chickenfighter
New member
Bls: Selamat Menyaksikan Kembali Acara Bejat Di "Termehek-mehek"
lah kok ngehina hemmmmm mencurigakan
lah kok ngehina hemmmmm mencurigakan
Tiba-tiba kru dihadang segerombolan preman pasar yang merasa terganggu dengan kehadiran mereka. Antara kru dan gerombolan preman saling adu makian, dan memprakarsai tindakan. Apa yang terjadi?
Baiklah. Kejadian di atas merupakan hasil pengamatan saat menyaksikan sebuah program reality show bertajuk Termehek-mehek. Program apakah itu? Mari kita tilik sejenak judul program tersebut dari sudut etimologis.
"Termehek-mehek" 'diyakini' merupakan salah satu bentuk kekayaan ragam bahasa nasional kita. Kata tersebut mengacu kepada sebuah kondisi dimana emosi kesedihan tak dapat terbendung lagi. Ya-- seperti maknanya, program ini jelas sekali memiliki tujuan untuk membuat pemirsanya larut dalam kesedihan teramat dalam.
Acara ini mulai ditayangkan oleh stasiun Trans TV pada bulan Mei 2008 lalu setiap hari Sabtu dan Minggu pukul 18.00 WIB. Apa yang menarik dari program tersebut? Dikatakan bahwa dalam program ini seorang klien membutuhkan bantuan untuk mencari seseorang yang telah hilang kemana rimbanya. Dengan dukungan tim, akhirnya dimulailah sebuah perjalanan yang memang diusahakan sedramatis mungkin.
Ehem.. memang tampak dramatis. Namun tak lebih dari sebuah akal-akalan tim-yang-menyebut-diri sebagai tim kreatif. Adakah yang bisa menjelaskan unsur kreativitas yang telah dipampangkan? Oh! Dengan menyuguhkan pertengkaran di setiap episode, dan memampangkan aib-aib yang tidak proporsional? Sumpah! Acara tak bermutu ini semakin mengamini keputusan untuk menjauhkan diri dari benda konyol bernama televisi! Tak satu pun acara televisi yang bisa menyejukkan hati. Terlebih pada acara Termehek-mehek ini pemirsa hanya diajarkan untuk berlaku kompulsif dan irasional. Hak kebebasan dalam penyiaran sih boleh diterapkan. Namun bila hak tersebut disalahgunakan dengan menyiarkan sesuatu yang tidak bermanfaat, bukankah itu sebuah bentuk ketimpangan dan ketidakbertanggungjawaban, baik secara moral maupun secara spiritual??
Begitu 'pintarnya' acara ini membodohi masyarakat, tak sedikit yang mengira acara ini merupakan sebuah acara yang mengetengahkan kisah-kisah nyata yang teramini dengan sempurna. Tak sedikit pula yang begitu menantikan kehadiran acara 'cerdas' ini sampai harus mengorbankan waktunya yang lebih berharga untuk menyaksikannya ditemani oleh keluarga tercinta. Entah sudah berapa ratus keluarga yang teracuni.
Apa hikmah yang bisa diekstrak dari acara yang nampaknya mulai menarik minat banyak orang ini selain kecenderungan berlaku kompulsif? Manusia digambarkan begitu banal dan liar. Manusia tak lebih dari banteng liar yang berkomunal dan melegitimasi hobi mengamuk dalam setiap episode acara ini. Tak lebih acara ini hanya mencoba mendefinisikan kekompulsifan tingkah laku manusia. Acara yang tak bernilai sama sekali kecuali bagi orang-orang yang sedang dalam proses pencarian pembenaran terhadap perbuatan stereotip. Stereotip muncul karena adanya prasangka karena stereotip adalah sebuah hasil dari proses adanya prasangka. Sehingga moral kita dididik untuk selalu berprasangka, dan menduga-duga, terlepas dari benar atau salah prasangka tersebut. Bila diteruskan, tak lama lagi sikap dan perilaku kita terhadap kelompok atau golongan sudah dalam tataran anomali di tahap afektif dan psikomotorik.
Perkembangan industri media terutama televisi tak lagi mengaitkan dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat informasi. Sehingga televisi bukan lagi menyandang peran yang signifikan. Televisi sebagai media tak lagi menjembatani relasi komunikasi seluruh anggota masyarakat. Televisi bukan lagi media representasi dari ruang publik kerena televisi dengan segala pretensi dan tendensinya, sudah memberangus segala aspek krusial yang seharusnya lebih dibutuhkan oleh masyarakat. Tak ada lagi komunikasi yang memungkinkan terjadinya artikulasi identitas. Sehingga televisi menyalahgunakan haknya sebagai media untuk mengintervensi kepentingan dan kekuasaan.
Kalau memang ingin membuat acara bertema reality show, ada pertanyaan mendasar yang sangat relevan untuk dikontemplasi lebih lanjut: kenapa harus dengan rekayasa? Benarkah bahwa dengan perekayasaan masyarakat akan semakin takjub dengan acara ini? Apakah pembukaan aib harus dipaparkan begitu vulgar? Dan apakah peranan akal sehat dalam tatanan moral, kejujuran dan keterbukaan tak lagi menjadi prioritas yang mendalam?
Tolong saya menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tadi, Tim Termehek-mehek. Apakah jawabannya sudah meninggal? Kenapa begitu tega jawaban itu meninggalkan kami? Kalau ada kembarannya, tunjukkan kepada kami kemana kami harus mencarinya.
Tunggu! Jawaban mulai bergerak! Saksikan bagaimana kelanjutannya setelah pariwara berikut ini.
terlepas dari semua itu, kalo saya lebih melihat kepada gimana mereka coba mempertemukan target dengan klien. sangat menghibur..
apa lagi yang berantem.. uuu.. so sweet.. )
beginilah kenyataan. Dalam beberapa kasus, segala hal dilakukan untuk tetap survive. Siapa yang peduli?
Yang penting subjek happy.
Itu kan realita’a?
Saya rasa Acara temehek-mehek tidak ubahnya Film dan sinetron, yang membedakan adalah Kisah nyata atau bukan. Karena selama ini film-film dan sinetron-sinetron yang disuguhi kemasyakarat kita tidak beda dengan Acara tersebut, yaitu berisi KEKERASAN, PELECEHAN, KESOMBONGAN, KEMUNAFIKAN, KEBAIKAN, KESABARAN dll.
Jadi menurut saya semuanya tergantung diri kita, dapatkah kita mengambil pelajaran dari acara-acara tersebut atau justru kita yang akan meniru keburukan-keburukan yang ditampilkan acara tersebut.
Mari kita tengok saja diri kita.
hanya orang goblok yang mau nonton acara itu... gak penting dan tukang jual mimpi... apa itu... busuk sekali... payah deh pokoknya