“Idan,” jawabku kaku.
“Idan? Irdansyah temanmu?”
“Sahabatku.”
“Sahabatmu,” desahnya. “Sudah berapa putramu?”
Aku menggeleng. “Belum ada,” bisikku.
Pram menatapku lekat. Dua kali ia tampak seolah akan bicara, tapi setiap
kali, ia berhenti. Akhirnya, dengan senyum kecil ia mengeluarkan sebuah
kotak mungil dari sakunya.
“Aku…,” dibukanya kotak itu. “…Aku se ndiri menganggap diriku gila,
karena membawakanmu ini. Tapi, Ta, maaf kalau aku terus-terang seperti
ini, dibenakku kau masih Ita-ku yang dulu. Aku tahu dalam sepuluh tahun
segalanya bisa terjadi dan kau pasti sudah menikah. Tapi….”
Dikeluarkannya sebuah gelang mungil berhias batu-batu semi-mulia. Aku
terkesima.
“Aku tahu kau suka perhiasan antik. Ada kenalanku yang membuka toko
barang antik di Muenchen. Aku membeli ini darinya,” tanpa meminta
izinku, ia telah memasangkan gelang itu di tanganku.
“Terima kasih,” gumamku terpesona. “Cantik sekali.”