimatnya.

Langge langsung merasa bersalah mendengarnya. “"Duh... Kamu nih. Kalo nggak
nangis, takut, pasti sakit... Maaf ya? Aku malah bawa kamu jalan-jalan tanpa arah yang
jelas. Ya udah, kita pulang aja deh. Kamu gak ngomong sih!”"

Tabiat Langge tidak pernah berubah. Jika sedang panik, Ia hampir selalu
menyalahkan orang lain.

Ia sesegera mungkin mengarahkan tujuannya kembali ke rumah Ebiet meskipun
Ebiet menolak diantar pulang sekarang dan mati-matian ngotot bahwa Ia tidak akan
kenapa-kenapa. "“Kamu kan sebentar lagi masuk sekolah, jadi gak usah pakai sakit deh...
Ebiet kalo ashtma-nya kambuh di sana, yang ngurus siapa?”" Langge mengucapkannya
dengan nada khawatir.

"“Hmmm, teman-teman... sekondo, mentor Ebiet juga... sigap sekali kok, karena
adiknya juga punya ashtma... kayak aku...”"

Sesampainya di depan rumah Ebiet, tentunya gadis itu tidak mau turun dari mobil
Langge. Sepikiran dengan Langge, yang tidak mau Ebiet turun dari mobilnya, karena itu
berarti, detik akan berjalan semakin cepat dan besok adalah saat mereka berpisah, untuk
kesekian kalinya.
 
Langge sudah terlalu muak dengan perpisahan. Apalagi perpisahan dengan Ebiet.
"“Jangan turun dulu ya, Biet?” pinta Langge," memohon dengan teramat sangat.
Dari komplek yang cahayanya sudah mulai meremang karena lampu jalannya mati,
mereka berdua dapat melihat lebih banyak bintang daripada sebelumnya. I’ll never ask
for more than your love...


Seandainya saja, saya dapat membekukan waktu. Sedetik, dua detik. Seandainya
saja, saya dapat membunuh waktu. Supaya untuk selamanya dia berhenti, tidak berjalan
lagi.


Ebiet terdiam. Tidak berkata apapun, dan juga tidak melakukan apapun. Ia hanya
ingin menikmati setiap detik yang Ia jalani berdua dengan Langge.

"“Ebiet?"” panggil Langge. Yang dipanggil menengok dengan bingung, sebuah
tatapan seolah-olah ingin mengucapkan “apa?”.

“"Dengar lagu ini deh,"” pinta Langge, seraya meraih Apple iPod-nya dan mencari-cari
sebuah lagu. Ia merasa hampir tidak pernah bisa mengungkapkan sesuatu secara
verbal dengan benar. Bisa salah artikulasi, salah kalimat, atau bahkan salah diartikan oleh
orang yang Ia ajak bicara. Ia tidak pernah sanggup merangkai kata.

“"Dreamin'’ You. Penyanyinya Heatwave.”" Ia menekan tombol play, sehingga lagu
jazzy tersebut mulai membahana di dalam pengeras suara Corolla-nya.

Ebiet menatap Langge dengan agak heran, mungkin. Karena Langge tidak pernah
bisa mengartikan tatapan-tatapan yang dibuat oleh Ebiet, yang ditujukan kepadanya.

“"Will you wait?"” tanya Ebiet. "“A year, or a year and a half.”"

“"Of course".” Langge menjawab dengan segera. “"Eh iya, Biet... I have never
stopped loving you, and I never will,"
” tambahnya. Entah refleks atau apa, yang jelas Ia
tidak pernah berencana akan mengatakan hal tersebut.

Ebiet tersenyum mendengarnya, tetapi tidak berkata apa-apa. Mungkin Ia tahu
bahwa apa yang Langge katakan memang murni sebuah pernyataan yang tidak
membutuhkan jawaban.

Beberapa detik kemudian, Ebiet dapat merasakan sensasi yang sama seperti
dengan yang teman-temannya rasakan di depan loker-loker mereka di koridor SOS. Hal
yang di Singapura sering sekali Ebiet saksikan, tetapi belum pernah Ia alami. Sekarang Ia
mengalaminya, dengan orang yang menurutnya paling tepat untuk melakukannya.

Dan malam itu, menjadi salah satu dari malam-malam favorit Langge seumur
hidupnya. Begitu juga dengan Ebiet.

Girl, you and I were meant for loving
I see the sun each time I hold you near
There’s a joy and all that I’ve been searched for in your lifetime
It’s right there by your side like an open door to paradise

And when you smile, the world seems brighter
You put the sun inside the darkest days
Every night, I know you’re there to guide me into heaven
Cause the heaven’s in your eye, telling me that I’ve been here but I

You’ve got me dreamin’ you all day too
And never got the time for feeling blue
Cause you’re the world to me, can’t you see?
No matter what I do, I’m always dreamin’ you

Don’t ever say there’s no tomorrow
Cause love can keep us roll into the air

You can feel the magic when we cuddle close together
Baby, you and I both know so well
Every day and every night, you make everything alright
Stay forever in my life

No matter what I do, I’m always dreamin’ you…
 
Bandara Soekarno-Hatta, Juli 2006
Ebiet sudah boarding. Langge melangkah dengan begitu gontai menuju lobi
bandara, dan lalu menuju mobilnya. Ia ingin segera pulang dan mendengarkan lagu-lagu
keras yang bisa menyembuhkan kegalauan haitnya untuk sejenak. Tidak, Ia sedang tidak
perlu lagu “Dreamin’ You” seperti tadi malam. Ia sedang memerlukan lagu-lagu keras
seperti “Surfacing”-nya Slipknot yang sekarang mengalun melalui pengeras suara
Corolla-nya.

Setelah keluar dari parkiran ****** Udara Soekarno-Hatta, Langge melajukan
mobilnya sampai dengan kecepatan 160 kilometer per jam. Ilegal memang, tetapi Ia
memang selalu mengebut di jalan tol, terutama jika Ia sedang kesal-kesalnya dengan
segala hal.

Langge sadar, Ia adalah manusia paling bodoh yang pernah terlahir di Bumi ini.
Ebiet bahkan tidak berkata apa-apa, tapi Ia berani-beraninya melakukan hal itu tadi
malam... Hal yang tidak pernah Ia berani lakukan sebelumnya.

FUCK! I NEED SOME COFFEE. Ia memutuskan untuk berhenti di warteg
terdekat, demi mendapatkan kopi kental kesukaannya. Langge boleh jadi anti-rokok,
tetapi Ia juga butuh kafein untuk menenangkan otaknya yang isinya campur-aduk dan
tidak karuan.
 
11 - Apart​
IA BENAR-BENAR SUDAH KEMBALI KE SINGAPURA.
Saya, di sini, kembali menjalankan rutinitas yang biasa. Memotret berbagai
macam pemandangan dan figur-figur yang merakyat di Jakarta, bekerja di Starbucks
Coffee Melawai sebagai ‘barista cabutan’, mengantar Mama pergi jika diminta, atau
main Winning Eleven di rumah bersama tetangga-tetangga tersayang.

Tidak ada sesuatu yang istimewa di bandara. Seperti semua orang sudah tahu,
bahwa Ebiet tidak pernah menganut faham ‘public display of affection’, dan saya begitu
menghargai prinsipnya. Dan lagi... You know how Soekarno-Hatta airport looks like.
Kalau di Changi Airport atau di Incheon Airport sih masih lucu.

Oh iya, di malam sebelum Ia berangkat, saya menciumnya—-dan tidak pernah
menyesal melakukannya.
Maybe it was a good night kiss, a good bye kiss, I don’t know.
But, it was our first kiss... (even though I felt more stupid after I did that).

Langge memperhatikan kamera Holga yang Ia pegang di tangannya. Kamera
LOMO hadiah dari Ebiet ketika hari ulangtahunnya. Ia teringat kata-kata bijak dari Andy
Watson yang Ia ketahui ketika membaca profil fotografer Indra Leonardi di Koran
Kompas: “"We want to be photographers because we want to communicate our emotions.
Photography gives us a personal means of expression and a direct means of engaging
speaking to an audience.”"


Terkadang, Langge merasa, Ia ingin menjadi fotografer semata-mata untuk
memenuhi egonya. Supaya Ia bisa membekukan waktu, hal-hal dan orang-orang yang
kesukaannya. Supaya Ia tidak kehilangan orang-orang yang Ia cintai dalam memorinya.
Supaya orang-orang yang Ia cintai bisa berkata seribu kali-—dan bahkan lebih, lewat foto
yang Ia buat.

Lalu, Ia memandang ke arah sebuah sudut di kamarnya, di mana Ia menempel
banyak sekali foto Ebiet yang Ia cetak dua kali. Terutama foto-foto Ebiet yang sedang
tertawa—-sebuah ekspresi yang jarang sekali Ebiet perlihatkan kepada orang lain. Ia
memang memiliki space khusus untuk foto-foto Ebiet, foto-foto di langit-langit kamarnya
lebih bersifat umum.

Langge melihat ke arah dinding yang berada di belakang tempat tidurnya. Di atas
headrest-nya, Ia gantung lukisan karya Ebiet yang dihadiahkan oleh gadis itu ketika
Langge berulangtahun yang ke 16. Ketika itu, Ebiet memberikannya tepat sebelum Ia
berangkat ke Singapura untuk mengenyam bangku SMA. Boleh dibilang, lukisan tersebut
adalah kenang-kenangan terakhir sebelum mereka berpisah.

Ebiet melukis mereka berdua dengan gaya realis, di mana lukisan tersebut
memperlihatkan kenangan indah yang Ia dan Langge jalani berdua. Terlihat mereka
berdua sedang duduk di sebuah bench di sekitar Monas, Langge merangkul tubuh Ebiet
yang kedinginan. Lukisan itu nampak nyata dan emosional bagi Langge. Tertulis di sudut
lukisan, Ebiet.

Nampaknya Langge benar-benar harus menunggu.

The hardest part of being alone is when I’m happy and nobody laughs with me.
Nobody smiles with me. Nobody I could say "“I wish you were here"” to.
 
Back
Top