zoeratmand
New member
Hari ini, Ia memakai motor trail-nya. Langge selalu lebih senang naik motor
daripada naik mobil. Alasannya simpel: Jakarta itu macet. Dulu, ketika baru duduk di
Kelas XI dan berulangtahun yang ketujuhbelas, Papa membelikannya sebuah motor
bermerek Honda yang sudah uzur tetapi masih bisa dipakai. Papa memang seperti itu,
meski beliau memiliki cukup uang, tetapi beliau tidak pernah mau membiarkan Langge
bermanja-manja dan melupakan susahnya berusaha untuk mendapatkan sesuatu.
Alhasil, Ia meminta tolong Dera, salah seorang teman sekompleknya, untuk
memodifikasi motor tua tersebut. Stangnya ditinggikan, jok serta spakbornya pun diganti.
Khusus untuk spakbornya, Langge mati-matian memohon pada Dera untuk mencarikan
spakbor plastik yang berwarna Jingga untuk dipasang di motor yang sekarang menjadi
kendaraan kesayangannya itu. Jadilah motor Langge sebagai motor yang one of a kind,
tidak hanya di sekolah, tetapi di mana pun! Kendati begitu, Ia tetap memilih untuk
membawa mobil di saat-saat tertentu. Mau pergi dengan Ebiet, misalnya. Ebiet kan tidak
tahan terhadap udara dingin.
Langge memarkir motornya di dekat pintu masuk Rumah Talitemali. Ia
menitipkannya kepada satpam tidak resmi yang dimiliki panti, yang berjaga di dekat situ
dan sudah dikenalnya dengan sangat baik. Ia melangkah lelah, menuju ke dalam panti.
Kali ini, Ia tidak mengajak gadis yang belakangan ini menemani hari-harinya.
Langge harus terbiasa ditinggalkan Ebiet (lagi). Semalam, ketika Ia menatap langit-langit
kamarnya yang dipenuhi oleh foto jepretannya, Ia teringat pada anak kecil yang namanya
sama dengan nama warna kesukaannya. Anak kecil yang suka menyendiri sambil
bermain kartu di salah satu ruangan di Rumah Talitemali.
Sesampainya di dalam panti, seperti biasa Ia menyapa para perawat di sana,
mengunjungi bayi-bayi dan anak-anak luar biasa seperti Ayu dan Wisnu. Terakhir, Ia
baru mengunjungi ruangan di mana para balita bermain bersama sambil menyantap
kudapan sore. Hari ini Langge tidak membawa oleh-oleh apapun. Ia menyapa Lita.
"Sore Mbak Lita, tolong panggilkan Jingga dong," pintanya. Ia menanti anak
yang ingin Ia temui. Anak itu baru saja selesai mandi dan memakai baju rupanya, Ia
memakai gaun yang sama seperti di saat Langge pertama kali melihatnya.
"Hai, Jingga," sapa Langge, berusaha terlihat ceria di mata anak itu, karena
ekspresi Jingga masih saja datar, tidak seperti anak-anak lainnya yang bebas tertawa dan
bermain bersama. Jingga selalu memilih untuk sendiri. "Kakak Langge ada tugas nih,
tugas sekolah, harus wawancara. Kakak Langge mau tanya-tanya ke Jingga, boleh ya?"
pintanya, berbohong. Di matanya, Jingga begitu misterius, dan Langge sangat berharap
bisa menguak misteri tersebut.
"Tapi gak bawa catatan," komentarnya singkat. Pada awalnya, Langge mengira
bahwa maksud anak itu adalah Ia tidak memiliki buku tulis, Langge baru saja akan
mengatakan 'tidak apa-apa, tidak perlu' ketika Ia menyadari bahwa maksud anak ini
adalah mengapa Langge tidak membawa catatan atau alat perekam jika Ia memang ingin
mewawancara Jingga untuk tugas.
"Iya, ngobrol-ngobrol secara umum dulu ya Jingga gimana ceritanya bisa
sampai di panti ini?" tanya Langge kemudian.
"Tanya Mbalit."
"Kenapa sih kamu lari dari rumah?" Langge bertanya, straight to the point, karena
sepertinya Jingga harus dihadapi dengan cara yang seperti itu.
"Jingga benci Papar yang suka mabok dan ****. Jingga benci dipukul Papar.
Jingga mau cari kakaknya Jingga yang Papar buang." Jingga mengatakannya seolah-olah
tanpa beban apapun, datar saja, seperti kalimat-kalimat yang lain, yang sering Ia ucapkan
meskipun sedikit.
Papar? Langge memilih untuk tidak bertanya, siapa itu Papar. Ia berasumsi
bahwa Papar adalah kata lain dari ayah, atau Papa, panggilan yang Jingga buat sendiri
untuk ayahnya. Mungkin maksudnya adalah Jingga.
"Kakaknya Jingga dibuang Papar? Kok Jingga bisa tahu?"
"Bubung yang cerita." Lagi-lagi, Ia punya panggilan khusus untuk ibundanya.
"Waktu umur dua tahun, Kakak dibuang Papar. Gak tahu ke mana. Bubung cuma cerita
segitu. Jingga mau cari Kakak."
"Cari Kakak ke mana?" Langge berujar. Ia mengayunkan ayunan yang sedang Ia
duduki itu. Pelan.
"Entah."
daripada naik mobil. Alasannya simpel: Jakarta itu macet. Dulu, ketika baru duduk di
Kelas XI dan berulangtahun yang ketujuhbelas, Papa membelikannya sebuah motor
bermerek Honda yang sudah uzur tetapi masih bisa dipakai. Papa memang seperti itu,
meski beliau memiliki cukup uang, tetapi beliau tidak pernah mau membiarkan Langge
bermanja-manja dan melupakan susahnya berusaha untuk mendapatkan sesuatu.
Alhasil, Ia meminta tolong Dera, salah seorang teman sekompleknya, untuk
memodifikasi motor tua tersebut. Stangnya ditinggikan, jok serta spakbornya pun diganti.
Khusus untuk spakbornya, Langge mati-matian memohon pada Dera untuk mencarikan
spakbor plastik yang berwarna Jingga untuk dipasang di motor yang sekarang menjadi
kendaraan kesayangannya itu. Jadilah motor Langge sebagai motor yang one of a kind,
tidak hanya di sekolah, tetapi di mana pun! Kendati begitu, Ia tetap memilih untuk
membawa mobil di saat-saat tertentu. Mau pergi dengan Ebiet, misalnya. Ebiet kan tidak
tahan terhadap udara dingin.
Langge memarkir motornya di dekat pintu masuk Rumah Talitemali. Ia
menitipkannya kepada satpam tidak resmi yang dimiliki panti, yang berjaga di dekat situ
dan sudah dikenalnya dengan sangat baik. Ia melangkah lelah, menuju ke dalam panti.
Kali ini, Ia tidak mengajak gadis yang belakangan ini menemani hari-harinya.
Langge harus terbiasa ditinggalkan Ebiet (lagi). Semalam, ketika Ia menatap langit-langit
kamarnya yang dipenuhi oleh foto jepretannya, Ia teringat pada anak kecil yang namanya
sama dengan nama warna kesukaannya. Anak kecil yang suka menyendiri sambil
bermain kartu di salah satu ruangan di Rumah Talitemali.
Sesampainya di dalam panti, seperti biasa Ia menyapa para perawat di sana,
mengunjungi bayi-bayi dan anak-anak luar biasa seperti Ayu dan Wisnu. Terakhir, Ia
baru mengunjungi ruangan di mana para balita bermain bersama sambil menyantap
kudapan sore. Hari ini Langge tidak membawa oleh-oleh apapun. Ia menyapa Lita.
"Sore Mbak Lita, tolong panggilkan Jingga dong," pintanya. Ia menanti anak
yang ingin Ia temui. Anak itu baru saja selesai mandi dan memakai baju rupanya, Ia
memakai gaun yang sama seperti di saat Langge pertama kali melihatnya.
"Hai, Jingga," sapa Langge, berusaha terlihat ceria di mata anak itu, karena
ekspresi Jingga masih saja datar, tidak seperti anak-anak lainnya yang bebas tertawa dan
bermain bersama. Jingga selalu memilih untuk sendiri. "Kakak Langge ada tugas nih,
tugas sekolah, harus wawancara. Kakak Langge mau tanya-tanya ke Jingga, boleh ya?"
pintanya, berbohong. Di matanya, Jingga begitu misterius, dan Langge sangat berharap
bisa menguak misteri tersebut.
"Tapi gak bawa catatan," komentarnya singkat. Pada awalnya, Langge mengira
bahwa maksud anak itu adalah Ia tidak memiliki buku tulis, Langge baru saja akan
mengatakan 'tidak apa-apa, tidak perlu' ketika Ia menyadari bahwa maksud anak ini
adalah mengapa Langge tidak membawa catatan atau alat perekam jika Ia memang ingin
mewawancara Jingga untuk tugas.
"Iya, ngobrol-ngobrol secara umum dulu ya Jingga gimana ceritanya bisa
sampai di panti ini?" tanya Langge kemudian.
"Tanya Mbalit."
"Kenapa sih kamu lari dari rumah?" Langge bertanya, straight to the point, karena
sepertinya Jingga harus dihadapi dengan cara yang seperti itu.
"Jingga benci Papar yang suka mabok dan ****. Jingga benci dipukul Papar.
Jingga mau cari kakaknya Jingga yang Papar buang." Jingga mengatakannya seolah-olah
tanpa beban apapun, datar saja, seperti kalimat-kalimat yang lain, yang sering Ia ucapkan
meskipun sedikit.
Papar? Langge memilih untuk tidak bertanya, siapa itu Papar. Ia berasumsi
bahwa Papar adalah kata lain dari ayah, atau Papa, panggilan yang Jingga buat sendiri
untuk ayahnya. Mungkin maksudnya adalah Jingga.
"Kakaknya Jingga dibuang Papar? Kok Jingga bisa tahu?"
"Bubung yang cerita." Lagi-lagi, Ia punya panggilan khusus untuk ibundanya.
"Waktu umur dua tahun, Kakak dibuang Papar. Gak tahu ke mana. Bubung cuma cerita
segitu. Jingga mau cari Kakak."
"Cari Kakak ke mana?" Langge berujar. Ia mengayunkan ayunan yang sedang Ia
duduki itu. Pelan.
"Entah."
Last edited: