Krisis China rambah BRICS dan Emerging Market
Krisis China rambah BRICS dan Emerging Market
Seperti dikutip dari the Guardian, perang mata uang kembali menerpa pasar global, ditandai dengan anjloknya harga saham, merosotnya komoditas dan derasnya capital outflow dari negara-negara emerging market. Pasar keuangan dilanda kepanikan karena muncul kecemasan, dunia sekali lagi akan memasuki fase krisis berikutnya yang pernah terjadi delapan tahun lalu.
Pada Agustus 2007 lalu, krisis dimulai oleh negara-negara maju tepatnya oleh perbankan Amerika dan Eropa dan akhirnya merembet ke negara-negara lainnya. Negara emerging seperti China dan India juga terkena dampaknya tapi mampu pulih cepat dan seketika menjadi penggerak pertumbuhan dunia.
Semula para ekonom telah memperkirakan bahwa negara-negara BRICS yaitu Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan ditabah 11 negara emerging lainnya seperti Turki, Indonesia, Meksio dan Nigeria pada akhirnya akan menguasai perekonomian dunia, dan hal itu terbukti dimana negara-negara diatas mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup mantap.
Akan tetapi cepatnya pertumbuhan ekonomi tersebut membuat mereka rentan akan gejolak ekonomi global dan ceritanya dimulai sekarang. China dianggap sebagai motor dengan kekuatan ekonomi yang saat ini bertengger dirangking 2 dunia. Selama lebih dari 1 dekade, China mengalami ledakan pertumbuhan ekonomi yang begitu masif sampai akhirnya mesin tersebut mulai kehabisan bahan baharnya.
Selama 18 bulan terakhir, China mengalami perlambatan dan perlahan tapi pasti mempengaruhi negara-negara dikawasan. Singkatnya, China merupakan pemasok berbagai komponen dan bahan jadi ke negara-negara emerging market, sebaliknya negara-negara tersebut balas mengekspor bahan bakar dan bahan-bahan mentah ke China.
Dengan melambatnya ekonomi China menyebabkan anjloknya harga minyak dan logam industri. Secara logika, kondisi ini tidak memberi dampak berarti kepada ekonomi global karena menurunnya pendapatan negara-negara yang menjadi penghasil komoditas dapat ditingkatkan dengan meningkatkan penjualan kenegara-negara yang membutuhkannya.
Masalahnya kondisi tidak berjalan seperti skenario diatas. Konsumen dari Eropa, Jepang dan Amerika Utara justru tidak memanfaatkan momen murahnya energi untuk melakukan belanja besar-besaran dan disaat yang sama negara-negara emerging terkena dampak begitu parah.
Negara-negara barat baru saja pulih dari resesi, China justru mengambil langkah drastis dengan membuat nilai ekspornya lebih terjangkau dengan cara menurunkan nilai mata uangnya dan disaat yang bersamaan OPEC membanjiri pasar dengan minyaknya demi menyeimbangkan neraca.
Dalam 30 tahun terakhir, krisis terjadi tiap 7 tahun sekali (rata-rata) dan krisis kembali muncul ketika dampak dari krisis sebelumnya belum sepenuhnya selesai.
Bulan ini situasi menjadi jelas ketika China melaporkan penurunan ekspor diJuni sebesar 8,3%. Untuk membalik keadaan, China mulai mendevaluasi yuan selama 3 hari. Apakah sukses? minggu lalu survei menunjukkan aktivitas sektor pabrikan China merosot cepat dihampir enam setengah tahun terakhir. Permintaan ekspor turun dan penjualan dalam negeripun tidak menggembirakan.
Saat ini China tengah berjuang mengatasi dampak dari ledakan ekonominya dimana dana untuk menggerakkan itu didapat dari dana pinjaman ketika krisis keuangan Amerika terjadi. Utamanya developer properti menggunakan dana yang dipinjam dari perbankan AS. Sebuah laporan dari agensi rating kredit Moody memaparkan devaluasi yuan lebih dari 10% akan mengakibatkan naiknya biaya pendanaan pinjaman kelevel yang tidak stabil dan akhirnya akan mulai bangkrut. Sejauh ini, devaluasi yuan mencapai 3%.
Mungkin bisa dikatakan bahwa nasib dari pelemahan ekonomi China ada ditangan the Fed. Jika the Fed jadi menaikkan suku bunga maka dolar akan melonjak dan kembali yuan terancam. Proyek-proyek properti di Nanjing sampai Chongqing kembali terancam bersamaan dengan triliunan dana yang telah diinvestasikan.
Selain China, Turki juga berada diurutan teratas. Perusahaan-perusahaan besar di Turki sangat bergantung kepada pasar internasional khususnya penggunaan dolar. Resiko sempat turun ketika krisis ekonomi 2008, tapi seiring menguatnya dolar, resiko itu kembali muncul. Turki merupakan penghubung manufaktur utama bagi berbagai bisnis
Amerika dan Eropa. Jutaan anak-anak muda Turki bekerja diperusahaan asing yang saat ini tengah mengurangi produksi akibat melemahnya perdagangan dunia. Ditambah perang dibagian timur perbatasan, mata uang Lira terperosok kelevel terendah sepanjang masa terhadap dolar.
Rusia pun tidak imun tapi mendapat keuntungan dari segi besarnya simpanan. Moskow bernasib baik menikmati surplus minyak dan gas dan menjualnya dengan harga tinggi dan tetap menyimpan sebagian keuntungan. Sama seperti Turki, banyak perusahaan lokal antri meminta pinjaman untuk membayar utang luar negeri. Mata uang rubel juga bernasib tragis dan membukukan level terendah terhadap dolar sejak Februari lalu.
Bagaimana dengan Asia Tenggara? kawasan ini sepertinya mampu mengatasi krisis sedikit lebih baik dibanding 18 tahun lalu. Tapi anjloknya Baht Thailand membawa efek domino keseluruh wilayah, menghantam Indonesia, Malaysia dan Korea Selatan.
Keempat negara yang disebutkan diatas sudah belajar dari pengalaman dimasa lalu yaitu krisis 1997-1998 dan mereka memanfaatkan ekspor untuk meningkatkan cadangan devisinya yang nantinya akan digunakan ketika mata uang mereka dihantam. Tragisnya, hanya Indonesia yang saat ini berada dalam situasi "Merah".
Sebagai produsen minyak, Indonesia dan Malaysia terkena dampak jatuhnya harga minyak dari $115 ke $45 per barrel. Dimana resiko pada Malaysia diperparah oleh pertumbuhan kredit yang berlebihan.
Melambatnya ekonomi China dan devaluasi yuan juga memberi dampak kepada beberapa negara Asia lainnya. Vietnam yang berkutat pada manufaktur biaya rendah akan semakin sulit bersaing sementara ekonomi yang lebih maju seperti Korea Selatan dan Taiwan juga akan mengalami penurunan permintaan ekspor.
-Pe-