Suku Jawa-Cirebon
Cirebon sekarang dikategorikan sebagai suku bangsa tersendiri, lepas dari suku Sunda ataupun Jawa. Hal ini akan semakin menguatkan masyarakat Cirebon yang memiliki identitas khusus yang berbeda dengan budaya Sunda dan Jawa.
Menurut Erna Tresna Prihatin selaku Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Cirebon, pengakuan keberadaan suku Cirebon terlihat ketika sensus penduduk 2010. Pasalnya, dalam kolom pertanyaan suku bangsa,terdapat kolom khusus suku Cirebon yang sebelumnya tidak pernah ada. Dengan demikian, suku bangsa Cirebon sudah diakui sebagai suku bangsa sendiri, tidak menginduk ke suku Jawa ataupun Sunda. Indikator itu dilihat dari bahasa daerah yang digunakan warga Cirebon tidak sama seperti bahasa Jawa atau Sunda. Masyarakat Cirebon juga punya identitas khusus yang membuat mereka merasa sebagai suku bangsa sendiri.
Penunjuk lainnya yang mencirikan seseorang sebagai suku Cirebon adalah dari nama-namanya yang tidak seperti orang Jawa ataupun Sunda. Namun, belum ada penelitian lebih lanjut yang bisa menjelaskan tentang karakteristik identik tentang suku Cirebon. Untuk menelusuri kesukuan seseorang, hal itu bisa dilakukan dengan garis keturunan ayah kandungnya.
Sejarah Singkat Cirebon
Mengawali cerita sejarah ini sebagai Purwadaksina, Purwa Kawitan Daksina Kawekasan, tersebutlah kerajaan besar di kawasan barat pulau Jawa PAKUAN PAJAJARAN yang Gemah Ripah Repeh Rapih Loh Jinawi Subur Kang Sarwa Tinandur Murah Kang Sarwa Tinuku, Kaloka Murah Sandang Pangan Lan Aman Tentrem Kawontenanipun. Dengan Rajanya JAYA DEWATA bergelar SRI BADUGA MAHARAJA PRABU SILIWANGI Raja Agung, Punjuling Papak, Ugi Sakti Madraguna, Teguh Totosane Bojona Kulit Mboten Tedas Tapak Paluneng Pande, Dihormati, disanjung Puja rakyatnya dan disegani oleh lawan-lawannya.
Raja Jaya Dewata menikah dengan Nyai Subang Larang dikarunia 2 (dua) orang putra dan seorang putri, Pangeran Walangsungsang yang lahir pertama tahun 1423 Masehi, kedua Nyai Lara Santang lahir tahun 1426 Masehi. Sedangkan Putra yang ketiga Raja Sengara lahir tahun 1428 Masehi. Pada tahun 1442 Masehi Pangeran Walangsungsang menikah dengan Nyai Endang Geulis Putri Ki Gedheng Danu Warsih dari Pertapaan Gunung Mara Api.
Mereka singgah di beberapa petapaan antara lain petapaan Ciangkup di desa Panongan (Sedong), Petapaan Gunung Kumbang di daerah Tegal dan Petapaan Gunung Cangak di desa Mundu Mesigit, yang terakhir sampe ke Gunung Amparan Jati dan disanalah bertemu dengan Syekh Datuk Kahfi yang berasal dari kerajaan Parsi. Ia adalah seorang Guru Agama Islam yang luhur ilmu dan budi pekertinya. Pangeran Walangsungsang beserta adiknya Nyai Lara Santang dan istrinya Nyai Endang Geulis berguru Agama Islam kepada Syekh Nur Jati dan menetap bersama Ki Gedheng Danusela adik Ki Gedheng Danuwarsih.
Oleh Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang diberi nama Somadullah dan diminta untuk membuka hutan di pinggir Pantai Sebelah Tenggara Gunung Jati (Lemahwungkuk sekarang). Maka sejak itu berdirilah Dukuh Tegal Alang-Alang yang kemudian diberi nama Desa Caruban (Campuran) yang semakin lama menjadi ramai dikunjungi dan dihuni oleh berbagai suku bangsa untuk berdagang, bertani dan mencari ikan di laut.
Danusela (Ki Gedheng Alang-Alang) oleh masyarakat dipilih sebagai Kuwu yang pertama dan setelah meninggal pada tahun 1447 Masehi digantikan oleh Pangeran Walangsungsang sebagai Kuwu Carbon yang kedua bergelar Pangeran Cakrabuana. Atas petunjuk Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekah.
Pangeran Walangsungsang mendapat gelar Haji Abdullah Iman dan adiknya Nyai Lara Santang mendapat gelar Hajah Sarifah Mudaim, kemudian menikah dengan seorang Raja Mesir bernama Syarif Abullah. Dari hasil perkawinannya dikaruniai 2 (dua) orang putra, yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Sekembalinya dari Mekah, Pangeran Cakrabuana mendirikan Tajug dan Rumah Besar yang diberi nama Jelagrahan, yang kemudian dikembangkan menjadi Keraton Pakungwati (Keraton Kasepuhan sekarang) sebagai tempat kediaman bersama Putri Kinasih Nyai Pakungwati.
Setelah Kakek Pangeran Cakrabuana Jumajan Jati Wafat, maka Keratuan di Singapura tidak dilanjutkan (Singapura terletak + 14 Km sebelah Utara Pesarean Sunan Gunung Jati) tetapi harta peninggalannya digunakan untuk bangunan Keraton Pakungwati dan juga membentuk prajurit dengan nama Dalem Agung Nyi Mas Pakungwati. Prabu Siliwangi melalui utusannya, Tumenggung Jagabaya dan Raja Sengara (adik Pangeran Walangsungsang), mengakat Pangeran Carkrabuana menjadi Tumenggung dengan Gelar Sri Mangana.
Pada Tahun 1470 Masehi Syarif Hiyatullah setelah berguru di Mekah, Bagdad, Campa dan Samudra Pasai, datang ke Pulau Jawa, mula-mula tiba di Banten kemudian Jawa Timur dan mendapat kesempatan untuk bermusyawarah dengan para wali yang dipimpin oleh Sunan Ampel. Musyawarah tersebut menghasilkansuatu lembaga yang bergerak dalam penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa dengan nama Wali Sanga.
Sebagai anggota dari lembaga tersebut, Syarif Hidayatullah datang ke Carbon untuk menemui Uwaknya, Tumenggung Sri Mangana (Pangeran Walangsungsang) untuk mengajarkan Agama Islam di daerah Carbon dan sekitarnya, maka didirikanlah sebuah padepokan yang disebut pekikiran (di Gunung Sembung sekarang)
Setelah Sunan Ampel wafat tahun 1478 Masehi, maka dalam musyawarah Wali Sanga di Tuban, Syarif Hidayatullah ditunjuk untuk menggantikan pimpinan Wali Sanga. Akhirnya pusat kegiatan Wali Sanga dipindahkan dari Tuban ke Gunung Sembung di Carbon yang kemudian disebut puser bumi sebagai pusat kegiatan keagamaan, sedangkan sebagai pusat pemerintahan Kesulatan Cirebon berkedudukan di Keraton Pakungwati dengan sebutan GERAGE.
Pada Tahun 1479 Masehi, Syarif Hidayatullah yang lebih kondang dengan sebutan Pangeran Sunan Gunung Jati menikah dengan Nyi Mas Pakungwati Putri Pangeran Cakrabuana dari Nyai Mas Endang Geulis. Sejak saat itu Pangeran Syarif Hidayatullah dinobatkan sebagai Sultan Carbon I dan menetap di Keraton Pakungwati.
Sebagaimana lazimnya yang selalu dilakukan oleh Pangeran Cakrabuana mengirim upeti ke Pakuan Pajajaran, maka pada tahun 1482 Masehi setelah Syarif Hidayatullah diangkat menjadi Slatan Carbon membuat maklumat kepada Raja Pakuan Pajajaran Prabu Siliwangi untuk tidak mengirim upeti lagi karena Kesultanan Cirebon sudah menjadi Negara yang Merdeka.
Selain hal tersebut Pangeran Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga rela berulangkali memohon Raja Pajajaran untuk berkenan memeluk Agama Islam tetapi tidak berhasil. Itulah penyebab yang utama mengapa Pangeran Syarif Hidayatullah menyatakan Cirebon sebagai Negara Merdeka lepas dari kekuasaan Pakuan Pajajaran.
Peristiwa merdekanya Cirebon keluar dari kekuasaan Pajajaran tersebut, dicatat dalam sejarah tanggal Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala, bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijiriah atau 2 April 1482 Masehi yang sekarang diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Cirebon.
Akar Budaya dan Masyarakat Cirebon
Sosok kebudayaan Cirebon yang berkembang hingga saat ini bukan merupakan cerminan “karya, karsa, dan rasa” (buah pikiran; akal budi) manusia Cirebon itu sendiri, melainkan lebih merupakan pem-bias-an dari kebudayaan asing (Sunda, Jawa, Cina, Arab, India, dll.). Hal itu pun kemudian diamini oleh Ahmad Syubbanuddin Alwy, yang dengan segenap ketegasannya mengatakan bahwa budaya Cirebon tidak memiliki identitas yang jelas.
Dalam perspektif kebudayaan, diakui atau tidak, Cirebon sesungguhnya merupakan sebuah fenomena menarik yang banyak menyedot perhatian berbagai kalangan. Cirebon ternyata tidak hanya diperbincangkan, tetapi juga memperbincangkan dirinya. Bagai sebuah misteri, pada saat-saat peristiwa budaya berlangsung, Cirebon menjadi pusat perhatian, dari yang hanya sekadar ingin tahu sampai yang melakukan berbagai penelitian. Sehingga — menurut istilah Arthur S. Nalan — dewasa ini Cirebon telah menjadi sebuah wilayah yang sudah lidig (tanah yang penuh dengan jejak kaki). Hal itu secara eksplisit memberi petunjuk pada kita bahwa sosok daerah itu memiliki daya tarik tersendiri, terutama yang menunjuk pada relasinya dengan tipikal seni budayanya yang unik.
Terbentuknya unikum budaya Cirebon yang menjadi ciri khas masyarakatnya hingga dewasa ini lebih disebabkan oleh faktor geografis dan historis. Dalam konteks ini, sebagai daerah pesisir, Cirebon sejak sebelum dan sesudah masuknya pengaruh Islam merupakan pelabuhan yang penting di pesisir Utara Jawa. Oleh karena itu, dalam posisinya yang demikian itu, Cirebon menjadi sangat terbuka bagi interaksi budaya yang meluas dan mendalam. Cirebon menjadi daerah melting pot, tempat bertemunya berbagai suku, agama, dan bahkan antarbangsa.
Menurut Pustaka Jawadwipa, pada tahun 1447 M, kaum pendatang yang kemudian menjadi penduduk Cirebon saat itu, berjumlah sekira 346 orang yang mencakup sembilan rumpun etnis, seperti Sunda, Jawa, Sumatera, Semenanjung, India, Parsi, Syam (Siria), Arab, dan Cina. Sebagai konsekuensi logis dari realitas masyarakat yang sedemikian plural, proses akulturasi budaya dan sinkrentisme menjadi sebuah keniscayaan yang tak terlekan.
Suatu hal yang menarik dalam konteks sosial masyarakat penghuni wilayah yang sebelumnya dikenal dukuh Kebon Pesisir itu, secara budaya kelompok-kelompok etnis tersebut di atas berbaur satu sama lain, saling melengkapi. Secara kasat mata, kita dapat melihat dan menyimak bagaimana pengaruh Hindu-Budha, Cina, Islam dan Barat — di samping tetap adanya budaya leluhur (primadona) — menyatu yang kemudian membentuk struktur peradaban yang khas. Bermula dari situ pulalah, konstruksi budaya Cirebon dibangun. Sentuhan-sentuhan genetika budaya primordial yang beragam, secara demografis memainkan peranan yang cukup signifikan dalam pembentukan karakteristik, dan sekaligus melahirkan budaya yang cenderung hibrid.
Demikianlah realitas budaya Cirebon. Identitas yang hibrid itu kemudian diejawantahkan ke dalam berbagai bentuk budaya material, mulai dari kain (batik), seni boga, seni pertunjukan, hingga bangunan-bangunan ibadah (Setiadi Sopandi), Kompas 16/3/03). Namun, serapan-serapan budaya sering kali tidak hanya berbentuk seni, tetapi juga pada kehidupan sehari-hari yang sifatnya sangat mendasar, seperti pada sistem kepercayaan masyarakatnya.
Secara simbolik hibriditas kebudayaan Cirebon tampak pada bentuk ornamen kereta Paksi Nagaliman. Kereta kebesaran kesultanan Cirebon di masa lampau itu berbentuk hewan bersayap, berkepala naga, dan berbelalai gajah. Hal tersebut menyiratkan makna yang sangat mendalam bahwa konstruksi kebudayaan Cirebon terbentuk dari tiga kekuatan besar, yakni kebudayaan Cina (naga), kebudayaan Hindu (gajah), dan kebudayaan Islam (liman).
Inilah realitas yang tak terbantahkan, Paksi Nagaliman adalah simbol identitas budaya Caruban. Kata caruban itu sendiri yang mengandung makna campuran, kelak kemudian menjadi cikal bakal nama daerah yang didirikan oleh putra sulung Prabu Siliwangi, Walangsungsang. Dari kata Caruban itu kemudian berubah ucapan menjadi Carbon, Cerbon, Crebon dan akhirnya Cirebon sampai sekarang.
Kecenderungan kultural yang hibrid itu, seperti telah disinggung di atas, tampak pada berbagai jenis kesenian tradisional. Sebut saja Topeng Cirebon misalnya, terutama dalam unsur-unsur visualnya adalah pengaruh budaya Cina. Dalam hal ini Saini KM mengungkapkan, betapa miripnya hiasan kepala (tekes, siger) dan topeng (kedok) yang dikenakan oleh tokoh-tokoh Topeng Cirebon dengan tokoh-tokoh Opera Peking.
Memang, pengaruh budaya Cina begitu kuat mewarnai bentuk-bentuk kesenian milik masyarakat Cirebon. Simak saja batik Trusmi dan lukisan kaca, ornamentasi kedua bentuk karya seni rumpun seni rupa itu (mega mendung dan wadasan) hasil adopsi dari motif-motif lukisan Cina. Juga seni helaran Berokan mirip benar dengan seni pertunjukan Barongsay. Harus diakui pula, dalam sistem kepercayaan masyarakatnya sekalipun atas kehebatannya Sunan Gunung Jati yang telah menjadikan Islam sebagai basis religi, tetapi apabila kita cermati lebih seksama, reduksi arkais budaya asli dan Hindu bercampur menjadi bagian folkways (tradisi, adat kebiasaan) wong Cerbon.
Hal-hal semacam itu perwujudannya dapat kita lihat pada berbagai peristiwa keadatan, seperti dalam upacara adat Ngunjung, Nadran, Bancakan, Mapag Sri, Bubarikan, Mider tanah/Sedekah Bumi, dll. Tradisi yang sampai saat ini dipertahankan dan dijalani oleh pewarisnya di berbagai wilayah budaya Cirebon, secara sadar atau tidak mampu memunculkan pemandangan yang eksotik, di mana aura sinkretisme begitu kental tampak dalam prosesi ritual tersebut.
Fenomena lain yang turut mempertegas hibriditas budaya Cirebon adalah bahaya, di mana dalam sistem komunikasi masyarakatnya, bahasa Cirebon merupakan campur aduk antara bahasa Sunda dan Jawa. Tentu saja hal ini terjadi lebih merupakan sebagai akibat logis dari posisi Cirebon yang secara geografis berada pada wilayah perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Dalam posisi yang demikian, tidak mengherankan apabila masyarakat dan kebudayaan Cirebon kemudian menempatkan diri dalam posisi ambivalen. Seperti diungkapkan oleh Ketua Pusat Studi Kebudayaan UGM, Dr. Faruk, di satu pihak Cirebon dapat disebut sebagai daerah yang paling rendah tingkat aksesnya ke dalam pusat kebudayaan dan kekuasaan di kedua wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Akan tetapi, di lain pihak, ia bisa pula dianggap sebagai suatu wilayah yang paling bebas dari kontrol kedua pusat di atas.
Dari kecenderungan yang disebut terakhir, masyarakat Cirebon relatif tidak memiliki beban kultural untuk menerima hal-hal baru, yang asing sekalipun. Lalu mereka adaptasi menurut kebutuhan mereka sendiri. Bahasa Cirebon tidak alergi terhadap ekspresi Sunda dan begitu sebaliknya. Jangan heran jika orang Cirebon dapat berkomunikasi ya Nyunda ya Njawa.
Kelincahan imajinatif dalam memainkan berbagai kekuatan kultural dari luar adalah sisi lain dari kelebihan masyarakat Cirebon dalam mengekspresikan emosional estetisnya. Proses kreatif imajinatif seperti itu akhirnya kemudian berimplikasi pada terbentuknya local colur dan sekaligus local genius budaya Cirebon. Tarling, topeng Cirebon, dan lukisan kaca adalah contoh yang paling nyata dari kecenderungan demikian. Ketiganya merupakan bentuk presentasi artistik adaptif dari berbagai kekuatan kultural tersebut di atas. Yang paling penting adalah tiga dari sekian banyak genre kesenian tradisional khas Cirebon itu, hingga saat ini menjadi pusat perhatian masyarakat luas, dan bahkan telah menjadi aset nasional.
Pusat Pemerintahan Adat
Keraton Kacirebonan
Dikelilingi tembok putih yang lusuh setinggi sekitar 1,5 meter, bangunan bernama Keraton Kacirebonan terlihat kusam dan tak terawat. Bangunannya memang bukan bangunan kuno ala keraton raja-raja Jawa, tetapi bangunan Eropa ala arsitektur Belanda.
Ciri ketiga keraton di Cirebon sangatlah jelas. Ciri pertama, bangunan keraton selalu menghadap ke utara. Di sebelah timur keraton selalu ada masjid. Setiap keraton selalu menyediakan alun-alun sebagai tempat rakyat berkumpul dan pasar. Di taman setiap keraton selalu ada patung macan sebagai perlambang dari Prabu Siliwangi, tokoh sentral terbentuknya Cirebon.
Satu lagi yang menjadi ciri utama adalah piring-piring porselen asli Tiongkok yang menjadi penghias dinding semua keraton di Cirebon. Tak cuma di keraton, piring-piring keramik itu bertebaran hampir di seluruh situs bersejarah di Cirebon. Keraton Kacirebonan juga menghadap ke utara. Namun, masjid sebagai simbol ketaatan penghuni keraton pada agama Islam tak terlihat menjadi bagian dari keraton itu sendiri. Masjidnya kecil dan nyaris tak terawat. Alun-alun pun hanya berupa hamparan tanah merah yang tak jelas fungsinya.
Yang mengagetkan, aset-aset Keraton Kacirebonan banyak yang sudah tak jelas nasibnya. Bagian-bagian ruangan keraton pun sudah ”diambil-alih” oleh sanak famili dari Abdul Gani Natadiningrat, Sultan yang terakhir.
Kursi-kursi tua yang sangat khas malah teronggok tak berdaya di sebuah sudut kamar yang rupanya bekas kamar mandi umum untuk wisatawan. Satu benda bersejarah yang berumur sekitar 100 tahun dan masih terpelihara dengan rapih adalah kursi pelaminan yang biasa dipakai para sultan.
Patung macan sebagai perlambang Prabu Siliwangi malah hampir-hampir tak terlihat karena tak terawat dan tertutup semak-semak.
Keraton Kasepuhan
Kelusuhan yang tampak di Keraton Kacirebonan barangkali memang merupakan konsekuensi sejarah. Namun, kesuraman itu tak tampak di Keraton Kasepuhan. Dari ketiga keraton yang ada di Cirebon, Kasepuhan adalah keraton yang paling terawat, paling megah, dan paling bermakna dalam. Tembok yang mengelilingi keraton terbuat dari bata merah khas arsitektur Jawa.
Keraton Kasepuhan yang dibangun sekitar tahun 1529 sebagai perluasan dari Keraton tertua di Cirebon, Pakungwati, yang dibangun oleh Pangeran Cakrabuana, pendiri Cirebon pada 1445. Keraton Pakungwati terletak di belakang Keraton Kasepuhan. Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang ada dalam kompleks Keraton Kasepuhan begitu indah. Masjid Agung itu berdiri pada tahun 1549.
Keraton ini juga memiliki kereta yang dikeramatkan, Kereta Singa Barong. Pada tahun 1942, kereta ini tidak boleh dipergunakan lagi, dan hanya dikeluarkan pada tiap 1 Syawal untuk dimandikan.
Penguasa pertama di Keraton Kasepuhan adalah Syech Syarief Hidayattulah. Syarief Hidayattulah dikenal juga dengan Sunan Gunung Jati. Dari tokoh inilah, kisah tentang daerah bernama Cirebon itu bergulir.
Keraton Kanoman
Keraton Kanoman memang berumur lebih muda dari Kasepuhan. Kanoman berasal dari kata ”anom” yang bermakna ”muda”. Terbelahnya kekuasaan Keraton di Cirebon berawal dari sebuah kisah nan unik namun tanpa darah.
Pada tahun 1662, Amangkurat I mengundang Panembahan Adiningkusumah untuk datang ke Mataram di samping untuk menghormatinya juga mempertanggungjawabkan sikapnya terhadap Banten dan juga Mataram. Disertai oleh kedua orang putranya, Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, ia memenuhi undangan tersebut.
Namun, setelah upacara penghormatan selesai, mereka tidak diperkenankan kembali ke Cirebon, melainkan harus tetap tinggal di Ibu Kota Mataram dan diberi tempat kediaman yang layak serta tetap diakui sebagai penguasa Cirebon.
Sejak Panembahan Girilaya dan kedua putranya berada di Ibu Kota Mataram, pemerintahan sehari-hari di Cirebon dilaksanakan oleh Pangeran Wangsakerta yang tidak ikut ke Mataram antara tahun 1662-1667. Berkat usaha Pangeran Wangsakerta dibantu Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, kedua Pangeran Cirebon dapat pergi dari Mataram dan kembali ke Cirebon melalui Banten.
Tatkala Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya berada di Banten, Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat kedua Pangeran itu sebagai sultan di Cirebon dan menetapkan pembagian wilayah serta rakyat masing-masing.
Pangeran Martawijaya menjadi Sultan Sepuh yang berkuasa di Keraton Kasepuhan dan Pangeran Kartawijaya sebagai Sultan Anom yang berkuasa di Keraton Kanoman. Adapun Pangeran Wangsakerta diangkat menjadi Panembahan Cirebon, tetapi tidak memiliki wilayah kekuasaan dan keraton secara formal.
Keraton Kanoman menyimpan kembaran dari Kereta Singa Barong yang ada di Kasepuhan bernama Paksi Naga Liman. Satu hal yang begitu membuat hati miris, kompleks keraton telah tertutup oleh pasar rakyat yang sebetulnya menjadi bagian dari keraton itu sendiri.
Bahasa
Dalam kehidupan sehari-harinya, masyarakat suku Cirebon menggunakan Bahasa Cirebon sebagai bahasa pengantar. Bahasa tersebut berbeda dengan Bahasa Jawa maupun Sunda.
Upacara Adat
Syawalan Gunung Jati
Setiap awal bula syawal masyarakat wilayah Cirebon umumnya melakukan ziarah ke makam Sunan Gunung Jati. Di samping itu juga untuk melakukan tahlilan
Ganti Welit
Upacara yag dilaksanakan setiap tahun di Makam Kramat Trusmi untuk mengganti atap makam keluarga Ki Buyut Trusmi yang menggunakan Welit (anyaman daun kelapa). Upacara dilakukan oleh masyarakat Trusmi. Biasanya dilaksanakan pada tanggal 25 bulan Mulud.
Rajaban
Upacara dan ziarah ke makam Pangeran Panjunan dan Pangeran Kejaksan di Plangon. Umumnya dihadiri oleh para kerabat dari keturunan dari kedua Pangeran tersebut. Dilaksanakan setiap 27 Rajab. Terletak di obyek wisata Plangon Kelurahan Babakan Kecamatan Sumber kurang lebih 1 Km dari pusat kota Sumber.
Ganti Sirap
Upacara yang dilaksanakan setiap 4 tahun sekali di makam kramat Ki Buyut Trusmi untuk mengganti atap makam yang menggunakan Sirap. Biasanya dimeriahkan dengan pertunjukan wayang Kulit dan Terbang.
Muludan
Upacara adat yang dilaksanakan setiap bulan Mulud (Maulud) di Makam Sunan Gunung Jati. Yaitu kegiatan membersihkan / mencuci Pusaka Keraton yang dikenal dengan istilah Panjang Jimat. Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 8 s/d 12 Mulud. Sedangkan pusat kegiatan dilaksanakan di Keraton.
Salawean Trusmi
Salah satu kegiatan ziarah yang dilaksanakan di Makam Ki Buyut Trusmi. Di samping itu juga dilaksanakan tahlilan. Kegiatan ini dilaksanakan setiap tanggal 25 bulan Mulud.
Nadran
Nadran atau pesta laut seperti umumnya dilaksanakan oleh nelayan dengan tujuan untuk keselamatan dan upacara terima kasih kepada Sang Pencipta yang telah memberikan rezeki. Dilaksanakan dihampir sepanjang pantai (tempat berlabuh nelayan) dengan waktu kegiatan bervariasi.
Karya Seni
Batik Trusmi
Tidak hanya di Yogyakarta, dan Solo saja, Cirebon juga terkenal dengan batiknya, terutama Batik Trusmi yang dibuat di desa Trusmi dalam warisan turun temurun. Sesuai dengan ciri khasnya, maka batik Trusmi juga mempunyai motif yang berbeda, yaitu kecil-kecil dan warna yang tidak mencolok. Warna dasar yang banyak digunakan adalah kuning gading, coklat muda, abu-abu, hitam, dan hijau. Sedangkan pola batik yang digunakan mempunyai istilah Megamendung, Wadas Singa, Naga Semirang, dan Taman Arum.
Batik yang mempunyai gaya Keraton (klasik), Kenduruan (batik Cina), dan Trusmi ini. Menggunakan pula berbagai macam kain sebagai media dasarnya, seperti katun Pekalongan, kain Paris, sutera Indonesia (mendekati sutera asli), sutera, dan alat tenun bukan mesin. Sama seperti pembuatan batik lainnya, proses yang digunakan ada yang tulis, cetak, dan printing.
Namun sayangnya, pengelolaan batik ini masih menggunakan manajemen tradisional dan kekeluargaan. Sehingga kualitas dan sistem pengelolannya masih kalah dengan Batik Yogya ataupun Solo yang lebih berkembang dan dikenal hingga ke mancanegara.
Sumber:
http://bachtiarhakim.wordpress.com
https://boedijaeni.wordpress.com
Kompas.com
-dipi-