Hari ini, saat ini.
Langge menatap tubuh yang terbujur kaku di depannya dengan hati yang terperasperas.
Ia sedih bukan main, sangat sedih. Sampai tidak bisa mengatakan sepatah kata
sedikitpun selain "Maaf, Jingga. Maaf, maaf, maaf..."
Meskipun tidak banyak orang yang mengenalnya, tetapi banyak yang
mengantarkan Jingga ke peristirahatan terakhirnya. Hampir seluruh staf dan penghuni
Rumah Talitemali datang ke rumah Langge untuk menshalatkan Jingga. Sebelum Jingga
dishalatkan, Bu Minah berbesar hati memandikannya, dibantu oleh Lita dan perawatperawat
lainnya. Menurut sumber, Bubungnya Jingga berada di Saudi Arabia. Ayahnya
datang untuk melihat Jingga, untuk yang terakhir kalinya.
Langge bahkan membilas tubuh Jingga yang sudah kelar dimandikan. Ketika itu
Ia melihat Jingga yang sudah kaku, pucat, dan tidak bernyawa, dari dekat. Tak ayal,
Langge menangis. Ia memeluk Mama sekencang-kencangnya, dan masih tidak terima
dengan segala hal yang terjadi. Seperti Jingga direbut oleh orang lain dengan semenamena,
dibawa berpisah darinya untuk pergi ke tempat yang sangat, sangat jauh. Yang
belum dapat Ia capai.
Hampir semua
performers pada acara Malam Jingga hadir, walau mereka sama
sekali tidak mengenal Jingga. Ditsa, Sherina, Yudish, personil Ballads of The Cliché dan
Everybody Loves Irene, Tiko, semuanya mendoakan Jingga untuk yang terakhir kalinya.
Mereka muncul untuk memberi semangat pada Langge, dan bahkan turut hadir untuk
mengantar Jingga sampai ke pemakaman.
Di pemakaman, Langge berusaha keras menahan tangisnya tatkala Ia ikut
meletakkan jenazah Jingga di dalam liang lahat.
6 feet under. Saat itu Ia sadar, bahwa
ketika tanah merah itu menimbun tubuh Jingga, Ia tidak akan pernah melihat Jingga lagi,
selamanya. Tidak akan lagi ada gadis kecil yang bermain kartu di pojok ruangan. Tidak
akan lagi ada anak kecil yang selalu menyita perhatiannya. Entah karena namanya Jingga,
atau mungkin karena tingkahnya. Tidak ada lagi anak kecil yang membuatnya
bersemangat untuk menjadi dokter, dan mengobati penyakit Jingga...
Hari itu, Langge begitu betah berada di pemakaman. Meskipun yang terlihat dari
Jingga hanyalah nama pada nisan kayu temporer, Ia tetap kukuh bercerita mengenai
banyak hal.
"Jingga... Kenapa sih kamu pergi sekarang? Padahal aku pengen banget ajak
kamu ke Vegas. Biar kamu bisa lihat orang main Poker, Blackjack, dengan cara mereka
sendiri, dengan cara yang sebenarnya. Kenapa kamu harus pergi saat ini? Seandainya
kamu hidup, Kakak janji, Kakak akan antar kamu ke sekolah setiap hari... Jingga boleh
tidur di kamar Kakak untuk sementara, karena kamar Jingga belum jadi... Kalau Jingga
takut gelap, Kakak rela tidur dengan lampu menyala demi kamu."
"Kalau kamu sehat, mungkin aja Kakak bawa kamu ke Singapura. Kamu tau
nggak, aku ke Singapura mau mengejar putriku, Ebiet... Seharusnya kamu gak usah tidur
nyenyak malam itu. Seharusnya Kakak nginep di rumah sakit, Jingga! Biar kamu gak
pergi, biar kamu tetap di sini, tangan Kakak bisa nahan kamu... SUPAYA KAMU GAK
PERGI! Harusnya sekarang kita lagi beres-beres barang-barang kamu di rumah. Mungkin
aja Mama ajak kamu ke mal untuk beli baju... Mungkin aja kamu ngedaftar ke sekolah
baru kamu pagi ini. Kakak percaya, kamu pasti jadi anak yang pintar, hebat, jenius,
karena kamu memang luar biasa Jingga....."
"Jingga, seharusnya kamu gak meninggal! Kamu gak boleh meninggal!" Tangis
Langge pecah, dan saat itulah Ia merasa ada tangan yang menyentuh pundaknya
brotherly.
Fari.
"
Sorry, Langge. Gue gak sempat berkenalan dengan Jingga. Gue tahu, dia pasti
seorang anak yang luar biasa, meskipun masih kecil, tapi dia punya tempat yang spesial
di hati lo..." tuturnya, pelan-pelan, kata demi kata.
"Dia adik gue, Far. Dia adik sepupu gue!"
"Iya, Ngge, gue tahu, Ebiet cerita..."
"Dia luar biasa, Far. Dia hebat banget. Kenapa dari 3 miliar penduduk dunia,
harus Jingga yang meninggal? Kenapa harus dia yang diambil dari gue? Selama ini, gue
susah banget mau bahagia sebentaaaar aja. Ebiet pergi ke Singapura, dan lo ntar lagi
cabut ke Jerman. Jingga, yang selama ini selalu dengerin gue, harus meninggal muda
kayak gini. Kenapa, Far?!" Sulit sekali bagi Langge untuk mengontrol emosinya, barang
sejenak saja.
Fari memeluk Langge seeratnya. "Gue tahu, Ngge. Pasti ini berat buat lo, dan gue
gak bakal bilang sabar aja, ini yang terbaik, atau apalah yang semua orang bilang ke
elo. Karena gue tahu elo kuat, lo pasti bisa ngadepin ini dan Jingga gak bakalan mau
ngelihat elo stuck sama satu hal. Dia mau elo maju. Tapi pasti lo masih mau ngenang dia.
Jadi, gue bakal nemenin lo sampai kapanpun elo mau. Seharian di sini, atau bahkan
sampai besok, gue akan selalu ada di belakang lo, Langge. Walaupun mungkin dalam hal
ini, gue telat berada di samping lo... Maaf," tukas Fari kemudian.
Langge berusaha tersenyum mendengarnya, walau sulit.
"Thanks, man."
"
Dah, Kakak Langgeku..."