zoeratmand
New member
"Wow, I had gone to a klenteng once, when I went to Surabaya," tanggapku.
Klenteng adalah tempat peribadatan masyarakat Indonesia dari etnis Tionghoa. Aku
tidak ingat banyak mengenai klenteng. Yang jelas, warnanya tentu saja merah dengan
aksen warna emas di sana-sini, ada seseorang yang bisa meramal kita, terdapat
beberapa bhiksu dan aroma dupa yang dibakar di mana-mana.
"Yup, Medan is quite similar with Surabaya actually. And then, when I was 13 or
14, Daddy decided to move to Singapore. Ia kan seorang pebisnis, temannya
menawarkan untuk mengembangkan bisnis di sini, sehingga kami sekeluarga pindah ke
Singapura. Awalnya aku disekolahkan di Sekolah Indonesia, tetapi aku tidak begitu
betah. Anaknya sedikit dan sangat eksklusif menurutku. Kakakku Indi waktu itu akan
masuk SMA, Ia masuk ke SOS dan aku dipindahkan ke SOS juga..." cerita Diaz, panjang
lebar.
Kalau dipikir-pikir, aku dan Diaz memang tidak sering bercerita sedalam ini.
Kami hanya mengobrol masalah tugas, atau school events yang tidak ada sangkutpautnya
dengan kehidupan pribadi. Meskipun begitu, Diaz tahu bahwa aku bersekolah di
Singapura karena beasiswa. Ia pun dengan semangat membantuku mengerjakan PR
Matematika. Kami sering mengerjakan science lab report bersama-sama, kendati itu
bukan tugas kelompok. Kadang-kadang jika aku lupa membawa report, Diaz suka
membawakan copy report-nya untuk kukumpulkan atas nama diriku. Baik sekali,
memang.
Bersama Diaz membuatku sering terlupa pada Langge. Bagaimana tidak,
belakangan ini Langge semakin getol mengacuhkanku. SMS-ku saja jarang dibalas
olehnya, apalagi e-mail! Tapi, rasanya, Diaz selalu ada... Apakah itu hanya perasaanku
saja?
Klenteng adalah tempat peribadatan masyarakat Indonesia dari etnis Tionghoa. Aku
tidak ingat banyak mengenai klenteng. Yang jelas, warnanya tentu saja merah dengan
aksen warna emas di sana-sini, ada seseorang yang bisa meramal kita, terdapat
beberapa bhiksu dan aroma dupa yang dibakar di mana-mana.
"Yup, Medan is quite similar with Surabaya actually. And then, when I was 13 or
14, Daddy decided to move to Singapore. Ia kan seorang pebisnis, temannya
menawarkan untuk mengembangkan bisnis di sini, sehingga kami sekeluarga pindah ke
Singapura. Awalnya aku disekolahkan di Sekolah Indonesia, tetapi aku tidak begitu
betah. Anaknya sedikit dan sangat eksklusif menurutku. Kakakku Indi waktu itu akan
masuk SMA, Ia masuk ke SOS dan aku dipindahkan ke SOS juga..." cerita Diaz, panjang
lebar.
Kalau dipikir-pikir, aku dan Diaz memang tidak sering bercerita sedalam ini.
Kami hanya mengobrol masalah tugas, atau school events yang tidak ada sangkutpautnya
dengan kehidupan pribadi. Meskipun begitu, Diaz tahu bahwa aku bersekolah di
Singapura karena beasiswa. Ia pun dengan semangat membantuku mengerjakan PR
Matematika. Kami sering mengerjakan science lab report bersama-sama, kendati itu
bukan tugas kelompok. Kadang-kadang jika aku lupa membawa report, Diaz suka
membawakan copy report-nya untuk kukumpulkan atas nama diriku. Baik sekali,
memang.
Bersama Diaz membuatku sering terlupa pada Langge. Bagaimana tidak,
belakangan ini Langge semakin getol mengacuhkanku. SMS-ku saja jarang dibalas
olehnya, apalagi e-mail! Tapi, rasanya, Diaz selalu ada... Apakah itu hanya perasaanku
saja?
* * *