Setelah Kau Menikahiku

Status
Not open for further replies.
Aku ingin sekali berbagi kegembiraannya. Ia kelihatan begitu bangga
dengan hadiahnya, setidaknya beberapa detik yang lalu, sebelum ia sadar
bahwa aku kecewa. “Oh ,” hanya itu yang bisa kukatakan. “Terima kasih.”

“Kau boleh memelukku kalau mau,” katanya tersenyum dan membentangkan
kedua tangannya. Kupukul lengannya dan tertawa. Dan pagi itu berlalu
seperti hari-hari kemarin.

Di kantor teman-temanku menyambutku dengan ucapan selamat dan senyum
pernuh arti. Ketika aku memasuki ruang kerjaku, aku mengerti kenapa
mereka tampak seperti menyembunyikan sesuatu. Di meja kerjaku ada sebuah
kotak panjang dengan tutup sel ofan. Setangkai mawar putih. Sesaat
jantungku rasanya berhenti berdenyut.
 
Hati-hati kuambil kartu yang menempel pada kotak itu, lupa seketika
kepada teman-temanku yang pasti mengawasi lewat kaca ruang kerjaku.

Selamat ulang tahun. Masih ingatkah kau kepadaku? Jika ya, aku menunggu
di tempat biasa.


Mungkinkah?

Aku keluar untuk makan siang lebih awal, mengabaikan godaan temantemanku
yang tak kenal ampun.
 
Bagian 4

-Pram berjanji akan membahagiakan Puspita. Tapi sayang semuanya sudah
terlambat. Dia sudah menikah, sekalipun hanya simulasi-

Dalam perjalanan aku kembali memikirkan mawar putih itu. Sejak aku
melihatnya, aku tahu kalau itu bukan dari Idan. Idan mustahil bisa
seromantis itu. Hanya satu orang yang kutahu pernah dan selalu memberiku
mawar putih. Dan ia adalah milik masa lalu yang tak pernah kubayangkan
bisa dan akan kembali. Tapi pesan itu?

Restoran itu masih seperti yang kukenang. Sederhana dan tidak mencolok
di bagian luarnya; tetapi begitu aku masuk, aku menemukan kedamaian dan
ketenangan dalam interiornya yang lapang dan asri, dengan kolam-kolam
kecil beri si teratai merah jambu dan putih serta suara gemericik air
terjun buatan di sepanjang satu dindingnya.

Tidak ada yang berubah. Dan meja nomor lima itu masih sedikit di sudut,
terhalangi seru mpun gelagah. Ketika aku menghampiri meja itu, aku tidak
lagi merasa sebagai Puspita yang berusia tiga puluh empat tahun, yang
dewasa dan percaya diri, tapi seorang gadis berusia dua puluh tiga
tahun, yang tercabik di antara cinta dan ambisi. Di meja itu harusnya
seseorang menantiku, seperti sepuluh tahun yang silam. Sebagian hatiku
mengingatkan untuk tidak terlalu berharap. Masa lampau mustahil kembali
lagi. Tapi segalanya masih begitu serupa dulu, hingga a ku sulit
memisahkan kini dan saat itu.
 
Apalagi saat lelaki di meja itu bangkit menyambutku, menggenggam
tanganku dan mengucapkan namaku. “Ita,” kelembutan suaranya masih
seperti yang kuingat. Dan wajahnya, walau mulai sedikit berkerut, masih
persis seperti yang kukenang. “Kau datang.”

“Halo, Pram,” sapaku sembari duduk di hadapannya, tak melepaskan mataku
dari senyumnya. Aku tiba-tiba sadar dengan rasa rindu yang lama tak
pernah kugubris, dahaga yang bertahun-tahun tak kuizinkan untuk ada.
Perasaanku berkecamuk, galau yang belum pernah lagi kurasakan tentang
siapa pun juga.

Menggelikan sekali kalau seorang perempuan seusiaku masih demikian
terguncang karena pertemuan dengan bekas kekasihnya.
 
“Terima kasih mawarnya,” ujarku, sedatar yang mampu kulakukan. Sayangnya
getaran di suaraku membeberkan semuanya.

“Kau masih ingat.”

“Aku tak bisa lupa, meski mau sekalipun,” katanya tersenyum.

“Kapan kau pulang?”

“Tadi pagi.”

“Dengan anak istrimu?”

Pram tertawa kecil. “Ini agak memalukan. Tapi aku masih sendiri, Ita.”

Jawabannya begitu mengejutkanku hingga sesaat aku tak tahu harus
mengatakan apa.
 
“Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan siapa pun selain denganmu,”
senyumnya padam dan di matanya bergelora lagi pesona yang pernah dan
mungkin masih bisa meluluhkan hatiku. “Sepuluh tahun aku mencari, dan
aku tetap tak bisa menemukan penggantimu.”

Aku menunduk, bibirku terkatup erat. Sepuluh tahun lalu, di tempat ini
juga, ia melamarku, dan aku menolak. Aku tak bisa membiarkan peluang
karier yang telah susah payah kurebut tersia-sia begitu saja, bahkan
untuk satu-satunya lelaki yang ingin kunikahi. Aku tak bersedia hanya
menjadi bayangannya, terperangkap dan layu di negeri asing, walau ia
adalah orang yang menguasai separuh jiwaku. Dan ia pergi. Di awal
perpisahan surat-suratnya datang dengan teratur, tak satu pun kubalas.
Bertahun-tahun ia tetap mengirim kartu ulang tahun dan Lebaran, yang
semua kubakar, sampai aku tak lagi peduli, sampai suatu hari tidak ada
lagi kartu yang datang. Dan dengan sedih aku harus mengakui bahwa lelaki
sesempurna Pram pun suatu ketika akan melupakanku.
 
“Kau sendiri bagaimana, Ta?”

“Aku sekarang editor senior,” jawaban itu terdengar menyedihkan, hampa
makna. Apa artinya seuntai jabatan di sisi… cinta? Kesetiaan?

“Selamat!” ia kedengaran tulus, tapi di hatiku kata itu menyakiti. “Aku
selalu yakin kau yang terbaik untuk pekerjaan itu.”

“Kau pernah ingin merenggutku dari ini semua,” ujarku lirih. Apa jadinya
kalau dulu kukatakan “ya ”? Sepuluh tahun bersama Pram, seperti apa?

Ia menggeleng. “Aku hanya memintamu memilih.”

Matanya tertambat pada cincin di jari manisku. Suaranya pelan saat ia
bertanya, ”Kau sudah menikah?”

Aku mengangguk. Ia tertawa kecil, agak gugup . “Siapa?” tanyanya lirih.
 
“Idan,” jawabku kaku.

“Idan? Irdansyah temanmu?”

“Sahabatku.”

“Sahabatmu,” desahnya. “Sudah berapa putramu?”

Aku menggeleng. “Belum ada,” bisikku.

Pram menatapku lekat. Dua kali ia tampak seolah akan bicara, tapi setiap
kali, ia berhenti. Akhirnya, dengan senyum kecil ia mengeluarkan sebuah
kotak mungil dari sakunya.

“Aku…,” dibukanya kotak itu. “…Aku se ndiri menganggap diriku gila,
karena membawakanmu ini. Tapi, Ta, maaf kalau aku terus-terang seperti
ini, dibenakku kau masih Ita-ku yang dulu. Aku tahu dalam sepuluh tahun
segalanya bisa terjadi dan kau pasti sudah menikah. Tapi….”

Dikeluarkannya sebuah gelang mungil berhias batu-batu semi-mulia. Aku
terkesima.

“Aku tahu kau suka perhiasan antik. Ada kenalanku yang membuka toko
barang antik di Muenchen. Aku membeli ini darinya,” tanpa meminta
izinku, ia telah memasangkan gelang itu di tanganku.

“Terima kasih,” gumamku terpesona. “Cantik sekali.”
 
“Kau suka?”

Aku mengangguk. Dan teringat lagi hadiah ulang tahun dari Idan. “ Kau….
Sebetulnya kau tidak perlu repot-repot…,” suaraku keluar dengan susah
payah.

“Sebetulnya aku mau membawakanmu karpet antik yang aku yakin akan
membuatmu tergila-gila. Aku sudah membelinya karena itu mengingatkanku
padamu. Setiap kali aku berbelanja barang antik aku tak bisa tidak
mengingatmu,” ia tertawa kecil. “Tapi aku tidak bisa membawanya ke sini.
Bawaanku sudah banyak sekali. Ibuku memesan oleh-oleh untuk semua sanak famili dalam radius dua ratus lima puluh kilometer.”

Aku tersenyum kecil. Tapi dalam benakku berkelebat pertanyaan demi
pertanyaan. Apakah Idan tahu hadiah seperti apa yang akan membuatku
bahagia? Apa ia mengenal selera dan kegemaranku? Aku menggeleng dalam
hati. Tidak. Tidak .
 
Pram masih bicara panjang lebar tentang bisnis yang dilakukannya di
Jerman. Aku kembali diingatkan tentang kecerdasan dan keluasan
wawasannya. Apalagi sepuluh tahun berada di negara lain telah menjadikan
Pram yang dulu kukenal lembut dan peka, semakin lapang hati dan terbuka.
Kalau ada yang berubah dalam dirinya, semua itu hanya menjadikannya
sempurna. Dan pikiran itu menorehkan nyeri di hatiku. Sudah terlambat,
sambatku kepada diri sendiri.

Ia bercerita tentang barang-barang antik yang juga jadi salah satu
kegemarannya. “Kalau saja kau bersamaku, Ta,” katanya dengan mata
berbinar. “Kita bisa menghabiskan waktu mengaduk-aduk Eropa mencari
barang antik….”

Ia melihat ekspresi wajahku dan berhenti bicara. “Maaf,” katanya sejenak
kemudian.

“Aku harus kembali ke kantor,” gumamku kaku.

“Baiklah. Mau kuantar?”

“Aku ada mobil.”
 
Ia menahan tanganku saat aku hendak berdiri. “Ita, aku tahu semuanya
berbeda sekarang. Tapi, kalau kau tidak keberatan, bisakah kita bertemu
lagi sekali-sekali selama aku di sini? Aku perlu teman yang bisa
mengantarku jalan-jalan mengunjungi galeri dan art shop.”

Undangan yang sangat menggoda, yang memenuhi benakku serta merta dengan masa lalu dan janji akan sesuatu yang lebih istimewa lagi, kalau saja
aku bisa mengucapkan ya.

Pram membaca keraguanku dan sesaat sorot matanya meredup.
“Kita bisa jalan-jalan bertiga, kau, Idan dan aku,” katanya. “Aku tidak
punya banyak teman di sini.”

“ Aku pikir-pikir dulu,” jawabku cepat-cepat, sebelum hatiku dikuasai
kehausan untuk berlama-lama dengan Pram.

Pram merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kartu nama. Di belakangnya ia menuliskan sederet nomor. “Hubungi aku kalau kau bersedia. Aku menunggu.”
 
Malamnya aku berbaring di kamar, menatap kartu itu lekat-lekat seperti
gadis belia yang sedang m abuk kepayang. Aku bukan remaja lagi dan
seharusnya aku lebih bisa menguasai diriku sendiri. Tapi aku tak bisa
membohongi hatiku sendiri. Kehadiran Pram membangunkan lagi semua
harapan dan khayalan yang kukira telah lama lenyap. Tapi masih adakah
kemungkinan antara aku dan Pram? Ia mengira dan aku telah meyakinkannya, kalau aku telah menikah dan segalanya telah berakhir. Yang
ia tidak ketahui, pernikahanku dengan Idan hanya sebuah permainan yang bisa kusudahi kapanpun aku mau. Tapi, kalau pun ia tahu, apakah segalanya akan berbeda? Apa pendapatnya kalau aku menceritakan semua padanya?

Aku ingin tidak memikirkan Pram lagi. Apa yang kuharapkan bersamanya
mustahil terjadi. Tapi, hidup dengan Idan seperti ini selamanya juga
tidak mungkin. Semua ini hanya sandiwara yang akan berakhir, cepat atau
lambat. Apakah kembalinya Pram suatu kesempatan kedua yang semestinya
kuraih karena mungkin tidak akan pernah ada lagi? Tapi bagaimana?

Kiriman bunga kedua datang dua hari kemudian.

Aku memikirkanmu.

Tahukah ia bahwa aku pun tak bisa menghapuskan senyum, mata, wajah dan suaranya dari benakku?

Kotak mawar yang ketiga datang di akhir pekan.

Maaf kalau kau menganggapku lancang karena terus mencintaimu. Tapi
bisakah kau menghentikan badai?
 
Aku tak bisa. Aku bahkan tak kuasa membendung gemuruh di hatiku sendiri.
Aku ingin bersamanya, selamanya. Dan itu mustahil.

Sore itu, sebelum aku pulang, kutekan nomor yang sudah kuhapal di luar
kepala itu. “Kalau kau ada waktu, kita bisa melihat pameran lukisan di
galeri baru dekat kantorku.”

“Kau yang menentukan apa aku punya waktu atau tidak, Ita.”
 
Status
Not open for further replies.
Back
Top