Setelah Kau Menikahiku

Status
Not open for further replies.
Dan esok harinya kuhabis kan bersama Pram, mendiskusikan lukisan dan
benda seni, sesuatu yang lama ingin kuulangi lagi. Aku tak bisa
memungkiri betapa menyenangkannya bercakap-cakap dengan Pram,
membicarakan seribu satu hal yang tak pernah kusinggung saat bersama
Idan. Setelah lama membicarakan masalah seni rupa, Pram tiba-tiba
bertanya.

“Kenapa kau menikah dengan Idan?”

“Kenapa kau bertanya?”

“Seingatku, ia bukan tipemu.” Aku tertunduk.

“Kenapa, Ita?”

“Idan mencintaiku ,” bisikku pelan.

“Apa kau mencintainya.”
 
Kebisuanku memberinya jawaban.

“Apa kau bahagia?” lanjutnya lirih.

Kutatap matanya yang teduh dan hangat. “Ya.”

“Jangan berbohong.”

“Idan suami yang baik.”

“Tapi apa kau bahagia?”

Bagaimana mengatakan bahwa aku tidak pernah merasa sebahagia saat itu,
melewatkan waktu bersamanya?

“Berapa lama kau menikah dengan Idan?”

“Setahun.”

“Maaf kalau ini menyinggung perasaanmu. Tapi apa kau menikahinya karena
terpaksa? Karena usia dan….”

“Stop.”

Aku bangkit dan meninggalkannya.
 
Maafkan aku kalau perasaanmu terluka karena pertanyaanku. Tapi bisakah
kau renungkan perasaanku sendiri? Bagaimana hatiku tersiksa ketika tahu
pernikahan tidak membuatmu bahagia?

Kartu itu bergetar di tanganku dan tulisannya kabur dalam genangan air
mataku.

“Ita,” tanya sekretarisku yang, entah kapan, telah memasuki ruangan.

“Ada apa?”

“Tidak apa-apa,” bisikku, mencoba mengendalikan diri. “Tolong keluar
sebentar. Aku harus menelepon Idan.”

Begitu ia keluar, dengan sangat enggan kudial nomor kantor Idan. Aku
tiba-tiba sadar bahwa sejak menikah dengannya aku tak lagi pernah
mengadu dan bertanya kepadanya tentang segala hal yang menyangkut hati
dan perasaan. Dan kini, aku tahu aku sangat membutuhkan masukannya,
seperti dulu, sebelum ia menjadi suami simulasiku.

“Idan.”

“Upit? Ada apa pagi-pagi begini?”
 
“Aku …. Kau tahu …, ” aku terbata. Bagaimana mulai menceritakan kepada
suamiku -- walaupun hanya simulasi -- bahwa aku sedang dirundung
kasmaran kepada lelaki lain? Idan tidak akan marah, aku tahu. Dia tidak
berhak untuk itu. Tapi itu tidak membuat segalanya mudah. Ia bukan lagi
sekadar seorang sahabat tempat curahan keluh kesah dan semua masalahku.
Ia adalah suamiku, simulasi atau bukan sekalipun. Dan menceritakan hal
seperti kartu dari Pram dan bunga mawar putihnya terasa sangat tidak pa
ntas dan kejam untuk dilakukan.

“Ya?” desak Idan.

“Aku.... Idan, kau kenal Indri, kan?”

“Sekretarismu? Tentu.”

“Bekas pacarnya yang pilot itu kembali.”

“Lalu?”
 
“Sekarang mereka sering bertemu. Suami Indri tidak tahu, tentu. Tapi
sekarang Indri bingung. Ia mengaku jatuh cinta lagi dengan bekas
pacarnya itu. Dan si bekas pacar ini pun ingin menikahi Indri.”

“Tapi Indri sudah punya anak dua kan?”

“Ya. Tapi menurut si pilot ini, anak bukan masalah. Mereka boleh memilih
untuk tinggal dengan siapa.”

“Lalu apa hubungannya semua itu denganmu?”

Aku menghela napas. “Indri bertanya apa yang mesti dia lakukan. Aku tak
bisa menjawab.”
 
“Dan kau bertanya pada pak gurumu. Baik. Eh! Tunggu sebentar,” meskipun
ia menutup mikrofon telepon, aku bisa mendengarnya berteriak kepada
seseorang di ujung sana, “Tunggu sebentar, ini istriku! Ya, mulailah
dulu. Aku menyusul.” Istriku. Aku istrinya. Istrinya. Dan jantungku
rasanya melesak ke dalam bumi.

“Maaf. Mereka benar-benar tidak bisa apa-apa tanpaku …,” suara Idan
kembali di telepon.

“Karena kau yang membuatkan kopi?”

“Kau!” ia tertawa, lalu segera kembali serius. “…Kupikir Indri dan
pacarnya terlalu egois. Mereka tidak bisa lagi hanya memikirkan
keinginan mereka sendiri. Ada suami Indri dan anak-anaknya yang juga
harus diperhitungkan.”

“…Tapi kalau Indri tidak bahagia lagi menikah dengan suaminya, apa
perkawinan itu harus dan bisa dipertahankan?”
 
“Sebaiknya kau tanya Indri, apa dia benar-benar mencintai bekas pacarnya
itu, atau mereka hanya terpesona dengan nostalgia masa lalu? Apa mereka
benar-benar saling membutuhkan atau mereka hanya ingin mengulang
keindahan masa pacaran mereka dulu? Kalau hanya itu yang mereka
inginkan, mereka akan kecewa kalau terus bersama, karena Indri dan
pacarnya sudah jadi orang-orang yang berbeda, sudah lebih dewasa, bukan
lagi remaja yang masih hijau.”

“Indri bilang dia hanya mencintai lelaki itu, bukan suaminya. Ia tidak
pernah mencintai suaminya.”

“Kalau begitu kenapa dulu ia menikah?”

“Keadaan.”

“Maksudnya?”
 
Met taon baru mas, ^__^


Akhirnya d'update jg, tambah seru aj. . . Tp koq d'putus pas lg rame y???
XoX


Udah sembuh belom?
Makany jgn k'bykan begadang tu...
Hehehe
 
“Adik-adiknya sudah ingin menikah semua, tapi orang tuanya tidak
mengizinkan karena mereka tidak mau Indri dilangkahi.”

“Astaga. Kasihan sekali.”

“Jadi bagaimana?”

Idan diam sejenak. “Aku tidak tahu, Pit. Yang aku tahu, aku tidak mau
jadi penyebab ketidakbahagiaan seseorang. Kalau aku sarankan Indri untuk
meninggalkan pacarnya, siapa tahu ia tidak akan pernah bahagia karena
merasa terpaksa terus bersama suaminya. Kalau ia meninggalkan suaminya,
aku juga tidak menjamin ia akan bahagia dengan orang yang hanya
mengenalnya di permukaan, tidak utuh, seperti suaminya.”
 
“Lantas aku mesti bilang apa?”

“Sampaikan saja petuahku ini kepada Indri. Bilang saja ini saran dari
pakar pernikahan kelas dunia yang reputasinya tidak diragukan lagi.”

“Kau sama sekali tidak membantu,” desahku.

“Ini bukan keran bocor atau teve rusak yang bisa diperbaiki begitu saja,
Pit. Sedangkan memperbaiki teve rusak saja aku menyerah, jangan lagi
mengurusi rumah tangga orang.”
 
“Bodohnya lagi, aku bertanya kepadamu.”

“Itulah, Pit. Aku sendiri heran kenapa aku mau membuang waktuku dan
terpaksa terlambat ikut rapat untuk memberimu saran yang tak berguna.”
Aku tertawa pahit. “Ya, sudah. Pergilah buat kopi sekarang. Terima kasih
untuk saran dan waktumu.”

“Sama-sama. Oh! Bosku ke sini. Aku harus pergi. I love you, Darling!” ia
berteriak. Lalu kudengar suaranya, sedikit jauh dari telepon. “Iya, Pak,
sebentar. Istri saya ….”

Kututup telepon, tiba-tiba merasa begitu dingin dan sendiri.
 
Bagian 5 (bagian terakhir)
-Pilihan yang sulit: Idan atau Pram?-

Kita tidak bisa bertemu lagi Pram,” ujarku kepada Pram di telepon.
Separuh jiwaku ras anya terbang dan hilang saat kata-kata itu kuucapkan.

“Kenapa? Idan melarangmu?”

“Dia tidak tahu apa-apa.”

“Kenapa kau terus memikirkan dia, Ta. Pikirkan dirimu sendiri. Apa kau
sudi menghabiskan hidupmu dengan orang yang tidak kau cintai, sedangkan
denganku kau bisa mendapatkan semuanya?”
 
Status
Not open for further replies.
Back
Top