JINGGA

Tower 16 Lt. 3 – Villa Marina, saat yang sama
Ebiet menggerakan jari-jemarinya di atas tuts keyboard notebook-nya,
mengerjakan science lab report. Malam ini Ia jenuh, jenuh sekali akan segala tugas yang
menumpuk. Report, paper, exam... Ia tidak pernah merasa begitu lelah sebelumnya. Ia
merasa butuh istirahat. Sangat butuh istirahat.

Dari iTunes mengalun lagu milik seorang penyanyi asal Singapura bernama
Corrine May. Hanya Hitomi teman Asia-nya yang membagi lagu-lagu Jepang ke dalam
library-nya, sementara teman-temannya yang lain sudah pasti memaksanya mendengar
lagu dari musisi Singapura atau Korea, misalnya Fly To The Sky dan Howl. Salah satu
lagu kesukaan Ebiet adalah lagu “"Safe In A Crazy World"” yang sedang Ia dengarkan ini.
Karena lama tinggal di Amerika Serikat, pronounciation-nya bagus—untuk ukuran orang
Asia.

Ia mendadak teringat sesuatu. Ebiet mengubah settings di Control Panel, supaya
file yang Ia set menjadi hidden bisa terdeteksi. Ia memang memiliki beberapa file yang
‘ingin Ia lupakan’ tetapi tidak boleh Ia hapus. Ia segera mengklik akses menuju folder My
Documents dan membuka My Pictures.

Hasil scan foto boks Ia dan Langge ketika masih kelas 1 SMA. Dengan pose Ia
memeluk tubuh Langge dari samping. Rambut Langge belum sepanjang sekarang—-
mengingat di SMA mereka seringkali ada acara ‘'potong rambut gratis'’ setelah ‘'razia
rambut gondrong'’. Setelan kesukaan Ebiet pada saat itu masih kaos distro dan celana jins.

Tanpa Ebiet sadari, Ia mulai menampung air matanya agar tidak tumpah. Ia
merindukan Langge. Langgenya.

* * *
 
Rumah Talitemali, 15:11
"“Ebiet sudah pergi nih, Jingga..."…” kata Langge dengan nada murung.
Sore itu, Ia mengunjungi Rumah Talitemali. Selain karena kesepian, juga karena
hari itu adalah Hari Selasa, yang memang merupakan jadwalnya mengunjungi rumah
keduanya itu. Jingga-—seperti biasanya-—bermain kartu sendirian, sementara anak-anak
yang lain menikmati makanan kecil yang dibawakan Langge.

“"Singapura,"” komentar Jingga seadanya.

Langge merasa, kebahagiaannya sedang diambil, satu demi satu. Dari kepergian
Ebiet, masa kerjanya di Starbucks Coffee yang tinggal seminggu lagi, dan fakta bahwa
dua minggu lagi Ia (sudah) harus masuk kuliah dan menjalani OSPEK.

“"Iya. Gimana? Kakakmu sudah ketemu?"” Langge melontarkan pertanyaan itu
sebenarnya untuk berbasa-basi saja. Ia kembali mengingat-ingat, lalu menelaah cerita
tentang Jingga yang sudah Ia ketahui. Betapa sengsaranya hidup Jingga, tidak memiliki
siapa-siapa di dunia ini. Namun hebatnya Ia, Ia justru menikmati kesendirian itu, dan
tidak ingin bersama siapa-siapa. Berbeda sekali dengan Langge yang baru ditinggal
beberapa hari oleh Ebiet saja sudah sangat-sangat kesepian. Padahal, Ia masih punya
Papa-Mama, Vane dan Tare (adik bungsunya yang bernama Estrella tetapi lebih senang
Ia panggil Tare) di rumah.

“"Mungkin. Mungkin Kakak juga sedang cari aku.”" Nadanya seperti menyiratkan
suatu maksud yang Langge tidak mengerti. Jingga sudah menyelesaikan satu permainan
lagi.

"“Di rumah, Kakak punya dua adik. Namanya Vane dan Tare. Vane sudah SMP,
Tare lebih tua sedikit dari kamu,"” komentar Langge. Matanya menatap ke arah langit.
Langit yang sama seperti yang dipandang kedua orangtuanya, langit yang sama seperti
yang dipandang adik-adiknya, dan langit yang sama seperti yang dipandang Ebiet, sejauh
apapun jarak memisahkan mereka berdua.

Dikelilingi mainan anak-anak seperti ayunan dan jungkat-jungkit, dengan latar
belakang suara teriakan ceria warga Rumah Talitemali, belum lagi tangisan bayi yang
baru saja selesai mandi… Mereka berdua justru membagi kegalauan hati yang sama.

* * *​
 
Waktu berjalan terlalu lamban bagi saya. Bayangkan, setiap hari saya harus
menerima kenyataan bahwa saya dan Ebiet terpisah jarak yang jauh, selama kurang
lebih setahun ini. Dan dengan bodohnya, sebelum kami berpisah, saya tidak menyatakan
cinta padanya! Spell it. S-T-U-P-I-D.

Mungkin saja Ebiet memang memiliki alasannya sendiri, mengapa waktu itu Ia
berkata, “Gue nggak mau pacaran sama orang bego!” dan dia justru menerima
pinangan saya beberapa tahun lalu, untuk jadi pacar saya, padahal, sayalah orang bego
itu.

Hari-hari saya mungkin saja berjalan normal di mata orang lain. Tapi, saya
merasa begitu sendirian. Seperti yang semua orang ketahui, boleh dibilang, hidup saya
sedikit-sedikit mirip dengan sinetron “Ratapan Anak Pungut” (atau apalah judulnya).
Sahabat saya begitu terbatas, mungkin karena idealisme saya yang tinggi. Saya hanya
punya Ebiet dan Fari. Ebiet pergi, Fari tahun depan pergi. Giliran saya pusing tujuh
keliling.

Saya sudah mengunjungi kampus tempo hari, untuk mengurus kuliah. Saya sudah
selesai menjadi ‘barista cabutan’. Doakan saja suatu saat nanti saya boleh menjadi
‘barista cabutan’ lagi, atau malah magang di tempat lain. Music stores, misalnya. Atau
menjadi official photographer sebuah band indie.

Langge tidak sengaja melempar ponselnya ke lantai karena sedang tertidur dan
ponselnya itu berdering dengan suara sangat kencang. Ia memang menyetel alarm karena
takut terlambat bangun. Minggu depan sudah mulai OSPEK, sehingga mulai dari hari ini,
Langge harus membiasakan diri bangun pagi supaya tidak telat pergi ke kampus. Ia
bukan tipe orang yang suka bangun siang, tetapi karena belakangan ini menganggur, pola
tidurnya sudah membuat pembaharuan.

Hari masih cerah, seperti kemarin-kemarin, meskipun menurut Langge agak
suram. Ayahnya sudah berangkat ke Universitas Indonesia, Kampus Depok. Bukan untuk
mengurus kuliah Langge, tetapi karena beliau memang merupakan salah satu dosen di
Fakultas Hukum UI. Ya, ya, Ayah Langge adalah seorang advokat. Riset para putra-putri
sarjana hukum membuktikan bahwa orangtua mereka sangat fasih dan tangkas dalam
berdebat. Wajar jika Langge jarang bersedia berdebat dengan ayahnya. Bisa-bisa sampai
subuh tidak selesai, karena Langge juga merupakan orang yang tidak mau kalah.
 
Vane dan Tare sama-sama sudah berangkat ke sekolah sejak tadi. Rumahnya
kosong karena ibunya sedang pergi berbelanja. Mama Langge benar-benar seorang ibu
rumah tangga sejati. Setiap harinya jam 7.30 pagi, Ia berangkat ke pasar dekat rumah
menggunakan sepeda. Jam 9 sampai dengan jam 10 Ia menonton telenovela yang diputar
di televisi dan jam 11 Ia mulai memasak (karena belakangan ini telenovela sudah jarang
diputar, beliau memilih menonton infotainment yang memang lebih menarik
dibandingkan acara “"Halo Polisi"” pada jam tayang yang sama. Dan lagi, beliau selalu
berpikir bahwa polisi Indonesia memang tidak suka menilang dan mentaati hukum,
mereka lebih senang berdamai. Jadi, buat apa menonton penegak hukum yang bahkan
tidak menghormati hukum?). Ia memasak sesiang itu karena Vane dan Tare sama-sama
baru pulang sekitar jam 2-3 siang, karena itu, otomatis jam makan siang keluarga mereka
selalu molor.

Langge mengambil ponselnya yang tadi terlempar entah ke mana.

From: Ebt Spore
Ngge, how are you? I miss you already :) Mana lagi exam lagi.. Km udah tau
deh gmn stresnya aku kl lg exam.. Ya kan? :p

To: Ebt Spore
Kurang baik. Abis ga ada bahan ledekan lagi nih di Jakarta. Exam? Ah, Ebt kan
pinter. Good luck ya, I miss u more, =pp



Langge senang ketika tahu bahwa, bukan cuma Ia yang kehilangan.
 
12 – Freshman’s Hectic Weeks​
AAAAAH, KAMPUS-KAMPUS UI JAUH AMAT SIH!
Langge mengumpat berkali-kali. Ia telah memohon dengan sangat supaya supir
ayahnya diperbolehkan Ia ‘gunakan’ selama OSPEK dan kawan-kawan. Antara lain masa
OKK, OBM dan PSAU – yang entah singkatannya apa – sampai dengan masa PPAM
dan kegiatan lainnya. Bukannya apa-apa, FKUI itu jauh sekali dari rumahnya, belum lagi
apa kata senior jika Ia sudah berani-beraninya membawa kendaraan di hari pertama
kuliah. Jika tidak membawa motor, keahliannya hanya naik bis. Tetapi, Ia belum begitu
mengerti rute-rute di sekitar Depok-Salemba.

Awal OSPEK diselenggarakan di Universitas Indonesia Kampus Depok, di mana
diselenggarakan OSPEK Universitas seperti masa OKK, OBM, PSAU dan latihan paduan
suara untuk wisuda alumni nantinya. Setelah itu, baru mahasiswa baru (MABA)
menjalani kegiatan OSPEK jurusan dan fakultas di Salemba, termasuk PPAM, malam
inagurasi, dan sebagainya. Berhubung S1 di FKUI hanya ada jurusan kedokteran umum,
OSPEK-nya kira-kira sama saja lah, tidak dibagi-bagi lagi.

Mamanya pernah bercerita, bahwa mendiang kakeknya adalah salah satu Guru
Besar di FKUI. Beliau juga merupakan dokter spesialis bedah plastik pertama di
Indonesia. Namanya Prof. dr. R. H. Moenadjat Wiratmadja. Meskipun beliau bukan
kakek Langge, Langge tetap hormat dan kagum sekali terhadapnya. Namanya bahkan
dijadikan nama ruangan khusus penanganan luka bakar di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM).

OSPEK memang bukan suatu peristiwa yang istimewa buatnya. Langge pernah
membaca buku “Laskar Pelangi” karya Andrea Hirata, yang menggambarkan bagaimana
bahagianya si penulis di hari pertama masuk sekolah dasar, sesusah apapun kondisinya
saat itu. Tetapi, Langge memang paling benci disuruh-suruh dan dibentak-bentak oleh
orang yang tidak berhak menyuruh dan membentaknya. Kalau dibentak Papa, masih tak
apa, batinnya.

Kemarin-kemarin, di OSPEK universitas, semuanya masih berjalan sedikit
menyenangkan
baginya. Di mana Ia hanya harus mendengarkan rektor UI dan bawahan-bawahannya
berbicara di mimbar atau di depan ratusan atau ribuan MABA UI, maupun
sekedar latihan paduan suara di mana mereka dibagi-bagi menjadi pemilik suara alto,
soprano, tenor... Namun, mulai ketika OSPEK sudah Ia jalani di kampus Salemba, semua
mulai menjadi agak memuakkan baginya.

Seniornya tadi memarahi Langge ketika membaca esai karangannya tentang
kontribusi apa yang akan Ia berikan terhadap FKUI. Langge tentu saja menulisnya sejujur
mungkin, bahwa Ia tidak tahu ingin menyumbang apa selain separuh jiwa dan separuh
raga, karena Ia menuntut ilmu di sana hanya karena ingin memenuhi keinginan orangtua
angkatnya. Ia tidak pernah mau jadi dokter, meskipun Ia tahu bahwa 70% dokter di dunia
memang takut darah dan 90% dokter di dunia takut disuntik. Dua alasan itu merupakan
alasan paling klise mengapa pelajar SMA tidak mendaftar di fakultas kedokteran.
 
“Saya terlalu idealis untuk jadi dokter, saya tidak pantas menuntut ilmu di
kedokteran sebenarnya, kalau bukan karena perintah orangtua saya. Saya hanya mau
berbakti pada mereka yang membesarkan saya. Kalaupun terlintas di pikiran saya
keinginan menjadi dokter, adalah karena saya ingin menolong orang yang sedang sakit.
Itu susah diwujudkan di Jakarta, atau Indonesia pada umumnya. Orientasinya duit.

Susah!” tulisnya di esainya. Tentu saja memancing kemarahan seniornya, namun Langge
tidak peduli. Ia push-up sebanyak yang diminta, lalu tersenyum lebar ke arah seniornya,
“Terima kasih udah baca esai saya, Kak.” Lalu melengos pergi.

Langge menginap bersama teman-teman seangkatannya di sebuah kamar
kontrakan yang cukup luas untuk ditinggali ramai-ramai. Hal itu Ia lakukan karena harus
mengerjakan banyak tugas dari senior, yang lebih enak dikerjakan bersama-sama. Untuk
sejenak, Ia merindukan Ebiet, meskipun sempat terlupa karena banyaknya kegiatan
PPAM. Seandainya Ebiet tidak menerima beasiswa, pasti dia juga di sini…...

* * *​
 
Kampus UI Salemba, 18:00
Sore itu, di hari terakhir PPAM, seluruh kegiatan sudah selesai dilaksanakan. Ia
hanya harus menjalani malam inagurasi, di mana MABA dilantik menjadi anggota UI
yang sebenar-benarnya. Langge bersorak gembira di dalam hati.

Ia dan teman-teman seangkatannya duduk di dekat pagar, dan hampir semua
temannya merokok. Langge hanya memperhatikan asap yang berhembus dari mulut
teman-temannya. Papa adalah perokok berat, dan Langge agak benci pada ayahnya. Ia
tidak mau jadi seperti Papa, sebab itulah Ia tidak merokok.

"“Cewek kau kuliah di mana, Lang?"” tanya Naek, yang berasal dari Medan. Logat
Bataknya kental sekali, seperti sang jenderal dari Medan yang melegenda, Nagabonar Si
Rajacopet.

"“Gue nggak punya cewek,"” jawab Langge seadanya. Ia menatap langit yang
berwarna lembayung. Antara biru, jingga dan merah muda, diaduk warnanya menjadi
satu oleh Tuhan. Tandanya sebentar lagi adzan Maghrib akan berkumandang, dan Ia
harus sesegera mungkin mendirikan shalat.
Ia berharap sekali, Ebiet sedang menatap langit yang sama seperti yang
dilihatnya, agar kerinduannya akan gadis itu berkurang, meski sedikit. Sangat sedikit.

"“Jangan bohong kau. Sejak tadi kau melamun saja, seperti menunggu ada meteor
jatuh dari atas sana. Itu di dompet kau foto siapa yang kau pajang, kalau begitu? Tidak
mungkin itu foto ibumu, kan? Jika foto ibumu lah itu, biar aku jadi Bapak tirimu."” Naek
menawarkan diri.

"“Namanya Ebiet. Dia ada di Singapore.”"

"“Wah, jauh kali? Tapi kalau dari kampungku sih dekat, tinggal menyeberang dari
pantai, naik kapal juga bisa…”.."

Adzan Maghrib berkumandang. Langge beranjak paling dulu, membasuh
tubuhnya dengan air wudhu.

* * *​
 
Jingga menatap Ibu Minah dengan seksama dan intens. Ia sebetulnya ingin
melontarkan sebuah pertanyaan, yang sedikit gengsi rasanya untuk Ia ucapkan. Namun,
Jingga benar-benar membutuhkan sebuah jawaban. Dan Ia yakin, hanya ibu tua inilah
yang dapat menjawab pertanyaan yang telah berhari-hari berkecamuk di dalam hatinya.

Ibu Minah memakai jilbab dengan rapi sekaligus sederhana, seperti kemarinkemarin.
Kulitnya kendur karena sudah setengah baya, pipinya agak gembul, begitu juga
dengan tubuhnya. Seperti nanny yang ada di film 101 dan 102 Dalmatians.

Kemudian Jingga menunduk, malu, kendati Ia justru belum menanyakan apa-apa.
"“Bumin, Kalang mana?"” tanyanya, setelah berhasil mengumpulkan keberanian untuk
mengutarakan kalimatnya tersebut.

Ibu Minah sedikit kaget mendengar Jingga-—yang selama ini nyaris tidak pernah
berbicara-—sekarang tiba-tiba berbicara kepadanya. Tentang siapa? Kalang? Beliau
berpikir sejenak, menatap anak itu dengan penuh arti. "“Kalang?"” tanyanya heran, dan
bingung, tentang siapa yang dimaksud anak itu dengan sebutan Kalang.

"“Langge,”" jawab Jingga sekenanya. Kemudian Ia menatap ke arah Ibu Minah,
memohon jawaban dengan sorot mata implisit.

"“Iya ya... Sudah dua minggu Langge tidak datang, padahal selama ini Ia tidak
pernah absen. Mungkin Ia sedang sibuk mengurus kuliahnya. Jingga mau bertemu?”"
tanya Ibu Minah, menebak-nebak.

Jingga mengangguk. "“Tapi jangan bilang-bilang ya,”" bisiknya. Ibu Minah
tersenyum mengerti kegengsian dan kebekuan hati Jingga yang mencair, tetapi tetap tidak
mau diketahui oleh orang lain.

"“Nanti Ibu teleponkeun. Kamu main saja sana."” Jingga berlari menuju kartu-kartu
yang Ia sayangi, kartu-kartu remi pemberian Langge.
 
September 2006​
Minggu ketiga kuliah.
Langge menatap langit di mana awan-awan bergerak melambai-lambai dengan
sangat lambat. Lama. Membuat pikirannya melayang ke mana-mana, seperti gumpalan
putih layaknya kapas yang bertengger di langit petang itu. Langit yang berwarna jingga.

Huh. Jingga.

Hari ini Hari Selasa, dan minggu keempat Ia tidak berkunjung ke rumah
keduanya. Berarti, Ia sudah satu bulan tidak mendatangi Rumah Talitemali. Langge
terlalu sibuk dengan kuliahnya, yang lokasinya sangat jauh dari panti tersebut. Padahal,
Langge merindukan seorang anak kecil yang akan sedang beranjak menuju usia belasan
yang selalu bermain kartu sendirian di pojok ruangan. Yang selalu menyita perhatiannya.

Ebiet? Entah sudah berapa lama Langge tidak berselancar di dunia maya, bahkan
hanya untuk mengecek kotak masuk di e-mailnya. Semuanya karena aktivitas kuliahnya
yang terlalu padat, yang memupus mimpi-mimpinya, satu demi satu. Kalaupun
berselancar di dunia maya, Langge cuma mengurusi tugas-tugasnya semata. Ia bahkan
sedang lelah, capek, menghadapi semua hal. Entah Ebiet, Jingga, panti asuhan,
keluarganya, kuliahnya... Menurutnya semua semakin memuakkan dan omong kosong
belaka. Langge kan bukan seorang philantropist, seperti Bill Gates yang memang pada
dasarnya jenius sekaligus kaya.

Langge hanya dapat berharap, Ebiet pulang ke Jakarta di Hari Raya Lebaran
nanti. Mungkin saja dengan begitu Ia bisa menanyakan kepastian hubungan mereka
kepada gadis itu. Karena Langge sebenarnya sudah benar-benar lelah untuk menunggu.
Lelah sekali. Dan bingung akan langkah yang harus Ia lakukan selanjutnya. Ebiet juga
hampir tidak pernah mengatakan bahwa gadis itu menyayanginya...

Lalu, kapan Ia dapat mengunjungi Jingga, Fabian, dan lainnya? Lama-lama Ia
terpikirkan, bahwa jalan terbaik untuk “menyelamatkanya” dari “kekangan” Ebiet
hanyalah dengan melupakannya. Mereka sudah putus, seharusnya Ia bisa jatuh cinta
dengan orang lain. Bahkan, yang lebih baik, lebih manis, lebih cantik daripada Ebiet.
Yang lebih penting lagi, tidak pernah meninggalkannya untuk alasan apapun.

Untuk sejenak, Langge sempat merasa bersalah telah memikirkan hal itu. Tetapi,
wajar saja Ia memikirkannya, Ia sudah cukup putus asa karena segala hal. Kadangkadang,
inginnya pergi ke Planet Mars dan tak pernah kembali. Di Bumi rasanya sama
dengan di Mars, di mana Ia sama-sama anti-sosial, tidak punya pacar, tidak punya
orangtua, dan tidak bisa mengejar mimpi-mimpinya yang berlimpah.

Ibu Minah meneleponnya tempo hari, menanyakan mengapa Ia tidak kunjung
datang ke Rumah Talitemali. Adik-adiknya begitu merindukannya. Mereka bahkan tidak
berharap Langge membawa makanan, kata Ibu Minah, tetapi hanya mengharapkan
kedatangan Langge. Terutama Akilla. Hampir setiap hari Ia bertanya kepada Lita
mengapa Langge tidak pernah datang lagi. Ia bahkan bertanya, “Kakak Langge lupa sama
Killa ya?”

Ketika Ibu Minah mengatakannya, airmata Langge hampir saja menggumpal di
sudut matanya. Ia juga begitu merindukan suasana Rumah Talitemali yang sudah lama
tidak Ia kunjungi. Ayu, Wisnu, aku periksa kalian setiap minggu kalau aku benar-benar
jadi dokter ya.
 
13 – Without You​

Tower 16 Lt. 3 – Villa Marina, 21:03​
TERKADANG MENUNTUT ILMU DI LUAR NEGERI MENJADI BEGITU MEMUAKKAN.
Ebiet menatap layar laptopnya. Mengapa pesan-pesan yang masuk ke dalam
inbox-nya rata-rata hanya spam yang tidak tersaring untuk masuk ke folder spam? Seperti
promosi macam-macam, atau pesan berisi omong kosong yang mengatakan bahwa Ia
memenangkan lotre, yang jelas-jelas bohong.

"“Dia kabar kasih tidak?"” tanya dengan aksen Jepang yang kental. Ia bisa
berbahasa Indonesia sedikit-sedikit karena Ebiet mengajarkannya, sesekali. Gadis asli
Jepang itu sering sekali melakukan kesalahan yang sama-—namun tentunya dapat
dimaklumi, akan penggunaan Bahasa Indonesia. Ia meletakkan kata-kata itu seolah-olah
Bahasa Indonesia sama grammar-nya dengan Bahasa Jepang, di mana kata paling
belakang lah yang dibaca terlebih dahulu, kecuali jika subyeknya diberi partikel ‘wa’.

"“Iie",” jawab Ebiet sekedarnya.

“"Dia busy maybe. A college student, isn’t he"?” tanya Hitomi lagi, sambil
menyeruput soft drink dalam genggamannya lewat sedotan. Ebiet hanya mengangguk.

Hitomi menggenggam frame berisi hasil print foto Ebiet dan Langge yang masih
tersimpan di laptop Ebiet. “"Goddamn it, he’s cute.”"

Ebiet hanya tersenyum simpul.

Lewat Hitomi, yang umurnya lebih muda dari Ebiet, paradigma Ebiet mengenai
dunia luar terbuka lebar-lebar. Hitomi merayakan Natal dan Tahun Baru, meskipun
sebenarnya Ia atheis dan menyembah Dewa Matahari. Rasa toleransi Ebiet pun menjadi
lebih tinggi terhadap teman-temannya dan dunianya yang multikultur. Ia bahkan pernah
membantu Hitomi memilih lampu natal yang cocok untuk dipasang di cemara plastik
kecil yang Ia beli. Namun, kebiasaan itu juga Ia imbangi dengan mengajarkan Hitomi
mengenai Islam. Hitomi bahkan dengan sabar menunggu Ebiet selesai shalat sebelum
mereka pergi mengerjakan lab report atau sekedar berfoto-foto di purikura.

Hitomi juga bercerita bahwa di Jepang, aborsi adalah sesuatu hal yang biasa, dan
siapapun dianggap anak kecil jika belum melakukan hubungan seks. Mangaka memiliki
kekhasan dalam menggambar semata-mata karena ketidakpuasan terhadap diri mereka
sendiri. Ciri-ciri manga rata-rata adalah karakternya bermata besar, kebalikan dari
Japanese yang bermata sipit. Tubuh karakternya seperti Sailor Moon dan kawan-kawan
juga tinggi semampai, padahal orang Jepang relatif pendek, seperti orang Asia lainnya.

Ebiet mengambil telepon yang berada di kondonya itu, menekan nomor tujuannya
yang berupa sambungan langsung internasional. Anak-anak di kondonya patungan
membeli calling card untuk dipakai bersama-sama. Well, meskipun kartu tersebut paling
sering dipakai oleh Michella yang punya pacar di Thailand.

Ia terlalu merindukan Langge, meskipun pria itu tidak membalas SMS-nya,
apalagi e-mailnya. Ebiet lelah dengan situasi dan status ini, di mana mereka berdua saling
mencintai namun tidak memiliki hak untuk marah jika pasangannya tidak memberi kabar.

Mereka berdua saling mencintai namun tidak memiliki hak untuk sekedar mengatakan
“selamat tidur, aku cinta kamu” di setiap malam. Telepon tersambung.

“"Wa’alaikum salam, Langgenya ada? Ooh, gitu. ‘'Ma kasih...”" Ebiet memutus
sambungan itu. Meskipun tidak mengerti akan kalimat-kalimat yang diucapkan Ebiet
dalam Bahasa Indonesia, Hitomi tahu bahwa percakapan tadi tidak dilakukan bersama
Langge, karena Langge tidak di rumah saat itu. Terlebih lagi, raut wajah Ebiet
menyiratkan kekecewaan yang sangat mendalam.

Yang tersisa di dalam hati Ebiet cuma galau. Ia melihat ke luar jendela, menatap
langit dan berharap orang yang begitu dicintainya juga sedang menatap langit yang sama.
Karena sejujurnya, Ia telah terlampau lelah dengan semua. Seharusnya Ia tidak plin-plan,
semestinya Ebiet berpegang teguh pada pendiriannya untuk memutuskan hubungannya
dengan Langge. Entah mengapa, kemarin-kemarin hal itu begitu sulit untuk Ia
pertahankan.

* * *​
 
"“It’s Sunday morning, and I have no assignments at all. Hoo-ray..".” Langge
bersorak sorai di dalam hatinya sambil merebahkan diri di atas sofa yang empuk di ruang
keluarga, di depan televisi, tepatnya. Ia sudah berencana bahwa hari ini Ia akan berleyehleyeh
tanpa memikirkan apapun, bahkan Ebiet, karena semua hal semakin hari semakin
membuatnya bingung. Yang dapat Langge lakukan pada saat ini hanyalah menjalani apa
yang ada, bukan apa yang seharusnya.

Ia memejamkan matanya. Ingin tidur sejenak. Lalu sedetik kemudian mengumpat
kesal karena ponselnya berbunyi. Berdering pas di telinganya. Shit, can’t I have some
sleep?


Rumah Talitemali?

“Assalamu’alaikum, Nak Langge?” ujar suara itu.

“Iya, Ibu? Wa’alaikum salam

"“Jingga panas tinggi, Nak. Langge bisa ke sini, sekarang? Daritadi Ia mengingau,
memanggil-manggil kamu. Sekalian tolong bawa Jingga ke rumah sakit. Satu-satunya
mobil yang ada di sini mogok, daritadi tidak bisa dinyalakeun. Rumah Nak Langge kan
lumayan dekat dari sini, jadi Ibu pikir..."—” Shit! Kalimat Ibu Minah keburu dipotong
Langge dengan buru-buru.

“"Langge ke sana sekarang, Bu. Assalamu’alaikum".” Dengan segera, Ia
melangkahkan kakinya untuk mengambil kunci mobil yang tergeletak di coffee table dan
langsung tancap gas ke Rumah Talitemali.

* * *​
 
Langge tidak berkata apa-apa ketika Ia melihat Jingga terkulai lemah di suatu
ranjang di rumah sakit. Seolah-olah, menyebut nama itu seperti mengucapkan sebuah
mantra, yang jika diucapkan dengan nada yang salah dapat menghancurkan semua hal.
Jingga Ia bawa ke Rumah Sakit Kautsar, yang berada tidak begitu jauh dari Rumah
Talitemali. Rumah sakit itu ukurannya relatif mungil, rumahan, dan bukan merupakan
rumah sakit yang mewah

Ia membelai rambut anak itu, pelan-pelan sekali. Sekarang panasnya sudah turun
menjadi 39 derajat Celcius. Saat panasnya 41 derajat dan Jingga hampir kejang, Ia kerap
menyebut-nyebut kata ‘Kakak’ tanpa henti, dan semua orang di Rumah Talitemali
menyimpulkan bahwa kata ‘Kakak’ berarti Langge. Padahal Langge tahu, bahwa
mungkin saja kata ‘Kakak’ digunakan Jingga untuk membahasakan kerinduannya pada
kakak kandungnya—-yang entah ada di mana. Anak itu bahkan tidak pernah mau
memberitahukan nama kakaknya kepada Langge. Jadi, bagaimana Langge mau
membantu?

“"Mungkin dia rindu sama kamu, Nak,"” kata Ibu Minah, yang berdiri di sebelah
Langge. Langge memperhatikan kondisi tubuh Jingga, satu inchi demi satu inchi, dengan
sangat teliti, takut-takut memang ada yang salah pada tubuh anak itu. Sudah pasti dia
rindu kakak kandungnya.


“"Aku kuliah, Bu,”" komentarnya singkat. Bagaimana tidak, baru saja mengenyam
beberapa minggu di fakultas kedokteran, Ia sudah dihujani dengan derasnya tugas.
Tugas-tugas yang menyita waktu dan tenaganya secara berlebihan. Tugas-tugas yang Ia
benci sampai ke akar-akarnya.

“"Di hari libur, sempatkeun ke sini. Kasihan Jingga, nampaknya Ia begitu sayang
padamu, Nak,”" ujar Ibu Minah lagi. Ia merasakan hal itu karena Jingga hanya bisa dekat
dengan Langge, apalagi perjanjian yang Jingga buat dengannya supaya Ia merahasiakan
bahwa Jingga kangen pada Langge.

Langge tidak menjawab. Sejujurnya, Ia mau bilang bahwa Ia juga begitu, begitu
menyayangi Jingga. Tapi, apa yang akan dunia katakan padanya? Ia bahkan tidak tahu
bagaimana perasaannya yang sebenarnya pada Jingga. Ataukah perasaannya seperti itu
hanya karena orang yang benar-benar Ia cintai berada jauh darinya?

Lagipula, anak itu selalu saja terobsesi pada kakak kandungnya yang, menurut
Langge, in a middle of nowhere. Langge selalu kalah jika Jingga bandingkan dengan
orang yang Ia sebut Kakak. Sejujurnya, Langge ingin dipandang oleh Jingga. Entah
sebagai kakak, atau apapun. Ia ingin Jingga bisa menyayanginya seperti Ia menyayangi
anak itu.
 
Masalahnya dengan Ebiet bahkan belum terselesaikan, meskipun sebenarnya
tidak ada masalah. Sejak pertama kali mengenal gadis itu, Langge telah berikrar kepada
dirinya sendiri bahwa Ia tidak akan pernah meninggalkan Ebiet – sampai kapanpun.
Mungkin bagi sebagian orang, janji semacam itu merupakan janji yang sangat sulit untuk
ditepati. Tetapi bagi Langge, Ia bersedia melakukan apapun demi Ebiet, kecuali jika Ia
sudah harus bertemu maut tanpa sempat berpacaran dengan Ebiet lagi.

Namun, lama kelamaan, janji tersebut semakin sulit untuk Ia penuhi. Lagi-lagi,
Langge merasa sangat lelah, bodoh dan dipermainkan.

Keesokan harinya, baru jam 10 pagi tetapi Ia sudah sepuluh kali Ia melewati
sesuatu yang berwarna Jingga. Dari tempat sampah untuk sampah kering di kampusnya
(empat tempat sampah, persisnya), dan ketika berangkat ke kampus Ia berpapasan dengan
rombongan pendukung klub Persija yang tentunya memakai atribut serba oranye, Mama
memerintahkannya untuk membawa jeruk Sunkist ke kampus supaya sariawan di
bibirnya sembuh, Naek memakai tas ransel berwarna jingga, begitu juga dengan kaus
yang dikenakan oleh Indri. Ketika Ia membeli sandal di warung pun, yang tersisa hanya
warna oranye. Oh iya, Reinat juga mengganti karet behelnya dengan warna yang sama!

Semua itu seolah-olah mengingatkan Langge perihal Jingga, sebuah nama yang
entah mengapa kerap terngiang-ngiang di telinganya dan terpantul-pantul di kepalanya.
Langge tidak mengerti mengapa Ia merasa memiliki hubungan batin yang kuat dan utuh
terhadap Jingga, bahkan lebih kuat dibandingkan dengan yang Ia rasakan di antara
dirinya dan Ebiet. Ia bahkan tidak terpikir akan Ebiet belakangan ini.

Mungkinkah karena nama anak itu adalah nama warna kesukaannya? Ataukah
karena Jingga terlihat sangat familiar dan similar dengan Ebiet, gadis yang selama ini
susah sekali untuk Ia dapatkan? Langge tidak tahu, dan terkadang, Ia malah tidak mau
tahu. Ia menatap langit sore itu, yang warnanya masih biru, belum menjadi Jingga...
 
14 – Things (Do) Get Worse​

Rumah Oma, 10:01
IA SELALU MENYUKAI ATMOSFIR RUMAH INI.
“"Hai, Oma... Assalamu’alaikum!”"
Langge menyerukan salam ketika mengunjungi rumah neneknya yang ada di
Bintaro. Hari ini Mama meminta tolong Langge mengambilkan beberapa barang dari
rumah neneknya, karena jadwal Mama padat sekali dan hitung-hitung balas budi Langge
yang telah diajarkan menyetir oleh Mama.

Langge selalu senang pergi ke rumah Oma Fatidar. Omanya itu tinggal berdua
dengan perawatnya, dan meskipun usianya sudah sekitar 80 tahun, beliau masih tampak
segar dan bugar. Setelah dioperasi beberapa tahun sebelumnya, Oma tidak diperbolehkan
lagi menyetir. Tetapi Oma tetap bersikeras jalan sehat pagi-pagi setiap harinya dan
setelah Shalat Subuh, beliau selalu minum jus sebelum menyantap makanan lainnya.

Menurut Langge, Oma Fatidar adalah wanita yang sangat hebat. Karena tuntutan
zaman, beliau fasih berbahasa Indonesia, Padang, dan Belanda semenjak kanak-kanak.
Bisa berbahasa Jerman, Perancis dan Jepang ketika beranjak dewasa, dan lalu
mempelajari Bahasa Sunda ketika menikah dengan kakeknya Langge yang legendaris itu.
Karena penjajahlah orang-orang yang tinggal lebih dulu daripada kita menjadi orangorang
yang sangat cerdas. Karena tuntutan. Seperti Bung Karno yang dipenjara di dalam
sebuah ruangan yang sangat sempit dan gelap, tetapi Ia tetap membaca, tetap belajar. Di
jaman seperti sekarang ini, mana ada orang yang seperti itu?

Oma juga selalu menceritakan bentuk perjuangannya sendiri. Di mana di zaman
dahulu kala di rumahnya tidak kebagian listrik, sehingga Oma harus belajar sebelum
petang. Kalaupun malam-malam Ia harus belajar, Ia belajar menggunakan pancaran sinar
petromaks. Oma adalah anak tunggal dan menjadi anak yatim sejak berusia empat tahun.
Karena keinginan ibunya yang kuat, Oma bisa disekolahkan di Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Wa’alaikumsalam! Sini, masuk, Nak... Sudah lama tidak lihat Langge. Kata
Mama, kamu diterima di Universitas Indonesia?"” tanya Oma dengan antusias. Meskipun
sudah sangat pelupa karena faktor usia, Oma selalu bangga terhadap anak dan cucu-cucunya,
baik yang berprestasi maupun tidak. Semua berita akan beliau ucapkan
berulang-ulang, dengan ekspresi bahagia yang sama.

Langge tersenyum lebar dan duduk di sebelah neneknya.

“"Hebat sekali. Sama seperti kakekmu,"” tandas beliau.

Dank je".” Ia mengucapkan kata ‘terima kasih’ dalam Bahasa Belanda, karena
neneknya sering sekali mengatakan itu. Bahasa Belanda digunakan di rumah tersebut
untuk kegiatan sehari-hari, misalnya ketika makan malam bersama, atau sekedar saling
menyapa.

“"Oma dulu tidak sempat kuliah sampai selesai, karena Aki melarang Oma kuliah
maupun bekerja. Aki yang mau mencari nafkah dan Oma mengurus anak-anak..."” Dan
Oma mulai bercerita. Hal itulah yang sangat Langge senangi dari neneknya. Neneknya
begitu gemar bercerita dan membuatnya bisa menjadi semakin cerdas dan berwawasan.
 
Terkadang Langge iri akan pengalaman neneknya yang menghadiri upacara
proklamasi di Pegangsaan Timur, melihat Bung Karno dan Bung Hatta dari dekat, tidak
seperti Langge yang hanya bisa melihat mereka di foto maupun Tugu Proklamasi. Beliau
juga pernah mengunjungi rumah Bung Hatta karena bersahabat dengan seseorang
bernama Aisyah, yang merupakan keponakan Bung Hatta. Oma juga pernah bertemu
dengan Bung Sjahrir. Suaminya bahkan begitu dihargai di negeri ini.

Oma bercerita tentang masa kuliahnya. Ketika itu, Ia menginap di sebuah asrama
di dekat Jalan Diponegoro, mungkin kalau sekarang seperti kosan. Di asrama tersebut
tinggallah mahasiswi dari berbagai tingkat. Oma duduk di tingkat satu, memiliki teman di
tingkat empat bernama Khadijah. Wanita bernama Khadijah itulah yang merupakan
teman baik Aki, mereka sering sekali belajar bersama dan akhirnya Aki mengajak Oma
berkenalan.

"“Uw grootvader is een groot persoon. Bayangkan, ibunya tidak bisa berbahasa
Indonesia, tidak bisa baca-tulis, dan ayahnya hanyalah seorang camat. Tetapi Ia bisa
bersekolah di Amerika Serikat! Bahkan Ia menjadi spesialis bedah plastik pertama di
Indonesia. Itulah mengapa Aki-lah yang mengajarkan ilmu ini kepada penerusnya...”"
Oma bercerita dengan begitu sabar.

Langge begitu menyayangi Oma. Apalagi Oma tidak pernah memperlakukannya
berbeda dari cucu-cucunya yang lain, tidak seperti Mama yang memperlakukannya
berbeda dengan Vane dan Tare hanya karena Ia bukan anak kandungnya. Padahal, there
are bonds that are stronger than blood
, menurut film “'Four Brothers”'.

Dan untuk sesaat, dalam saat ini, berada di sana membuat hatinya menjadi jauh
lebih damai daripada sebelumnya. Damai sekali. Padahal, belakangan ini Ia begitu muak
dengan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan dirinya.

Ia segera mengambil barang-barang yang diminta oleh Mama. "“Minggu depan
Langge ke sini lagi ya, Oma...”"

* * *​
 
Rumah Sakit Kautsar, 14:09
Langge melangkah di selasar yang kosong itu. Begitu kosong, dan entah
mengapa, Ia merasa benar-benar sendiri. Sesuatu yang kosong terkadang memang
berdampak psikis terhadap kita. Kita merasa kesepian, sebuah hal yang berbeda dari
kesendirian. Langge merasa tidak memiliki siapa-siapa, semenjak Fari terlalu sibuk
dengan program Studienkolleg-nya, dan Ebiet sudah entah berada di mana. Mereka
berdua hanya bertukar kabar melalui SMS, itupun hanya sesekali saja.

Hari ini hari ketiga Jingga dirawat di rumah sakit.

"“Ibu Minah..."” sapanya ketika melihat Ibu Minah di kursi di sebelah tempat tidur
Jingga. Jingga dirawat di kamar kelas 2, yang berarti berbagi kamar dengan dua orang
lainnya dan yang ingin menengok harus mematuhi jam kunjungan.
"“Dokter sudah visit?Apa katanya?"” tanya Langge pelan-pelan, karena Jingga sedang tertidur pulas.

Ia ingin menangis melihat kondisi anak itu. Di tangan kanannya tertancap jarum
infus semetara di hidungnya diletakkan selang untuk memudahkan pernafasannya. Nafas
Jingga “satu-satu”, jauh di bawah jika dibandingkan dengan orang yang normal lainnya.

"“Jingga memiliki kelainan paru-paru, Langge. Ibu juga tidak mengerti, mungkin
sebaiknya kamu tanya dokternya saja." Katanya mungkin disebabkeun karena bakteri,
virus, atau karena Ia beberapa tahun tinggal di jalanan, tapi sebab pastinya belum
diketahui. Kalau tidak salah pneumonia, sehingga terdapat cairan di dalam paruparunya
harus disedot,” kata Ibu Minah.

Langge tidak percaya ketika mendengarnya. Seolah-olah seperti takdir, seakanakan
Jingga memang jelmaan dari Ebiet. Mereka berdua memiliki penyakit yang
berhubungan dengan paru-paru, meskipun penyakit Ebiet tidak separah Jingga. Namun,
jika mau dihubung-hubungkan dengan teori reinkarnasi, tentu saja tidak bisa
dihubungkan. Di mana Ebiet saja masih sehat dan afiat sampai sekarang.

Ia memang sudah bisa membaca gejala-gejala yang dialami Jingga. Panas tinggi,
menggigil, apalagi Ia beberapa kali mengeluh bahwa dadanya sakit, seperti ditusuk-tusuk.
Tetapi Langge memilih menutup mata dari semua itu. Ia pura-pura tidak mau tahu apa
yang sebenarnya terjadi dengan Jingga.

“Dokter bilang, sebaiknya Jingga tetap dirawat di sini. Kondisinya lemah sekali.”
Dari caranya menatap Langge, Langge tahu bahwa Ibu Minah pusing setengah
mati menghadapi persoalan ini, dan Langge tidak tahu apa yang harus Ia lakukan untuk
mendukung Jingga menuju kesembuhannya.

Bagaimanapun juga, biaya rumah sakit tidak murah, dan Rumah Talitemali
didirikan secara swadaya, tidak dengan bantuan dari pemerintah. Tidak adil rasanya jika
dana yang dimiliki oleh panti tersebut digunakan hanya untuk kepentingan Jingga semata,
bukan untuk kepentingan anak-anak yang lainnya.

Ibu Minah keluar dari bangsal tersebut karena ingin memberikan space bagi
Langge, untuk dapat berkomunikasi dengan Jingga, meskipun samar-samar. Langge
duduk di kursi yang tadi diduduki oleh Ibu Minah, menatap ponselnya. Ia begitu berharap
Ebiet juga ada di sana, yang pastinya ikut memberinya support dan saran, akan apa yang
harus Langge lakukan.

Jingga memang bukan siapa-siapa Langge. Bukan adik, bukan adik angkat,
sepupu, teman, atau apapun. Ia hanya seorang anak di Rumah Talitemali yang begitu
menarik perhatiannya. Mungkin, karena namanya “Jingga”, suatu kata dan warna yang
begitu Langge sukai karena banyak hal. Karena Ia senang main basket, karena Ia senang
warna langit di sore hari, karena waktu itu Ebiet juga menyebut kata “jingga”, bukan
“oranye” seperti orang lain. Kenangan-kenangan itu terkristalisasi dan terpatri di otaknya
dengan rapi.

Tidak mungkin Langge bisa membawa Jingga ke rumahnya, apalagi dengan
keadaan rumah yang sangat strict dan tidak memungkinkan. Mungkin ibunya Ebiet mau
menjaga Jingga apabila Jingga tidak sakit. Siapa juga yang tidak akan repot mengurus
anak yang seringkali sesak nafas sekaligus tidak jelas asal-usulnya?

Langge berpikir keras dan tanpa disadari, lima menit lagi waktu kunjungannya
habis. Ia mengecup kening Jingga yang masih tertidur pulas. Inginnya berjanji ingin
menolong Jingga, tapi... Ia tidak berjanji. Ia hanya pulang.

Sesampainya di rumah, Langge segera menghampiri komputer dan membuka emailnya
yang sudah lama tidak Ia buka. Ada banyak e-mail, rata-rata dari Ebiet. Tentang
cerita sehari-harinya, exam-nya, Hitomi yang baru punya pacar dan Ia pun jadi dilupakan,
dan banyak cerita lainnya. Salah satu yang paling menarik di mata Langge adalah acara
Global Picnic yang digelar di auditorium SOS.
 
Global Picnic adalah sebuah bazar persembahan siswa-siswi, stand di sana terbagi
per negara atau kebangsaan siswa-siswi tersebut. Siswa-siswi Indonesia juga ikut ambil
bagian. Ketika Ebiet di Jakarta, ibunya sempat menemaninya pergi ke Sarinah Thamrin
untuk membeli miniatur wayang yang akan dibagikan secara gratis di acara tersebut
sebagai suvenir. Teman-teman Ebiet yang sama-sama berasal dari Indonesia ada yang
bertugas membuatkan makanan. Diaz yang kebetulan ibunya berasal dari Padang,
membawa makanan rendang, opor ayam dan juga ketupat dan bumbu poyah. Kata Ebiet,
teman-temannya yang dari Eropa begitu menyukai penganan tersebut, yang khas rempahrempah.
Teman-temannya yang lain juga mementaskan pertunjukan Tari Saman di
panggung. Ebiet pun diajak, tetapi berhubung Ia tidak bisa menari, Ia menolak. Ia
memilih menjaga stand Indonesia saja.

To : February Tatiana <februarytatiana@my.sos.edu.sg>

Dear Ebiet,

My February Tatiana (see? Your name is very beautiful, just like you
=P). AAAAAAH. I MISS YOU! Sorry I was very busy, studying in the
faculty of medicine is very, very annoying. It steals your time a lot.
I wonder if you were here, you can help me to do my assignments,
hahaha. Wow, Global Picnic sounds very fun, and seems like you’re very
close with that Diaz guy? Are you sure he’s only a friend? You can
smell jealousy from S’pore =(

Good luck with your exams, dearie. I’m lost, Jingga is being
hospitalized right now. A few days ago she collapsed, she has pneumonia
(I had just figured it out). No wonder she’s getting skinnier, every
single day. The doctor said that she needs to stay in the hospital for
a few days. Until when? The cost will be very high, won’t it? I dunno
what to do.

Sorry Biet for my business lately. I haven’t buy any credit balance,
too many assignments. I wish I went to NAFA, or NTU, or any college in
Singapore! I wish I was that close to you. I miss your voice, your
smile, your eyes, your laugh, you. Sorry for being cheesy, it came from
my deepest heart, hahaha.


Langge sudah benar-benar lelah dengan semua ini. Semuanya.

* * *​
 
Begitu juga dengan Ebiet. Ebiet juga sudah lelah. Jika Langge memang benarbenar
ingin merekatkan hubungan mereka lagi, tidak mungkin laki-laki itu
mengacuhkannya seperti ini. Sepertinya selalu ada hal lain yang lebih penting dari
dirinya. Dari tugas kuliah – yang menurut Langge memuakkan, Jingga – yang menurut
Langge susah diatur, keluarganya – yang menurutnya sama sekali tidak menyenangkan.
Langge selalu bersikeras bahwa Ebiet adalah sanctuary-nya, tetapi sepertinya
kenyataannya tidak seperti itu.

Lagipula... ada orang lain yang mengisi hatinya.
Namanya Diaz, salah seorang teman seangkatannya di SOS yang juga berasal dari
Indonesia. Orangnya putih, berbeda dengan Langge yang kulitnya agak kecokelatan
akibat terpaan sinar matahari yang tidak ada habis-habisnya. Bukannya Diaz tipikal
cowok dandy yang tidak suka berolahraga, Ia senang sekali berenang tetapi di kolam
renang indoor yang lokasinya tidak jauh dari kondonya di Bayshore.

Tubuh Diaz tidak setinggi Langge meskipun hobi cowok itu berenang. Ia begitu
menyukai pelajaran Matematika dan mengambil program IB di semua mata pelajaran.
Sebab itulah Ebiet dan Diaz semakin hari semakin dekat, karena Ebiet tidak pintar di
pelajaran Matematika. Bukan hanya itu, mengingat Bayshore dan Villa Marina letaknya
sama-sama di daerah East Coast, Diaz dan Ebiet beberapa kali "“terjebak"” di dalam bus
yang sama.

Matanya yang sipit dan kulitnya yang putih Ebiet asumsikan merupakan akibat
dari orangtuanya yang berdarah Padang. Kemudian, Ebiet mengasumsikan lagi bahwa
Diaz beragama Islam, mengingat provinsi Sumatera Barat terkenal dengan budaya Islami
yang kental. Ia belum menanyakan ke Diaz secara pribadi sebenarnya, hanya asumsiasumsi
belaka.

Diaz memberinya nafas, semangat untuk belajar di SOS. Tidak banyak pelajar
Indonesia yang belajar di SOS, teman-teman Ebiet asal Indonesia bahkan hanya Arnet
dan Fifi yang tinggal di kondo yang sama dengannya, serta seorang kutubuku bernama
Karen selain Diaz. Mau tak mau, Ebiet hanya bisa bertanya mengenai pelajaran kepada
Diaz seorang, karena Arnet dan Fifi bukan full IB student seperti dirinya dan cowok itu.

Seperti saat ini. Ebiet sedang getol-getolnya belajar, sampai-sampai di saat sahur
seperti sekarang pun Ia mengerjakan tugas Matematikanya yang tidak kunjung selesai. Di
kondo, hanya Ebiet dan Fifi yang menjalankan ibadah puasa, sehingga hanya mereka
berdua yang harus bangun sahur. Meskipun begitu, kadang-kadang Miss Hana ikut
bangun dan menemani mereka sahur sebagai mentor yang baik, terutama di weekends
karena di hari berikutnya Miss Hana tidak harus pergi bekerja.

Ia melihat ke arah arlojinya, sekarang masih pukul 3 pagi lewat 5 menit. Lagilagi,
Ebiet menyimpulkan bahwa Diaz masih bangun sahur. Ia pun dengan santainya
mengambil telepon wireless yang ada di kondo dan menghubungi ponsel Diaz, tidak enak
juga jika menghubungi rumah orang pagi-pagi buta begini. Telepon itu tidak kunjung
diangkat.

“"Ha...lo?”" Suara Diaz akhirnya terdengar di seberang sana. Namun, nampaknya
cowok itu masih setengah tidur.

"“E-eh, Yaz? Kok suaranya gitu? Kamu gak sahur?"” tanya Ebiet, bingung,
sekaligus tidak enak hati. Sepertinya Ia mengganggu tidur Diaz yang sedang nyenyak-nyenyaknya.

“"Oh, Ebiet... Hah? Sahur? Gue kan Nasrani, gue gak puasa lagi...” "jawabnya
lugas. Ebiet terperangah dan lebih tidak enak hati lagi saat ini. Sudah mengganggu tidur
orang lain, menebak-nebak agama orang lain pula hanya karena latar belakang
orangtuanya.

“"Ya ampun! Maaf dong, Yaz. Ya udah, lo tidur lagi deh, maaf ya, Yaz.”"

“"Aduh, apaan sih? Nggak apa-apa kok. Gue emang sering digituin, makanan
kesukaan gue aja rendang masakan nyokap gue, pasti banyak yang gak percaya kalo gue
Protestan, soalnya gue keturunan Padang. Besok deh kita ngobrol-ngobrol lagi. Kenapa,
Biet? Gila lo, telepon gue jam... 3 pagi begini? Pasti ada yang penting kan? Masa’ iya
cuma mau bangunin lo? Kayaknya gak mungkin deh.”"

“"Ada PR yang gue gak bisa...”"

"“Oh? Yang mana? Tunggu, gue cuci muka dulu ya, Biet...”"
 
15 – Define Love

Singapore Overseas School, 13:06
DIAZ MULAI BENAR-BENAR MENGISI HARI-HARIKU.
Aku pertama berkenalan dengannya ketika mulai menjadi senior di sekolah, yaitu
ketika kami mulai duduk di Year 11. Aku dan Diaz sama-sama berstatus full IB student,
di mana kami menjalani program IB untuk semua mata pelajaran yang kami ambil.
Sebab itulah, aku dan Diaz sering kali berbagi kelas yang sama, termasuk di pelajaran
Math dan Science, sehingga kami kerap mengerjakan tugas bersama-sama.

Siswa full IB student yang berkebangsaan atau keturunan Indonesia hanya ada
tiga: aku, Diaz dan Karen. Aku tidak begitu dekat dengan Karen, sebab Ia memang
tipikal anak yang kutu buku dan suka menutup diri. Kami mengobrol sesekali jika
memang ada tugas kelompok yang mengharuskan aku mengerjakan tugas dengannya.
Belum lagi, tempat tinggal kami searah. Diaz tinggal di Bayshore bersama kedua
orangtua dan kakak perempuannya, Indiana, dan aku tinggal di Villa Marina. Bayshore
dan Villa Marina sama-sama berada di kawasan East Coast, karena itu, aku dan Diaz
sering berbagi satu bus pula setiap pulang sekolah. Kami jarang bertemu di pagi hari.
Entah kenapa, Diaz sangat senang berangkat pagi-pagi sekali.

Setiap siswa-siswi di SOS diwajibkan untuk mempersembahkan minimal satu
jenis community service kepada masyarakat. Boleh apa saja, dari menyapu jalanan
(kalau yang itu agak impossible sih), membantu guru, mengajar anak-anak yang
mentally retarded, dan sebagainya. Aku memilih untuk bekerja part-time di daycare-nya
Nyonya Fa Hien dari keluarga Zhu. Pekerjaanku di sana tentu saja menjaga anak-anak
kecil yang dititipkan di daycare, kadang-kadang aku juga membantu Nyonya Fa Hien
menyiapkan makanan kecil bagi mereka, atau sekedar membereskan mainan ketika anakanak
sudah mau pulang. Tidak dibayar memang – namanya juga community service,
tetapi aku senang bekerja di sana. Selain karena aku suka anak-anak, Nyonya Fa Hien
juga sering membekaliku makanan untuk dibawa pulang ke kondo. Beliau tahu bahwa
aku seorang Muslim, sehingga beliau tidak pernah memberikan masakan yang
mengandung babi atau anjing. Nyonya Fa Hien juga fasih berbahasa Inggris, tidak
seperti kebanyakan Cina Singapura yang jauh lebih fasih berbicara Singlish –
kependekan dari Singaporean English – dan tidak mengerti Bahasa Inggris resmi sama
sekali.

Ya. Bahasa termasuk salah satu kendala terbesar di sekolah dan di pekerjaanku.
Bahasa Inggris Singapura susah sekali untuk dimengerti, mungkin karena aku
mempelajari Intensive English di IKOMA Language School, sehingga aku pun sudah
terbiasa dengan Bahasa Inggris “yang sebenarnya”. Apalagi anak-anak yang dititipkan
di daycare mayoritas bisa berbicara dengan gaya Singlish ini, yang membuatku kadangkadang
tidak mengerti maksud pertanyaan atau pernyataan mereka. Contohnya, “I can
do this what? Can lah!”. Artinya kurang-lebih “Aku boleh melakukan hal ini kan? Boleh
ya?”.

Fa Hien’s Daycare berada tidak jauh dari kondoku. Kira-kira bisa ditempuh
selama kurang lebih 15 menit dengan berjalan kaki. Well, Singapura kan relatif kecil,
apalagi jika dibandingkan dengan Jakarta. Nah, di sini lah serunya. Aku bekerja setiap
hari Rabu dan Sabtu. Pada Hari Rabu, aku bekerja dari jam 5 sore sampai jam 7 malam
saja, untuk menemani anak-anak yang belum dijemput oleh orangtua mereka dan lalu
membantu Nyonya Fa Hien berberes. Fa Hiang, putranya, suka mengantarkan aku naik
sepeda jika aku pulang kemalaman. Sebenarnya Singapura adalah kota dan negara yang
jauh lebih aman dibandingkan dengan Jakarta, tetapi Nyonya Fa Hien takut terjadi apaapa
denganku di jalan, sehingga Ia memaksaku untuk pulang diantar dengan Fa Hiang
di hari Rabu.
 
Di Hari Sabtu, aku bekerja dari jam 9 pagi sampai jam 3 sore, karena Nyonya Fa
Hien ingin memiliki satu hari libur saat weekend, lagipula daycare juga hanya buka
setengah hari di hari Sabtu-Minggu. Selain aku, ada Zhu Quai Le, sepupu Zhu Fa Hiang
yang juga senang menjaga anak-anak, sehingga aku tidak terlalu lelah mengurus sekitar
delapan anak. Aku juga tidak begitu senang berjalan-jalan di hari libur, karena uang
jajan yang terbatas. Kalaupun berjalan-jalan, biasanya aku baru berangkat setelah dari
daycare. Di Hari Sabtu, Diaz juga rutin berenang. Kolam renang indoor tempat Ia rutin
berenang berada tidak jauh dari Fa Hien’s Daycare. Oleh sebab itu, Diaz sering
mengantarku bekerja, kami bertemu di bus stop East Coast kira-kira pukul 8.20 setiap
Sabtu. Di perempatan dekat daycare, aku belok kiri menuju daycare sementara Diaz
masih harus menyeberang.

Singkat kata, aku dan Diaz benar-benar memiliki kegiatan-kegiatan yang
membuat kami sering menghabiskan waktu bersama. Coincidences, as I may say.

Aku memanggil Diaz ketika melihat cowok itu melintas beberapa meter di
depanku. Sekarang sedang lunch time, dan tentu saja aku tidak harus pergi ke kantin
mengingat aku sedang berpuasa. Awalnya, agak berat berpuasa di sini memang, karena
tidak ada orang lain di sekitarku yang berpuasa selain Fifi. Tapi yah, kuanggap saja
semua ini akan menambah pahala puasaku, amien.

Diaz duduk di sebelahku, di sebuah bench yang ada di koridor lantai dasar.
“Hey,” ujarnya. Aku tersenyum.

“"Kamu gak makan? Maaf banget ya, tadi malam. Beneran deh, maaf ya."” Aku
masih sungkan berbicara dengan Diaz gara-gara kejadian dini hari tadi sebenarnya.
Bagaimana tidak? Dengan seenaknya aku mengasumsikan bahwa Ia menganut
kepercayaan yang sama denganku.

"“Ya ampun, kau ini. I have told you, it’s okay,”" kata Diaz.

"“Kamu gak makan?"” ulangku. Sekarang sudah sepuluh menit berlalu semenjak
bel lunch time berbunyi dan Diaz sama sekali tidak berada di kantin. Padahal biasanya,
Ia paling rajin mengunjungi tempat yang satu itu untuk menyantap nasi lemak maupun
sandwich tuna kesukaannya.

Banyak sekali siswa-siswi yang berlalu-lalang. Dari Cool Caucasian, Cool Asian,
nerds, athletes... Bermacam-macam sekali penduduk Singapura, dapat Ia lihat hanya
dengan memandangi koridor sekolahnya yang juga multikultur.

Diaz menggeleng. "“I’m not hungry,"” jawabnya singkat. "“Lebih baik kita
mengobrol-ngobrol saja. We’ve been friends for quite a long time, but we haven’t known
each other well,"” tukasnya. “Let’s start with me.”

Aku mengangguk, mengiyakan saja.

“"Well, well... Mommy and Daddy met when my dad went to Padang, he lived in
Medan anyway. Kakek dan nenekku beragama Islam, dulu Ibuku juga menganutnya.
Tetapi Ia tidak begitu mentaati ajaran Islam, Ia hampir tidak pernah shalat apalagi
membaca kitab. Setelah bertemu ayahku, ibuku begitu mencintai ayah yang beragama
Kristen Protestan, dan akhirnya ibuku pindah, masuk ke agama ayahku. Sebenarnya
nuansa Kristiani di keluargaku tidak begitu kental, karena Daddy keturunan Cina. Jadi,
dibanding menghadapi Paskah atau Natal, kami lebih memikirkan untuk menjalani
upacara-upacara Tionghoa sesering mungkin,”" cerita Diaz.
 
Back
Top