Rumah Sakit Kautsar, 14:09
Langge melangkah di selasar yang kosong itu. Begitu kosong, dan entah
mengapa, Ia merasa benar-benar sendiri. Sesuatu yang kosong terkadang memang
berdampak psikis terhadap kita. Kita merasa kesepian, sebuah hal yang berbeda dari
kesendirian. Langge merasa tidak memiliki siapa-siapa, semenjak Fari terlalu sibuk
dengan program Studienkolleg-nya, dan Ebiet sudah entah berada di mana. Mereka
berdua hanya bertukar kabar melalui SMS, itupun hanya sesekali saja.
Hari ini hari ketiga Jingga dirawat di rumah sakit.
"Ibu Minah..." sapanya ketika melihat Ibu Minah di kursi di sebelah tempat tidur
Jingga. Jingga dirawat di kamar kelas 2, yang berarti berbagi kamar dengan dua orang
lainnya dan yang ingin menengok harus mematuhi jam kunjungan.
"Dokter sudah
visit?Apa katanya?" tanya Langge pelan-pelan, karena Jingga sedang tertidur pulas.
Ia ingin menangis melihat kondisi anak itu. Di tangan kanannya tertancap jarum
infus semetara di hidungnya diletakkan selang untuk memudahkan pernafasannya. Nafas
Jingga satu-satu, jauh di bawah jika dibandingkan dengan orang yang normal lainnya.
"Jingga memiliki kelainan paru-paru, Langge. Ibu juga tidak mengerti, mungkin
sebaiknya kamu tanya dokternya saja." Katanya mungkin disebabkeun karena bakteri,
virus, atau karena Ia beberapa tahun tinggal di jalanan, tapi sebab pastinya belum
diketahui. Kalau tidak salah
pneumonia, sehingga terdapat cairan di dalam paruparunya
harus disedot, kata Ibu Minah.
Langge tidak percaya ketika mendengarnya. Seolah-olah seperti takdir, seakanakan
Jingga memang jelmaan dari Ebiet. Mereka berdua memiliki penyakit yang
berhubungan dengan paru-paru, meskipun penyakit Ebiet tidak separah Jingga. Namun,
jika mau dihubung-hubungkan dengan teori reinkarnasi, tentu saja tidak bisa
dihubungkan. Di mana Ebiet saja masih sehat dan afiat sampai sekarang.
Ia memang sudah bisa membaca gejala-gejala yang dialami Jingga. Panas tinggi,
menggigil, apalagi Ia beberapa kali mengeluh bahwa dadanya sakit, seperti ditusuk-tusuk.
Tetapi Langge memilih menutup mata dari semua itu. Ia pura-pura tidak mau tahu apa
yang sebenarnya terjadi dengan Jingga.
Dokter bilang, sebaiknya Jingga tetap dirawat di sini. Kondisinya lemah sekali.
Dari caranya menatap Langge, Langge tahu bahwa Ibu Minah pusing setengah
mati menghadapi persoalan ini, dan Langge tidak tahu apa yang harus Ia lakukan untuk
mendukung Jingga menuju kesembuhannya.
Bagaimanapun juga, biaya rumah sakit tidak murah, dan Rumah Talitemali
didirikan secara swadaya, tidak dengan bantuan dari pemerintah. Tidak adil rasanya jika
dana yang dimiliki oleh panti tersebut digunakan hanya untuk kepentingan Jingga semata,
bukan untuk kepentingan anak-anak yang lainnya.
Ibu Minah keluar dari bangsal tersebut karena ingin memberikan space bagi
Langge, untuk dapat berkomunikasi dengan Jingga, meskipun samar-samar. Langge
duduk di kursi yang tadi diduduki oleh Ibu Minah, menatap ponselnya. Ia begitu berharap
Ebiet juga ada di sana, yang pastinya ikut memberinya support dan saran, akan apa yang
harus Langge lakukan.
Jingga memang bukan siapa-siapa Langge. Bukan adik, bukan adik angkat,
sepupu, teman, atau apapun. Ia hanya seorang anak di Rumah Talitemali yang begitu
menarik perhatiannya. Mungkin, karena namanya Jingga, suatu kata dan warna yang
begitu Langge sukai karena banyak hal. Karena Ia senang main basket, karena Ia senang
warna langit di sore hari, karena waktu itu Ebiet juga menyebut kata jingga, bukan
oranye seperti orang lain. Kenangan-kenangan itu terkristalisasi dan terpatri di otaknya
dengan rapi.
Tidak mungkin Langge bisa membawa Jingga ke rumahnya, apalagi dengan
keadaan rumah yang sangat
strict dan tidak memungkinkan. Mungkin ibunya Ebiet mau
menjaga Jingga apabila Jingga tidak sakit. Siapa juga yang tidak akan repot mengurus
anak yang seringkali sesak nafas sekaligus tidak jelas asal-usulnya?
Langge berpikir keras dan tanpa disadari, lima menit lagi waktu kunjungannya
habis. Ia mengecup kening Jingga yang masih tertidur pulas. Inginnya berjanji ingin
menolong Jingga, tapi... Ia tidak berjanji. Ia hanya pulang.
Sesampainya di rumah, Langge segera menghampiri komputer dan membuka emailnya
yang sudah lama tidak Ia buka. Ada banyak e-mail, rata-rata dari Ebiet. Tentang
cerita sehari-harinya, exam-nya, Hitomi yang baru punya pacar dan Ia pun jadi dilupakan,
dan banyak cerita lainnya. Salah satu yang paling menarik di mata Langge adalah acara
Global Picnic yang digelar di auditorium SOS.