JINGGA

“"Wow, I had gone to a klenteng once, when I went to Surabaya,”" tanggapku.

Klenteng adalah tempat peribadatan masyarakat Indonesia dari etnis Tionghoa. Aku
tidak ingat banyak mengenai klenteng. Yang jelas, warnanya tentu saja merah dengan
aksen warna emas di sana-sini, ada seseorang yang bisa meramal kita, terdapat
beberapa bhiksu dan aroma dupa yang dibakar di mana-mana.

"“Yup, Medan is quite similar with Surabaya actually. And then, when I was 13 or
14, Daddy decided to move to Singapore. Ia kan seorang pebisnis, temannya
menawarkan untuk mengembangkan bisnis di sini, sehingga kami sekeluarga pindah ke
Singapura. Awalnya aku disekolahkan di Sekolah Indonesia, tetapi aku tidak begitu
betah. Anaknya sedikit dan sangat eksklusif menurutku. Kakakku Indi waktu itu akan
masuk SMA, Ia masuk ke SOS dan aku dipindahkan ke SOS juga..."” cerita Diaz, panjang
lebar.

Kalau dipikir-pikir, aku dan Diaz memang tidak sering bercerita sedalam ini.
Kami hanya mengobrol masalah tugas, atau school events yang tidak ada sangkutpautnya
dengan kehidupan pribadi. Meskipun begitu, Diaz tahu bahwa aku bersekolah di
Singapura karena beasiswa. Ia pun dengan semangat membantuku mengerjakan PR
Matematika. Kami sering mengerjakan science lab report bersama-sama, kendati itu
bukan tugas kelompok. Kadang-kadang jika aku lupa membawa report, Diaz suka
membawakan copy report-nya untuk kukumpulkan atas nama diriku. Baik sekali,
memang.

Bersama Diaz membuatku sering terlupa pada Langge. Bagaimana tidak,
belakangan ini Langge semakin getol mengacuhkanku. SMS-ku saja jarang dibalas
olehnya, apalagi e-mail! Tapi, rasanya, Diaz selalu ada... Apakah itu hanya perasaanku
saja?


* * *
 
Rumah Sakit Kautsar, 17:31
"“Masih sesak, nggak, nafasnya?"” tanya Langge pada Jingga. Ia bahkan membawa
binder-nya untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah dengan tulisan tangan, supaya tinggal
Ia ketik sesampainya di rumah. Ia sedang berkhayal, seandainya Ia memiliki laptop,
mungkin semuanya bisa menjadi lebih praktis dan mudah.

Jingga menggeleng. "“Putri Kalang mana?"” tanya anak itu kemudian. Langge tidak
menengok, Ia tetap mengerjakan tugasnya yang sangat banyak itu.

“"Singapura, Biet,"” jawabnya. Sedetik kemudian, Ia baru menyadari kesalahannya
dalam mengucapkan kata barusan, "“Eh... Hmmm. Singapura, Ngga.”"

“"Ooh. Wah, seandainya aku tahu, kakakku berada di mana, mungkin sekarang Ia
yang sedang menjagaku ya? Kalang tidak perlu susah-susah datang ke sini."” Entah Jingga
mengigau atau meracau, yang jelas, kondisinya adalah seratus persen sadar. Langge baru
pertama kali ini mendengar Jingga menjadi begitu terbuka akan kehidupannya, seperti
saat ini.

“"Mungkin. Tapi, Kakak kan juga kakak kamu,"” protes Langge. Entah itu cemburu
atau iri, Ia ingin sekali menjadi seorang kakak yang selalu dicari-cari oleh Jingga.
"“Banyak hubungan yang lebih erat daripada hubungan darah, Jingga,”" Langge berujar
kemudian. Meskipun tangannya sibuk dengan tugas-tugasnya, sesungguhnya Ia
memfokuskan pikirannya pada konversasi dengan Jingga ini.

“"Apakah hubungan kita termasuk?"” Jingga nyeletuk, tanpa aba-aba apapun
sebelumnya. Kalimat itu, entah mengapa, meskipun simpel tapi terdengar sangat vulgar.
Mengedepankan sisi lain dari Jingga, yang kelihatannya frontal dan absurd.

Kontan Langge menengok ke arah anak itu. Seorang anak berusia 10-11 tahun
yang tiba-tiba berkata seperti itu, dengan kata kita, seperti mereka membina sebuah
hubungan yang serius dan berkomitmen. Apa maksudnya?

“"Kita?” Ada apa dengan kita, Jingga?"

"“Ya. Kalang dan aku. Hubungan kita apa?”"

"“Lho? Justru seharusnya Kakak-lah yang menanyakan itu pada kamu. Hubungan
kita apa? Kenapa kamu ngomong seperti itu?"” tanya Langge. Ia bahkan menutup file-nya
dan berhenti mengerjakan tugas kuliahnya.

“"Entah."” Ya ampun, kosa kata yang kamu gunakan aneh-aneh amat sih? "“Kalau
Kalang mengkhawatirkan aku seperti ini, sudah pasti Kalang menyimpan suatu perasaan,
yang terpendam, tidak bisa dibilang dengan frase suatu apapun. Tapi Kalang sudah punya
Putri Kalang dan aku takkan mungkin Kalang angkat jadi Putri Kalang, bukan?"” Jingga
berkata lagi, dengan nada yang teramat sangat datar. Sebuah pemikiran kritis dari otaknya
muncul dengan nada seperti pernyataan-pernyataan khas anak kecil, semisal ‘'aku mau
makan permen’.'

Di rumah pun, Jingga tidak pernah mau menyantap permen yang dibawa oleh
Langge. Menurutnya, hanya orang bodoh yang mau memakan makanan yang sama sekali
tidak memiliki manfaat, dalam hal ini gizi.

“"Kakak tidak tahu frase apa yang bisa melukiskan perasaan Kakak, Jingga.
Tolong, mengerti,”" pinta Langge, berbicara pada Jingga seolah-olah Jingga adalah teman
dekatnya yang tidak bisa Ia jadikan pacar.

“"Cin—“---"

Langge memasukkan file-nya ke dalam tas ranselnya yang berwarna jingga itu.

“"Apaan sih?! Gue cuma cinta sama Ebiet! Gue gak cinta sama yang lain! Gak
bisa! Apalagi sama lo.”" jawab Langge ketus. Emosinya meledak-ledak barusan.
Bagaimana tidak, semua hal memaksanya untuk mengerti, mengerti, mengerti. Semua
orang memaksanya untuk bisa mengerti. Tetapi, tidak pernah ada yang mengerti dirinya,
tidak ada yang mau mendengarnya, apalagi menemaninya. Termasuk Ebiet. Terutama
Ebiet, dan Jingga.

“"Tidur saja, Jingga. Kamu masih kecil, belum pantas berbicara seperti ini, seolaholah
kamu mengerti apa itu cinta. Kalau kamu mengerti, kamu nggak mungkin lari dari
rumah. Kamu benci ayahmu karena kamu benar-benar mencintainya, dan kamu nggak
mungkin lari kalo kamu tahu itu,"” tambahnya kemudian.

"“Memangnya Kalang tahu, apa itu cinta? Kalang juga nggak tahu! Kalau seperti
itu, semua orang di seluruh dunia memang nggak pantas berbicara tentang cinta, Kak!”"
Jingga tidak mau kalah. Mungkin ini pengaruh tayangan televisi yang semakin tidak
mendidik... Tapi, anak tipikal Jingga? Menonton sinetron? Nyaris tidak mungkin. Ah...


Langge menghela nafas panjang. Ia mempersilahkan Ibu Minah masuk ke dalam
kamar itu. Langge berjalan menuju pintu kamar. Keluar, dan segera menunggangi
motornya untuk pulang.

* * *​
 
Langge uring-uringan. Ia mengingat-ingat kalimat-kalimat yang mengalir secara
lugas, tegas, sekaligus polos dari mulut Jingga. Kalimat-kalimat tentang cinta... Memang
benar, sesungguhnya Langge tidak mengerti tentang cinta. Ia sama sekali tidak mengerti,
dan Ia berusaha semaksimal mungkin agar cinta di hatinya selalu berlabuh pada Ebiet,
satu-satunya untuknya. Meskipun kadang-kadang Langge sadar, bahwa perasaan itu tidak
bisa dipaksakan.

Apakah selama ini cintanya memang hanya untuk Ebiet? Atau Ia hanya berusaha
menjaga perasaan itu agar dirinya terlihat superior dan berbeda dari laki-laki lain yang
begitu menggampangkan cinta? Apakah Ia berusaha bertahan supaya dibilang setia?
Ataukah Ia menutup diri dari wanita lain karena takut jatuh cinta lagi? Langge juga tidak
tahu. Ia bahkan tidak bisa mencerna rasa-rasa yang berkecamuk di hatinya. Kesal, marah,
sedih, sayang, cemburu, lelah, bosan... Semua rasa bersatu padu, membentuk lingkaran
kosmik di benaknya. Rasa-rasa itu memancarkan cahaya mereka masing-masing,
membentuk spektrum yang warnanya menyilaukan mata.

September, Oktober. Hari-hari di Bulan Ramadhan kali ini berjalan jauh lebih
panas daripada biasanya. Langge pada dasarnya memang tidak begitu suka makan, jadi
puasa baginya bukanlah sesuatu yang teramat sangat berat. Terkadang Ia malah puasa
Senin-Kamis sesekali. Lumayan, sambil dapat pahala, bisa menghemat juga. Apalagi
menurut teori, daya fikir orang-orang yang terbiasa berpuasa meningkat. Contoh
sederhana, dua orang hebat asal Indonesia: mantan presiden Habibie dan mantan Ketua
MPR Amien Rais, sama-sama rajin berpuasa. B. J. Habibie bahkan menciptakan “The
Habibie Theory” dalam ilmu mengenai pesawat terbang yang dipelajari oleh mahasiswa-mahasiswa
penerbangan, terutama di Jerman.

Sudah dua minggu lamanya Ia tidak mengecek e-mailnya (lagi). Entah bagaimana
kabar Ebiet sekarang. Mereka hanya bertukar kabar sesekali, via SMS. Cerita-cerita yang
disampaikan pun tidak banyak. Hanya sekedar basa-basi saja. Karena itu... Langge
merasa kosong. Entah kepalanya, sekaligus juga hatinya. Tidak ada yang menopang
tubuhnya, tidak ada yang memberi semangat atau sekedar berkata '“tidur yang nyenyak,
ya'” setiap kali Ia hendak tidur. Sepi.

Untungnya, Langge selalu merasa bahagia setiap bulan puasa, karena di
keluarganya ada tradisi untuk selalu buka puasa bersama, entah di rumah maupun di
restoran. Ia jadi bisa lebih banyak berbagi dengan papa dan mamanya, serta dengan Vane
dan Tare. Orangtuanya bahkan menjadi jauh lebih lembut padanya dan bisa menjaga
emosi. Kadang-kadang, Ia berharap bulan puasa tidak pernah berakhir. Karena dimulai
dari tanggal 3 Syawal, tabiat orangtuanya (terutama sekali Papa) sudah akan kembali
seperti semula. Dengan marah-marah dan bentakan yang kadang-kadang Langge
rindukan itu.

Setiap malam di bulan puasa pun Langge hampir selalu melaksanakan Shalat
Tarawih berjamaah di sebuah masjid kecil di dekat rumahnya. Di sana lah Ia bertemu
sahabat-sahabatnya yang senasib sepenanggungan. Cowok-cowok itu rata-rata memiliki
‘incaran’ untuk dijadikan pacar. Wajar, jika melihat cewek-cewek yang tinggal di
kawasan pemukiman tempat Langge tinggal, pasti tidak ada laki-laki yang melewatkan
pemandangan cantik itu. Punya pacar-slash-tetangga? Sepertinya menyenangkan.

Tapi, tidak buat Langge.

Ia tidak juga mengerti, mengapa Ia bisa tidak tertarik pada satu pun gadis
sebayanya yang tinggal di sana. Padahal, boleh dibilang, mungkin saja kecantikan Ebiet
kalah dengan mereka. Namun, Langge begitu mencintai Ebiet, meskipun terpisah lautan
dan selat, dan entah berapa kilometer. Ia inginnya setia menunggu. Well, kalau bisa.
Di kompleks itu juga lah Ia mengenal Yudhi, personil band trip hop Everybody
Loves Irene--—singkat saja ELI, yang menjabat sebagai gitaris. Salah satu alasan mengapa
Ia sedikit uring-uringan hari ini juga karena bertemu Yudhi, semalam, kelar Shalat
Tarawih.

Awalnya, Langge hanya menanyakan berita-berita mengenai band cowok itu,
karena boleh dibilang Yudhi adalah mastermind dari band yang meng-cover lagu “"Hybrid
Moments"” milik The Misfits tersebut. Baru-baru ini ELI bahkan didaulat untuk mengisi
soundtrack serial "“Dunia Tanpa Koma”". Yudhi bercerita dengan antusias bahwa sekitar
Bulan Maret dan April 2007, ELI diundang untuk bermain di Malaysia. Ketika itulah
Langge langsung teringat dengan Ebiet.

Bunyi konversasinya kira-kira seperti ini.
 
Malam Sebelumnya
"“Malaysia? Wow, hebat juga lo ya, Dhi. Gila, dari dulu gue pengen banget
ngeband, tapi nggak kesampaian. Untung jadi drummernya kesampaian, tapi mau
ngeband sama siapa? Aliran gue nggak ngetrend nih...”" curhat Langge.

"“Makanya, lo jadi stage crew gue aja deh. Lumayan lah, Ngge, kalo misalnya lo
ikut gue, link lo bakalan ada banyak banget, kenal sama band-band lain, dan akhirnya
punya banyak teman. Kalo ada band yang bubar dan dulunya bawain aliran lo, ajak aja
personilnya buat ngeband sama lo. Ngeband tuh nggak susah, lagi. Dasar lo, cemen.
Angkat-angkat kabel doang apa susahnyaaaaa coba, buat lo gitu, kuli!”" ledek Yudhi.

Sedari dulu, yang Langge tahu, Yudhi memang orangnya suka ngatain. Jadi, Langge
sudah tergolong terbiasa dengan kebiasaan Yudhi yang satu itu.

“"Eh, lo main di Singapore nggak? Kan dekat tuh."” Langge bertanya dengan
kecamuk di hatinya dan harap-harap cemas.

“"Ehm... Tunggu, tunggu. Kayaknya iya kok, di Old Parliament. Transit doang
soalnya. Kenapa? Belum pernah lihat Merlion pasti deh lho. Old Chang Kee juga banyak
di Jakarta, nggak usah ke sana... Ntar gue bawain gunting kuku deh, yang gambar
Merlion apa Petronas?"” Langge menghela nafas panjang, menahan amarah. Iya jadi
teringat, benar apa kata Yudhi, karena tiap kali Ia mendapat oleh-oleh dari negara
tetangga, pasti berupa gunting kuku. Oleh-oleh yang tidak penting, meskipun tidak
useless, tapi tidak juga useful.

“"Bukan gitu. Pacar gue di sana,"” kata Langge, dengan pelan sekali. Mengganti
jenis hubungan anehnya dengan Ebiet menjadi pacaran versi Langge dan menyebut Ebiet
yang statusnya masih teman dekat menjadi pacar.

“"Perfecto. Makanya, ayo jadi kru gue... Masalah hotel dan kendaraan di sana,
ditanggung ELI deh kalau buat lo. Pesawat tanggung sendiri. Kalo nggak mau, naik getek
gih, seminggu sebelum showcase...”"

“"Kalau as your official photographer? Well, photography is my hobby. I won’t
say I’m great, dedicated, or whatsoever, but I can say, I’m... quite good"
,” pinta Langge.

Sekedar bertanya, mungkin saja Ia bisa menabung dalam beberapa bulan demi perjalanan
itu. Dan demi bertemu Ebietnya, di saat bandnya berjalan-jalan atau belanja.

Lagipula, jika ELI tidak bersedia difoto dengan kamera Holga kesayangannya, Ia
berniat meminjam kamera Konica Minolta keluaran tahun 1995 kepunyaan Mama.
Meskipun sudah "“uzur”", Langge tetap lebih suka menggunakan kamera analog. Sehingga,
jika Ia menghasilkan foto yang bagus, foto itu benar-benar merupakan hasil jepretannya,
bukan hasil edit di Adobe Photoshop.

“"Okay. Nanti gue pikirkan. Tapi sejauh gue belum bilang "‘iya’", mendingan lo
pikirin lagi deh, gimana kalo lo jadi kru panggung gue?"” Mereka berdua tertawa
terbahak-bahak di perjalanan pulang setelah Shalat Tarawih malam itu.
 
16 - Numbers

Rumah Sakit Kautsar, 12:05
PNEUMONIA.
Kasus yang dialami Jingga tentu saja merupakan pneumonia jenis Community-acquired
Pneumonia
(CAP), karena sebelumnya Jingga belum pernah dirawat di rumah
sakit. Langge sedikit-banyak tahu mengenai penyakit ini, karena Ia pernah menulis
makalah mengenai pneumonia ketika duduk di kelas XI dan mempelajari sistem
pernafasan.

Menurut dokter, sepertinya kasus Jingga disebabkan oleh bakteri, dan termasuk
dalam jenis Streptococcus pneumoniae. Pneumonia ini merupakan kasus pneumonia
yang paling banyak dijumpai di seluruh dunia dan relatif tidak begitu berbahaya. Tetapi,
karena penyakit pada Jingga telat terdeteksi, kita harus bersiap-siap menghadapi
kemungkinan terburuk, kata dokter.

“"Maaf ya, kemarin Kakak ketus sama kamu,"” ujar Langge dengan setulus hati. Ia
bukannya marah pada Jingga tempo hari, Ia hanya merasa bingung dan kalut. Pertama, Ia
sedang kehilangan Ebiet, walau proses itu berjalan dengan sangat perlahan-lahan.
Kedua, Ia bingung akan perasaannya pada Jingga. Bingung memilih antara perasaan,
logika, nalar, akal sehat... Karena yang Ia rasakan pada Jingga, adalah suatu hubungan
batin yang kuat. Tapi, masa iya seperti kata Jingga: cinta? Tidak mungkin.

Jingga tidak menjawab, seperti Ia yang biasanya. "“Kamu nggak mau pulang?”"
tanya Langge kemudian.

"“Sudah boleh?"” Jingga bertanya sekenanya. Ia memejamkan matanya seperti
sedang menahan sakit. Mungkin dadanya sakit lagi... Apalagi, sekarang Jingga menjadi
jauh lebih kurus daripada sebelumnya. Mungkin karena nafsu makannya yang menurun
drastis.

"“Bukan begitu. Maksud Kakak, kamu nggak mau ketemu Papa-Mama kamu?
Sekarang bulan puasa lho, Ngga. Mungkin orangtua kamu mau pulang ke kampung,
ketemu nenek-kakek kamu?”"

Jingga menatap infus yang menetes-netes dan mengalir ke dalam darahnya. “"Gak
punya lagi. Gak mau pulang.”"

Langge setengah mati gondok setiap kali berbicara dengan anak yang menurutnya
aneh ini. Jingga memang irit bicara, tetapi mengapa bisa sangat menyebalkan dalam
bertingkah laku kepadanya?

"“Kakak kan cuma nawarin. Kamu nggak perlu jawab dengan ketus,”" protes
Langge. Sepertinya anak ini memang harus dididik secara khusus. Bahkan, ketika sedang
sakit pun, Jingga masih saja ketus dan tidak menjaga nada bicaranya.

Sorenya, karena Ia memang tidak ada tugas, Ia memilih untuk menyalakan
komputernya, dan berharap Ebiet online dengan perangkat instant-messaging-nya. Benar
saja, user FebruaryTatiana sedang ada di grup online.

Langge segera menyapa Ebiet dengan ceria. Ia benar-benar merindukan Ebiet, dan
tanpa terasa, sudah sekitar 2 bulan mereka berdua berpisah, yang rasanya seperti
selamanya, padahal Langge dan Ebiet belum mulai berpacaran secara resmi. Ia ingin
menghangatkan lagi kobaran api cinta yang belakangan ini sempat meredup di dalam
dirinya karena keraguannya terhadap Ebiet. Bisa saja Ebiet di sana sudah punya pacar
lagi, atau mungkin juga Ia tidak memikirkan saya...
 
Pada awalnya, Langge hanya berbasa-basi seperti biasanya. Mereka berdua
memang selalu membicarakan hal-hal sehari-hari. Bukankah itu merupakan salah satu
esensi dari hubungan pacaran? Orang yang berpacaran rata-rata sudah menghabiskan
semua topik yang mereka punya, sampai-sampai SMS yang paling sering dikirim adalah
SMS-SMS tidak penting, semisal "“Lagi apa?"”, "“Udah makan belum?"”, dan sebagainya.

Langge : Kamu kpn pulang ke Indo?
Ebiet : Masih lama, last exam’ll be on May..
Ebiet : Back there in June, hopefully :)
Langge : Lho? Lebaran ini kamu ga pulang?
Ebiet : Ngga :-( Maaf, Ibu yg ke sini.. Lgan di East Coast lumayan bnyk Moslems. Cukup rame..
Langge : Ya ampun. Aku kangen banget Biet
Ebiet : I asked you.. Would you wait?
Langge : Tentu!
Langge : Btw, tmnku mau ada showcase di sana, in March. Doain aku bisa ikut ya?


Hati Langge semakin gundah mengetahui bahwa Ebiet tidak akan pulang ke
Jakarta dalam waktu dekat. Terkadang Langge berharap orangtuanya tidak se-strict itu
padanya. Ayahnya bahkan beberapa kali ke luar negeri untuk urusan dinas, sehubungan
dengan profesi beliau yang merupakan advokat merangkap dosen. Ia pergi ke luar negeri
biasanya untuk mengajar sebagai dosen tamu di perguruan tinggi yang berlokasi di luar
negeri. Setiap kali Langge mau ikut, selalu dilarang, dengan alasan Langge harus belajar.

Di kamarnya, Langge memiliki sebuah celengan dari tanah liat berbentuk ayam,
yang hanya bisa dibuka jika dipecah, dan tentunya Ia bertekad memecahkan celengan
tersebut ketika sudah penuh. Seluruh upahnya selama bekerja di Starbucks Coffee pun
dimasukkan ke celengan itu, agar tidak bisa asal diambil jika Ia membutuhkan uang
seperti uang yang ada di ATM-nya.

Sekali-sekali, Ia menulis di majalah remaja, berupa kritik sosial dan opini.
Seluruh honornya juga disimpan di celengan ayam itu. Alasannya sama, agar tidak bisa Ia
asal ambil. Langge bahkan sering sekali melihat-lihat buku tentang berbagai tempat di
dunia yang ingin sekali Ia datangi. Ia juga rajin membuka blog-blog di Planet Ranger39
yang berisi catatan perjalanan dari banyak orang di dunia, sekedar untuk referensi, selain
membaca buku-buku panduan wisata.

Langge sangat ingin pergi keliling dunia. Kalau bisa, bersama Ebiet. Ebiet-nya.
Namun, jika Ia menjadi dokter, semua itu mungkin saja akan berubah. Mungkin saja Ia
harus tetap standby di dalam kota agar bisa menolong pasien-pasiennya di saat-saat
darurat. Jika pun Ia ditugaskan dinas ke luar negeri, belum tentu Ia mendapat kesempatan
untuk berkeliling dan mengenal budaya setempat, juga orang-orang setempat. Padahal,
Langge ingin sekali belajar dari dunia itu sendiri. Seolah-olah Ia belajar langsung dari
Tuhan, tanpa perantara lagi.

"“Langge, udah Maghrib, Nak! Ayo, buka puasa!"” ujar ibunya dari ruang makan.
Untuk sejenak, Langge terperangah, karena jarang sekali Mama memanggilnya dengan
sebutan ‘'Nak'’. Mungkin bisa dihitung dengan satu tangan, untuk kurun waktu 18 tahun
pun.

“"Iya, Ma!"” Dengan segera dan bersemangat, Ia segera mematikan komputernya.
Kalimat terakhir yang diucapkan oleh Ebiet adalah “"Met buka...”", mengingat Ebiet sudah
buka puasa sejam lebih dulu, jika mengacu pada jam Maghrib di Indonesia.

Ia merasa cukup bahagia di bulan puasa ini. Karena seperti biasa, Bulan
Ramadhan selalu memiliki banyak keajaiban, termasuk dalam hal bond of the family.
Mungkin inilah yang Mark Wahlberg bilang: There are bonds that stronger than blood.
He feels that, finally.


* * *​
 
“"9-5-6-5-4-0-0".” Ia mengucapkan angka-angka itu dengan begitu hati-hati dan
berulang-ulang, berharap lagi, semoga saja setelah Ia ucapkan berulang-ulang, angka itu
menjadi tidak ada artinya lagi, dan Langge tidak perlu pusing-pusing memikirkannya.

Itu adalah nominal yang harus dibayarkan untuk menebus agar Jingga bisa dibawa
pulang, tadi Ibu Minah mengatakan padanya. Ia sebelumnya memang sudah menebak
bahwa nominal yang harus dibayarkan untuk “menebus” Jingga sudah pasti relatif besar,
karena untuk mendeteksi pneumonia membutuhkan rontgen, CT scan, apalagi kemarin
cairan di dalam paru-paru Jingga disedot, belum lagi tabung oksigen yang dipasang
sebagai alat bantu pernafasan Jingga. Namun, Langge tidak menyangka bahwa angkanya
akan jadi sebesar ini.

Pihak Talitemali telah memohon diberikan keringanan, tetapi ya seperti rumah
sakit di Indonesia pada umumnya, pihak RS menolak dengan dalih Jingga tidak
dilengkapi kartu kemiskinan, atau yang sejenis.

Langge bergidik ngeri membayangkan reaksi para petinggi di Rumah Talitemali,
mungkin saja mereka menganggap kehadiran Jingga membawa sial, atau apapun. Karena
dari kemarin-kemarin, hampir belum ada kejadian seperti ini, kecuali dalam penanganan
Ayu dan Wisnu yang memang ditangani secara khusus serta dilengkapi anggaran khusus
pula. Kalaupun mereka berdua mendapat kesempatan operasi penyedotan cairan yang
bersarang di otak mereka, itu karena ada kebaikan dari para dermawan yang mewakili
Tuhan.

“"9, 5, 6, 5, 4, 0, 0".” Ia mengucapkannya sekali lagi, dan terbayang di telinganya
kalimat-kalimat Ibu Minah siang tadi:"“Nak, bisa tidak meminta bantuan kepada
orangtuamu? Sedikit saja donasi..."”


Huh. Bukannya tidak mau, tetapi ayahnya hampir tidak mungkin memberikan
uang yang tidak ada hubungannya dengan studi. Mungkin Ia bisa bicara pada ibunya,
tetapi ibunya juga hampir tidak mungkin merahasiakan permintaannya dari ayahnya.

Dengan segenap rasa takut sekaligus penasaran di hati, dan ditemani jantung yang
berdegup kencang, Langge berusaha meyakinkan dirinya untuk meyakinkan Mama.
Karena jujur saja, Langge hanya memiliki uang yang ‘'pas'’ untuk jatah makannya setiap
hari, maksimal dua kali sehari, di warung tegal pula. Hal itu disebabkan oleh uang jajan
yang diberikan padanya sangatlah pas dan ketat, tidak ada uang tambahan untuk membeli
hal-hal lain kecuali untuk keperluan kuliah. Sementara uang hasil kerjanya beberapa
bulan terakhir sudah terlanjur ditabung di celengan ayamnya yang tersayang, dan Ia
sudah bersumpah tidak akan memecahkan celengan tersebut jika belum penuh.
 
“"Mama..."” panggilnya lembut kepada ibunya. Tentu saja Ia harus sedikit-banyak
‘cari muka’ agar Mama mau meringankan beban di pundaknya, yang juga menjadi beban
Bu Minah, Lita, dan semua yang tinggal di Rumah Talitemali.

Sore itu, Mama sedang mengerjakan sulaman kristik, sebuah hal yang sering
dilakukannya di waktu senggang. Sebenarnya, Mama adalah seorang yang kreatif, namun
karena sudah bertahun-tahun-tahun tinggal dengan Papa yang berorientasi studi dan gila
kerja, lama-kelamaan Mama jadi berpikir bahwa hal-hal yang berhubungan dengan seni
kalah jauh dari pentingnya nilai-nilai akademis. Suatu hal yang sangat Langge sesalkan.

Mama membenarkan posisi kacamatanya dan menengok ke arah Langge yang
duduk di sebelahnya di sofa ruang keluarga. “"Ma, ada anak di panti yang namanya
Jingga. Umurnya 10 tahun, dia kabur dari rumah karena ayahnya kasar. Ternyata ada
kelainan di paru-parunya, kemarin dirawat di rumah sakit setelah dia kolaps. Dana yang
mesti dibayar hampir 10 juta, Ma... Ya, Mama tahu kan, uang di panti juga terbatas,
sesuai dengan donasi yang ada saja. Langge bingung, Ma. Jujur, Langge nggak punya
uang sebanyak itu, kalaupun Langge bisa kasih uang, maksimal 100 ribu... Berarti cuma
sepersen dari yang dibutuhkan,"” ceritanya panjang lebar, sementara ibunya masih asyik
mengerjakan sulaman kristik tersebut, sampai-sampai terlintas di otak Langge, janganjangan
menyulam itu memang menyenangkan, saking terbuai ibundanya dibuatnya.

"“Lalu?"” tanya Mama sekenanya. Langge kaget sekali akan respon tersebut,
meskipun seharusnya Ia sudah tahu bahwa ibunya akan menjawab dengan singkat seperti
itu, berbentuk pertanyaan pula.

"“Mama bisa bantu nggak? Ya, nggak usah 10 juta, berapa deh, terserah Mama...
Buat meringankan panti, Ma. Langge gak tega lihat Bu Minah. Semua orang di panti kan
nggak punya pekerjaan lain selain mengurus panti dan penghasilan dari situ pun tidak
seberapa, sukarela saja...”" Saat itu, Langge sekaligus berharap agar rumah sakit
memperbolehkan untuk membayar 10 juta itu dalam bentuk cicilan.

"“Nanti. Mama bilang Papa dulu.”" Sementara, hal itulah yang paling ditakutkan
oleh Langge. Papa sampai tahu dan Ia dicaci-maki habis-habisan serta dimarahi karena
mengurusi masalah orang lain, bukan mengurusi kuliah medisnya.

“"WAH! JANGAN, MA!”" seru Langge panik. Ibunya meliriknya dengan bingung,
dan setelah berkurang rasa paniknya, Ia menjelaskan lagi. “"Langge takut dimarahin Papa.
Please jangan bilang sama Papa ya, Ma?"” Ia mengucapkan itu karena Ia tahu, bahwa
ibundanya tentu masih memiliki simpanan uang, apalagi beliau terkadang menjual hasil
sulamannya ke teman-teman arisan beliau.

"“Lho, kenapa?”"

"“Papa bakal bilang Langge nggak belajar dan mengurusi urusan orang lain. Tapi
Langge belajar kok, Ma. Benar deh.”" Ia berusaha dengan amat sangat untuk meyakinkan
ibunya, supaya Sang Mama mau membantunya.

"“Ya, nanti Mama pikirkan dulu ya. Kamu jemput Fian di sekolah gih, tadi dia
habis tanding basket...”"

Langge sebenarnya ingin menggerutu, tetapi Ia menahan keinginan itu. Ia pun
melangkah gontai menuju mobil Corolla silver yang biasa Ia gunakan sehari-hari. Tidak,
tentu saja Langge tidak pernah berharap punya mobil berwarna jingga. Pikirannya cukup
rasional untuk menyadari bahwa mobil-mobil berwarna jingga Persija akan menimbulkan
kesan sangat norak dan aneh. Selain itu, jika mau dijual lagi, jarang ada yang mau
membelinya. Tidak ada, malah.
 
Sesampainya di dalam mobil, Ia dapat mengetahui dengan jelas bahwa mobil ini
tadi pagi ditumpangi oleh Vane untuk berangkat ke sekolahnya, bisa diketahui dari
tracklist yang terputar di CD player. Lagu yang mengalun adalah lagu-lagu lostprophets,
sebuah band yang Langge tidak tahu alirannya apa (that’s why he said, he doesn’t do
genre)
, namun Ia tahu bahwa itu adalah salah satu band kesukaan Vane. Langge sendiri
mengakui bahwa band tersebut adalah band yang menarik perhatiannya, dan Ia pun
menggemarinya.

Album "“Start Something"”-lah yang dari tadi mengalun. Sampailah Ia pada track
"“Goodbye Tonight”," yang tentunya membangkitkan kerinduannya pada Ebiet, meskipun
belakangan ini sedikit terpendam karena kesibukannya dan kebingungannya menghadapi
kondisi yang mengharuskannya membantu membayar biaya rumah sakit, supaya Jingga
boleh pulang.

February Tatiana. Ia melafalkan nama itu dengan pelan-pelan, namun penuh
penghayatan. Nama panjang Ebiet begitu indah menurutnya, meskipun terdengar asing.
February tentunya karena Ia lahir di bulan cinta mereka itu, sementara Tatiana adalah
pemberian dari kakeknya, yang merupakan orang Rusia. Nama tersebut diambil dari
nama adik perempuan kakeknya, yang berambut merah tua, bertubuh mungil, sangat
pintar dan cantik jelita, namun meninggal ketika berumur 14 tahun karena leukemia.
Bukannya ingin menyumpahi supaya Ebiet juga meninggal di usia belia, tetapi justru
untuk mengabadikan sosok yang indah dan menyenangkan itu, dalam bentuk baru.

Jika mengikuti tata cara penamaan Rusia, seharusnya nama panjang Ebiet adalah
February Tatiana Islanova, karena ayahnya bernama Roman Islanov, dan kakeknya
Ibrahim Islanov. Namun, Ebiet menolak untuk menggunakannya di kehidupan seharihari,
karena terdengar terlalu bule. Walaupun secara fisik mungkin bisa saja Ia terlihat
seperti orang Rusia (yang sebenarnya masih di dataran Asia), tetapi lebih cocok jika
disebut orang Indonesia yang berkulit putih, bermata cokelat, dan berambut hitam
kemerahan.

Kakek dan neneknya saat ini tinggal di Bandung, dan tidak pernah ke Jakarta lagi,
apalagi setelah ayahnya meninggal. Ibunya sesekali datang mengunjungi Ibrahim Islanov,
itu pun jika Ebiet sedang berada di Jakarta. Ebiet juga sesekali bertukar kabar dengan
mereka lewat telepon. Dulu, Langge dan Ebiet juga sering bertukar kabar lewat telepon.
Tetapi, ke mana keceriaan dan keakraban itu?

Tanpa terasa, Langge sudah sampai di pelataran parkir sekolah Vane. Ia mengirim
pesan singkat untuk Vane, yang menyuruhnya supaya cepat-cepat ke parkiran. Langge
ogah menunggu lagi. Karena, sebenarnya Ia paling benci menunggu. Kecuali untuk Ebiet.
 
17 – The Recruitment

Kampus UI Salemba, 07:11
HARI SENIN LAGI.

Kuliah lagi.
Langge semakin membenci yang namanya fakultas kedokteran. Pertama, karena
Ia memang tidak ingin melanjutkan studi ke sini jika tidak dipaksa oleh keluarganya.
Kedua, karena Ia semakin tidak memiliki sedikitpun waktu untuk Ia bagi dengan dirinya
sendiri, apalagi untuk orang lain, Jingga dan Ebiet misalnya. Sedetik kemudian Ia sedikit
menyesal karena tidak memikirkan nama Ebiet pertama kali, melainkan Jingga.

Kemarin, Ia menemui pamannya yang berprofesi sebagai dokter, menanyakan
bagaimana caranya agar Ia bisa menekan angka yang diminta oleh rumah sakit sebagai
biaya pengobatan Jingga yang tidak sedikit itu. Pamannya sangat menyesal tidak dapat
membantunya, karena Jingga tidak dibawa ke rumah sakit di mana pamannya itu praktek.

Ibu Minah sudah berusaha menghubungi donatur rutin Rumah Talitemali perihal
Jingga dan penyakitnya, serta fakta bahwa mereka membutuhkan uang sekitar 10 juta
rupiah yang akan bertambah lagi nominalnya apabila tidak cepat-cepat dilunasi. Sampai
hari ini, dua hari sejak Jingga diperbolehkan pulang asalkan sudah membayar
administrasi dan sebagainya, baru ada 2 orang donatur yang mengiyakan permintaan
tersebut dan berencana memberikan sumbangan sukarela terhadap Rumah Talitemali di
kunjungannya.

Seluruh staf panti juga berusaha membagi rejekinya, untuk perawatan Jingga. Lita
misalnya, Ia merelakan 50% gajinya untuk membantu membayar pengobatan Jingga,
karena Ia masih membutuhkan sekian persen untuk dikirimkan ke orangtuanya di
kampung, sehingga bulan ini Lita tidak dapat menabung. Ibu Minah apalagi, beliau
menghibahkan seluruh gajinya bulan ini demi Jingga. Total dari sumbangan para staf dan
karyawan, baru terkumpul sekitar 1,6 juta rupiah.

Ibu Minah memang salah satu wanita super yang sangat pantas diidolakan oleh
Langge. Ia menganggap semua anak di panti sebagai anak-anaknya sendiri, hal yang
sangat sulit ditemui di masa sekarang ini. Kalaupun beliau tidak mendapat gaji,
sepertinya beliau tidak peduli dan akan berlaku sama seperti beliau digaji.
Langge juga sudah meminta bantuan dari beberapa temannya yang telah
mengalami perubahan pola pikir dan berorientasi pada hal-hal sosial. Seperti aktivisaktivis
kampus, bahkan senior-seniornya (padahal, Langge sangat benci senior), juga Ia
mintai bantuan. Hari ini, Ia mengumpulkan sekitar 150 ribu rupiah, dan sampai nanti
sore, sebelum pulang ke rumah, Ia masih akan meminta bantuan pada orang-orang.
Biarlah Ia dianggap gila, hanya untuk sesaat saja, bukan?

Ia juga menghubungi Kak Titut dan orang-orang yang dulu menjadi rekan
kerjanya di Starbucks Coffee Melawai, dan menceritakan mengenai hal itu kemarin sore.
Mereka bilang, mereka belum dapat gaji, tetapi Langge bisa kembali Hari Rabu untuk
mengambil total uang yang mau mereka sumbangan. Sungguh baik dan mulia hati orangorang
itu, batin Langge.

Sorenya, sumbangan yang Ia dapatkan jumlahnya belum signifikan, hanya
bertambah sekitar 50-60 ribu rupiah. Meskipun begitu, Langge tetap sangat bersyukur.
Kelar Shalat Ashar di Mushalla, seperti biasanya Ia nongkrong dengan teman-temannya
yang laki-laki, sambil menunggu Adzan Maghrib berkumandang. Seperti biasa, di sana
ada Naek, Reinat, Agap, Adrian dan Widodo-—yang waktu PPAM namanya dicela-cela
oleh senior yang menganggap di masa sekarang ini nama "“Widodo"” sudah nggak
ngetrend, serta beberapa temannya yang lain. Sekarang, Widodo resmi dipanggil Odot,
baik oleh senior, maupun teman-temannya di angkatan 2006.
 
Di antara gerombolan mahasiswa itu, ada yang belajar (maklum, ini fakultas
kedokteran, Bung!), merokok (kalau yang ini ironis memang, tetapi begitulah kenyataan
yang berlaku di Jakarta), bahkan membaca komik, bengong, dan... Main Solitaire?

Ah. Lagi-lagi Langge teringat pada Jingga, malaikat kecilnya yang tidak pernah
lepas dari permainan tersebut.

Naek tentu saja memperhatikan tingkah laku Langge yang semakin hari semakin
aneh saja, begitupun dengan teman-temannya yang lainnya. Mereka semua mempersuasi
agar Langge mau berbagi kepada mereka mengenai masalahnya. Akhirnya, Langge pun
menceritakan perihal Jingga.

Agap angkat bicara. Agap adalah temannya yang berasal dari SMAN 3 Bandung,
namun tidak diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, probably karena Ia
lebih senang ngeband dibandingkan belajar. “"Waktu itu, kawan abdi teh juga pernah
kecelakaan. Ia perantau dari Ambon, namanya Michael, tidak punya uang untuk
membayar rumah sakit. Jadi, abdi dan teman-teman bikin... iye teh namanya, naon deui...
Hmmm, oh iya, semacam showcase, di Dago. Yang manggung ya kita-kita juga, harga
tiket masuknya 5 ribu. Promosinya pakai SMS, dari mulut ke mulut, pasang pamflet di
distro-distro teman. Maklum, Mike emang anaknya supel dan pintar, banyak yang peduli
sama dia. Alhamdulillah, dapat lumayan. Mike bisa bayar RS dan pulang...”"

Mendengar hal tersebut, Langge segera mengutuk dirinya habis-habisan, mengapa
hal itu bisa sampai tidak terpikirkan olehnya kemarin-kemarin. Padahal, Ia biasa
mengunjungi distro (distribution outlet) Hey Folks -– official store milik Ballads of The
Cliché – di mana seharusnya Ia bisa meminta bantuan band itu untuk mengisi acara.
Teman-temannya juga banyak yang berkecimpung di scene musik indie, ada dari band
One Foot Japan, Final Attack, March, Deadmaya, Killed by Butterfly, No Talent, Pee
Wee Gaskins, Alphalpha dan bahkan Yudhi! Personil Everybody Loves Irene yang
tinggal satu kompleks dengannya. Teman-teman seangkatannya di SMA dulu bahkan
memiliki beberapa band, yakni Falset dan The Tragedy of Black Tie yang sekarang sudah
cukup lebih dikenal dibanding sebelumnya. Alumni SMA-nya yang tergabung dalam EAuts,
dan bahkan Sherina Munaf-—teman baiknya.

Akhirnya, begitu sampai di kompleks pemukiman tempat Ia tinggal, Langge tidak
langsung pulang ke rumahnya, tetapi mampir ke rumah si gitaris berkacamata, Yudhi,
yang sebelumnya sudah Ia hubungi via telepon seluler, untuk membicarakan niatnya
menggalang dana dalam bentuk charity event. Kalau bisa bukan hanya untuk pengobatan
Jingga, tetapi juga untuk mendukung kelangsungan panti. Ia juga sudah mengirim SMS
Yudish-—mewakili Alphalpha, dan Alditsa “"Dochi"” Sadega—-eks-gitaris The Side Project
yang sekarang merupakan personil Pee Wee Gaskins. Khusus untuk Sherina, Ia memilih
untuk menghubunginya lewat telepon, supaya lebih personal. Maklum, gadis itu sedang
sibuk mempersiapkan album yang Ia produseri sendiri, berisi lagu-lagu yang Ia tulis dan
aransemen sendiri pula.

Yudhi agak terkejut dengan rencana Langge yang ingin menyelenggarakan acara
tersebut pada Hari Sabtu ini, berhubung tentunya Langge ingin agar Jingga bisa cepatcepat
pulang ke panti, tidak harus menunggu lebih lama lagi. Menurut Yudhi, waktu
persiapannya mungkin tidak akan cukup. Tetapi, sebelum pulang tadi, rupanya Langge
sempat bertandang ke Hey Folks dan mengobrol dengan Fino, personil band ‘keroyokan’
Ballads of The Cliché, untuk membicarakan mengenai acara yang dimaksud. Fino justru
mengusulkan kepada Langge untuk menyelenggarakan acaranya di pelataran parkir
tokonya, yang terletak di kawasan Mayestik tersebut. Ia berpendapat bahwa kehadiran
penggemar Ballads of The Cliché, dan band-band lain yang Langge undang untuk ikut
memiliki andil di acara ini, sudah cukup membantu.
 
Mendengarnya, Yudhi jadi semakin mendukung dan bersemangat, menurutnya
menampilkan kurang-lebih 4 performers saja sudah cukup, dan besok pagi semua pengisi
acara harus sudah mengkonfirmasikan kesediaannya ke Langge, agar siangnya Langge
sudah bisa menghubungi Fino dan semua pengisi acara bisa mulai mensosialisasikan
acara itu di lingkungannya masing-masing. Personil Everybody Loves Irene yang lainnya
seperti Irene (or formerly "“Erin"”), Dimas, Adi, Aji, serta Aulia, sudah mengiyakan
permintaan Langge, atas persuasi dari Yudhi sepertinya. Langge pun pulang ke rumah
dengan beban yang perlahan-lahan berkurang.

Sekitar pukul 8 lebih 30 menit malam itu, Ia menghubungi Sherina, mantan
penyanyi cilik yang saat ini sudah berumur 16 tahun. Langge mengenal Sher di tempat
les Bahasa Inggris ketika mereka masih relatif kecil, dan berteman dekat sampai
sekarang, meskipun umur mereka terpaut 2 tahun.

Setelah menunggu dengan relatif sabar, akhirnya Sher menjawab teleponnya.
“"Moshi-moshi?” sapanya dengan khas, karena Ia memang tergila-gila dengan hal-hal
yang berbau Negeri Sakura. Well, itu dari yang Langge baca di majalah, karena Langge
tidak begitu memperhatikan, to be honest.

"“Sher, Langge nih... Hmmm, gue---"—” Kalimat yang belum terucap sama sekali itu
keburu dipotong oleh Sherina.

"“HEY! How are you? Where have you been?”" tanyanya heboh. Terakhir kali
mereka bertemu adalah di Plaza Senayan, itu pun secara tidak disengaja. Ketika itu
sedang diselenggarakan Aquarelle Painting Exhibition dan Langge sangat tertarik untuk
mengunjunginya sepulang sekolah, karena menurutnya lukisan yang dibuat dengan cat air
memiliki soul yang berbeda, lebih ringan namun meresap, seperti sifatnya pada kertas. Di
sanalah Ia bertemu Sher, yang sedang mencari CD band-band Jepang yang baru,
berhubung Ia sedang libur dan sempat jalan-jalan sejenak. Mereka pun memutuskan
untuk mengobrol di Saint Cinnamon, lantai 3.

Sore itu, Langge memesan original cinnamon roll, selain minuman tentunya.
Gadis yang bersamanya saat itu pun berujar, “"I thought boys don’t like sweet snack or
food"
.” Langge membantah, dan semenjak saat itu, Sher ngotot memanggilnya dengan
sebutan L –- yang sebenarnya based on salah satu karakter manga “"Death Note”" yang
suka mengisap jempol dan melahap makanan manis. Langge tidak tahu, tentu saja, Ia
bahkan tidak tahu ada komik dan film berjudul "“Death Note"”. Ia menyangka Sher
memanggilnya dengan sebutan L, simply karena huruf depan panggilannya saja.

"“Ya ampun, gue baru kelar ujian dan ngurus-ngurus kuliah. Sorry kemarin-kemarin
ngilang, kabar lo sendiri gimana? Masih sibuk recording, Non?"” tanya Langge
kasual, sekaligus berbasa-basi sedikit.
 
“"Sudah selesai kok, mungkin sebentar lagi mengurus post-production. Launching
sekitar Maret, L. Datang ya? Eh iya, ada apa? Hampir nggak mungkin deh lo nelfon gue
untuk sekedar nanya kabar...”" tandas Sher, yakin.

Langge tertawa spontan mendengarnya. “"Tahu aja lo. Jadi gini, gue kan
volunteering di panti asuhan gitu. Ada satu anak yang unik banget, namanya Jingga. Ada
kelainan di paru-parunya, kemarin ini dia dirawat di rumah sakit dan harus bayar kuranglebih
10 juta rupiah, baru boleh pulang. Tapi, pantinya nggak ada uang, apalagi ini kan
NGO, jadi swadaya gitu."

"“Sabtu besok rencananya gue mau mengadakan charity event di Hey Folks,
tokonya ballads of The Cliché di Mayestik. You’ll love it. Kecil sih tempatnya, tapi
desain interiornya kayak toko buku (ak'’.sa.ra), mereka jual CD-CD rare, sampai Cheap
Trick aja ada, atau soundtrack Garfield, Tribute to Weezer, kaset-kaset, vinyls, DVDs,
ada yang baru, ada juga yang second dan benar-benar langka."

"“Profitnya 100% untuk Jingga, kalau ada sisa ya buat panti,"” terang Langge,
panjang lebar.

"“Wakarimashita. Lalu?”"

Are you busy on Saturday? Yang manggung di sana, yah, teman-teman gue juga.
Ballads (of The Cliché), ELI, hmmm... Alditsa mungkin manggung sama Pee Wee
Gaskins. Ada juga Alphalpha. And you’re number one on my musician-friend list. Mau
perform nggak, Sher? Kalau sibuk, nggak juga nggak apa kok,"” sambung Langge. Ia
berharap kalimat-kalimatnya cukup persuasif untuk membujuk agar Sherina bersedia
tampil di acaranya. Entah mengapa, Ia ingin Sher tampil.

"“Hmmm. Well, i’m not really busy, I guess. I can’t promise you, but, we’ll see,
okay
? Besok gue kabarin, gimana? Kakak gue yang ngatur schedule, gue harus nanya
dulu,"” jawab Sher: diplomatis, menggantung, sekaligus tidak mengecewakan sama sekali.

“"OK. ASAP ya? Sudah malam juga, lagian. Salam buat bule-bule di BIS ya.
Hehe," Langge menutup pembicaraan dengan kasual lagi, sebagaimana Ia membuka
konversasi tersebut sebelumnya.

Sesungguhnya, matanya sudah tidak mau kompromi, meskipun setelah buka
puasa Ia sudah meneguk 150 cc air hangat yang dicampur dengan 2 sachet kopi, sesuai
takarannya yang biasa. Itu pun menurutnya malah masih kurang kental.

"“Iya deh... See you soon!”"

"“Yup, yup. Good night, take care ya, Sher.”"

* * *​
 
Langge melangkah di selasar Kampus UI Salemba dengan sedikit lebih lega. Tadi
pagi sebelum berangkat, Ia sudah menghubungi Rumah Talitemali, untuk membicarakan
hal ini dengan Ibu Minah. Ternyata, Ibu Minah menjaga Jingga di rumah sakit
semalaman karena khawatir nafas Jingga akan sesak lagi. Akhirnya, Langge menitipkan
pesan melalui Lita perihal rencananya ini.

Hari ini kuliahnya juga lebih senggang daripada kemarin (as we all know, we all
hate Mondays without movies)
, sehingga mungkin Ia bisa mampir ke tokonya Fino dan
setelah itu bisa mengunjungi Rumah Talitemali-—seperti biasanya karena hari ini adalah
Hari Selasa, dilanjutkan dengan menjenguk Jingga di rumah sakit.

Beberapa saat kemudian, ketika Langge sudah berada di dalam kelasnya namun
sang dosen belum datang, ponselnya dihampiri sebuah pesan.

From: Sher Munaf
L, aku bisa hari Sabtu. Jam brp? Soalnya mau buka puasa sm fam, kalo bisa aft 7.30 ya?
Bawain brp lagu? Keyboard?

To: Sher Munaf
3 songs will be enough. I’ll inform u later about the schedule. Tenang aja, Ballads ada
keyboard. Thks a mio, doll =)


Semakin lega saja hatinya. Alphalpha sudah menyerukan kesediaannya sejak
semalam. No, Alphalpha di sini bukan robot rekan Mighty Morphin Power Rangers.
Masalah nama mungkin mirip, tetapi yang dimaksud adalah duo akustik eksperimental di
mana dua personilnya, Yudish dan Herald, selalu tampil atraktif sekaligus monoton
dengan sweater kembaran berwarna merah dengan garis-garis hitam yang mereka sebut
dengan istilah Alphasuit.

Begitu juga dengan Pee Wee Gaskins. Mereka sudah mengkonfirmasi pada
Langge bahwa mereka bersedia tampil di sana. Dengan demikian, semua performers
sudah setuju. Tinggal memilih MC-nya saja, dan sejak kemarin, Langge hanya teringat
nama satu orang di benaknya. Cowok berkacamata yang kesannya geek tapi kocak dan
bersuara renyah, terutama di tellinga wanita. Namanya Tiko, salah seorang penyiar radio
yang Ia kenal lewat Ladya, sepupunya. Karena Langge sempat tertarik untuk bekerja
part-time di stasiun radio yang berkantor di Gedung Sarinah Thamrin tersebut—di mana
Tiko siaran, Ia pun bertukar nomor ponsel dengan Tiko malam itu, yang memang
menurutnya asyik diajak berdiskusi. Semoga Tiko tidak sibuk, amin, Ya Tuhan.

* * *​
 
Panas, keluh Langge di dalam hatinya. Maklum saja, sekarang sedang Bulan
Ramadhan. Mungkin saja di hari biasa Ia tidak akan bertingkah semanja ini, tetapi karena
udara panas dan Ia begitu kehausan, Langge jadi mengeluh.

Langge baru saja turun dari bus di depan distro Moose dan toko Hey Folks. Toko
Hey Folks ukurannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan distro Moose. Kira-kira
lebarnya 1,5 meter dan panjangnya hanya sekitar 3 sampai 4 meter. Ruangan yang kecil
itu dipadati dengan berbagai macam barang dagangan.

Kaus band-band indie terkenal digantung di sebelah kiri sisi ruangan – jika dilihat
dari pintu masuk. Berseberangan dengan pintu masuk, berjajar kaset-kaset dan CD, baik
yang baru dari band indie, baru diimpor dari luar negeri, maupun yang secondhand. Di
bawahnya ada pin band-band, vinyls secondhand dan DVD impor. Dijual juga majalahmajalah
desain grafis maupun musik, seperti Ripple Magazine, Outmagz dan sebagainya.

Ada Fino, dan bahkan juga Erick—vokalis Ballads—di toko mungil tersebut.
Langge menyapa mereka berdua dan melihat ke arah sebuah toples yang diletakkan di
meja transaksi. Toples sederhana yang dihias dengan foto dan terdapat sebuah tulisan
“"The Cure For Tomorrow”."

Sebuah nama yang familiar.

Beberapa detik kemudian, Ia teringat bahwa itu adalah nama sebuah komunitas
yang ikut menggalang dana untuk kesembuhan Jingga secara sukarela. Di bawah tulisan
nama komunitas itu pun terdapat kalimat “"Hasil yang diperoleh dari donation jar ini
sepenuhnya digunakan untuk membiayai pengobatan anak-anak spesial di Rumah
Talitemali”."

Selain terdapat buku catatan, flyers dan toples tersebut, juga terdapat semacam
“buku tamu” yang memungkinkan pelanggan Hey Folks untuk memesan barang-barang
yang mereka inginkan. Seperti kaset, CD maupun kaos yang diimpor, dan belum ada
stoknya di toko.

Setelah terkesima dengan toples itu, Langge pun menyampaikan perkembangan
mengenai rencananya. Fino dan Erick, mewakili Ballads dan manajemen Hey Folks,
sangat setuju dengan usul-usul tersebut. Fino bahkan hanya sempat berkomentar,
"“Apapun untuk kreativitas remaja!”", karena mereka memberi kebebasan kepada Langge
untuk menentukan kelangsungan acara, dan hanya menyediakan tempat, tenaga dan
suara.

Nama acara pun didapat, sebuah nama yang simpel, mengena, sekaligus bisa
dijadikan metafora. “"Malam Jingga”". Seandainya Jingga sehat, mungkin Ia akan bahagia
sekali bahwa ada begitu banyak orang yang peduli padanya, meskipun belum
mengenalnya, karena Jingga memang merupakan satu individu yang spesial.
 
Sepulang dari Mayestik, Langge segera mencoba menghubungi Tiko lagi ke
ponselnya. Terang saja tadi siang teleponnya tidak kunjung diangkat, ternyata cowok itu
baru saja selesai siaran.

"“Tiko... Sabtu besok sibuk nggak?"” tanya Langge, harap-harap cemas.

"“Hah? Kayaknya enggak deh. Gue kan siaran kalo weekdays doang...” "jawab
Tiko. “"Ada apa? Tumben lo nelepon gue? Mau ngasih job? Boleh, boleh..."” jawab Tiko,
dengan nada ceria, seperti Ia yang biasanya.

"“Yah, semacam itu lah. Tapi nggak dibayar,"” tukas Langge, awalnya masih tanpa
penjelasan, ingin mengantisipasi reaksi Tiko terlebih dahulu.

"“Hah? Kenapa gitu?”"

"“Ya, jadi, Sabtu besok gue mau ngadain acara charity night kecil-kecilan gitu.
Gue kan volunteering di Rumah Talitemali, panti yang ada di Barito itu lho. Salah satu
adik asuh gue di sana ada yang lagi di rumah sakit karena terkena pneumonia, dan buat
nebusnya supaya dia bisa pulang, butuh sepuluh jutaan kurang-lebih. Namanya juga
charity night, performers-nya nggak ada yang dibayar. Ada Pee Wee Gaskins, Alphalpha,
Everybody Loves Irene, Ballads of The Cliché sama Sherina. Mulainya jam 4-jam 5-an,
sampai malam, mungkin jam 10,” jelas Langge," panjang lebar. “"Gimana?"” sambungnya.

"“Well... Boleh, boleh. Gue perlu bawa teman penyiar yang lain apa cukup gue aja
yang nge-host?"” tanya Tiko, yang justru menawarkan bantuan.

"“Lo aja yang nge-host juga nggak apa. Bawa aja teman-teman lo, suruh nonton,”"

"“Ngomong-ngomong, acaranya di mana sih? Dari tadi lo belum nyebut venue-nya
gitu, hahaha.”"

"“Oh iya ya, ampun deh. Di Hey Folks, distronya Ballads of The Cliché yang di
Jalan Bumi, Mayestik. Bisa nggak?”" ulang Langge.

"“Bisa, bisa. Kasih aja gue duit transport, sepuluh ribu kek.”"

"“Sip lah, bisa diatur. Thanks banget ya.”"

Setelah memutus hubungan teleponnya dengan Tiko, Langge menghubungi
temannya yang lain. Kali ini, salah seorang yang paling spesial dalam hidupnya di SMA
selain Ebiet: Fari. Langge berniat menyusun rundown acara, mengingat acara akan
diselenggarakan dalam hitungan hari. Besok atau lusa Ia sudah harus men-submit
rundown tersebut ke artis-artis pendukung, minimal via SMS.

Kepalanya pusing bukan main. Langge merasa, Ia benar-benar membutuhkan
seseorang yang bisa diandalkan untuk menemaninya menyusun rundown. Ebiet jelas
tidak mungkin, karena mereka terpisah jarak yang sangat jauh. Karena itulah Ia
memutuskan untuk menelepon Fari.

"“Halo, Far?"” sapa Langge.

"“Ngge, Ngge, sorry, sorry. Gue lagi di GoetheHaus nih, lagi kelas. Nanti
telepon lagi ya, sorry ya.”"

"“Ooh... Oke.”"

Langge menutup telepon tersebut dengan sedikit kecewa. Ia benar-benar
merindukan Fari sebenarnya. Mereka sudah terlampau lama tidak saling bercerita satu
sama lain, padahal Langge kadang-kadang benar-benar membutuhkan sanctuary untuk
melepas masalahnya.
 
18 – Just Sing-along

LANGGE AKHIRNYA MENYELESAIKAN RUNDOWN DENGAN TANGAN DAN PIKIRANNYA
SENDIRI.

Kalau boleh jujur, Ia merasa semua ini sungguh memuakkan dan tidak masuk
akal. Langge mungkin kelewat percaya diri dan kelewat dermawan, sampai-sampai rela
mengorbankan waktu, pikiran dan tenaganya hanya untuk membantu pembayaran rumah
sakit seorang anak yang bahkan baru Ia kenal beberapa bulan belakangan.

Anak itu juga tidak pernah ingin Ia kenal. Jingga hampir selalu menutup diri
darinya. Jingga hampir tidak mau mengobrol dengannya. Sementara saat ini Langge
dengan susah payah menguras pikirannya, pulsanya, uangnya, untuk membantu Jingga
menghadapi cobaannya. Padahal, siapa juga yang peduli dengan Jingga?

Dalam kurun waktu beberapa menit, Langge memutuskan untuk membuang jauhjauh
pikiran egois dan kekanak-kanakan itu. Ia berusaha keras untuk berpikir bahwa apa
yang Ia lakukan ini bermanfaat, bagi dirinya, Jingga dan lingkungan sekitar mereka.
Mendadak, Ia teringat akan satu hal. Satu hal vital yang jauh lebih dibandingkan siapa
MC-nya, siapa pengisi acaranya, siapa saja yang datang.

1) Panggung.
2) Sound system.

Untuk sesaat, Langge merasa teramat sangat bodoh. Bisa-bisanya Ia tidak
sekalipun memikirkan akan dua hal tersebut. Fari, temannya di SMA, dulu merupakan
koordinator seksi acara ketika SMA-nya menyelenggarakan pentas seni. Langge sedikitbanyak
memang anti-sosial, Ia hampir tidak pernah tertarik untuk bergabung di
kepanitiaan kecuali dalam turnamen basket, futsal dan sepakbola. Ketiga turnamen
tersebut tidak pernah membutuhkan "“panggung"” dalam susunan peralatan. Terang saja Ia
tidak teringat akan hal tersebut, sama sekali.

Ia segera memperhatikan satu demi satu nama yang tercantum di phone book
ponsel monokromnya tersebut. Berhubung ponsel tersebut adalah ponsel lama, kapasitas
phone book-nya hanya sesuai dengan kapasitas yang disediakan oleh SIM card jaman
dulu, yaitu 100 nomor kontak. Langge mencari nama yang mungkin dapat membantunya
dengan seksama.

Ia pusing bukan main. Bagaimana mungkin Ia dapat menghilangkan kata
“"panggung"” dalam kamusnya?! Sekarang bahkan sudah Hari Rabu, yang berarti H-3!
Apa mungkin Ia bisa memesan uang untuk menyediakan panggung dalam waktu secepat
itu?

Langge menekan nomor telepon Fino sesegera mungkin. “"Bang Fino... Gawat
banget. Gue lupa mesen panggung!”" tukasnya, panik.

"“HAH? Muke gile lo, parah banget. Tapi lo udah pesan sound system kan?
Speaker, microphone, gitu-gitu. Puasa nih, berat juga kalo nyuruh orang kerja rodi
masang-masangin kabel... Cepetan pesan panggung deh,"” kata Fino. Nadanya datar, tidak
begitu panik. Mungkin Ia sudah sering mengalami hal-hal aneh seperti ini.

“"Sound system juga gue belum mesen. Pasti harganya mahal deh, yakin. Gue gak
kepikiran sama sekali tentang dua itu, apalagi mikirin mau bayarnya pakai apaan!”"
Langge bingung sekali sekarang ini.

"“Hmmm... Kalau sound system mungkin gue bisa bantu. Lagian, kalau nggak
mampu pakai panggung, yang penting ada tenda aja... Gak usah pakai panggung juga
nggak apa lah. Konsepnya bukannya akustik?"” tanya Fino.
 
Back
Top