JINGGA

"“Iya sih, Bang. Gimana ya?”"

"“Kalo akustik sih lo taro-taroin aja kursi di depan, palingan nge-bandnya juga
pada sambil duduk. Ballads juga manggungnya gak full team, cuma yang diperlukan aja,
sisanya nontonin. Ntar gue contact teknisi panggungnya Ballads deh, siapa tahu dia
punya kenalan yang bisa minjemin barang-barang. Atau mungkin, ambil aja dari studio
kita alat-alatnya, asalkan jangan sampai rusak...”" usul Fino.

“"Oke deh, gue mau nanya-nanya dulu tentang panggung, ke siapa kek gitu.
Thanks ya, Bang.”"

Setelah telepon diputus, Ia lagi-lagi kebingungan harus meminta bantuan ke
mana. Jika meminta tolong pada Yudhi, rasanya Ia sudah terlalu sering berhutang budi
pada cowok berkacamata itu. Fari lagi-lagi tidak bisa ditelepon.

Langge putus asa. Ketika Ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba
ada SMS yang masuk ke ponselnya.

From : +622192178348
Ge, wkt itu lo blg mau bikin mlm amal kan ? Udah ada panggung ? Gw ga bisa bantu
duit, tp gw bisa sewain panggung, bokap gw wiraswasta ngurus panggung. Gw ga bisa
ngasih gratis, tp gw td ngomong2 sm bokap. Ktnya boleh cicil lah, dan buat lo didiskon
abis. Acaranya dmn sih ? (Adrian FK)


Oh, God. It really is a miracle.

Inginnya Ia melonjak kegirangan ketika menerima SMS tersebut. Ditambah lagi
SMS dari Adrian dikirim melalui sebuah nomor kartu CDMA. Memang beda operator
dengannya, tetapi bisa Ia hubungi melalui ponsel adiknya. Sesegera mungkin Ia berjalan
menuju kamar adiknya, Vane.

"“Van, ada pulsa nggak?"” tanyanya.

“"Ada, tapi gak boleh Mas pake,”" jawab Vane singkat. Langge dapat melihat
bahwa adiknya sedang mengerjakan PR.

“"PR apaan tuh?"” Langge berharap-harap semoga PR adiknya merupakan
pelajaran eksakta. Seharusnya Ia bisa mengerjakan soal pelajaran eksakta tingkat SMP
dengan baik, karena notabene-nya, Langge lulus SPMB IPA langsung ke Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

“"Biologi,”" kata Vane tanpa menengok.

“"Sini Mas aja yang kerjain, tapi lo pinjemin Mas HP lo buat nelfon,"” tawar
Langge.

“"Ke mana?”"

“"9217 sekian-sekian?”"

“"Oke."” Vane dengan segera mengiyakan, dan lalu menyerahkan ponsel serta buku
pelajarannya kepada Langge. Ia menunjukkan nomor-nomor yang harus dikerjakan
(untunglah tidak begitu banyak!).

Sekembalinya dari kamar adiknya, Langge mengesampingkan pekerjaan rumah
Vane tersebut dan segera menekan nomor telepon Adrian.
 
Sabtu​

“"Gila. Gue gak tahu gimana jadinya acara ini kalau nggak ada elo, Yan,"” tandas
Langge setelah panggung mini bantuan Adrian, rekannya di fakultas kedokteran, sudah
assembled. Adrian bahkan membawa serta beberapa karyawan ayahnya untuk
memasangkan panggung.

“"Santai aja kali, Ngge. Gue cuma pengen ngebantu kok. Abisnya lo di kampus
kelihatan uring-uringan banget, belum lagi kedok kan tugasnya banyak banget. Gue
mau meringankan beban lo aja, kita kan seangkatan. Lagian, pas PPAM kan lo ngebelain
gue. Gue mau balas budi,"” tutur Adrian.

Langge memutar bola matanya sedikit, mencoba mengingat-ingat bagian PPAM
yang mana yang Ia isi dengan menolong Adrian."“Hah? Iya apa? Kapan?" tanyanya
ketika Ia tidak berhasil mengingat.

"“Iya... Pas gue demam tinggi dan gak bikin tugas. Seniornya gak terima excuse
gue. Ternyata lo bikin beberapa tugas yang sama dan bilang kalo tugas gue itu
ketinggalan sebelum gue bilang kalau gue gak bikin. Masa lo lupa?"” tanya Adrian.

“"HAH? KAPAN? Eh... Oh iya, gue baru inget."” Langge tersenyum. Saat itu
panitia OSPEK memang hampir selalu menekankan pentingnya kesetiakawanan dan
kebersamaan angkatan dalam kegiatan belajar mahasiswa UI. Ia bosan dengan omelan
senior yang selalu saja menghakimi dirinya dan mengatakan bahwa dirinya tidak setia
kawan. “"Kalo lo gak MT, mestinya lo ingetin dong temen-temen lo buat bikin tugas!”,
“Lo mau kerja sendiri di sini? Lo gak bisa hidup sendiri di FK!
”, dan bentakan-bentakan
lainnya yang membuat Ia begitu muak. Sejak saat itu, Ia hampir selalu membuat lebih
dari satu tugas untuk membantu teman-temannya yang tidak membuat, daripada satu
angkatan harus disuruh push-up dengan jumlah yang semena-mena.

Sound system disediakan atas bantuan teman Fino. Itulah salah satu keasyikan
menjadi musisi, memiliki link ke mana saja yang berhubungan dengan musik. Baik
majalah musik, perusahaan rekaman, perusahaan clothing untuk pembuatan merchandise,
sampai sound system untuk manggung. Biaya pembayaran yang sudah dikorting pun
“"ditalangi"” oleh 9 personil Ballads of The Cliché untuk sementara. Walau mereka berkata
bahwa mereka berniat untuk “"membayarkan"” biaya pembayaran sound system itu,
Langge tetap bersikeras ingin menggantinya, suatu hari nanti.

Malam itu, Tiko tentu saja jadi memandu acara amal untuk Jingga yang
diselenggarakan. Halaman Hey Folks dan Moose yang berada di Jalan Bumi, kawasan
Mayestik, juga tetap menjadi venue, seperti yang sudah ditentukan sebelumnya. Yudish
dan Herald, yang tergabung di duo Alphalpha, tampil paling pertama pada pukul 5.00
sore. Mereka memancing semangat penonton lewat lagu "“Ocean and Sea"”, meskipun kala
itu tempat itu belum ramai pengunjung.

Sekitar 15 menit kemudian, Langge memberikan "“kata sambutan”". Tidak secara
formal, hanya sebatas menghaturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya pada
penonton yang hadir, dan sedikit cerita tentang seorang anak berusia 10 tahun. Pengidap
pneumonia yang bernama Jingga.

“"Tidak ada satupun dari kalian yang hadir di sini yang mengenal Jingga. Padahal,
kita semua berkumpul untuk mendoakannya dan mengumpulkan dana demi
kesembuhannya. Gue pertama bertemu dengan Jingga sekitar Bulan Juli kemarin, di
mana gue udah merasa kalau dia memang seorang anak yang spesial".

“"Jingga lari dari tempat tinggalnya, which was kolong jembatan. Bokapnya
preman, tukang judi dan pemabuk. Nyokapnya udah pergi ninggalin dia, katanya sih jadi
TKW atau apalah. Jadilah Jingga ‘terombang-ambing’ di kota pelik ini sekitar 3 hari
lamanya, untuk sampai di panti asuhan where I do volunteer there, Rumah Talitemali.
 
“"Dia gak suka ngobrol, gak bisa diajak basa-basi, gak pernah tertarik sama hal
yang bikin teman-temannya tertarik, seperti game, permen, cokelat, kue... Tiap hari
kerjaannya cuma main Solitaire secara manual, diam sepanjang hari. Kosakata yang
dipakai juga aneh-aneh, sampai -– jujur saja -– kadang-kadang gue muak sama Jingga."

“"Tapi ternyata, dia punya mengidap pneumonia yang terlambat dideteksi, jadi
udah kronis. Gue tahu itu waktu dia kolaps beberapa minggu lalu dan harus diopname.
Itulah kenapa acara ini gue selenggarakan, thank God ada teman-teman yang masih care
sama Jingga. Seluruh hasil penjualan tiket akan disumbangkan untuk kesembuhan Jingga,
kalau mau kasih donasi lagi, ada sebuah kotak amal di meja yang ada di depan toko..."

"“Terima kasih atas dukungan dan bantuannya. Mungkin gue gak akan pernah bisa
membalas itu semua...”"

Kelar Langge menghaturkan ‘"sepatah-duapatah"’ kata, Pee Wee Gaskins main di
pentas. Aliran mereka yang sebenarnya pop punk, dikemas dengan nuansa akustik yang
bersahaja, terutama di lagu "“On A Day Just Like This"” – mengingat lagu tersebut
memang aslinya direkam secara akustik. Langge sempat kaget ketika googling band ini
dan menemukan bahwa Pee Wee Gaskins adalah nama belakang dari seorang serial
murder terkenal. Penampilan mereka berlangsung cukup lama, karena animo penonton
yang mulai meningkat dan begitu menyukai lagu-lagu yang dimainkan oleh band ini.
Histeria mereka terpancing saat hit single “"You Throw The Party, We Get The Girls”"
dimainkan, kendati masih dimainkan dengan versi akustik. Lagu itu ternyata sudah cukup
populer meskipun baru didistribusikan melalui situs MySpace Music.

Setelah itu, saat yang dinanti-nanti tiba, yakni Adzan Maghrib yang
berkumandang, memanggil semua hati untuk berbuka puasa. Oleh panitia, telah disajikan
puluhan gelas berisi teh hangat dan juga berbagai macam jajanan pasar yang disajikan di
atas sebuah nampan kayu yang besar. Setelah itu, seluruh tamu dipersilahkan untuk
menunaikan ibadah Shalat Maghrib di sebuah masjid kecil yang berada tidak jauh dari
venue.

Sekitar jam 7 malam, acara dimulai lagi dengan penampilan Everybody Loves
Irene. Band trip hop tersebut memainkan lagu-lagu galaunya yang biasa, seperti “"Hybrid
Moments”." Penonton pun seolah-olah tersihir oleh suara emas milik Erin, vokalis ELI.

Sherina datang agak telat, untungnya Tiko sanggup mencairkan suasana. Ia
berinteraksi lebih banyak dengan penonton yang hadir. Sher tampil kasual, dengan celana
pipa, kaus dan suspender warna gelap. Ia memainkan sebuah lagu instrumental berdurasi
kurang-lebih satu menit yang Ia ciptakan sendiri, sebagai pembuka di dalam
performance-nya malam itu. Kemudian, Ia memilih untuk menyanyikan lagu-lagu
klasiknya, seperti “"Andai Aku Besar Nanti”" dan “"Pelangiku"”. Untuk penutup, Ia
memainkan satu lagu hasil aransemennya lagi, yaitu “"Better Than Love"”.

Malam itu, penampilan Sherina mendapat sambutan paling spesial, mungkin
karena sejak album "“My Life”", Ia tidak kunjung mengeluarkan album dalam kurun waktu
6 tahun belakangan. Hal itu bisa dimaklumi, karena sepertinya Sherina memang sedang
mengalami proses metamorfosis menjadi penyanyi remaja. Proses ini sudah tentu Ia isi
dengan menulis dan mengaransemen lagu-lagunya sendiri.

Suara tepuk tangan penonton kembali riuh rendah ketika Erick dan ‘"sedikit’"
personil Ballads of The Cliché lainnya tampil di atas panggung sederhana yang
disediakan. Mengingat venue-nya adalah official store milik band tersebut, tidak heran
jika mayoritas penonton juga menggemari Ballads. Mereka menyanyi dengan begitu
kompak, di lagu-lagu seperti "“French Riviera"” dan “"About A Boy"”.

Kata-kata jelas sekali tidak dapat menjabarkan euforia yang dirasakan semua
orang di malam itu. Satu tenggang rasa, keprihatinan dan keinginan yang sama, bahkan
untuk menolong seseorang yang belum mereka kenal sama sekali. Dalam hal ini, Jingga.
 
19 – Forgotten

Singapore Overseas School, 11:04

"“WHAT ABOUT YOU, GIRL?"”
“"What about me—-what?"” tanya Ebiet, bingung. Sekarang sedang waktunya coffee
break di SOS, walau sebenarnya siswa-siswi juga tidak meminum kopi di saat ini.
Sebagian dari mereka mengerjakan tugas, sebagian lagi pergi ke perpustakaan, sisanya –
tentu saja! -– makan di kantin. Kecuali para Japanese, mereka tidak membeli apa-apa di
kantin. Orang Jepang rata-rata begitu menghargai uang (baca: pelit).

“"Kau belum menceritakan banyak hal tentang dirimu. Selain fakta bahwa kau
mendapat beasiswa untuk bersekolah di sini dari ASEAN, atau kau begitu menyukai
rendang buatan ibuku..."” Diaz tersenyum simpul setelah mengatakannya.

“"Yah... Dulu aku pintar Matematika, sekarang? Absolutely not. Ayah dulu seorang
diplomat, Ibu wirausaha—”---"

"“Dulu? Sekarang pekerjaannya apa?”" tanya Diaz. Eh, ralat: potong Diaz.

“"Ayahku meninggal waktu aku berusia 9 tahun, Diaz,”" jawab Ebiet, agak kesal
kalimatnya tadi dipotong seperti itu. Sebenarnya, Ia tidak ingin membicarakan tentang
ayahnya. Tidak mau luka lamanya terbuka dan Ia kembali menangis seperti biasanya.

“"Maaf.”"

"“Ya. Tak apa. Hmmm... Aku anak tunggal, kakekku orang Rusia, tetapi sekarang
tinggal di Bandung. Aku tidak begitu suka berolahraga selain lari dan skipping. Aku sama
sekali tidak suka berenang. Aku takut ketinggian... Hmmm? Apa lagi ya? Aku Muslim,
pasti kamu sudah tahu itu. Ya kan?"” tembak Ebiet.

"“Ya, tentu,” tukas Diaz. “Pantas saja wajahmu tidak terlihat se-Asia ‘itu’. Sedikit
Kaukasian, ternyata kakekmu orang Rusia ya?"” tambahnya, takjub. Di sekolah, Diaz
lumayan sering bergaul dengan para bule, orang-orang Norwegia, misalnya. Mungkin
karena Ia sudah cukup lama bersekolah di SOS, sehingga adaptasinya sudah sangat baik.

"“Aduh, Yaz. Iya, tapi Rusia kan termasuk Asia juga. Orang-orangnya saja terlalu
arogan karena berkulit putih sampai-sampai ngotot minta disebut dari Eurasia,"” komentar
Ebiet. Ia nasionalis terhadap Indonesia, bukan terhadap Rusia. Lagipula, Ebiet bangga
menjadi orang Indonesia.

"“Lalu? Ada cerita apalagi?”"

Ebiet berpikir sejenak, kemudian Ia meneruskan, "“Aku lahir di Moskwa, karena
kandungan ibuku dulu sedikit bermasalah, dan Grandpa menyarankan Ibu untuk
melahirkan di sana. Yah, kedokteran di Rusia memang masih lebih bagus daripada
Indonesia, bukan? Ayah dan orangtua Ibu setuju, akhirnya Ibu menetap di sana sejak
kandungannya masih berumur 7 bulan sampai usiaku 6 bulan.

“"Ayahku kan diplomat, jadi ketika aku berumur tiga tahun, aku dan Ibu menyusul
beliau yang sedang bertugas di KBRI Tokyo. I don’t remember many things about Japan,
anyway
. Karena hambatan bahasa, aku disekolahkan di sekolah Indonesia yang ada di
sana, seperti SIS kalau di sini. Pas banget, waktu aku mau masuk SD, ayah
dipindahtugaskan di Kanada. Aku tinggal di Kanada beberapa tahun, tapi Ibu memilih
untuk menetap di Indonesia karena nenekku mulai sakit-sakitan, lagipula living cost di
Kanada relatif mahal, kasihan Ayah. Unfortunately, when Dad wanted to visit us for the
first time after we separated, his flight crashed on Soekarno-Hatta airport. It was a big

loss for my mom and me, because I love my dad so much. So much.” Ebiet mengulang
kalimat terakhirnya dua kali, untuk menegaskan bahwa Ia sangat, sangat mencintai
ayahnya. Walau kepergian ayahnya sudah bertahun-tahun yang lalu, rasa sedihnya masih
sama seperti saat Ia melihat jenazah ayahnya sampai di rumahnya, sudah kaku dan tidak
bernyawa.

Saat itu, semua hal menyenangkan yang pernah dilewati bersama ayahnya
terlintas lagi di benak Ebiet, seperti putaran film yang sangat panjang. Ketika Ia bersama
orangtuanya pergi berpiknik di bawah pohon sakura yang bunganya sedang mekar,
kamping di Lake Ontario sekeluarga, ayahnya juga hampir selalu memberinya surprise
setiap Ia berulangtahun, terutama waktu di Kanada...

Mereka mengobrol sepanjang waktu coffee break.

* * *​
 
Rumah Sakit Kautsar, Siang Hari

"“Kemarin 2 jutanya sudah Ibu setorkeun. Alhamdulillah, pihak rumah sakit
bersedia biayanya dicicil. Tapi masih perlu 7,5 juta lagi ya?"” ucap Bu Minah, dengan
nada sedih dan putus asa yang belum pernah Langge dengar sebelumnya. Kali ini, beliau
terdengar sangaaat putus asa.

Entah berapa pengunjung yang hadir di “"Malam Jingga"” kemarin. Langge juga
tidak tahu tiket yang dijual seharga 15 ribu perak laku berapa lembar. Langge juga tidak
tahu ada berapa jumlah uang yang terkumpul di kotak amal yang tersedia. Langge sama
sekali tidak tahu, karena acara itu kelar sekitar jam 9 malam. Mengingat itu merupakan
Bulan Ramadhan, Langge tahu diri dan memilih untuk menghitung uangnya hari ini saja.
Bagaimanapun juga, panitia dan yang lainnya kan butuh istirahat.

Ia segera mengirim SMS pada Fino, memberitahu bahwa sekitar 1 jam lagi Ia
akan berangkat menuju Hey Folks untuk menghitung dan mengambil dana yang berhasil
dikumpulkan. Fino mengiyakan hal tersebut, sekaligus memberitahu bahwa di distro ada
dirinya, Acong dan Satria, yang siap membantu Langge menghitung hasil dari showcase
amal semalam.

Jingga sedang tidur, sebab itu Ia tidak bisa mengobrol dengan Jingga. Padahal, Ia
ingin sekali memberitahu Jingga mengenai acara semalam, supaya Jingga bisa sadar dan
bersyukur bahwa ada banyak orang yang mempedulikan dirinya.

Setelah pamit kepada Bu Minah, Langge pun berangkat ke Hey Folks dengan
motor trail kesayangannya, seperti yang dulu sering Ia lakukan ketika masih SMA.
 
Hey Folks, beberapa lama kemudian

“"Coba kita kalkulasi ya? Penjualan HTM dapat Rp1.410.000,-, di kotak amalnya
tadi dapat kira-kira Rp412.000,-. So far, sudah Rp1.822.000,-. Catat, Cong..."” ujar
Langge. Acong sigap dengan pulpen dan kertas yang telah Ia siapkan daritadi.

“"Oke, Bos. Sudah dicatat... Terus?”"

“"Sumbangan dari anak-anak, ada Rp425.000,-, ditambah kas distro Rp200.000,-.
Catat, Cong...”" Fino meniru gaya Langge barusan. "“Ada sumbangan dari mana lagi,
Ngge? Biar sekalian?”"

"“Sher kemarin ngasih Rp500.000,-, dari keluarganya katanya. Yudish sama
Herald ngasih Rp70.000,-, Pee Wee Gaskins ngasih Rp225.000,-, Everybody Loves Irene
Rp410.000,-. Catat, Cong...”"

“"Ya ampun, emangnya gue juru tulis?"” protes Acong tidak terima. Meskipun
begitu, Ia tetap mencatat rincian sumbangan yang tadi Langge sebutkan. Kemudian, Ia
menghitung semuanya di kalkulator milik distro.

“"Tiko gak nyumbang, katanya mau nyumbang doa aja..."” cerita Langge sambil
menanti proses kalkulasi yang sedang dilakukan oleh Acong.

“"Jadi totalnya... Wow.”" Ia tidak melanjutkan kalimatnya. Menggantung di kata
'‘wow'’ saja.

"“Cong, totalnya berapa?"” tanya Fino lagi. Dari tadi, Satria hanya memperhatikan
sambil mengutak-atik kameranya, melihat-lihat hasil karya fotografinya yang diambil di
acara semalam. Maklum, Ia memang seorang fotografer yang rajin menolong Ballads
menjaga toko.

"“Tiga juta, enam ratus, duabelas ribu perak! Sukses lo, Ngge! SUMPAH!”" Acong
heboh sendiri sambil memperlihatkan angka yang tertera di kalkulator tersebut.

“"Anjrit! Tiga koma enam! Wah, gila, makasih banget! Ah, speechless gue. Berarti
kurang empat jutaan lagi ya? Wah, wah, tetep aja! Ya ampun, makasih banget, Fiiiinnnn,
Coooonggg, Saaaattt, pengen gue peluk lo semua!"” Langge gembira sekali mendengar
jumlah uang yang terkumpul dalam semalam.

"“Eh, astaghfirulloh alazim. Sampai lupa. Itu, kemarin pas lo udah pulang, ada
anak The Cure For Tomorrow yang mau ketemu lo, mau ngasih donasi yang terkumpul.
Mereka mau nyumbang khusus, buat Jingga. Nanti katanya mereka mau ke Rumah
Talitemali.”" Tiba-tiba Satria angkat bicara. “"Adik lo itu dirawat di rumah sakit mana
sih?”"

“"Rumah Sakit Kautsar. Rumah sakit kecil gitu, tapi emang terkenal karena
penanganan untuk penyakit pernafasannya, berhubung dekat, gue bawa saja Jingga ke
sana. Lo mau nengok?"” tanya Langge.

“"Mungkin. Hahaha, lo beberapa hari lagi ke sini lagi dong, Hari Kamis atau Jumat
gitu. Foto-foto semalam mau gue rapiin, terus gue cetak. Lo kasih ke Jingga ya...”" pinta
Satria.

“"Siplah. Cong, udah kelar belum tuh hitung-hitungannya?"” tanya Langge
kemudian. Acong sedang memasukkan uang bernominal besar ke dalam sebuah amplop
cokelat.

"“Udah, tinggal packing... Uang ribuannya gue tukar sama limapuluh ribuan aja ya,
soalnya di toko suka kehabisan receh. Lo tahu sendiri Indonesia kayak apa, less fortunate
people become unfortunate, rich people get richer
... Aih...”" Tidak berapa lama kemudian,
Acong memberikan amplop cokelat itu kepada Langge.

“"Makasih banyak ya, salam buat anak Ballads yang lain, makasih banyak...”"

To: Sher Munaf, Alditsa, Yudish, Herald, Yudhi, Erin
Collected 3,5m last nite. Thks for yr support =) I dunno what to say, just thk u, thk u
soooo much!
 
Last edited:
“"Bu Minah, sekarang kita tinggal butuh empat juta lagi untuk Jingga. Kemarin
aku ngumpulin uang teman-teman yang mau nyumbang buat Jingga, sudah dapat sekitar
tiga setengah juta, dan tadi sudah kusetor ke bagian administrasi, Bu. Ibu doakan saja
Mama mau menyumbang buat Jingga juga...

"“Katanya ada LSM yang mau memberi sumbangan ke Rumah Talitemali. Tadi
aku coba telepon ke sana, kata Mbak Lita belum ada orang yang datang, tapi tadi sudah
telepon dan mau datang malam ini. Mereka sedikit telat karena ada acara dulu...

"“Ibu gak perlu khawatir ya?”"


* * *​
 
Kampus UI Salemba, 09:17

Langge masih saja membenci Hari Senin, meskipun hari ini kebenciannya tidak
membludak seperti pada minggu-minggu sebelumnya. Kuliah lagi, dan selamat datang
tugas-tugas! Ah, ya, dan sebentar lagi ujian. Bagaimanapun juga, sekarang Ia sudah mulai
menikmati kuliah kedokterannya, sedikit demi sedikit.

Pagi tadi, Fari mengirimkan SMS dan menanyakan perihal Jingga. Katanya, Ia
diceritakan tentang anak itu oleh Ebiet lewat messenger. Mendengarnya, Langge tidak
terlalu peduli dengan apa yang Fari tanyakan, Ia jadi teringat bahwa lagi-lagi Ia sudah
cukup lama tidak berhubungan dengan Ebiet. Ebietnya.

Lagi-lagi Ia ragu dengan proses "“menunggu"” yang menurutnya terlalu lama ini.
Berapa tahun sudah? Ia telah menanti Ebiet dari kelas 1 SMA. Seharusnya Ia tidak jadi
seanti-sosial ini jika ada Ebiet... Kalaupun mereka putus karena salah paham, Langge
semestinya sudah punya pacar baru. Bukannya tenggelam dalam ketidakjelasan hubungan
yang seperti sekarang. Putus yang traumatis, karena masih saling menyayangi dan terlalu
“baik-baik”. Mau meninggalkan Ebiet hatinya tidak bisa, tetapi jika tidak meninggalkan
Ebiet, Ia membunuh dirinya sendiri, perlahan-lahan...

Meskipun begitu, akhirnya Ia membalas SMS Fari juga. Menekankan fakta bahwa
Ia masih membutuhkan uang empat juta rupiah yang entah akan Ia dapatkan dari mana.
Kali-kali saja, Fari memiliki cukup rejeki sehingga dapat membantu Jingga.

Setelah itu, Langge segera mengirimkan SMS kepada Ebiet, berhubung Ia baru
saja mengisi pulsa ponselnya dalam perjalanan ke Kampus Salemba. Ebiet belum
membalasnya. Mungkin sedang berada di dalam kelas, tetapi... Langge kangen sekali.
Sebenarnya.

* * *​
 
Sabtu malam sebelumnya

“"Club 8! Club 8!”"

Penonton yang berjejal di dalam salah satu ruangan di Esplanade menyerukan
nama band beraliran swedish pop tersebut. Malam itu, Diaz dan Ebiet termasuk di antara
kerumunan yang sama. Penonton mungkin seharusnya sudah cukup puas dengan
penampilan Club 8, mengingat malam itu mereka sudah memainkan kurang lebih 8 lagu,
termasuk “"The Next Step You Will Take"”, "“All I Can Do"” dan "“Hope For Winter”".
Jumlah yang banyak untuk ukuran sebuah showcase kecil.

Tetapi, rata-rata keinginan semua penonton relatif sama. Mereka belum puas jika
belum mendengar band tersebut memainkan lagu "“I Wish You’d Stay"” dari album “"The
Friend I Once Had”". Terutama Diaz, yang begitu menyukai lagu tersebut. Sejak Ia dan
Ebiet masih dalam perjalanan menuju Esplanade, Diaz sudah berkali-kali bilang,
"“Pokoknya “"I Wish You’d Stay"” harus dimainin, nggak mau tahu!”" Ebiet hanya
mengiyakan saja tanpa menanggapi apa-apa.

Bagaimana mau menanggapi, jika sepanjang perjalanan di kepalanya hanya ada
satu kata yang berputar-putar di sana: Langge. Langge. Langge dan Langge. Ebiet sampai
muak dengan nama itu, sebetulnya.

Beberapa hari sebelumnya, tiba-tiba Diaz mengajak Ebiet pergi ke sana. Ebiet
sebenarnya memang berniat untuk menyaksikan mini showcase Club 8 yang
diselenggarakan di Esplanade. Namun, Ia tidak punya cukup uang untuk membeli tiket.
Beruntungnya Diaz, kakaknya bekerja magang di event organizer penyelenggara acara
tersebut, sehingga Diaz bisa mendapat 2 tiket gratis. Cowok itu pun memutuskan untuk
mengajak Ebiet. Tentunya, ajakan itu Ebiet terima dengan senang hati.

"“Thank you so much for being here tonight, we really appreciate that. This is our
ninth and last song
, “"I Wish You’d Stay"”!”"

Penonton pun bertepuk-tangan meriah mendengar ucapan vokalis Club 8 tersebut,
apalagi ketika musik mulai terdengar. Koor penonton terdengar riuh rendah...

“"It was no surprise for me so I was not that sad. Still I wanted to know how things
could go so bad. I’'m in a mess now since you left my world, the things that I can'’t be
without. I’m in a mess now since you left my world. You... I can’'t be without. I’m not
sentimental but still I have to say, when I think of those distant days, I really wish you'’d
stay...”"


Ketika sampai di akhir chorus yang diulang untuk kedua kalinya, Ebiet berhenti
bernyanyi. Diaz tidak begitu memperhatikan, karena Ia sibuk menyimak dan terus-terusan
melihat ke arah panggung. Sementara Ebiet, justru teringat malam terakhirnya di
Jakarta.

"“I wish you'’d stay, dear.” -– “"I wish I can stay. I wish I can stay too...”"

Itulah konversasi yang terjadi di malam itu, ketika mereka berdua mendengarkan
lagu yang sedang dilantunkan oleh Club 8 ini di mobil Langge, sambil berkeliling kota
Jakarta di malam hari.

I’'m in a mess now since you left my world.

Pernah sekali waktu, ketika Ebiet belum sempat membalas Langge yang
sebelumnya, Langge mengirim e-mail yang hanya berisi kalimat barusan. Kosong,
hampa, seolah-olah menggambarkan isi hatinya.

Ebiet menghela nafas panjang, I thought –- being with him –- can make me forget
you, for a while. Seems like you have forgotten me...
, batinnya.

Mungkin Ebiet-lah yang seharusnya mengucapkan kalimat tadi, setidaknya untuk
saat ini.
 
20 – Home (Again)

"“JINGGA SUDAH BOLEH PULANG...”"
Langge menghela nafas lega ketika salah seorang perawat memberitahu hal
tersebut. Akhirnya, Ia berhasil mengumpulkan uang untuk membiayai pengobatan Jingga
di rumah sakit. Ia sudah mengambil uang dari koleganya di Starbucks Coffee cabang
Melawai, menerima uang dari komunitas “"The Cure For Tomorrow”", melobi lagi di
kampus selama kurang lebih tiga hari... Rumah Talitemali juga mendapatkan sumbangan
dari para donatur sebesar dua juta rupiah, hanya untuk Jingga. Dan yang terpenting,
Mama pun menyumbang sebanyak satu juta rupiah, sampai-sampai ada sisa uang
tigaratus ribu rupiah yang bisa disumbangkan untuk Rumah Talitemali.

“"Alhamdulillahi robbil alamiin. Kamu dengar itu, Jingga? Kamu sudah boleh
pulang!”" seru Bu Minah. Jingga tersenyum lebar, bahagia sekali. Itu adalah ekspresi
bahagia di wajah Jingga yang pertama kali Langge lihat. Karena itulah, Langge ikutikutan
bahagia melihatnya. Yah, meskipun, tidak ada Ebietnya di sana. Signora February
Tatiana... Mi signora.


Dengan semangat, Bu Minah segera membereskan perlengkapan Jingga agar anak
itu bisa cepat-cepat dibawa ke rumah. Langge membantu sekedarnya. Rupanya
bahagianya hanya sesaat, Ia sedang memikirkan, di mana Ia bisa mendapat tabung
oksigen secara cuma-cuma...

“"Dadanya masih suka sakit nggak?"” tanya Langge, sambil membenarkan posisi
selimut yang menutupi separuh tubuh Jingga di tempat tidurnya.

"“Kadang,"” jawab Jingga, dan lalu tersenyum. “Sebenarnya sakitnya sudah lama,
tapi nggak sakit-sakit banget. Lagian kupikir aku ashtma, karena aku sering berada di
jalanan dan menghirup asap kendaraan. Nemonia itu apa sih, Kalang?"” tanya Jingga.

“"Pneumonia itu berarti ada cairan di paru-paru kamu, Jingga. Makanya kamu
agak susah bernafas. Sakit banget ya dadanya? Udaranya memang lembab sih...”"

Langge tidak dapat membayangkan rasa sakitnya, karena jika sedang kambuh,
Jingga bisa berteriak-teriak tidak karuan. Katanya, seperti ditusuk-tusuk pisau. Paruparunya
seperti dicakar-cakar beberapa silet.

Jingga mengangguk. "“Tapi paling tidak, sebentar lagi kan Jingga sudah ada sama
teman-teman yang lain, jadi ada banyak yang menemani...”" Dan anak itu tersenyum
setelah mengucapkannya.

* * *​
Belakangan ini, apa yang Jingga rasakan seringkali menular.
 
“"What are you thinking? You seem weird today, and the day before, and the day
before..."”
komentar Diaz. Lagi-lagi cowok itu menghampiri Ebiet yang sedang
mengerjakan tugas Art yang belum selesai di kantin. Kendati sedang berpuasa, Ia sudah
sangat terbiasa melihat pemandangan ini. Di mana teman-temannya menyantap makanan
yang sangat yummy di kantin sekolah yang luas dan higienis.

“"Nah. Nothing,"” sanggah Ebiet. Inginnya, Ia bisa mengunyah sandwich-nya
dengan lahap. Pelajaran Sains yang memusingkan membuatnya sangat-sangat kelaparan
siang itu, belum lagi tugas Art yang lama-lama mulai memuakkan. Ebiet sedang tidak
mood melukis.

“"Nanti pulang bareng yuk? Villa Marina sama Bayshore kan teramat sangat dekat
sekali...”" pinta Diaz. Selain Villa Marina dan Bayshore, ada juga kondo Fernwood dan
Mandarin Garden di East Coast.

Ebiet tidak langsung menjawab, Ia memfokuskan diri pada tugasnya. Lagipula,
bukankah Ia sedang berencana untuk menjaga jarak dengan Diaz?

“"Hmmm... Come on. The MRT of love... Yes?” tanya Diaz lagi, sambil
membenarkan posisi kacamatanya. Akhirnya Ebiet pun mengiyakan, padahal pikirannya
sedang melayang entah ke mana. Lumayan, ada teman pulang bareng, batinnya – sambil
mencari excuse untuk dirinya sendiri.

Beberapa jam kemudian, mereka pun telah berada di tempat yang berbeda.

“"You’'re single, aren'’t you?”" tanya Diaz. Mereka berdua duduk di dalam bus 36
dari sekolah menuju ke kawasan East Coast. Perjalanan biasanya memakan waktu sekitar
45 menit sampai satu jam, yang menurut Diaz adalah waktu yang sebentar jika
dihabiskan bersama Ebiet, yang Ia anggap sebagai his geek girl.

“"Menurutmu?"” Ebiet balas menanya. Ia tidak suka menjawab pertanyaan-pertanyaan
seputar kehidupan pribadinya. Terutama di bidang lovelife.

"“I saw it on your Facebook,"” jawab Diaz, jujur.

“"Diaz percaya? What if semua orang di Facebook lie to you?"” Ebiet bertanya lagi,
sambil menatap keluar jendela. Biasanya, perjalanan di bus Ia habiskan dengan tidur,
tidur, karena di MRT tidak boleh makan, minum, dan bahkan berfoto-foto di dalamnya!

"“How can someone, like you, lie to me? It’s just impossible,"” sanggah Diaz,
sembari tersenyum. Apa yang Diaz bilang memang benar, Ebiet tidak berbohong pada
cowok itu, maupun pada orang lain di Facebook. Tapi, bagaimana jika Ia selama ini telah
membohongi dirinya sendiri?

Apa yang harus kulakukan, menanggapi semua yang Diaz lakukan padaku.
 
To : February Tatiana <februarytatiana@my.sos.edu.sg>

Dear Ebiet,

Jingga is back from hospital already. Where have you been? I miss you
so much. Anyways, in two months Muse are going to hold a concert there,
aren’t they? In Indonesia it’s going to be on February, 3 days before
your birthday. I would really like to watch it, but the issues floated
include that it’s going to be held in the PRJ Arena, Kemayoran (?). I
heard that in S’pore it will be in Fort Canning Park, right?

Lebaran is getting closer, hahaha. Has Ibu depart to S’pore? I want to
join her :p Jakarta is getting very hot, puasa feels harder and harder.
I’m having a lot of exams right now, I hate being a medical student! =(
How my GPA will be ya? Please pray for me, heart =)

Take care of urself for me. I dunno what else to say, actually there
are a lot of things I want to tell you, but I’ll be patient until you
go home. Therefore we can chat about many things..
 
Beberapa hari kemudian
Lebaran adalah hari raya yang paling ditunggu-tunggu oleh umat Muslim setiap
tahunnya, apalagi di Indonesia. Itulah mengapa, hari ini menjadi hari yang paling spesial
bagi semua keluarga. Tradisi yang bermacam-macam, tentunya mewarnai masing-masing
rumah.

Setelah Shalat Idul Fitri di masjid dekat rumah Oma Fatidar, keluarga besar
Langge selalu berkumpul di rumah Oma. Para tetua, yakni Oma dan anak-anaknya,
hampir selalu memberikan ‘salam tempel’ atau angpao bagi anak dan keponakan mereka
yang belum bekerja. Penganan yang disajikan juga khas, selain ketupat, selalu ada opor
ayam, rendang, bumbu poyah, Sate Cilacap… Suasananya begitu kekeluargaan, suasana
yang paling Langge sukai, karena jarang Ia dapatkan di keluarga kecilnya.

From: Ebt Spore
Have a warm Lebaran, hun! Wish you were here, or I was there :) Langge dpt salam dr
Ibu, hehe..

To: Ebt Spore
Selamat Idul Fitri jg! Kamu jgn kelamaan dong di sana =P Slm balik buat Tante, haha.
Love you Biet.

Langge membaca SMS tersebut dengan sayatan tipis di dalam hatinya. Ia rindu
sekali dengan Ebiet, Ebietnya yang mungil, dan sampai sekarang belum jadi pacarnya.

“"Cih, siapa tuh pake loveyou-loveyou-an?"” ledek salah seorang sepupu Langge,
namanya Chakra. Langge tidak menjawab.

“"Aih, aih, gue tahu! Yang di Singapore itu, ya kan, ya dong? Itu bukannya mantan
lo? Basi lo, ceweknya cuma satu! Yeeey...”" kata Chakra lagi. Langge hanya berharap
sentilan kalimat dari Chakra itu tidak melebar ke sepupu-sepupunya yang lain. Hal itu
hanya akan menambah keperihan yang sedang membuat sarang di dalam dirinya.

To: Lita
Mbak Lita, Bu Minah,
Slmt Lebaran, minal aidin wal faidzin.
Slm u/ Jingga, Akilla, Reno, Oppie, Fabian, Ayu, Wisnu & yg lain.
 
21 - Connections​

Desember 2006
IA MENGUTARAKAN MAKSUDNYA PADA IBU MINAH.
“"Bu, Langge mau pergi ke Pasar Senen, beli baju untuk anak-anak. Di sana kan
banyak baju second-hand yang seribu sampai lima ribu, nanti kita cuci bareng-bareng
terus bisa dipakai sama anak-anak. Langge gak punya uang banyak, Bu... Cuma cukup
untuk beli yang seperti itu, biar semuanya dapat. Mau gak? Ibu kan tahu, baju yang
seperti apa yang pas untuk adik-adik. Mau ya, Bu?"” Langge memohon kepada Bu Minah
untuk menemaninya ke pasar.

Hari itu, Langge hendak membelikan baju untuk adik-adiknya di panti
menggunakan sisihan uang jajan yang Ia tabung kemarin-kemarin. Dalam urusan ini,
Langge jauh lebih mementingkan kuantitas dibandingkan kualitas pakaian yang mau dia
beli. Supaya kebahagiaan di panti bisa terbagi rata.

Akhir Desember, kuliahnya sudah makin renggang, Ia pun memilki banyak waktu
untuk dirinya sendiri dan juga anak-anak yang tinggal di Rumah Talitemali. Jingga sudah
sedikit membaik, mungkin sebagai efek dari antibiotik dan obat-obatan yang diberikan
untuk menekan pengaruh pneumonianya.

“"Kakak mau ke mana?”" tanya suara itu. Belum sempat Bu Minah menjawab,
Jingga sudah ingin tahu urusan mereka berdua.

"“Ke Senen, beli baju untuk kalian."” Langge menjawab dengan singkat, karena
Jingga memang bisa dihadapi dengan jawaban-jawaban seperti itu. Anak itu tidak seperti
anak lainnya, yang kerap bertanya jika jawaban yang didapat belum memuaskan.

"“Jingga ikut."” Ia berkata, lebih singkat lagi, yang tentunya memancing protes dari
mulut Langge.

"“Nggak. Senen itu bahaya banget, apalagi untuk anak-anak seumur kamu.”" Ketika
mengatakannya, tentu saja Langge sudah lupa akan fakta bahwa Jingga ‘'terombang-ambing'
’ di Jakarta selama beberapa hari sebelum akhirnya sampai di panti tersebut.

"“Pokoknya Jingga ikut!"” serunya, tidak mau tahu.

"“Ya sudah, Ibu mau, Nak. Biarkan saja Jingga ikut, biar tahu, pasar itu seperti
apa.”" Bu Minah melerai pertengkaran itu. Mereka berdua pun berangkat dengan mobil
Langge dari panti menuju ke Pasar Senen.

Ah iya, Yudhi akhirnya menerima permintaan Langge. Fotografer Everybody
Loves Irene, akan berangkat umroh pada akhir Januari, sehingga tidak bisa ikut ke tur
ELI di Singapura dan Malaysia. Yudhi pun – meskipun sepertinya dengan berat hati –
memasang Langge sebagai fotografer resmi ELI semasa tur itu. Namun, Langge belum
tahu bagaimana caranya Ia bisa meminta izin untuk cuti kuliah.

Sejauh ini, semua hal berjalan hampir seperti biasanya. Jam-jam kuliah yang
membosankan, kelas yang padat dan panjang, kerinduan Langge kepada Ebiet yang
seringkali tak tertahankan. Suasana di Rumah Talitemali tetap kekeluargaan, terlebih lagi
setelah Jingga pulang dari rumah sakit. Sepertinya anak itu sadar, bahwa kesendirian
adalah sesuatu yang kadang-kadang menyebalkan. Karena itu, Ia mulai rajin berinteraksi
dengan teman-temannya yang lain, bukan hanya dengan 52 lembar kartu dikurangi joker.
Kalaupun bermain kartu, Ia mengajak Akilla dan beberapa teman lain untuk bermain
empat-satu atau cangkul.
 
Sesampainya di Pasar Senen, Jingga tidak pernah sekalipun melepaskan
genggamannya dari tangan Langge. Ia ngeri sekali, tempat itu seolah-olah membuka
kenangan lamanya. Kenangan di mana Ia seringkali melihat ayahnya bergaul dengan
preman dan berjudi di dekatnya. Ia hanya bisa menutup matanya rapat-rapat dan menutup
telinga dari teriakan-teriakan ayahnya yang pemabuk. Karena itulah, pegangannya
menjadi erat sekali.

Bu Minah langsung sibuk memilih-milih baju untuk anak-anak asuhnya. Langge
telah memberikan beberapa lembar uang limaribuan dan seribuan setotal limapuluh ribu
rupiah untuk dibelanjakan oleh beliau. Sebenarnya Jingga agak tertarik untuk melihat
tumpukan baju bekas itu, tetapi Ia terlalu takut untuk beranjak.

Entah mengapa, baginya, Langge seperti sebuah tembok yang mengelilingi
tubuhnya dan akan selalu melindunginya dari segala marabahaya sampai tembok itu
rubuh. Namun, tembok itu menurut Jingga, seolah-olah begitu kokoh sampai-sampai
tidak akan retak sedikitpun. Setidaknya, itulah gambaran akan Langge yang tersketsa di
benak anak itu.

Setelah hampir sejam berbelanja, akhirnya uang limapuluh ribu itu pun habis dan
menghasilkan baju yang lebih dari cukup untuk anak-anak balita di panti. Bu Minah pun
menggandeng tangan Jingga di sisi lain. Sepersekian detik kemudian, Jingga menjerit
kencang sekali ketika melihat segerombol tukang parkir ilegal yang sedang berkumpul.
Tiba-tiba ada seorang laki-laki bertato yang muncul dan meminta uang pada mereka.
Laki-laki itulah yang membuatnya berteriak.

"“JINGGA! Ada apa sih?!”" tanya Langge panik. Ia kaget sekali melihat Jingga
tiba-tiba menjadi super-ekspresif seperti itu.

"“I-itu, i-itu, ituu...”" Jingga membenamkan wajahnya di pinggang Langge sambil
memeluk cowok itu. Langge tidak tega, Ia segera memeluk Jingga, menenangkannya.

"“Itu? Apa?"” Bu Minah juga penasaran. Ia segera melihat ke arah gerombolan itu
dan tidak melihat suatu apapun yang janggal.

"“Papar! Itu Papar!"” jawab Jingga, dengan kencang. Teriakannya histeris sekali,
seperti yang sering terdengar di film-film bergenre thriller.

"“Pa... Par? Papar? Papa kamu, Ngga?"” tanya Langge lagi. Ia dapat merasakan
airmata Jingga mulai membasahi sisi bajunya. Jingga mengangguk, pelan sekali.

"“Jingga gak mau ketemu, Papar. Pulang!”" jeritnya, masih sehisteris tadi. Bu
Minah meraih Jingga untuk dipeluk dan dibawa ke dalam mobil Langge. Saat itu, Jingga
memang merasa terlindungi. Tetapi, tidak seterlindungi seperti apabila Ia sedang
menggenggam tangan Langge erat-erat.

"“Enggak, enggak, Papar gak lihat Jingga kok. Jingga aman, sama Ibu, sama
Kakak. Ya? Kita pulang ya? Sini, kasih tunjuk Ibu, yang mana Papar. Biar Ibu pastikeun
dia tidak melihat kamu, Nak,"” kata Bu Minah, dengan nada keibuannya yang khas.

“"... Yang lagi malak, yang preman itu...”" jawab Jingga lirih. Ia tetap
membenamkan kepalanya di dalam pelukan Ibu Minah meskipun mereka bertiga telah
berada di dalam mobil. Bu Minah memperhatikan orang yang dimaksud oleh Jingga
dengan seksama, semata-mata untuk membantu Jingga mengalahkan trauma terhadap
ayahnya. Langge segera tancap gas. Ia pernah merasakan benci seperti yang Jingga.
rasakan, kepada ayah yang menyia-nyiakannya.
 
Rumah Talitemali, 11:06
Langge khawatir sekali akan kondisi Jingga. Beberapa saat yang lalu, paru-paru
anak itu sedikit sesak, mungkin karena Ia tidak henti-hentinya menangis, meskipun sudah
dihibur oleh teman-temannya, Lita, Bu Minah, dan bahkan, oleh Langge sendiri.

Sejak keluar dari rumah sakit, Jingga tidak lagi segan bersosialisasi dengan
sesama penghuni panti. Ia sudah lebih banyak mengobrol dan bermain bersama, tidak lagi
bermain Solitaire dan menyendiri di pojok ruangan.

Namun, karena insiden tadi di Pasar Senen, keceriaannya hilang dalam sekejap,
berganti dengan ketakuktan yang berlebihan. Mungkin, bisa dibilang fobia. Meskipun
Langge tidak tahu-menahu apa ungkapan atau istilah yang tepat untuk menamai kondisi
Jingga ini. Ia hanya tahu satu istilah yang mungkin sedikit berhubungan, yakni
Vitricophobia. Sementara yang Jingga sangat takutkan adalah ayah kandungnya sendiri.

Itulah mengapa saat ini Langge merasa menyesal setengah mati telah mengiyakan
permintaan Jingga untuk ikut ke Pasar Senen.

"“Bu..."” sapa Langge tatkala Bu Minah muncul, dan sekarang berada tidak jauh
dari tempat Langge duduk dan merenung. "“Kasihan, kesehatan psikisnya terganggu
karena ayahnya. Trauma berkepanjangan, sepertinya,"” sambungnya.

Bu Minah mengangguk. “"Iya. Ibu semakin bingung, bagaimana kita harus
menghadapi Jingga?”" Pertanyaan itu terlontar dengan nada seolah-olah itu adalah sebuah
pertanyaan retoris. Sebenarnya, Langge pun tidak tahu harus menanggapi dengan apa.
Jadi, Ia memilih untuk tidak menjawab.

"“Nak? Tadi kamu lihat wajah bapaknya Jingga?” tanya Bu Minah kemudian.

Langge mengingat-ingat perlahan-lahan. “"Lihat, sekilas. Langge lebih
memperhatikan ciri-cirinya."” Sejenak kemudian, Ia membatin, betapa bodohnya Ia. Di
mana-mana preman kurang-lebih berciri-ciri sama: pakaian hitam, bertato banyak,
sangar. Hal itu tentunya sudah menjadi pengetahuan umum, bukan?

"“Mari, ikut Ibu sebentar ke ruang arsip,"” ajak Bu Minah. Wanita itu beranjak dan
melangkah menuju ruangan yang dimaksud.

Ruang arsip adalah salah satu ruangan vital yang dimiliki oleh panti tersebut.
Bagaimana tidak, ruangan itu memiliki segala jenis arsip mengenai Rumah Talitemali.
Dari perizinan, kepemilikan rumah, pajak, akta kelahiran penghuni panti, curricullum
vitae para staf, dan bahkan data-data volunteer juga tersimpan rapi di lemari-lemari besi
yang ada di dalamnya.

Sejujurnya, Langge belum pernah masuk ke dalam ruangan itu. Ia tidak pernah
berniat mencari informasi mengenai latar belakangnya, karena Ia tahu, arsip pun hanya
mencatat kapan Ia sampai di panti, tanggal berapa kira-kira ulangtahunnya, dan
sebagainya. Ia bahkan menganggap bahwa tanggal ulang-tahunnya hanya ‘diciptakan’
oleh Bu Minah atau siapapun yang merawatnya di panti itu.

Ruang arsip itu cukup membosankan untuk dilihat. Selain lemari besi, hanya ada
sebuah meja kerja dan 2 buah kursi. Bu Minah mempersilahkan Langge untuk duduk.

"“Langge, kamu tahu nama orangtuamu?"” tanya Bu Minah, yang saat itu sedang
membuka salah satu laci besar di sebuah lemari besi yang terletak di dekat meja tersebut.
Langge menggeleng.

"“Nggak, Bu,"” jawabnya singkat, sembari memperhatikan sekeliling, meskipun
membosankan.

"“Memangnya, kamu tidak pernah melihat akta kelahiranmu?”"
 
Ia menggeleng lagi. “Langge menganggap orangtua angkat Langge adalah
orangtua kandung Langge. "Mama, Papa... Mereka tidak meninggalkan Langge di depan
pintu panti."” katanya tulus, langsung dari lubuk hatinya yang terdalam. Betapa sakit
hatinya begitu tahu bahwa orangtua kandungnya justru menyia-nyiakannya.

Wanita bertubuh gemuk itu mengeluarkan sebuah map yang sepertinya berisi
data-data Langge.

"“Ibumu tidak benar-benar melupakeunmu, Langge."” Ketika Bu Minah
mengucapkan hal itu, Langge sadar, bahwa hal yang akan mereka berdua bicarakan
adalah suatu hal yang sangat serius dan penting. Langge mendengarkan dengan seksama,
menunggu Bu Minah melanjutkan ceritanya. "“Ibu ingat, beberapa minggu setelah Ibu
menemukeunmu di depan pintu panti, ibumu datang ke sini,”" lanjutnya.

Langge tersentak, kaget sekali. “"Hah? Lalu... kenapa Langge tidak—--"

"“Ia tidak datang untuk membawamu pulang. Waktu itu, ibumu menceritakeun
semuanya pada Bu Minah. Bapakmulah yang meletakkan kamu di depan pintu panti,
karena Ia tidak punya uang untuk mengurus anak. Ibu kamu tidak setuju, tapi tidak bisa
berbuat apa-apa. Tengah malam, ketika ibumu terlelap, bapakmu membawamu ke sini..."

"“Ibumu sedih, sangat sedih, dan tidak henti-hentinya menangis. Karena muak
dengan tangisan ibumu, akhirnya bapakmu memberitahu bahwa kamu ada di panti ini,
dengan syarat, ibumu tidak boleh membawamu pulang...”" Bu Minah bercerita panjang
lebar.

Saat itu, Langge terperangah, dan kebenciannya kepada ibu kandungnya kian
berkurang. Selama ini, Langge menganggap bahwa ibunya hanyalah seorang wanita tidak
bertanggungjawab dan tidak punya nurani, berani-beraninya membuang anugerah Tuhan
begitu saja secara tidak beradab. Ternyata, ibunya tidak seperti yang Ia kira.

Cantikkah Ia? Bagaimana rupanya, Bu Minah? Apakah Ia masih muda? Semua
pertanyaan itu terlontar, terpental-pental di kepalanya. Siapa namanya, Bu Minah?

"“Nama Erlangga itu diberikeun olehnya. Awalnya kami di panti memanggilmu
Banyu, yang berarti air. Semasa kecil, kamu begitu tenang dan pendiam, seperti air. Tapi,
pasca kedatangeun ibumu – di mana Ia memberitahu bahwa namamu adalah Erlangga,
kami pun memanggilmu dengan nama pemberian ibumu itu. Tanggal lahirmu juga kami
ketahui dari ibumu..."” tambah Bu Minah.

"“Pasti ibunya Langge cantik. Iya kan, Bu? Siapa nama ibunya Langge?"” Langge
bertanya dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Senyum sumringah pun muncul di
wajahnya. Karena, mungkin saja, Ia bisa menemukan ibunya di suatu tempat, dengan
modal nama tersebut, dan nama bapaknya Langge.

"“Namanya Cempaka, Langge.”"

"“Wah, Bunda Cempaka. Nama yang bagus sekali. Mungkin Langge bisa
mencarinya, Cempaka istri Gunaryo si buruh kasar... Ibu punya alamatnya?"” Mendadak
Langge merasa, hatinya begitu cerah, bahagia, sekaligus tenang dan damai. Berbagai
imaji tergambar di otaknya, Ia bisa memiliki 3 ibu! Mama, Bu Minah, dan Bunda
Cempaka-nya.

Betapa ibunya sebenarnya tidak ingin menyia-nyiakannya, tetapi terpaksa tidak
berbuat apa-apa karena perintah dari suaminya yang merupakan seorang buruh kasar.
Lagipula, mungkin itu adalah jalan yang terbaik bagi mereka bertiga. Dengan demikian,
orangtuanya bisa hidup bahagia tanpa harus memikirkan Langge, dan Langge pun bisa
hidup berkecukupan bersama orangtua barunya.
 
Dilihatnya Ibu Minah mengeluarkan sebuah kertas dari map tersebut, map yang
berisi arsip-arsip mengenai dirinya. Tapi... ternyata, yang dikeluarkan oleh Bu Minah
bukanlah sebuah kertas, melainkan sebuah foto.

"“Foto apa itu, Bu? Foto Langge waktu kecil ya?"” Semua kalimat yang terlontar
dari bibirnya selalu mengandung keceriaan, careless, dan begitu free. Berkat kalimat-kalimat
Bu Minah tadi, seolah-olah beban stres di kepalanya hancur lebur dan
menghilang begitu saja.

"“Iya, bersama ibu dan bapakmu, Ngge,”" jawab Bu Minah.

Lagi-lagi, hati Langge melonjak kegirangan. Ini bukan hanya kebahagiaan kecil,
tetapi Ia justru semakin banyak tahu mengenai latar belakangnya. Bagaimana rupa bapak
dan ibu kandungnya, bagaimana sosoknya ketika masih sangat kecil, masih bayi dan
belum bisa melakukan hal apapun selain minum, menangis dan buang air.

Dengan segera, Ia meraih foto itu ke dalam genggamannya dan menatapnya lekatlekat.
“"Wah, ini Bapak, Bunda Cempaka dan Langge! Sempat-sempatnya, foto ini tua
sekali... Pasti cuma satu. Ini dikasih Bunda Cempaka ya, Bu Minah?"” Langge bertanya
sok tahu.

Bu Minah mengangguk seraya tersenyum tipis. “"Ibu tidak punya alamatnya, Nak.
Nah, sekarang kamu lihat foto ini, milik Jingga. Tadi, foto ini hampir Ia sobek, karena
ada foto ayahnya. Sebelum Ia sobek, keburu Ibu rebut. Ibu bilang padanya, foto ini akan
Ibu simpan. Jingga pun setuju. Mungkin ini saatnya memperlihatkan foto ini padamu,
menurut Ibu...”"

Langge meneliti foto yang sekarang berada dalam genggamannya. "“Ih. Ini Bunda
Cempaka, atau mirip? Tapi mana mungkin ibunya Langge sama dengan ibunya Jingga?”"
Ia berkata dengan artikulasi kacau balau, karena Ia tidak ingin menghadapi kenyataan
yang mungkin harus Ia hadapi.

Langge segera meletakkan foto itu kembali ke atas meja, dengan posisi terbalik
sehingga yang ada hanya putih kusam kekuningan. Ketika itulah, Bu Minah
menyodorkan foto lain, yang sama kusamnya. Di sana tampak jelas, Bunda Cempaka-nya
ada dua. Dua orang!

"“... Kembar?”" tanyanya bingung. Langge menatap lagi foto tersebut dan berusaha
mencerna kenyataan yang akan Ia hadapi. Ibunya, Cempaka, merupakan saudara kembar
dari Bubungnya Jingga?

Bu Minah mengangguk. “"Pada tahun 96, ibu kandungmu ke sini, Nak. Ia
mengatakan beberapa hal, sekaligus meminta maaf karena telah menelantarkanmu dan
lepas tanggung jawab darimu. Cempaka menceritakan semuanya, tentang suaminya yang
hanya seorang buruh kasar. Mereka tidak sanggup membiayai hidupmu, tetapi Cempaka
ingin sekali melihatmu karena keponakannya, Hatif, baru saja meninggal dunia akibat
kecelakaan.

"“Cempaka bercerita sedikit banyak mengenai Hatif. Ketika berumur 5 tahun, Ia
mulai menjadi anak jalanan dan mencari uang dengan mengamen akibat dorongan dari
teman-teman sebayanya. Sebelumnya, Ia memang tinggal di sebuah panti asuhan dan hal
itu tidak bertahan lama. Pada suatu hari ketika sedang bekerja, Ia menjadi korban tabrak
lari dan meninggal dunia seketika."

"“Cempaka-lah yang pertama mendengar berita naas tersebut dan memilih untuk
tidak memberitahu saudaranya yang sedang hamil. Ibu asumsikan, dari usia Jingga yang
sekarang, sepertinya Jingga-lah anak yang sedang dikandung oleh saudara ibumu. Itu
menjadikan kalian... saudara sepupu.”"

Anjrit...
 
22 – Family Bonding

LANGGE INGIN SEKALI MEROKOK UNTUK SAAT INI.
Konon katanya, rokok dapat meringankan masalah. Konon katanya, rokok dapat
menghilangkan stres yang sudah bersarang di kepala. Tetapi, itu hanya konon katanya,
dan Langge tidak bersedia mempertaruhkan nyawanya untuk hal itu.

Jadi, Ia memilih untuk melakukan hal yang lain, meskipun sama useless-nya:
bengong, bermain basket, tanding futsal... Sebatas itu. Pulang dari Rumah Talitemali,
setelah mengetahui fakta bahwa Jingga adalah sepupunya, Langge segera menelepon
Adya—tetangganya, dan minta ikut main futsal. Setiap Hari Jumat malam, teman-teman
sekompleksnya memang rutin latihan futsal bersama-sama. Namun, Langge tidak begitu
sering ikut karena banyak tugas kuliah.

Ia agak rindu juga main futsal. Ia agak rindu juga main bersama teman-teman
sebayanya. Ia agak rindu juga bebas melakukan aktivitas, bersenang-senang, sedikit
melupakan pikiran idealisnya akan arti hidup. Just... living la vida loca, for a while.
Bukan dengan clubbing, liquor, apalagi satu pak rokok, cukup dengan main futsal dan
makan nasi uduk jam 12 malam, kelar bermain.

Langge merasa harus menceritakan semua ini kepada Ebiet, yang untuk sesaat –
sepertinya – telah Ia lupakan. Namun, Ia tidak tahu, harus memulai cerita rumitnya ini
dari mana. Karena sesungguhnya, Ia juga tidak begitu mengerti, akan keadaan yang
sedang menimpanya. Terkadang Ia masih ingin menanyakan banyak hal, kepada Tuhan,
kepada dunia, kepada dirinya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang terlalu banyak.

"“Ma, ntar aku mau main futsal ya sama anak-anak. Sama Adya, Pasha..."” ujarnya
kepada ibunya, yang berada tidak jauh dari situ. Lagi-lagi Ia teringat Bunda Cempakanya,
yang entah berada di mana.

"“Ya, nanti kamu bawa kunci pintu belakang aja, pasti sampai malam kan kalau
main sama mereka?"” tanya Mama. Langge mengiyakan sekenanya, Ia sedang tidak ingin
banyak bicara.

Hubungan Langge dan keluarganya kian lama kian membaik, mungkin karena
keeratan yang terjalin pada Bulan Ramadhan yang lalu. Mereka sekeluarga bahkan
sepertinya berencana liburan ke Bali bulan depan, setelah tahun baru. Karena Langge,
Vane dan Tare sama-sama libur, maka Papa ambil cuti sekitar 5-6 hari di bulan itu.

"“Langge mau ngobrol sama Mama, ada yang penting. Tapi, Langge gak tahu
harus cerita dari mana, karena masalahnya terlalu rumit...”" Hati Langge tertohok setelah
mengatakan kalimat-kalimat itu. Ia membatin, betapa hidupnya berjalan seperti di
sinetron-sinetron Indonesia. Ah, too much drama baginya.

Mama memperhatikannya dengan bingung, karena tidak biasa-biasanya Langge
sebegitu canggung dan kalut. Terakhir kali beliau melihat anaknya bertingkah seperti itu
adalah sewaktu Ebiet benar-benar pindah ke Singapura, tahun 2004. Tepat dua tahun
yang lalu. “Ada apa sih, Nak?” tanya Mama khawatir.

Kemudian, Langge menceritakan segala tentang dirinya dan Jingga. Dari awal,
sampai akhir, sampai apa yang Ia alami siang tadi di Rumah Talitemali. Fakta bahwa
Jingga adalah adik sepupunya. Bahwa Langge kini tahu siapakah yang merupakan ibu
kandungnya, Langge kini tahu bahwa ibu kandungnya tidak pernah berniat menyianyiakannya.
Dan bahwa, hubungan spesialnya dengan Jingga harus berubah, menjadi
hubungan biasa antar kakak dan adik yang saling menjaga, tidak lebih. Tidak lagi
sespesial dulu.
 
Pikirannya kalut sekali. Satu waktu, Langge sempat merasa gila, Ia kira Ia
mengidap pedophilia atau semacamnya, sebab ada saat-saat di mana Langge tidak bisa
memikirkan hal lain selain tentang Jingga. Ada saat-saat di mana Ia jauh lebih
mementingkan Jingga daripada Ebiet, yang notabene-nya his Ms. Seems-so-right (karena
Langge belum yakin-yakin amat terhadap gadis itu, tapi sangat ingin Ebiet menjadi satusatunya
wanita yang ada di dalam kehidupan percintaannya). Langge seperti orang yang
baru putus cinta, atau dilarang mencintai seseorang karena tuntutan orangtua. Seperti
kehilangan satu sosok dengan terpaksa. Sosok Jingganya.

Betapa egoisnya saya. Semua wanita yang saya suka, saya anggap milik saya.
Apakah di akhir cerita, saya tidak akan memiliki siapa-siapa? Hmmm. Bisa saja.


Langge menelaah lagi hidupnya ketika Ia menceritakan hal itu kepada ibu
angkatnya. Takjub sekali Ia mendapati bahwa Tuhan mengabulkan harapannya bertemu
dengan keluarga kandungnya, dan harapan Jingga bertemu "“kakak”"-nya, dengan cara
yang seperti ini. Sebuah cara yang menarik, menyakitkan, mengejutkan,
membahagiakan? Teraduk menjadi satu, seperti adukan galaksi yang sempurna. Planetplanet
dan bintang-bintang tampak begitu kecil di dalam adonan itu.

Dalam suatu masa yang singkat, seluruh teka-teki terjawab dengan jelas,
meskipun perlahan-lahan.

Dan fakta, takdir, bahwa Ia begitu menyukai warna jingga...

To : February Tatiana <februarytahjanna@my.sos.edu.sg>

Dear Ebiet,

Sorry, I was gone. I miss you like hell, but everything just drives me
crazy in here. I don’t even know where to start, to tell you things I
had been through lately.

Err, Jingga is my cousin. Can you believe that? Or just, imagine that?
There is an emptiness inside of my heart. I’m confused, chaotic,
stunned, surprised, unbelieveing at a time. I dunno what to do. I’ll
tell you when you get here (or I get there? =P), or at least, when you
make a call. Looking forward to it.

Wow, Ebiet watched Club 8? Very fun, must be. With whom? “I’m in a mess
now since you left my world, the things that I can’t be without. Yeah,
I’m in a mess now since you left my world. You, I can’t be without..”
Sounds familiar?

I’m lost at words mailing you, though I’ve got many stuffs I want to
tell. Come back home, Biet. Please, I really need you.

Love you, always.
 
Back
Top