Kematian warga sipil seolah telah menjadi berita harian di
zona perang sipil Suriah. Gambar mereka sekaligus
mengingatkan enam tahun konflik panjang yang bermula
sejak Arab Spring 2011 itu. Kini enam tahun berlalu tidak
banyak yang berubah.
Suriah menjelma menjadi kuburan massal bagi yang memilih
tinggal bersama rezim Bashar al-Assad, yang memperlakukan
rakyatnya bak musuh yang harus diperangi dengan
persenjataan paling canggih. Penggunaan senjata kimia
cukup menjelaskan betapa brutal rezim ini.
Persebaran gambar korban serangan kimia itu sampai ke
sidang Dewan Keamanan PBB yang berlangsung pada Rabu (5/4). AS dan Inggris termasuk dua negara anggota tetap DK PBB yang paling keras mengecam aksi itu diikuti negara-negara
anggota tidak tetap DK PBB.
Namun,perwakilan Suriah menyangkal semua tuduhan yang
dialamatkan kepada mereka, sembari mencari pembelaan dan
mendapat dukungan dari Rusia. Sehari setelah sidang DK PBB,
AS secara mengejutkan melakukan serangan misil ke Suriah.
Presiden AS Donald Trump mengumumkan langsung rencana AS
terkait peluncuran 59 rudal Tomahawk dari kapal perang,
dengan target pangkalan militer Suriah Al-Syahrat yang
letaknya tidak jauh dari Provinsi Homs.
Menurut AS, serangan itu adalah bentuk balasan atas
peristiwa penyerangan oleh rezim Bashar al-Assad terhadap
warga sipil di Provinsi Idlib (Aljazirah, 7/2).
Menurut Washington, tujuan utama serangan ini membatasi
ruang gerak serangan udara militer Suriah, yang telah
dianggap
melewati batas dengan menggunakan senjata kimia. Sebagian
negara mendukung serangan ini, sebagian lainnya mengecam.
Negara yang mengapresiasi serangan meliputi Inggris,
Turki, Arab Saudi, Israel, dan Australia, sembari berharap
solusi jangka panjang untuk pembangunan kembali Suriah
tanpa Assad. Rusia yang dikenal sebagai mitra utama
Suriah, menunjukkan kemarahan terhadap serangan AS.
Rusia juga meminta digelarnya pertemuan darurat DK PBB
untuk meminta penjelasan langsung dan AS. Serangan
langsung militer AS terhadap pangkalan milter Suriah
menunjukkan sebuah perubahan penting
internal Pemerintah AS di bawah komando Trump.
Sebelum ini, AS memang terlihat sangat hati-hati dalam
merespons setiap dinamika di Suriah, seperti terefleksi
dari pernyataan-pernyataan pendahulu Trump, Barack Obama,
yang menghindari serangan langsung
Suriah.
Sebab, Obama menghindari konfrontasi langsung dengan
miiter Rusia, yang memang memberikan dukungan langsung
terhadap
Assad. Lewat serangan ini, Trump seperti hendak menunjukkan
gaya kepemimpinan dirinya yang berbeda dengan
pendahulunya.
Trump mengambil tindakan langsung terhadap perkembangan
yang sangat mengkhawatirkan di Suriah. Pada kesempatan
lain, Trump beberapa kali mengkritik Obama yang dianggap
tidak berbuat apa-apa dalam merespons dinamika di Timur
Tengah.
Menurut Trump, langkah Obama bendampak negatif bagi
kepentingan nasional AS di level domestik dan kawasan.
Solusi multilateral
Dari sudut pandang hukum internasional, tindakan rezim
Assad memang telah melanggar batas yang diatur dalam
Konvensi PBB, yang melarang penggunaan senjata kimia
(Chemical Weapon Convention) dalam konflik bersenjata.
Pengabaian terhadap rekomendasi PBB terkait gencatan
senjata dan perlindungan terhadap warga sipil, yang
selama’ini menjadi pihak yang paling rentan menjadi korban
perang sipil,juga harus menjadi pertimbangan utama untuk
menghukum rezim ini.
Berdasarkan laporan investigasi PBB dan OPCW pada Oktober
2016, rezim Assad dan ISIS terbukti menggunakan senjata
kimia pada 2014 dan direkomendasikan mendapat
sanksi dan DK PBB, tetapi dalam perkembangannya
rekomendasi mi diveto Rusia
(HRW, 27/2).
Pendekatan hukum internasional sebetulnya merupakan
pendekatan multilateral, yang paling logis untuk menghukum
rezim Assad. ini bertujuan menghindari pengulangan di
kemudian hari, baik oleh rezim maupun semua pihak yang
terlibat dalam konflik militer di mana saja.
Sudah adalah satu contoh tempat hukum internasional begitu
mudah diabaikan dan lembaga internasional seperti PBB
kehilangan wibawanya.
PBB telah gagal mencegah terjadinya perang sipil
berkepanjangan di negara, yang pada awalnya berupaya
mengelola transisi demokrasi mengikuti tren Arab Spring
pada 2011.
Kini, enam tahun setelah peristiwa Arab Spring, jutaan
manusia kehilangan rumah, kehilangan keluarga, bahkan
kehilangan kewarga negaraan karena memiih mengungsi
negara lain, tempat mereka. mendapat kedamaian.
Kita berharap, serangan militer yang dilakukan AS bisa
menjadi permulaan untuk membuka peta jalan damai jangka
panjang
di Suriah. Rezim Assad yang telah kehilangan legitimasi
internasional, sudah seharusnya mendapat sanksi hukum
dalam peradilan internasional.
itu sebagai ganjaran atas setiap pelanggaran yang
dilakukan selama ini. Para pendukung Assad juga sudah
saatnya berpikir tentang masa depan kemanusiaan, yang
mulai kehilangan arti di zona perang Suriah.
Beberapa hari ke depan adalah momen krusial bagi Suriah dan
dunia internasional. Sebab, negara-negara besar telah
menunjukkan komitmen untuk kembali duduk di meja
perundingan membahas Suriah.
Kita berharap, sikap berlawanan negara negara besar tidak
menghalangi mereka untuk mencari solusi multilateral, yang
dapat disepakati dalam sidang DK PBB demi mencegah
terjadinya pengulangan perang Irak.
Lepas dari apakah ke depan Sudah tanpa Assad atau tidak,
masyarakat Suriah lah yang menjadi penentu. PBB di bawah
sekjen yang baru perlu melibatkan organisasi, seperti OKI
dan Liga Arab, untuk mengawal proses transisi damai
sebagai bagian tidak terpisahkan.Tujuannya, yakni Suriah
tidak menjadi negara gagal yang ditinggal begitu saja
setelah invasi militer di1akukan.
zona perang sipil Suriah. Gambar mereka sekaligus
mengingatkan enam tahun konflik panjang yang bermula
sejak Arab Spring 2011 itu. Kini enam tahun berlalu tidak
banyak yang berubah.
Suriah menjelma menjadi kuburan massal bagi yang memilih
tinggal bersama rezim Bashar al-Assad, yang memperlakukan
rakyatnya bak musuh yang harus diperangi dengan
persenjataan paling canggih. Penggunaan senjata kimia
cukup menjelaskan betapa brutal rezim ini.
Persebaran gambar korban serangan kimia itu sampai ke
sidang Dewan Keamanan PBB yang berlangsung pada Rabu (5/4). AS dan Inggris termasuk dua negara anggota tetap DK PBB yang paling keras mengecam aksi itu diikuti negara-negara
anggota tidak tetap DK PBB.
Namun,perwakilan Suriah menyangkal semua tuduhan yang
dialamatkan kepada mereka, sembari mencari pembelaan dan
mendapat dukungan dari Rusia. Sehari setelah sidang DK PBB,
AS secara mengejutkan melakukan serangan misil ke Suriah.
Presiden AS Donald Trump mengumumkan langsung rencana AS
terkait peluncuran 59 rudal Tomahawk dari kapal perang,
dengan target pangkalan militer Suriah Al-Syahrat yang
letaknya tidak jauh dari Provinsi Homs.
Menurut AS, serangan itu adalah bentuk balasan atas
peristiwa penyerangan oleh rezim Bashar al-Assad terhadap
warga sipil di Provinsi Idlib (Aljazirah, 7/2).
Menurut Washington, tujuan utama serangan ini membatasi
ruang gerak serangan udara militer Suriah, yang telah
dianggap
melewati batas dengan menggunakan senjata kimia. Sebagian
negara mendukung serangan ini, sebagian lainnya mengecam.
Negara yang mengapresiasi serangan meliputi Inggris,
Turki, Arab Saudi, Israel, dan Australia, sembari berharap
solusi jangka panjang untuk pembangunan kembali Suriah
tanpa Assad. Rusia yang dikenal sebagai mitra utama
Suriah, menunjukkan kemarahan terhadap serangan AS.
Rusia juga meminta digelarnya pertemuan darurat DK PBB
untuk meminta penjelasan langsung dan AS. Serangan
langsung militer AS terhadap pangkalan milter Suriah
menunjukkan sebuah perubahan penting
internal Pemerintah AS di bawah komando Trump.
Sebelum ini, AS memang terlihat sangat hati-hati dalam
merespons setiap dinamika di Suriah, seperti terefleksi
dari pernyataan-pernyataan pendahulu Trump, Barack Obama,
yang menghindari serangan langsung
Suriah.
Sebab, Obama menghindari konfrontasi langsung dengan
miiter Rusia, yang memang memberikan dukungan langsung
terhadap
Assad. Lewat serangan ini, Trump seperti hendak menunjukkan
gaya kepemimpinan dirinya yang berbeda dengan
pendahulunya.
Trump mengambil tindakan langsung terhadap perkembangan
yang sangat mengkhawatirkan di Suriah. Pada kesempatan
lain, Trump beberapa kali mengkritik Obama yang dianggap
tidak berbuat apa-apa dalam merespons dinamika di Timur
Tengah.
Menurut Trump, langkah Obama bendampak negatif bagi
kepentingan nasional AS di level domestik dan kawasan.
Solusi multilateral
Dari sudut pandang hukum internasional, tindakan rezim
Assad memang telah melanggar batas yang diatur dalam
Konvensi PBB, yang melarang penggunaan senjata kimia
(Chemical Weapon Convention) dalam konflik bersenjata.
Pengabaian terhadap rekomendasi PBB terkait gencatan
senjata dan perlindungan terhadap warga sipil, yang
selama’ini menjadi pihak yang paling rentan menjadi korban
perang sipil,juga harus menjadi pertimbangan utama untuk
menghukum rezim ini.
Berdasarkan laporan investigasi PBB dan OPCW pada Oktober
2016, rezim Assad dan ISIS terbukti menggunakan senjata
kimia pada 2014 dan direkomendasikan mendapat
sanksi dan DK PBB, tetapi dalam perkembangannya
rekomendasi mi diveto Rusia
(HRW, 27/2).
Pendekatan hukum internasional sebetulnya merupakan
pendekatan multilateral, yang paling logis untuk menghukum
rezim Assad. ini bertujuan menghindari pengulangan di
kemudian hari, baik oleh rezim maupun semua pihak yang
terlibat dalam konflik militer di mana saja.
Sudah adalah satu contoh tempat hukum internasional begitu
mudah diabaikan dan lembaga internasional seperti PBB
kehilangan wibawanya.
PBB telah gagal mencegah terjadinya perang sipil
berkepanjangan di negara, yang pada awalnya berupaya
mengelola transisi demokrasi mengikuti tren Arab Spring
pada 2011.
Kini, enam tahun setelah peristiwa Arab Spring, jutaan
manusia kehilangan rumah, kehilangan keluarga, bahkan
kehilangan kewarga negaraan karena memiih mengungsi
negara lain, tempat mereka. mendapat kedamaian.
Kita berharap, serangan militer yang dilakukan AS bisa
menjadi permulaan untuk membuka peta jalan damai jangka
panjang
di Suriah. Rezim Assad yang telah kehilangan legitimasi
internasional, sudah seharusnya mendapat sanksi hukum
dalam peradilan internasional.
itu sebagai ganjaran atas setiap pelanggaran yang
dilakukan selama ini. Para pendukung Assad juga sudah
saatnya berpikir tentang masa depan kemanusiaan, yang
mulai kehilangan arti di zona perang Suriah.
Beberapa hari ke depan adalah momen krusial bagi Suriah dan
dunia internasional. Sebab, negara-negara besar telah
menunjukkan komitmen untuk kembali duduk di meja
perundingan membahas Suriah.
Kita berharap, sikap berlawanan negara negara besar tidak
menghalangi mereka untuk mencari solusi multilateral, yang
dapat disepakati dalam sidang DK PBB demi mencegah
terjadinya pengulangan perang Irak.
Lepas dari apakah ke depan Sudah tanpa Assad atau tidak,
masyarakat Suriah lah yang menjadi penentu. PBB di bawah
sekjen yang baru perlu melibatkan organisasi, seperti OKI
dan Liga Arab, untuk mengawal proses transisi damai
sebagai bagian tidak terpisahkan.Tujuannya, yakni Suriah
tidak menjadi negara gagal yang ditinggal begitu saja
setelah invasi militer di1akukan.