Mencegah Perang Besar di Suriah

akbar54

New member
Kematian warga sipil seolah telah menjadi berita harian di

zona perang sipil Suriah. Gambar mereka sekaligus

mengingatkan enam tahun konflik panjang yang bermula

sejak Arab Spring 2011 itu. Kini enam tahun berlalu tidak

banyak yang berubah.
Suriah menjelma menjadi kuburan massal bagi yang memilih

tinggal bersama rezim Bashar al-Assad, yang memperlakukan

rakyatnya bak musuh yang harus diperangi dengan

persenjataan paling canggih. Penggunaan senjata kimia

cukup menjelaskan betapa brutal rezim ini.
Persebaran gambar korban serangan kimia itu sampai ke

sidang Dewan Keamanan PBB yang berlangsung pada Rabu (5/4). AS dan Inggris termasuk dua negara anggota tetap DK PBB yang paling keras mengecam aksi itu diikuti negara-negara

anggota tidak tetap DK PBB.


Namun,perwakilan Suriah menyangkal semua tuduhan yang

dialamatkan kepada mereka, sembari mencari pembelaan dan

mendapat dukungan dari Rusia. Sehari setelah sidang DK PBB,

AS secara mengejutkan melakukan serangan misil ke Suriah.
Presiden AS Donald Trump mengumumkan langsung rencana AS

terkait peluncuran 59 rudal Tomahawk dari kapal perang,

dengan target pangkalan militer Suriah Al-Syahrat yang

letaknya tidak jauh dari Provinsi Homs.
Menurut AS, serangan itu adalah bentuk balasan atas

peristiwa penyerangan oleh rezim Bashar al-Assad terhadap

warga sipil di Provinsi Idlib (Aljazirah, 7/2).
Menurut Washington, tujuan utama serangan ini membatasi

ruang gerak serangan udara militer Suriah, yang telah

dianggap




melewati batas dengan menggunakan senjata kimia. Sebagian

negara mendukung serangan ini, sebagian lainnya mengecam.
Negara yang mengapresiasi serangan meliputi Inggris,

Turki, Arab Saudi, Israel, dan Australia, sembari berharap

solusi jangka panjang untuk pembangunan kembali Suriah

tanpa Assad. Rusia yang dikenal sebagai mitra utama

Suriah, menunjukkan kemarahan terhadap serangan AS.
Rusia juga meminta digelarnya pertemuan darurat DK PBB

untuk meminta penjelasan langsung dan AS. Serangan

langsung militer AS terhadap pangkalan milter Suriah

menunjukkan sebuah perubahan penting
internal Pemerintah AS di bawah komando Trump.

Sebelum ini, AS memang terlihat sangat hati-hati dalam

merespons setiap dinamika di Suriah, seperti terefleksi

dari pernyataan-pernyataan pendahulu Trump, Barack Obama,

yang menghindari serangan langsung
Suriah.
Sebab, Obama menghindari konfrontasi langsung dengan

miiter Rusia, yang memang memberikan dukungan langsung

terhadap
Assad. Lewat serangan ini, Trump seperti hendak menunjukkan

gaya kepemimpinan dirinya yang berbeda dengan

pendahulunya.
Trump mengambil tindakan langsung terhadap perkembangan

yang sangat mengkhawatirkan di Suriah. Pada kesempatan

lain, Trump beberapa kali mengkritik Obama yang dianggap

tidak berbuat apa-apa dalam merespons dinamika di Timur

Tengah.
Menurut Trump, langkah Obama bendampak negatif bagi

kepentingan nasional AS di level domestik dan kawasan.



Solusi multilateral

Dari sudut pandang hukum internasional, tindakan rezim

Assad memang telah melanggar batas yang diatur dalam

Konvensi PBB, yang melarang penggunaan senjata kimia

(Chemical Weapon Convention) dalam konflik bersenjata.
Pengabaian terhadap rekomendasi PBB terkait gencatan

senjata dan perlindungan terhadap warga sipil, yang

selama’ini menjadi pihak yang paling rentan menjadi korban

perang sipil,juga harus menjadi pertimbangan utama untuk

menghukum rezim ini.
Berdasarkan laporan investigasi PBB dan OPCW pada Oktober

2016, rezim Assad dan ISIS terbukti menggunakan senjata

kimia pada 2014 dan direkomendasikan mendapat




sanksi dan DK PBB, tetapi dalam perkembangannya

rekomendasi mi diveto Rusia
(HRW, 27/2).
Pendekatan hukum internasional sebetulnya merupakan

pendekatan multilateral, yang paling logis untuk menghukum

rezim Assad. ini bertujuan menghindari pengulangan di

kemudian hari, baik oleh rezim maupun semua pihak yang

terlibat dalam konflik militer di mana saja.
Sudah adalah satu contoh tempat hukum internasional begitu

mudah diabaikan dan lembaga internasional seperti PBB

kehilangan wibawanya.
PBB telah gagal mencegah terjadinya perang sipil

berkepanjangan di negara, yang pada awalnya berupaya

mengelola transisi demokrasi mengikuti tren Arab Spring

pada 2011.


Kini, enam tahun setelah peristiwa Arab Spring, jutaan

manusia kehilangan rumah, kehilangan keluarga, bahkan

kehilangan kewarga negaraan karena memiih mengungsi
negara lain, tempat mereka. mendapat kedamaian.
Kita berharap, serangan militer yang dilakukan AS bisa

menjadi permulaan untuk membuka peta jalan damai jangka

panjang
di Suriah. Rezim Assad yang telah kehilangan legitimasi

internasional, sudah seharusnya mendapat sanksi hukum

dalam peradilan internasional.





itu sebagai ganjaran atas setiap pelanggaran yang

dilakukan selama ini. Para pendukung Assad juga sudah

saatnya berpikir tentang masa depan kemanusiaan, yang

mulai kehilangan arti di zona perang Suriah.
Beberapa hari ke depan adalah momen krusial bagi Suriah dan

dunia internasional. Sebab, negara-negara besar telah

menunjukkan komitmen untuk kembali duduk di meja

perundingan membahas Suriah.



Kita berharap, sikap berlawanan negara negara besar tidak

menghalangi mereka untuk mencari solusi multilateral, yang

dapat disepakati dalam sidang DK PBB demi mencegah

terjadinya pengulangan perang Irak.
Lepas dari apakah ke depan Sudah tanpa Assad atau tidak,

masyarakat Suriah lah yang menjadi penentu. PBB di bawah

sekjen yang baru perlu melibatkan organisasi, seperti OKI

dan Liga Arab, untuk mengawal proses transisi damai

sebagai bagian tidak terpisahkan.Tujuannya, yakni Suriah

tidak menjadi negara gagal yang ditinggal begitu saja

setelah invasi militer di1akukan.
 
Timur Tengah secara umum sulit aman. Banyak faksi disana kendati myoritas yg bertikai adalah muslim. Kita kadang suka bilang ada adu domba pihak asing. Pertanyaannya kenapa warga arab mau diadu domba?
 
Back
Top