Setelah Kau Menikahiku

Status
Not open for further replies.
Hanya saat itu Idan tidak bisa mengontrol emosinya. Setelah itu ia
kembali menjadi Idan yang rasional dan berkepala dingin, yang mengurus
pemakaman, menerima para tamu dan menghibur keempat kakak perempuannyadengan ketenangan yang nyaris mengerikan.

Sore harinya, saat aku tengah membantu merapikan kembali ruang tamu,
kakak tertua Idan, Kak Ira, menghampiriku.

“Pit, bawa Idan pulang.”

“Apa tidak sebaiknya dia di sini dulu, Kak?”

Kak Ira menggeleng. “Coba lihat sendiri,” katanya sambil menunjuk ke
halaman belakang
 
Idan kutemukan di sana, sedang mengisap sebatang rokok. Ia sudah tujuh
belas tahun berhenti merokok dan melihatnya kembali pada kebiasaan itu
membuatku sadar ia sedang bergelut dengan kepedihan yang lebih dalam
dari yang ditunjukkannya. Ketika aku mendekat, kulihat asbak di
sampingnya telah penuh dengan puntung rokok dan kotak di atas meja
tinggal berisi sebatang.

Kucabut rokok itu dari antara jemarinya dan kubunuh di asbak. Idan tidak
memprotes, ia bahkan tidak menatapku. Aku sadar Kak Ira memang benar.
Aku harus segera membawa Idan jauh-jauh dari semua kenangan tentang
ibunya.

“Aku mau pulang, Dan, ” ujarku sambil memegang tangannya.

Ia menggeleng pelan. “Aku akan menginap di sini. Kau pulanglah sendiri.

Besok aku pulang naik bus saja.”

“Aku tidak mau sendirian di rumah.”
 
Idan menghela napas berat dan akhirnya bangkit. Ia berpamitan kepada
kakak dan iparnya dan keluar untuk mengambil mobil. Saat itu Kak Ira
menggamit tanganku dan berbisik, ” Aku senang Idan sudah menikah
denganmu. Kau pasti bisa menghiburnya dalam saat-saat seperti ini. Ia
paling merasa kehilangan dengan meninggalnya Mama. Kau tahu, ia tinggal
dengan Mama selama tiga puluh tiga tahun.”

Aku terpana sesaat. Dadaku ngilu. Kupeluk Kak Ira dengan hati menggigil.
Bagaimana bisa kukatakan kepadanya bahwa aku dan Idan sudah sepakat
untuk mengakhiri pernikahan ini secepatnya?

Sesampai di rumah, Idan langsung menuju ke kamarnya.

“Kau mau kumasakkan nasi goreng, Dan?”

“Nanti saja. Aku tidak lapar.”

“Kau tidak makan apa-apa dari kemarin subuh. Nanti kau sakit. Mau ya?”

Idan mengangguk dengan mata hampa. Aku jadi semakin khawatir melihatnya.

“Tunggu di sini,” ujarku lagi. “Aku tidak akan lama.”
 
Ketika aku baru saja mengambil telur dari lemari es, aku mendengar suara
Idan di kamar mandi. Ia kutemukan membungkuk di wastafel, menangis dan
muntah hampir bersamaan. Untuk sesaat kepanikan melumpuhkanku dan aku
hanya bisa terpaku di ambang pintu, tak pasti apa yang harus kulakukan.
Insting pertamaku adalah lari keluar mencari bantuan. Tapi aku tidak
mungkin meninggalkan Idan dalam keadaan seperti itu.

Kuhampiri Idan dengan ragu. Perlahan kuelus punggungnya dan sentuhanku
agaknya sedikit menenangkannya, dan lambat laun isaknya mereda. Ini
membuatku lebih yakin dengan apa yang mesti kulakukan selanjutnya.
Kupijat tengkuknya dan kuseka keringat di dahinya. Tapi tiba-tiba saja
ia terkulai lemas, dan kalau aku tidak segera meraihnya ke dalam
pelukanku, ia pasti akan terpuruk ke lantai. Pelan-pelan kupapah ia ke
kamar dan kubaringkan di ranjang. Kubuka kemejanya yang basah dan
kuselimuti badannya yang menggigil.
 
What a nice story. . . ^___^


Ini karangan sendiri kah??
Based on True Story apa gmana, pengembangan ideny menarik gitu loh....
 
What a nice story. . . ^___^


Ini karangan sendiri kah??
Based on True Story apa gmana, pengembangan ideny menarik gitu loh....

No, I'm just want share to anyone,:)
Bukan karangan saya non, cuma share aja ke teman2, kan dari awal saya sudah ngomong,:)

next...
 
“Maaf, Pit,” bisiknya. “Aku tidak bisa menangis di depan kakak-kakakku.
Mereka ….”

“Aku tahu. Tidak apa-apa ,” tanganku masih gemetar saat aku mengelus
rambutnya. “Aku buatkan teh panas, nanti kau minum, ya.”

Ia mengangguk dan aku beranjak meninggalkannya. Ketika aku kembali, ia
kelihatan agak lebih baik. Dihirupnya sedikit teh yang kubawa. Wajahnya
tidak lagi pucat setelah itu. Ketika aku merapikan kembali selimutnya,
ia memegang tanganku.

“Terima kasih.”

“Kau pernah melakukan lebih dari ini untukku.”

“Bukan untuk tehnya. Untuk tidak memberiku pernapasan buatan,” ia
tersenyum nakal.

“Oh, kau!” aku ikut tersenyum, lega.
 
“Dan untuk menikah denganku,” lanjut Idan kemudian, ekspresinya begitu
serius. “Setidak-tidaknya sebelum meninggal, Mama bisa tenang karena
mengira aku sudah beristri. ”

Aku tertegun sesaat. Suaraku goyah dan terbata saat aku bicara, “Aku
yang mesti berterima kasih kepadamu.”

“Untuk apa?”

“Untuk setahun yang kau lewati denganku. Untuk kesabaranmu.
Pengorbananmu.”

Idan tersenyum kecil. “ Aku tidak melakukan apapun yang tidak kusukai.
Ini setahun yang sangat menyenangkan untukku. Seharusnya aku yang
berterima kasih.”

“Jangan memaksa,” aku mencoba bercanda. “Aku yang harus berterima kasih.Mengalahlah sedikit.”

Idan tersenyum dan mencubit hidungku. Tangannya tidak sedingin tadi dan
itu melenyapkan sisa-sisa kekhawatiranku.
 
“Aku masih tidak mengerti kenapa kau akhirnya mau terlibat dengan ide
gilaku ini ,” katanya.

“Entahlah, Dan,” aku tertawa kecil. “Mungkin aku sudah sangat capai
berkilah tiap kali ibuku merongrong soal perkawinan. Dan aku melihat
usulmu itu sebagai jawaban yang paling jitu untuk menyelesaikan dua
masalah sekaligus, keenggananku un tuk menikah, karena tidak ada calon
yang pas; dan keinginan ibuku yang menggebu-gebu untuk segera melihatku
menikah.”

“Apa yang kau dapat setelah setahun kita menikah?” tanyanya dengan mimik lebih serius.

Aku terdiam sejenak. “Banyak,” jawabku akhir nya. “Aku belajar bahwa aku tidak menikah dengan malaikat atau monster, tapi dengan manusia,
yang punya kekurangan yang harus kumaafkan dan keistimewaan yang
tidak bisa kuabaikan. Aku belajar bahwa dalam pernikahan, bila kita tidak
mendapatkan apa yang kita inginkan tidak selalu berarti kekalahan, tapi
boleh jadi suatu kemenangan bersama.”
 
Aku ingin menambahkan bahwa pernikahan membutuhkan cinta dan
kesetiaan seperti gurun memerlukan air, tapi aku tidak punya nyali untuk
menyatakan semua itu.

“Kau memang selalu pintar bicara,” Idan tersenyum.

“Kau sendiri? Apa yang kau pelajari selama ini?”

“Hanya satu. Hidupku mungkin tidak akan pernah sebahagia ini lagi
setelah kau pergi.”

Aku tertegun. “Apa maksudmu?”

Idan bangkit dan duduk mencangkung menatapku. “Tahun ini adalah saat
paling bahagia dalam hidupku. Setiap aku bangun pagi dan mendengar
suaramu, aku jadi berpikir aku adalah laki-laki paling bahagia di dunia
ini. Dan setiap malam waktu aku pulang dan kau tersenyum
menyambutku, aku merasa aku jadi manusia paling beruntung di seluruh jagad raya. Aku jadi sangat terbiasa dengan kehadiranmu bahkan mulai
berharap kau akan bersamaku terus, walaupun harapan itu, aku tahu,
konyol. Tapi kalau kau mencintai seseorang seperti aku mencintaimu, kau
akan kehilangan akal sehat.”
 
Kutatap wajah Idan lekat-lekat. Ia tidak kelihatan sedang bercanda. Ia
tampak sangat tenang dan serius.

“ Aku masih belum mengerti,” bisikku.

“Pernikahan ini tidak pernah hanya sebuah simulasi untukku, Pit. Ini
adalah pernikahan sesungguhnya untukku.”

“Apa maksudmu kau mencintaiku ?” suaraku tercekik.

“Apa yang tidak kau pahami? Aku mencintaimu,” kata-kata Idan begitu
lugas, menghantamku seperti sebuah pukulan keras yang membuatku
terempas. “Aku mencintaimu sejak kau memarahiku karena nyaris melindas
kelincimu, dua puluh tahun yang lalu, waktu kita masih sama-sama belasan
tahun. Dan aku tidak pernah bisa berhenti mencintaimu hingga kini.”

“Kau … kau tidak pernah ….”

“Kau tidak pernah memberiku kesempatan. Kau selalu sedang jatuh cinta
dengan orang lain atau patah hati karena orang lain, dan kau selalu
datang kepadaku menceritakan semuanya. Aku tahu aku bukan lelaki
idamanmu. Aku tidak menggambar. Tidak menulis puisi. Kalau kau bilang
sebuah lukisan itu bagus, aku tidak mengerti kenapa. Aku bukan jago
pidato dan calon ketua OSIS yang kau gilai di SMA. Aku bukan aktivis
kampus yang membuatmu mabuk kepayang waktu kuliah dulu. Aku terlalu
biasa-biasa saja. Aku tahu ini sangat menyedihkan, memalukan dan aku
benci kau kasihani. Tapi selama ini aku benar-benar tidak punya
keberanian, belum lagi kesempatan, untuk berterus terang kepadamu.”

“Kau tidak pernah biasa-biasa saja, Dan,” ujarku lirih. “Kau istimewa
dengan caramu sendiri.”
 
Ia mengangkat bahu. “Tidak cukup untuk kau cintai.”

Sesaat aku hanya bisa terdiam, menatap kedua mata Idan, mencari tandatanda kalau semua ini hanya salah satu dari sekian banyak
permainannya.

Tapi ia kelihatan sungguh-sungguh.

“Kenapa kau katakan semua ini kepadaku waktu kita akan berpisah seperti
ini? Apa yang kau inginkan?” tanyaku datar.

Idan tersenyum kecil. Ada kepedihan dalam senyumnya, sesuatu yang tak
pernah kutemukan sebelumnya. “Aku sendiri tidak tahu kenapa aku mesti
mengatakan semua ini kepadamu. Aku hanya ingin kau tahu aku mencintaimu.

Bukan karena aku masih berharap kau akan mencintaiku juga. Sekarang
tidak ada bedanya lagi. Tapi aku ingin kau tahu kalau kau tetap memiliki
cintaku, apapun yang terjadi, bahkan jika akhirnya kau benci kepadaku
atau melupakanku sekalipun.”

Ia tertunduk sesaat. Ada sorot yang asing berpijar di matanya saat ia
kembali menatapku. “Dan kalau kau tanya apa yang kuinginkan, aku ingin
kau di sini bersamaku, seumur hidupku. Aku ingin kau belajar dan
akhirnya benar-benar mencintaiku, mungkin tidak akan pernah sedalam dan
separah cintaku kepadamu, tapi setidaknya kau tidak lagi menganggapku
hanya sekedar sahabatmu, tapi juga kekasihmu. Aku ingin mencintaimu
lebih dari yang pernah kutunjukkan.”
 
Ia menghela napas berat. “Tapi itu semua keinginanku. Bukan kemauanmu.
Kebahagiaanku, belum tentu kebahagiaanmu juga.”


Lama kami berdua saling berpandangan.

“Terima kasih, Dan,” desahku akhirnya. Kupeluk ia erat-erat,
menyembunyikan air mataku di bahunya.
 
“Aku sudah bicara dengan Idan, Pram. Tapi aku terpaksa menunda proses
perceraian itu. Idan baru saja kehilangan ibunya. Rasanya tidak pantas
bicara soal perceraian saat ini.”

“Berapa lama?”

“Entahlah. Sebulan dua bulan mungkin.”

“Kau tahu waktu kita sangat terbatas, Ta. Aku tidak bisa menunda
kepulanganku ke Jerman. Dan aku tidak tahu kapan aku bisa kembali ke
sini lagi. Mungkin tidak dalam setahun atau dua tahun ke depan. Dan kita
akan kehilangan waktu yang mestinya bisa kita lewati berdua.”

“Aku tahu, Pram. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Idan sekarang. Dia
membutuhkan aku.”

“Aku lebih membutuhkanmu dari dia, Ta. Dan pikirkan dirimu sendiri. Apa
kau tidak ingin kita bisa seterusnya bersama?” Aku menghela napas
panjang. “Entahlah, Pram, ” bisikku.

“Apa maksudmu?” suara Pram terdengar kaget.

“Aku …. Aku tidak akan bahagia kalau Idan menderita.”
 
“Ita! Kau tidak …. Dengar, pikir baik- baik. Menurutmu, kalau kau
tersiksa hidup dengannya, ia akan bahagia?”

“Aku tidak merasa menderita menjadi istrinya.”

“Tapi kau tidak bahagia!”

“Aku bahagia, Pram. Mungkin tidak seperti saat aku bersamamu. Tapi Idan
membuatku bahagia.”

“Kau tidak bisa melakukan ini, Ta. Kau hanya kasihan kepadanya. Sebentar
lagi kau akan berubah pikiran dan saat itu kau akan menyesal karena
membuang kesempatan ini.”

“Aku bisa belajar memaafkan diriku sendiri.”

“Ita, kau tidak mencintainya!”

“Ia mencintaiku. Itu lebih dari cukup.”

“Kau hanya bingung, Ta. Aku mengerti. Tapi apa kau lupa kalau aku sangat
mencintaimu?”
 
“Aku tidak pernah akan lupa, Pram.”

“Lantas apa yang membuatmu berubah pikiran secepat ini?”

“Idan mengajariku tentang cinta.”

“Hanya karena itu?”

“Juga karena aku yakin, aku akan belajar mencintainya.”

“Ita ….”

“Selamat tinggal, Pram. Mudah-mudahan kau akan sebahagia aku nantinya,
atau mungkin lebih bahagia lagi.”

Telepon kututup sebelum air mataku luruh.
 
“Upit.”

Aku tersentak dan berbalik seketika. Entah sudah berapa lama Idan
berdiri di belakangku. Wajahnya penuh tanda tanya dan ia menggeleng
perlahan sambil duduk di lantai di sisi kursiku.

“Kenapa?” tanyanya.

Aku tak bisa menjawab. Air mataku menetes satu-satu dan dengan lembut ia
menyeka pipiku dengan jarinya.

“Aku tak bisa melihatmu begini ,” lanjutnya pelan. “Ini keputusan yang
sangat konyol, Pit. Kau benar-benar akan membiarkan kesempatanmu berlalu
sekali lagi?”

Aku mengangguk.

“Dia akan membuatmu sangat bahagia, Pit.” Aku mengangguk.

“Kau akan menyesal.” Aku mengangguk.

“Kau akan sedih, kecewa ….” Aku mengangguk.

“Kau tidak mencintaiku.” Aku menggeleng.

Idan terbelalak. “Upit!” pekiknya tertahan. “Idan!”
 
Puisi dari Penulis :

Ku tahu sebaik apapun ku berusaha
Ku hanya manusia biasa
Yang penuh lupa dan dosa
Tapi pada-Mu ya Rabb ku pinta
Siapapun bidadari yg kau siapkan untukku
Semoga ku bisa menjadi yang terbaik baginya
Karena ku tahu ya Rabb ku
Dialah yang terbaik untukku
Dan semoga ya Rabb
Semoga Dalam naungan cinta-Mu
Kita dapat bersama
Dan selalu saling mengingatkan
Untuk sebuah cinta suci mulia
Agar dapat kembali bersua,
Di surga-Mu
 
Terima kasih buat teman teman yang sudah mengikuti cerita ini.
Jangan salah sangka karena aku bukan penulisnya. Aku cuma ingin share aja dengan teman - teman semua karena menurutku cerita ini bagus dan bisa dijadikan pelajaran bahwa "kita tidak bisa menjadikan ego kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, karena yang kita anggap benar belum tentu baik buat kita" dan satu lagi berbahagialah karena masih ada orang yang mencintaimu dan belajarlah untuk mencintai orang lain apalagi dia mencintaimu... [<:)

Salam,
M2N


Nb: Mohon pendapat teman - teman dari cerita tersebut.
Terima Kasih. :)
 
Status
Not open for further replies.
Back
Top