~DESCENDANT OF THE DEATHMASTER~ by:DYNA

bagaimana menurut kalian novel pertama Dyna (daina) ini?


  • Total voters
    35
Ari.


______________________________
_________________________



Aku sedang dalam perjalanan pulang kepondokan, sambil memikirkan pembicaraanku dengan kepala desa beberapa saat lalu.

“Tidak pernah ada kegiatan seperti itu,” Pak tua itu menyuruh seorang lelaki yang kelihatannya bertugas mengurus masalah administrasi desa ini, untuk mengecek keluar masuknya muatan termasuk apa saja kapal yang berlabuh belakangan.

“Tidak ada data apapun,” ucap sang sekretaris memberitahukan.

Aku berdiri sambil melipat tangan, menunggu langkah selanjutnya yang akan diambil.

“Tidak ada kapal yang merapat ketika pengamanan dilonggarkan, Harusnya petugas yang mengawasi melaporkan hal ini, kami tidak menerima pemberitahuan apapun, itu sangat terlarang,”

“Berarti kemungkinan besar Ilegal, yah?” Tebakku ringan.
Kepala desa dan pegawainya menatapku tegang.

“Beritahukan saja pada kantor pusat, biarkan mereka memeriksanya, beres kan?”

“Itulah masalah kita sekarang…”

Aku mengerinyitkan dahi, “Apalagi?”

“Apakah mereka mau datang?” Lelaki renta itu terbatuk, meraih gelas minuman berisi air putih diatas meja kerjanya. “Tempat ini, benar benar terpencil, mungkin memang ada yang melakukan perdagangan disini tapi sekali lagi, bukan prioritas utama.”

Dan aku mencium bau kerjasama aparat pemerintah dengan orang orang mencurigakan itu, batinku dalam hati.

“Yak, aku paham, pak tua,” Jawabku santai, “Kau memintaku menyelidikinya sendiri kan? Aku tidak masalah sih, lagipula aku juga tidak ada kerjaan,”
Tiba tiba saja sesuatu melintas dipikiranku.
Rencana, yang kupikirkan sudah beberapa waktu belakangan ini, “Dan, satu lagi,”

Kepala desa suku mon itu melihat kearahku, ia menggeser tutup gelasnya rapat rapat.

Menunggu nunggu apa yang akan kukatakan berikutnya.

“Menurut kalian, apakah aku… Bisa tinggal disini, menetap, bahkan meskipun tugasku sudah selesai?”

Yeah, menetap.

Aku akan membawa Tasuku kemari, menjemputnya, dan kalau memungkinkan,
kami akan… membentuk sebuah kehidupan baru disini.

Keluarga baru, aku, Tasuku, dan…

…Daina.

Bodohnya, ini tidak seperti aku akan menikah atau apa, tapi…

Aku serius pada Daina.
Yeah, aku akan melamarnya, datang ke orang tuanya dan memintanya mendampingiku selamanya, segera setelah kontrakku usai, kurasa.
Kelihatan sulit? Itu sebanding.

“Tinggal disini…?” Kepala desa mengulangi ucapanku,

Aku diam saja tanpa menanggapi, apa ucapanku tadi kurang jelas?
Pria tua itu tampaknya menyadari aku sedang sebal, inilah sebabnya aku kurang suka berhadapan dengan orang tua, terlalu banyak ditertawakan.
Dan sekarang ia dan pegawainya tersenyum hangat, membuatku salah tingkah sendiri, aku membuang muka kearah pintu.
Menatap lantai kayu berwarna cokelat gelap yang dilapisi karpet tebal, cukup nyaman sebagai alas.

“Tentu saja kami bangga mendengarnya, dengan senang hati, kau sangat diterima disini.”

-
-
-

Aku menarik nafas, memperlambat langkahku, aku mendengar suara langkah kaki yang lain, didekatku.
Daina sedang berjalan santai mengikutiku.

“Kak…” Ia memanggil, ditangannya aku melihat keranjang besar yang ditenteng, makan malamku.
Dingin mulai terasa karena hujan baru saja reda,

“Mengapa baru saja pulang? Lama sekali, ada urusan apa dengan Kepala desa memangnya?” Daina seperti tidak percaya aku baru saja pulang padahal sudah waktunya makan malam.
Memangnya aku semalas itu?
Aku tersenyum hambar menyambutnya, Daina menggandeng tanganku seperti anak anak, kaki jenjangnya menapak telanjang diatas tanah basah.

“Habis mandi?” Tanyaku, melihat rambut gadis impianku basah, aroma wangi shampoo menggoda indera penciumanku, “Tidak biasanya,”

Daina menepuk bahuku, “Enak saja tidak biasa!” gerutunya berang, “Memangnya aku jarang mandi, apa,”

Aku tertawa, "Aku suka wangimu, tidak buruk,"
Gadis pujaanku hanya mencibir menanggapi pujianku sebagai ejekan,
Entahlah, mungkin karena biasanya aku hanya mengatakan hal hal keji padanya?
Aku merasa, betapapun aku berusaha keras memberikan hint-hint bahwa aku suka padanya, ia tidak pernah memberikan respon seperti yang kumau.


Daina mengulangi pertanyaan yang sama.

“Ada apa sebenarnya, kak?”

Aku ingin bercerita, tetapi disisi lain aku amat takut menambah beban pikiran Daina,
Jangan sampai aku membuatnya ketakutan pada hal hal yang belum tentu benar.
Maka kuputuskan untuk diam,
Menggeleng pelan, Daina sadar bahwa aku tidak ingin menjawab, sungguh jika soal seperti ini mengapa ia jadi amat peka?
Naluri persahabatan Daina sangat baik.
Dia anak yang bersahabat.
Mungkin aku akan bercerita, tapi tidak malam ini,
Tanganku erat menggenggam tangan Daina sementara kami berdua berjalan dibawah hamparan bintang.

“Kau dengar saja ini,” ujarku pelan, “Aku pasti akan melindungimu, apapun yang terjadi.”


+++
 
Tasuku

Beberapa hari setelahnya, lagi.

_____________________________________
__________________________________



“Ya, ya, aku tahu itu kak,” Aku menimang apel ditanganku, mengecilkan volume headset,

“Kau harus makan dengan benar, ya, apapun yang terjadi, tunggu aku pulang, kalau tidak bisa, berikan kabar, jangan bepergian sendiri,” Suara Kak Ari kedengaran cemas, seandainya ia ada disini, ia pastilah bicara sambil menepuk nepuk kepalaku.

“Oh ya, kenapa aku tidak bisa melakukan panggilan hologram?” kakak bertanya kebingungan, tidak puas sekali hanya dengan mendengar suaraku saja, aku sampai tersedak apel yang sedang kukunyah,


Ketahuan!


“A… aku sedang memodifikasi ponselku… masih percobaan,” Sial, mengapa kikuk, Tash?
Kakak pasti menyadari ada yang tidak beres denganku, karena berikutnya ia bertanya lagi,

“Sejak kapan kau suka utak atik mesin?”

“Y-yaaa hanya coba coba saja, aku sedang tertarik teknologi baru,” Nada suaraku sengaja dipanjang panjang supaya terdengar menyakinkan.
Kak Ari diam sesaat diseberang,
Kelihatannya ia tidak begitu percaya, tapi ia memutuskan untuk mengalah,

“Yah, whateverlah, jangan melakukan sesuatu yang membahayakan dirimu,”

“Itu sudah jelas, oh ya, kak,” aku bermain melemparkan apel ditanganku, lalu menangkapnya lagi, “Aku kangen…” aku mendekap erat telepon itu diatas dadaku, menatap kearah langit langit dengan temaram penerangan seadanya, aku menutup mata,
Aku bisa membayangkan senyuman kakakku disana pastilah mengembang penuh kebanggaan.
“Kapan kau pulang? Aku ingin mendengarmu bercerita bidadarimu itu lagi,”

Kak Ari kedengaran menghela nafas pelan, “Sama, Ada banyak yang ingin kubicarakan, entahlah kalau pulang, mungkin tiga atau empat bulan kedepan,
Dan jangan singgung singgung soal bidadari lagi, ok?”

“Kenapa?”

“Kau mirip sekali dengannya,”


Aku tertawa lepas.
Ya kan? Pasti tidak jauh jauh.
Kakakku kuat seperti dewa perang… Karenanya aku tidak khawatir,
Aku adalah kecintaan kakakku didunia ini, tidak ada seorangpun yang bisa mencintai adiknya sehebat ia mencintaiku, sejak kami kecil, kakak selalu melindungiku,
Kami mungkin yatim piatu didunia nyaris kiamat yang menyedihkan, tapi aku bahagia.
Ya, aku bahagia, aneh bukan?
Kakakku menjadi saudara, sahabat, ayah, sekaligus ibu bagiku, mungkin juga aku sudah lupa rasanya punya ibu,
Karena selama ini kakaklah yang berperan sebagai Ibu bagiku…

“Mirip apanya? Hmm… kalau kakak suka, mungkin aku juga suka, kita kan mirip,”

“Mungkin…” sahut kak Ari hambar, aku melanjutkan,

“Apa dia cantik? Dia pasti gadis yang luar biasa sampai membuatmu mabuk kepayang,”

“Aku telah menduga kau akan ngomong seperti itu, Kau tahu? Aku belakangan makin sering mendengar suaramu, gila sekali, sepertinya berada ditempat seperti ini membuat kewarasanku dipertanyakan,”

Mengerinyitkan alis, aku masih tersenyum senyum, “Kalau begitu aku akan membuatkanmu vitamin yang manjur dan kukirim via pos, Kau hanya terlalu letih,” Aku menenangkan, "Beritahu aku, kau ada didaerah mana di Thailand? Aku akan memaketkan vitamin yang banyak kesana, beritahu aku alamatmu,"

“Kau dan hanya kau, itu saja sepertinya yang kubutuhkan disini,” Ia menggerutu tidak jelas, sekalian menghindar.
Kak Ari tidak terpancing, sepertinya ia sudah mengira aku akan bertanya lebih jauh, Ia tahu aku akan menyusulnya dan itulah yang akan kulakukan jika ia memberitahu padaku keberadaannya saat ini.
aku kesinipun karena aku berharap dalam waktuku yang sedikit ini aku bisa bertemu dengannya, jika tidak bisa ketemu juga, minimal menghibur hati tak apa kan?

Bunyi ketukan pelan menyadarkanku, Kepala Daina muncul dari celah pintu, nampak hati hati, aku melambaikan tangan mengisyaratkannya untuk masuk,
Daina melihat aktifitasku dan ponsel diatas dadaku, ia mengerti, ia hanya berdiri saja didepan pintu tanpa melakukan apapun juga tanpa berkata apa apa.

“Ya, ya, baiklah, aku paham, hati hatilah disana, Aku mencintaimu juga,” Aku menutup teleponku, masih rebahan, menggerakkan kepala kesamping, Daina mengkerut disisi pintu, menatap lantai.


“Ada apa? Kau nampak pucat?” Tanyaku pada Daina,



++++
 
Last edited:
Daina.


_______________________________
__________________________



“Aku mencintaimu,” Ia mengatakan hal itu, lalu mengakhiri pembicaraannya di telepon,
Tentu saja aku tahu apa artinya itu.
Dia sudah punya seseorang, kan?

‘Artinya Anak ibu sudah jatuh cinta…’

Cinta itu apa? Aku tidak paham, aku belum pernah mengalami ini sebelumnya.
Terasa seperti pungguk merindukan bulan, setelah beberapa minggu ia disini dan aku jadi sering bertemu dengannya,
aku seperti orang gila yang aneh kalau sehari saja tidak melihatnya.
Tasuku nyaris tidak pernah pergi keluar, di hari pertama aku berkunjung ke kamarnya saja ia sudah memasang peralatan aneh beserta tabung tabung percobaan berasap dikamarnya,
Aku dilarang menyentuh karena ia bilang beberapa material beracun atau apalah, ia selalu mengurung diri dan mengerjakan sesuatu yang disebutnya ‘penelitian’.
Bahkan ia menyewa satu kamar kosong lagi disebelah kamarnya untuk membuat lab dadakan.
Ia tampak terobsesi, namun sosok yang terobsesi itu malah berkilau dimataku.
Aku mendatanginya setiap hari, terhipnotis oleh daya pikatnya.

Ia sudah sering menceritakan tentang proyek, impiannya, banyak hal…
Meski demikian, sebanyak apapun aku bertanya atau sebanyak apapun ia memberikan jawaban padaku, aku seperti tak pernah kehilangan minat.
Itu belum semua, ada banyak hal didalam dirinya yang tidak kutahu.
Mungkin aku tahu motivasinya, rencana masa depannya, tapi tetap saja… Tasuku tidak pernah ingin membicarakan tentang dirinya, sedikitpun.

Tidak, ini berbeda dengan biasanya, biasanya aku memang penuh rasa ingin tahu, tidak seperti ini.
Ia membuatku tidak tertarik pada apapun, dunia disekelilingku, tidak ada yang lain kecuali dirinya.

Kenapa aku seperti ini?

Pernah suatu ketika, pada malam hari dan waktu yang sama seperti sekarang, berkunjung ke kamarnya, ia tampak serius mengamati televisi kecil yang menayangkan berita kekerasan yang terjadi diluar negeri,
Ia menatap layar kecil yang gambarnya tidak terlalu bagus itu dengan serius, matanya memancarkan kesedihan.

Aku mendekat kesampingnya, melihatnya duduk dilantai memeluk lutut, ia tegang dan kaku, aku menyentuh bahunya, ia seakan tidak menyadari keberadaanku, terpaku melihat informasi demi informasi yang disampaikan di layar kaca.

“Sedih ya…” Ia bergumam pendek, “Dunia sudah sekarat begini, mengapa masih menyakiti satu sama lain?”

Aku ikut ikutan melihat kearah layar televisi, tersiar berita penghancuran vihara, bentrok antar umat beragama dan yang paling parah, Invasi Undead selalu datang melengkapi kekacauan yang ironisnya, justru dimulai dengan perbuatan manusia itu sendiri.
Seakan sudah skenario Tuhan.

Aku bergidik.

“Aku sedang membuat obatnya,” Ia berkata lagi tanpa menunggu jawabanku, bahkan akupun tidak ingin menjawab, tidak tahu harus bilang apa. ”Obat yang bisa menghentikan virusnya, dengan demikian, mungkin saja semua orang, semuanya, mereka bisa berbahagia… Dunia yang lebih baik akan tercipta…”

Aku menggeleng, menyaksikan video pembakaran dan Invasi disebuah kota, “Manusia, selalu yang paling mengerikan pada akhirnya,”

Ia menyentuh tanganku, meremasnya pelan, “Orang paling berpengaruh bagiku pernah mengatakan, manusia itu, makhluk yang apabila ia jahat, ia mampu melakukan kejahatan itu dengan cara lebih rendah daripada binatang, tapi jika ia baik, malaikat sekalipun tidak bisa dibandingkan dengan hatinya, selama manusia seperti itu masih ada, dunia ini masih berharga untuk diselamatkan.”

Aku memandangnya prihatin, bertanya tanya siapa kiranya orang yang paling berpengaruh bagi Tasuku yang bisa mengatakan kata kata seindah itu, bahasanya indah, menggunakan kiasan untuk menggambarkan kenyataan.
Masih menyakitkan, benar, tapi juga menyampaikan akan adanya harapan disaat bersamaan.

“Setiap orang selalu berhak untuk kesempatan kedua,” Tasuku menatapku penuh kasih, “Mungkin saja, setelah bencana ini berakhir, mereka jadi lebih bisa menghargai kehidupan satu sama lain…”

Entah darimana kepercayaannya itu berasal, tapi seandainya dunia yang seperti itu ada, dan ia ingin menciptakannya…
Akupun ingin berada disana untuk melihat mimpi itu terwujud.
Impiannya, Impian Tasuku…

Diamku sepertinya diartikan lain oleh Tasuku, karena selanjutnya yang dikatakannya adalah
“Maafkan aku, aku telah memaksamu memikirkan yang aneh aneh, Anggap saja begini…, Dibandingkan kenyataan yang berat dan kejam semacam itu, hidup didunia mimpi bersamamu pastilah jauh lebih baik,”

Aku mendengarnya bicara, wajahku pasti terlihat sangat datar, karena aku tidak merasakan emosi apapun saat ia menyebutkan tentang ‘duniaku’.
Aku hanya mendengarnya, fokus pada setiap kalimat yang diucapkan.
Ia yakin, tetapi suaranya bergetar.

Betapa banyaknya orang yang ingin kau selamatkan… lalu apakah kau sendiri juga butuh pertolongan?

Duniaku?

Tapi seluruh duniaku adalah kau sekarang…
Kau, dan mimpimu…

Tasuku baik, teramat sangat baik, aku juga tidak tahu darimana datangnya perasaan ini. Kebutuhanku akan adanya dirinya semakin tak terbendung.
Kendatipun ia bersikap wajar dan tidak memiliki gelagat seakan ia menyukaiku seperti seorang terhadap kekasihnya,
Ia memang baik pada semua orang, ia selalu mengatakan hal hal baik, tutur katanya santun dan mempesona…
Kau takkan menemukan seseorang lain sebaik ini.
Ketika Tasuku tidak suka, dia akan mencari cara menolak yang sehalus mungkin.
Menolak, Tetapi menunjukkan penghargaan.
Tidak akan bisa dibenci.

Ia kadang mengigau ditengah malam, Ia memanggil manggil Ibunya,
Kalau sudah demikian, aku akan segera datang, memeluk dan menenangkannya,
Ia basah oleh keringatnya sendiri, membuat piyamanya menghangat karena suhu tubuhnya naik,
Lalu membiarkannya tidur kembali dengan tenang, membetulkan selimutnya dan memeluknya hingga pagi menjelang,
Tidak kupedulikan aku yang mungkin akan sakit kepala karenakurang tidur, aku hanya ingin menjaganya.

Dan sekarang aku mendengarnya mengucapkan kata cinta pada seseorang yang tak kutahu...
Tidak paham darimana datangnya, dadaku terasa nyeri luar biasa.

-
-
-

“Kenapa pucat?” Ulang Tasuku menyadarkanku dari lamunan, ia melambaikan tangannya agar aku mendekat,

Tapi ia kelihatannya sudah punya pacar kan?

Ia pernah membicarakannya kan? Ia punya seseorang yang berpengaruh baginya, ya, mungkin saja itu,
Benar juga, lelaki setampan dia… mana mungkin tidak, kau saja yang bodoh, Daina…

Mengapa aku sakit?
Mengapa aku berharap ingin menyimpannya untuk diriku sendiri?
Aku egois dan tidak berkaca, Berharap terlalu tinggi…

Aku duduk dilantai, samping tempat tidurnya, berusaha bersikap biasa,
Ia langsung menggenggam tanganku erat, seperti bayi.
“Aku sudah menunggumu, lama sekali,” Ia berkata pelan,
“Sudah makan?” Aku menunduk, Tasuku mengatakan ‘ya’ yang hampir tak terdengar.
“Penelitiannya bagaimana?”

“Parah,” Tasuku menutupi matanya dengan telapak tanganku, “Aku meledakkan sesuatu lagi,” Ia setengah bercanda, aku memberikan tanggapan dengan senyuman tipis,

“Jangan putus asa,” hiburku, “Pasti bisa,”

“Kau berbeda,” Ia menggumam, sinar matanya redup ketika ia mengingat ingat, ia mengelus jari jariku lembut,
“Sewaktu aku masih di Universitas, semua orang menertawakanku, mereka menertawakanku yang mengatakan ingin membuat obatnya, mereka bilang mustahil…” Ia mengelus semakin cepat, lalu melambat lagi, “Aku… ditanggapi seperti itu, malah jadi semakin bersemangat, aku tidak tahu, aku hanya ingin berusaha,”

Aku menyandarkan kepalaku disisi tempat tidur Tasuku, kepala kami berdekatan,
“Tuhan mendengar mimpimu, Tasuku, kau akan mewujudkannya…” Mulai sekarang aku akan mengatakan hal itu, selalu, selalu… mendoakan agar kebaikan selalu dilimpahkan untuknya…

“Hanya 2 orang yang mengatakan hal seperti itu,”

“Hee?”

“Pertama kau,” Tasuku memain mainkan tanganku, “Yang kedua, kakakku…”

“Kakak? Yang waktu itu kau ceritakan?”

“Hanya satu,” Tasuku menatapku, “Tapi kalau punya adik perempuan sepertimu pasti menyenangkan sekali…”

Aku tertawa getir, adik perempuan, ya…
Kenapa sakit lagi? Kenapa?
Diam diam aku menarik tanganku yang masih berada dalam genggamannya, merasa tidak enak.

Diluar dugaanku, Tasuku malah menyentuh wajahku yang menunduk, ia menengadahkannya dan sekali lagi, sorot matanya amat kejam, “Jangan kecewa, dong,”

Aku memukul kepalanya yang pirang itu dengan bantal, tawanya meledak.

Ia membacanya!
Sempurna sekali!
Dan aku bodoh, aku benar benar bodoooohh!

Grazie,” Senyumannya membutakan mataku, lalu ia mengucapkan kata kata dalam bahasa asing yang tidak kumengerti artinya, walau aku tahu itu adalah bahasa Italia dan logatnya lagi lagi sangat fasih,

“Artinya?” Aku memeluk bantal,

“Semoga Tuhan memberkati kita…”

Aku tahu ia sedang mendoakan impiannya sendiri, tidak ada tempat sedikitpun untukku…

Cinta?

Detak jantungku semakin tidak beraturan.


++++
 
Tasuku.


____________________________________
____________________________



Cinta?

Aku tidak pernah terpikir akan jatuh cinta sebelumnya,
Bersama Daina terasa nyaman, aku tahu ia memiliki rasa itu padaku, tapi aku sendiri belum memutuskan akan bagaimana.
Aku bukan tipe yang bisa terbuai semudah itu kan?

Ini tidak akan berjalan bagus, Tash, Ini tidak bekerja untukmu.

Suara hatiku berkata.
Mungkin aku akan menyakitinya karena aku tidak bisa berada di satu tempat secara terus terusan.
Kalau kakakku pulang niscaya aku juga harus segera angkat kaki dari tempat ini,
Aku tidak cerita apapun pada kakakku, dia pasti cemas.
Dan kalau untuk penelitian, tempat ini sempurna, tapi untuk bekerja, tidak ada masa depan.
Selain tidak ada perusahaan obat obatan besar yang mungkin tertarik membuka cabang mereka di provinsi kecil ini, juga sangat sulit mendapatkan akses apa apa yang kubutuhkan.
Banyak yang harus dipikirkan.
Pada akhirnya, hal hal seperti perasaan melankolis dan semacamnya hanya menghambat.

Daina bergelung disampingku, aku tidak tahu mengapa aku membiarkannya,
Malah sepertinya aku yang mengundang.
Aku menariknya keatas tempat tidurku dan ia sama sekali tidak melawan,
Ya, yang benar saja, Dia suka padaku, mana mungkin ia melawanku? Akulah yang keterlaluan disini.
Kuletakkan kepalanya diatas pangkuanku, betapa jahatnya, aku malah menikmati hal ini…
Ia membuatku merasa hebat dan berkuasa, aku merasa bisa melakukan apa saja, apa saja…

Apa ini cinta? Aku tidak pernah merasakannya, aku tidak bisa membedakannya.

Selama ini aku hanya berada dibawah bayang bayang kak Ari sehingga mataku terlalu buta.

Aku meletakkan tanganku diatas bahunya.
Sejuk kulit Daina membuat geli ujung ujung jariku, membuatku terlena membuat pola pola acak disana menggunakan telunjuk.
Daina bergidik kegelian dan ia memejamkan mata, bahunya turun naik seirama nafasnya,

Perasaan sayang apa ini?
Tidak tahu harus berbuat apa dengan itu...

Sial, apa yang harus kulakukan? Aku tidak boleh begini…
Demi meraih Impian sempurna tanpa cela aku sudah memutuskan untuk membuang segala macam perasaan seperti ini dari hatiku.

‘Apa kau selalu seperti ini? Bicara hanya hal hal yang menyenangkan orang lain saja…’

Ya, Daina, kau tepat sekali, kau pikir kau pintar ya?
Kau lebih dari pintar, lebih dari yang kuduga.
Orang selalu mengatakan aku memang seperti ini, logika yang bicara, Tasuku yang lebih mendahulukan otak daripada hati, karena sikap seperti inilah yang paling cocok buatku.
Kau mengganggu, sangat menganggu,
Ironisnya, kau mengganggu karena hanya kau yang menyadari kelemahanku.
Aku yang sombong, merasa orang lain tidak sepadan dan merasa bisa mengatasi mereka hanya dengan topeng tanpa perlu menunjukkan siapa aku sebenarnya.
Jika aku berkata dengan jujur tentang rasa sakit dan lelahku, mungkinkah mereka membantu?
Jika aku mengeluh, mungkinkah masalah akan selesai?
Dan jika aku melampiaskan segala emosi yang kurasakan, mungkinkah segalanya bisa menjadi lebih baik?

Tidak, jawabannya adalah tidak.
Masih banyak hal hal yang lebih penting untuk dipikirkan.

Kakak benar, aku munafik.
Aku yang ketakutan jika aku keterlepasan bicara mungkin saja aku akan mengatakan hal hal bodoh penuh keangkuhan, semoga Tuhan memaafkanku.
-Kupandangi Daina-Hanya kau saja yang bisa mendesakku hingga ke titik ini.

Titik dimana aku dengan sangat terpaksa menunjukkan emosiku, atau tidak bisa menahannya lagi.

Dan ini harus dihentikan.

“Dengar,” Aku berbisik, aku tahu Daina memasang pendengarannya setajam yang ia bisa, membuatku ingin tertawa, sekaligus sedih mengingat apa yang ingin kuucapkan padanya, “Apapun yang ingin kau katakan padaku, sebaiknya kau menyimpannya untuk dirimu sendiri,”

Daina balik memandangku bingung, ia tidak mengatakan apa apa namun bola matanya bertanya ‘Mengapa?’,
Aku menatap langit langit, berlagak memandang kipas angin berputar diatas sana, “Karena, apapun itu, tidak akan bekerja untukku,”

Kena sekali, ia langsung murung, ah, aku tidak pernah sekonyol ini sampai menyakiti seorang gadis segala, walau ini bukan pertama kalinya aku menolak seseorang, tapi sekarang ini, aku bahkan tidak memberinya kesempatan untuk berpikir.
Betapa buruknya.
Aku memilih untuk tidak peduli, lalu aku bersimpati karena sesuatu yang patahnya disebabkan oleh diriku sendiri!

Daina duduk disebelahku, ia sudah tidak mengantuk lagi.
“Aku tidak boleh lagi kesini…?” Ia bertanya cemas, matanya berkaca kaca, tikam saja aku, kakak…

“Aku tidak melarangmu, aku senang berteman dengan siapapun,”

“Aku… Aku belum mengatakan apapun… aku…” Ia terbata,

Jangan membuatku semakin sedih, Dai…

“Bukan, aku hanya…” Bagus, Tash, carilah penjelasan yang baik, “Aku sudah bilang kalau… ini tidak cocok buatku, aku… aku ingin berkonsentrasi pada penelitianku, jadi untuk sementara hal hal semacam ini tidak akan bekerja pada kita,”

“Bagaimana kalau nanti…?” Tukasnya berani, “Aku bisa menunggu…”

Aku benar benar ingin mengacak rambutku sekarang.
Daina… Daina… Kau tidak tahu apa yang kau bicarakan, sayangku

Bahkan menunggupun memiliki batas.

“Masalahnya, aku tidak tahu sampai kapan…”

Daina mengangkat wajahnya, matanya memancarkan kesedihan, ia menarik tubuhnya menjauh, aku tak sadar betapa egoisnya jika aku tidak ingin melepaskannya, aku terlalu banyak berpikir sehingga saat aku menyadarinya, ia telah berada didepan pintu,

“Aku minta maaf…”


Pintu ditutup, yang tersisa hanyalah kesunyian serta ruangan kosong disekitarku.




++++
 
Daina.

__________________________
______________________



Ditolak…? Daina bodoh sekali, kau harus sadar siapa dirimu…
Dia begitu indah, dia baik, amat baik… amat sangat baik…
Dia bahkan melakukannya sebelum aku mengatakan apa apa,
Ia benar tentang perasaanku… Aku tidak bisa marah padanya…
Air mataku mengalir, aku tidak bisa menghentikan, aku yang berharap, aku yang terlalu banyak berharap…

Ini bagus kan?
Ini sudah sangat tepat…
Ia tahu apa yang terbaik untuk dirinya…
Bukankah kau sudah bisa merasakan saat pertama kali bertemu dengannya, Daina? Bahwa dialah orangnya,
Jika sungguh suka,maka apapun yang terjadi harus selalu mendukung, bukan malah sibuk protes.

Aku berlari keluar rumah, tidak tahan berada dibawah atap yang sama dengannya, kudengar sayup sayup suara ibuku memanggil, bertanya aku akan kemana, aku tidak menjawabnya,
Mungkin aku akan mencari udara segar sebentar, menetralkan hatiku yang benar benar kalut.
Apa setelah ini aku masih punya muka untuk menemuinya?

Tidak, tidak bisa…

Aku terus berlari tidak tahu mau kemana, sinar bulan menerangiku, aku menjatuhkan diriku, telentang diatas rumput.

Tampak olehku langit hitam dipenuhi bintang, aku iri pada ketenangannya.
Sementara dadaku malah bergemuruh seperti ini.
"Berisik," Isakku, "Berhenti! Aku tidak suka!"
Kuusap dahiku sendiri, menyibak helaian rambut yang menutupi sebagian wajah.




Tuhan, aku jatuh cinta.
Dan cinta itu sangat sakit.

+++
 
Daina (Lanjutan)


3 hari kemudian…

_______________________________
__________________________




“Bulat, kau tahu jalur perdagangan disekitar sini itu bagaimana?” Kak Ari bertanya padaku sementara aku mengelap meja makannya, Aku berpikir sejenak,

“Memangnya kenapa kak?”

“Apa mereka membawa bahan pangan beberapa bulan sekali dengan kapal besar? Biasa begitu?”

Aku mengerinyitkan kening, heran,
“Apanya? Kami biasa pergi ke kota sendiri sendiri atau titip, tidak pernah ada yang seperti itu segala macam… Lagipula ini bukan daerah rawan bencana alam,” Jelasku sambil berpikir, menebak nebak apa kiranya yang sedang dibicarakan oleh kak Ari.
Cowok itu duduk santai diberanda rumahnya, ia mengisap rokoknya dalam dalam tanpa memperhatikanku, Aku mengambil sekaleng bir dingin didalam kulkas,

“Ada apa? Ada masalah?” Kuletakkan kaleng bir dekat lengan kak Ari yang langsung meraih dan membukanya, ia minum dengan ekspresi muram, mau tak mau aku jadi cemas kalau kalau ada sesuatu yang mungkin akan terjadi kepada keluargaku dan semua orang didesa.

“Tidak,” Ia menjawab perlahan, “Aku hanya berpikir, mungkin sedang terjadi penyelundupan,”

Kembali aku melongo karena ketidakpahaman, menyelutuk begitu saja. “Kan ada polisi?”

Kak Ari mematikan rokoknya diatas asbak, menenggak bir kalengan ditangannya banyak banyak, ia kelihatan stress.
“Mereka punya ijinnya, ijin pengangkutan dari kepolisian, tidak heran sih, jaman sekarang apa memangnya yang tidak bisa pakai uang,”

“Hati hati,” Aku mengingatkan, “Biarkan saja mereka, itu bukan urusan kita, kau disini hanya untuk berjaga jika ada Invansi kan… Selama tidak berhubungan dengan Undead, jangan cari masalah sebaiknya…” Mau tak mau aku cemas juga, kakak kan orang baik…

Kak Ari menoleh padaku, dengan tangannya ia mengisyaratkan agar aku mendekat,

"Tidak mau," Bantahku, kakak langsung memasang wajah tidak senang, ia menanyakan alasannya, "Habisnya, kakak telanjang dada seperti itu," Mataku melotot pada kemejanya yang dibiarkan terbuka tanpa dikancing, memperlihatkan dada bidang serta otot perutnya yang terbentuk sempurna,
Kupalingkan wajahku, agak risih.

Kakak melirik kearah tubuhnya sendiri, lalu balik menatapku sambil menaikkan sebelah alisnya, tersenyum meremehkan seperti biasa.

"Apa? Jangan bilang kau naksir, bulat," ia menambahkan "Cuacanya panas sekali, Kau membuatku mimpi buruk saja," dibelakang kata katanya, aku melemparnya dengan serbet.

"Idiot," sumpah serapahku turun,

"Bagaimana kalau kubuka semuanya saja? Kau penasaran tidak?"

"Hentikan itu, kakak bodoh!"

Kakak menarikku cepat sekali, mengurungku dalam tubuhnya sendiri,
Ia memegangi kepalaku kasar,

"Aku kasihan padamu," Ia berkata seenaknya, "Jadi aku diapakan olehmu juga tak masalah, pasrah saja."

"Tidak perlu!" Teriakku meronta, "Sudah jadi homo jangan berubah lagi!"

"Memangnya siapa yang homo?!"
Kakak sudah dekat sekali, kukira ia akan menciumku, semakin dekat dan dekat...

Lalu ia membenturkan kepalanya ke kepalaku begitu aku sudah berada tepat dihadapannya,
Aku meringis.

"Sakit...."

"Memangnya siapa yang mau menciummu? dasar jelek!" Ejeknya lagi.

"Tapi ini benar sakit!" Kupegangi dahiku, ingin menangis, Ya kan! Kakak hanya mengerjaiku saja, seperti biasa,
Bodohnya aku, orang seperti kak Ari tipenya pasti tinggi, mana mungkin berhasrat berbuat yang aneh aneh padaku?
Melihat wajah memelasku, bukannya menolong sambil minta maaf, kakak malah bengong.

Kakak?

Ia menatap terkagum kagum, lalu kemudian wajahnya merona merah sekali.
Cepat cepat ia mendorongku menjauh, aku nyaris terjatuh, kasaaar!

"Jelek!" Makinya lagi, "Tidak menarik, jelek! jelek!"

Apa dirumahnya ia dan adiknya juga seperti ini?
Pasti begitu...
Kan' aku yang minta supaya aku bisa menggantikan -sementara- adiknya pada saat ia rindu...

"Bodoh," sahutku, mengulang kembali kata kataku sebelumnya. "Jangan ikut campur urusan yang tak perlu, aku takut terjadi sesuatu yang buruk padamu,"

Kak Ari menghela nafas.
“Kalau Undead saja tidak bisa membunuhku, apalagi manusia?” Katanya pede.

Aku berpura pura merengut, Namanya umur, siapa yang tahu, kak…

“Oh yah, Bulat,” Ia berkata lagi, “Kalau kuperhatikan kau agak kurusan,”

Tenggorokanku seperti tercekat, kakak nyadar sekali, padahal aku rasa aku lumayan pandai berakting ceria didepannya,
Ia betul, memang aku sudah beberapa hari ini tidak makan dengan benar,
Aku tidak ketemu Tasuku, juga tidak bicara apapun padanya,
Sepintas mungkin terlihat kekanakan, tapi aku tidak tahu akan kukemanakan perasaan ini setiap kali aku menatap wajah tampan Tasuku untuk kesekian kali.

Sakit sekali, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mengganggunya,
Sementara ia tidak menginginkan keberadaanku.
Menjauh adalah jalan terbaik,
Saat ibuku mengatakan sesuatu tentang cinta, aku tidak begitu mengerti,
Tapi kini aku mulai paham, Ketika kau mencintai seseorang, kebahagiaan orang tersebut adalah prioritas utama bagimu.
Cinta tidak mengenal tuntutan.
Walau terluka, kau selalu bisa menahannya.

“Aku sedang diet,” bohongku, “Jangan sirik kakak, aku akan jadi wanita wanita seperti di film Hollywood itu, makanya sekarang sedang giat berdiet,”

“Apa itu, Menjijikkan sekali…” Kak Ari memasang muka seperti habis dipaksa menelan bubur basi. “Kau itu tidak cocok kalau kurus, bulat, seperti guling bayi yang diikat dengan bedcover lalu disatukan dengan karpet saja,”

“Astaga... berisik, kau mana ngerti perasaan cewek” sanggahku menutupi, “Pacar saja kau tidak punya,”

Kakak menyeretku kedalam begitu saja,

“Bantu aku buat kue, kita akan memberimu makan sampai gemuk lagi,”

“Berhenti kak!” Aku mencoba mengelak, “Bukannya kita baru saja makan tadi?!”

“Ah baru juga satu piring, kau masih muat menelan rak piringnya sekalian,”


Kasarnya!


Tidak akan ada wanita yang bersedia pacaran dengannya kalau mulutnya seperti ini!
Ia berhasil membuatku cemberut sampai ingin menendangnya ke planet lain.
Tapi aku terhibur juga, kakak mengajakku kedapur, ia memasang celemek dan meletakkan bungkus tepung diatas kepalaku sampai rambutku putih semua.
Aku marah padanya meskipun mau tidak mau aku jadi tertawa, apalagi saat melihat mukaku sendiri.



Andai saja bisa melupakan cinta pertamaku selamanya setelah ini…

“Kak,”

“Mmm?” Kak Ari menggeledah isi lemari dapur mencari mixer, ia menemukan apa yang ia cari, tidak langsung menyalakannya melainkan mengambil bahan bahan lain juga, tangannya cekatan memecahkan beberapa butir telur.

“Kalau sesuatu tidak berjalan sesuai apa yang kakak inginkan, apa yang kakak lakukan?”

Punggung tegap kak Ari berbalik, ia yang semula tidak mempedulikanku mendadak jadi menaruh perhatian.

“Bulat…?” suara baritone nya bergetar memanggil.

Kakak berhenti tepat didepanku, air mataku sudah merebak membuat apa apa yang kulihat jadi buram.
Sentuhan ragu ragu mengusap pipiku, aku pasti kelihatan konyol sekali saat ini, muka dan rambut penuh tepung, lalu menangis sampai keluar ingus pula.

“Kau kenapa? Apa ada sesuatu yang terjadi?” Kak Ari membetulkan anak anak rambutku yang meriap kemana mana, “Aaaah, coba kulihat,” Terdengar suara srek-srek ia menyambar beberapa lembar tisu sekaligus. “Jelek sekali wajahmu, lihat, kalau ingusnya jatuh kedalam adonan bisa gawat kan, tidak higienis,”

“Diam,” Bentakku, “Aku sedang sedih,”

Kak Ari ber-oh panjang menyebalkan.

“Berani melawan rupanya sekarang yah,” Aku mengusap air mataku, muka ditekuk, dan siap siap menghindar karena ia mengangkat bungkus tepung lagi,

Tapi tidak jadi.

Sebaliknya, kakak meletakkan kembali barang berbahaya itu diatas meja, menepuk ubun ubunku,
“Kau sedih, ya-ya-ya-ya…” Bola matanya bergerak kekiri dan kekanan, meledek habis habisan, “Berarti kita gencatan senjata hari ini karena kita hanya akan melakukan sesuatu yang menyenangkan sampai moodmu kembali.”

“Melakukan apa…” Aku bersin tepung, kak Ari lagi lagi begitu cekatan mengurus ingusku yang berleleran.

“Apa saja, ini hari Daina sedunia,” kakak menepuk nepuk bahuku, menyingkirkan sisa sisa tepung dan kutahu itu percuma saja.

“Aku mau minta berlian,” Menatap lantai, aku berkata sembarang tanpa melihatnya, sebal.

“Ya ya, nanti kita beli, 300 biji,” Kak Ari mencuci tangannya diwastafel, ia menoleh lagi, “Jadi bikin kuenya? Aku akan buat banyakan jadi kau bisa bawa pulang kerumah juga,”

Mendadak perutku melilit lagi.

Pulang… Hari ini tidak ada pekerjaan apapun yang harus kukerjakan, bukan hari jadwal kapal ayahku beroperasi juga… oh yah…
Berarti setelah aku dari sini, otomatis aku pulang kerumah…

Pulang, berarti bertemu Tasuku lagi…


“Aku tidak mau pulang… aku mau disini saja…”


++++
 
Last edited:
Ari.


___________________________________
_____________________________




“Aku tidak mau pulang, aku mau disini saja…”


Hening, lalu....





...Eeeeehhhhhh?!

Mendadak aku mundur mencengkeram tepian wastafel dibelakangku.
Daina berdiri dengan posisi imut sekali, sial.
Wajahnya menunjukkan kalau ia sedang resah, tatapan matanya sayu.
I-ini ajakan yah? Ajakan?!
Apa sudah saatnya melangkah ke tahap selanjutnya?!

“A… aku… kalau kau berkenan denganku…” Suaraku hampir tidak terdengar,

Lagi lagi aku berbalik, ingin sekali membenamkan wajahku dalam bak cuci piring bersama sabun sabunnya sekalian.

"Kak..." Daina menyentuh lenganku, meminta kepastian dariku.
Satu, dua, tiga,
Aku meneguhkan hati.

“Tidak boleh! Kau masih 16 tahun dan aku masih belum siap jadi ayah!” Teriakku tidak jelas sambil mencengkeram bahu Daina, mengguncangkan gadis itu.

Daina menggeleng kebingungan, “Kakak bicara apa…? Jadi ayah?”



Eh? Bukan ya?


Lalu hening lagi.

Kesadaran, ayolah, kesadaran!
Kembalilah ketempatmu sekarang!
Fiuh, aku menarik nafas dalam dalam dan ting!
Sekejap saja sudah mulai waras lagi.

Aku membalikkan badan menghadap Daina, ia menunggu, ekspresinya bloon banget membuatku sadar akan posisiku.

“Kakak kenapa sih?” Bola mata cokelat hangatnya membesar penasaran,

“Tidak, uhukk, tidak apa,” Sahutku terbatuk.
Tentu saja tidak begitu, kan…
Daina bukan wanita seperti itu…,

“Errr yaa…” Daina bergerak gerak gelisah, “Mungkin aku baru mau pulang sekitar jam 11 malam… tidak apa apa kan’ kalau aku disini dulu? Hanya untuk hari ini saja…” mohonnya.
Aku manggut-manggut tidak paham,

“Masalah dirumah yah?” Tanyaku, Daina mengangguk, ia nampak ketakutan.

Heee…, Apa ia sedang bertengkar dengan orang tuanya? Aku bertanya tanya dalam hati.
Daina melihatku takut takut, ia juga was was akan ditolak, sialnya justru ekspresi memohon yang seperti itu malah membuatku ingin kabur kemana saja asal tidak disini.

“Baiklah, Bulat…” aku menyerah. “Tapi hanya malam ini saja, ya? Pondokku sempit, kau seperti gajah India didalam sarang semut kalau terus terusan disini…”

Daina tidak mempedulikanku, ia duduk dan menunggu, “Aku lapar,”

Sialan, bocah bulat ini.
Tadi dia yang bilang baru saja makan, sekarang dia minta makan lagi.
Kenapa aku pakai suka segala sih? Seandainya tidak naksir begini pasti sudah kutendang ke hutan dia.

“Kau itu hanya menumpang yah! Menumpang! Dan kau harus makan banyak, aku tidak mau kau kurus, itu menjijikkan, kau harus makan lebih banyak lagi, kau dengar? Dasar benda Bulat!”

-
-
-
-

Bisa ditebak, Aku benar benar menyesal membuat keputusan untuk menemani Daina.
Ia mengajakku naik motor boat dan membuatku nyaris, memuntahkan seluruh isi perutku sampai habis gara gara gaya menyetirnya yang gila gilaan itu.
Ia tidak bohong saat ia bilang ia berbakat dalam mengemudikan kendaraan apa saja.

"Kecuali pesawat, suatu saat aku benar benar akan mengemudikan pesawat!"
Ceritanya riang.

Sial, dia benar benar hobi ngebut.
Tanpa peduli padaku yang menyumpah nyumpah ia terus mengajakku bersenang senang menurut versinya, piknik dan membawa apa saja yang bisa dimakan.

Bahkan ia sempat meminta diajari menembak,
Memang tidak pandai dalam membidik, tapi ia mudah mengerti cara menggunakan.
Yah, memang begitu, kalau ingin menjadi calon istri seorang pembasmi Undead, minimal harus mengerti caranya mengunakan sepucuk pistol bukan?
Ah, mulai lagi.
Apa apaan aku ini...

Saat hari beranjak gelap, kami kembali ke pondokan, Daina menghabiskan waktunya belajar mengutak atik laptopku dengan terpesona, reaksinya lucu dan sangat kampungan,

Lalu ketika sudah pukul 10 kurang, Ia pamit pulang.

Sekarang tinggalah aku membereskan modem dan kabel kabel seorang diri.
Desa ini memiliki sambungan telepon tapi karena sinyalnya jelek aku malas sekali membuka buka internet.
Kuperhatikan laman terakhir yang dibuka oleh Daina, berita dunia, aku tersenyum, tidak tahu bahwa Gadis itu memiliki ketertarikan yang sangat besar terhadap dunia luar.

Hampir saja kuclose tab saat mataku melirik kearah kolom kecil berita lokal tentang penangkapan pengedar Narkotik diband4ra Don Mueang Thai,
Bukan beritanya, melainkan sosok lain yang tertangkap kamera difoto lampiran berita tersebut.

Penasaran, aku tidak ingin mempercayai penglihatanku yang mungkin saja kacau karena pengaruh rasa lelah dan kantuk setelah bermain seharian dengan Daina.
Kuperbesar gambar itu sampai skala yang cukup untuk membuatku bisa mengenali dengan jelas.
Cukup lama menunggu sampai load semua hingga akhirnya…

Tasuku?

Segalanya nampak berantakan, jigsaw puzzle yang harus kususun, Kenapa Ada Tasuku disana?
Bukankah Tasuku sedang menyelesaikan kuliahnya di London sekarang?
Aku memijit kepala.
Kubaca berita itu dengan seksama.

‘Berjasa menangkap bandar narkotika, tetapi anak muda ini menolak menyebutkan namanya.’

Anak muda?
Mungkinkah itu Tasuku?

Aku tidak mungkin salah mengenali adikku sendiri bukan?

Benar juga, sudah berapa lama aku tidak melakukan panggilan hologram dengan adikku?
Ia selalu menolak dengan berbagai alasan kapanpun aku memintanya.
Tidakkah ini terlalu aneh?
Aku percaya Tasuku, tapi...
Memastikan tak ada salahnya bukan?
Tanganku cepat cepat memijit keypad ponsel, mencoba menghubungi Tasuku.

Diluar jangkauan.

Malam semakin larut dan aku masih berpikir, tidak bisa tidur walau sekeras apapun aku mencoba.
Apakah adikku membohongiku?

+++
 
Tasuku.

Beberapa hari setelahnya…


______________________________________
__________________________________



Aku termenung duduk diatas kursi anyaman panjang tepat didepan penginapan,
Benar kata Daina dulu, para Turis yang semula berkemah disini memenuhi halaman penginapan sudah sama sekali bubar,
Keadaan sepi seperti layaknya senja hari, hanya satu dua pekerja yang mengangguk ramah padaku sebagai tanda kesopanan mereka,
Sudah seminggu yah, atau nyaris 10 hari? Aku tidak bisa menghitungnya,
Aku ingat saat dimana Daina meninggalkanku,
Sepertinya sangat mudah, tapi wajah yang terakhir kali diperlihatkannya padaku mengusikku hingga aku tidak bisa konsentrasi dengan penelitianku.
Merasa bersalah sudah pasti, aku paling tidak tahan menyakiti seseorang,

Aku selalu begini, tidak bisa mengatakan dengan jelas kalau aku terganggu,
Sekalinya telanjur kukatakan, aku malah menyesal sendiri,
Sifatku yang seperti ini sering dimanfaatkan orang, kakakku benar, karena aku tidak bisa berkata 'tidak' dengan tegas kendati hatiku menolak.
Aku sangat munafik.
Sifat burukku, kelemahanku,
Yang paling parah adalah ketika aku sudah tahu -Biasanya aku selalu tahu dari awal jika ada seseorang yang memanfaatkanku- dan aku diam saja membiarkan.

Orang lain menganggapku baik hati.
Padahal aku hanya... menikmati mengawasi manusia lainnya, betapa kerdil dan piciknya mereka terutama ketika mereka menginginkan sesuatu dariku,
Mempelajari sifat mereka adalah hal yang menyenangkan, aku tidak bilang aku super sabar hingga tidak pernah mencela orang lain,
Kuingatkan saja, Tidak terdengar bukan berarti tidak pernah sama sekali.
Sedikit sekali orang yang pernah mendengarku mencela, karena aku tidak suka mengeluarkan kata celaan dimulut atau meremehkan terang terangan, Sejujurnya aku sering menertawakan mereka dibelakang, berakhir hanya didalam hati.

Betapa buruk sifatku.
Kak Ari kebalikannya, mulutnya sering mencela, tapi hatinya baik dan lembut...
Hanya kakakku yang pernah mendengarku mengeluhkan tentang orang orang, ia selalu memancingku untuk bicara.
Sama seperti hanya aku yang melihat sisi baik dalam dirinya yang sekilas tak berhati.

Jadi begitulah, bukan karena aku baik hati, tapi lebih karena aku terlalu sombong.
Karena aku bosan sekaligus ingin tahu, makanya kubiarkan saja.
Separuh alasannya lagi, aku kasihan pada mereka, jiwa congkakku kasihan pada mereka yang mungkin saja ingin meminjam separuh dari kekuatanku,
Egoku membuatku senang menjadi berguna.
Karena hidupmu pantas disebut hidup selama kau masih bisa berguna bagi orang lainnya.
'Orang lainnya' berarti 'Semua orang', atau 'Sebanyak mungkin orang', yang mana saja, buatlah dirimu bermanfaat, dan selama itulah kau layak untuk bernafas.
Entah apakah mereka punya maksud jahat atau baik padamu, lakukan saja.

Tenang saja,
Dimanfaatkan orang lain tidak akan membuatmu kehilangan atau rugi.
Justru perasaan antipatimu terhadap mereka yang disebabkan oleh diri mereka sendiri itulah yang membuat mereka merugi pada akhirnya.
Yak, mereka sendiri yang patut dikasihani pada akhirnya kan'?
Karena hal tersebut membuat mereka kehilangan teman sebaik dan seberguna kau.
Inilah cara berpikirku, Buat dirimu berguna, then, Nothin' to lose.

'Teman'? Mereka yang biasanya hanya datang kepadaku karena aku berguna.
Jika saja aku tidak dikaruniai kelebihan kelebihan yang mereka perlukan sebagai tempat mereka meminta pertolongan, apakah mereka masih akan datang kepadaku?
Betapa sombongnya aku,

Nyaris semua yang kutemui bersikap seperti itu,
Walau ada juga orang orang yang berbeda, orang orang yang sungguh bisa kupanggil 'Teman'.
Dan biasanya orang orang semacam ini pergi sama cepatnya seperti saat mereka datang.

Yang bertahan dan tinggal untukku hanya kakakku.

Daina tidak ingin memanfaatkanku, memang, tapi ia mengganggu.
Dan ini memang bukan pertama kalinya seorang gadis menaruh hati ataupun dekat denganku,
Aku cukup tahu hubungan wanita pria itu yang bagaimana,
Tunggu, dia tidak menyatakan cintanya, aku melarangnya sebelum ia mengatakan apapun, keterlaluan kan?
Kasar, meskipun nada suaraku saat itu selembut sutera, sok pintar menebak nebak hati orang, tukang mengatur perasaan, banyak alasan… Sungguh…

Kuakui aku begitu takut…

Kurapatkan jaketku, musim hujan berangin serta sisa sisa gerimis membuatku pening.
Teringat kembali percakapanku dengan Daina.

“Aku tidak boleh kesini lagi?”

“Aku tidak melarangmu, aku senang bertemu denganmu, tapi ini tidak akan bekerja, padaku, pada kita,”


Daina saat itu menampakkan sorot mata tidak percaya, matanya berkaca kaca, “Tapi… Aku… Aku belum mengatakan apapun,”

Bingung, aku malah bicara “Tidak perlu dikatakan, karena memang tidak perlu, bisakah kita tetap seperti ini saja?”

Tidak perlu, huh?
Perasaannya itu tidak perlu? aku sok tahu, yah…
Aku pantas dibenci, bukan karena aku suka dia, tapi karena aku begitu angkuh sampai bisa merasa tahu akan hati manusia selainku…

Tuhanlah maha pengasih dan penyayang yang entah mengapa selalu berbaik hati membenarkan setiap tebakanku.
Karenanya aku amat takut jika aku sampai berprasangka buruk.

Gadis itu memegang teguh kata katanya, ia tidak pernah sekalipun muncul dihadapanku lagi,
Pun mengantar makanan, aku selalu turun kebawah untuk makan, tapi tidak pernah menemuinya, kelihatannya ia sengaja bersembunyi didapur atau mengatur jadwalnya agar tidak bentrok dengan ‘jadwal keluar kamar’ku, tentu saja ia tahu karena sebelumnya ialah yang mengurus segala keperluanku disini.
Dan sekarang ia menyerahkan tugas itu kepada seorang pelayan lain yang aku tidak tahu namanya.
Membuatku susah payah melakukan pidato ulang peraturanku bahwa tidak ada seorangpun yang boleh masuk kamarku tanpa izin.

Dan pada siang hari, Daina selalu, selalu saja, menghilang entah kemana, Ia pernah bilang bahwa ia keluar tiga kali dalam sehari untuk mengantarkan makanan kepada tamu penting.
Tapi siapa dan dimana tamu ini, aku tidak tahu…

Aku setiap hari bertanya dan meninggalkan pesan kepada pelayan baru yang mengurus kamarku, ingin tahu apakah Daina meninggalkan pesan untukku, Sudah berhari hari dan tetap saja tidak ada, aku harus menahan malu karena akhir akhir ini muka si pelayan wanita berusia paruh 40-an itu jadi ikut ikutan bersemu merah dan ia terkikik geli seperti menertawakan adegan percintaan dalam opera sabun.

Aku mendesah, menyandarkan tubuhku pada kursi sambil mendengarkan bunyi rotan tua yang kududuki berderit mengenaskan, merana dalam perasaan bersalah yang membuatku tidak bisa mengerjakan apa apa selain melamun.
Ini menyebalkan karena aku tidak pernah seperti ini sebelumnya.

Bertanya tanya apakah gadis itu cukup berharga untuk kujadikan 'Teman'.
Seseorang yang mendekatiku bukan karena ia ingin aku berguna untuknya, tapi karena ia ingin berguna untukku...

“Tuan,” Aku menoleh, ternyata pelayan wanita itu lagi, dengan perasaan agak sedikit kecewa aku menanyakan ada apa, ia menjawab “Kamar anda sudah selesai dibersihkan, dan surat kabar baru yang anda inginkan sudah kami sediakan diatas meja tulis,”
Aku mengangguk, teringat sesuatu, lalu kembali mengajukan pertanyaan yang sama seperti yang selalu kutanyakan padanya beberapa hari belakangan,

“Daina menanyakan aku? Bagaimana dia? Apa pesanku sudah kau sampaikan padanya?”

Seperti biasa pula, si pelayan hanya mengangkat bahunya, tidak ada harapan.
Apa ia sudah benar benar tidak mau lagi bicara padaku?

Bagus, Tasuku, kau bajingan.

“Daina sering bercerita kalau anda membuat obat untuk virus Undead…”

Aku hanya meringis malu menanggapi ibu paruh baya itu bercerita, “Ia selalu membicarakanmu,”

Apa semua orang didesa ini sudah tahu aku meneliti obat obatan? Nice, memalukan…

“ Daina bilang kau hebat, ia selalu kagum pada kepandaianmu.”

“Dia? Yang benar?” Tanyaku antusias, oh well, ini tidak seperti aku ingin tahu apa pendapatnya tentangku…

“Tunggulah sampai malam, kalau kau mau,” Pelayan itu tersenyum padaku, “Ia merubah semua jadwal dan tugasnya, Ia mengambil alih tugas mengemudikan kapal, menukar pekerjaaan rumahnya dengan salah satu pegawai, dan jam pulangnya juga berubah, biasanya sore atau petang, tapi ia baru menampakkan batang hidungnya malam hari, pulang hanya sebentar untuk mengambil makanan yang akan diserahkannya pada tamu, ia lewat jalan belakang penginapan pula, Dia melarangku memberitahumu, tapi kau pantas mendapatkannya,” Ia menepuk bahuku menguatkan,

Apa apaan…

Aku bukan Lover boy atau semacamnya, aku cuma ingin minta maaf.
Tersenyum seadanya, kualihkan pandanganku dari sorot mata –Sorry-For-Your-Lose- Wanita berwajah ramah didepanku.


Malam yah… kulirik arlojiku, matahari sudah hampir terbenam,
Tak apa, siapa takut, aku harus sesegera mungkin meluruskan masalah ini,
Agar tidak ada satu halpun yang akan menggangguku memusatkan perhatian pada penelitianku kelak.

-
-
-

Kutepuk nyamuk dipipiku keras keras,
Sudah nyaris 4 jam aku duduk disini, aku sudah cukup sabar, tapi tidak sekalipun kulihat batang hidung Daina muncul atau bahkan masuk kedalam penginapan.

Ia kemana sih?

Ingin sekali aku menarik pipinya yang bulat bagaikan bakpao itu.
Eh? Tunggu, kau ini bicara apa, Tasuku!
Selesaikan urusanmu, minta maaf, lalu minta jadi teman lagi, beres.

Menguap, aku nyaris tertidur,

‘Kau bodoh sekali angin anginan diluar begini…’

“Ini karena kau,” Aku menyahut asal, tersengat kantuk, sudah beberapa hari yah aku tidak cukup tidur? Antara gelisah memikirkan Daina dan juga mencatat data data… “Coba tidak usah pakai acara ngambek segala…”



Aku tersentak,



Tidak ada seorangpun disampingku.
Nah, aku jadi pengkhayal sekarang, aku sudah sering mendengar suara kakakku, bicara sendiri seolah bicara padanya, tapi ini kakakku, yah…

Suara orang lain selain kak Ari yang kudengar pertama kali antara sadar dan tidakku,
mengapa justru dia?
Aku seperti mendengarkan suara Daina, ia seolah terus menerus bersamaku walau kenyataannya aku tidak pernah lagi bertemu dengannya sejak lebih dari seminggu lalu,

Bunyi berkeresek mengganggu pendengaranku, aku bangkit dari duduk, pegal sekali rasanya, memaksakan diriku untuk melihat, suasana tampak lengang sekarang, jelas saja, jam makan malam sudah jauh lewat sedari tadi, aku berjalan hingga kesamping bangunan untuk melihat lebih jelas apa saja yang telah kuabaikan, mengenali siluet ramping yang menghantui alam bawah sadarku belakangan ini.

“Daina!” Panggilku, “Tunggu!” Oh tidak, ia mau kabur, kami berkejaran, secepat kilat aku langsung mencegatnya,
Daina memberontak dalam pelukanku,

“Lepaskan aku!” Sekuat tenaga ia meronta, tentu saja tenagaku lebih kuat, ia menyandung kakiku, bermaksud membuatku terjungkal tapi malangnya aku malah oleng dan menimpa dia, Reflek aku menyelipkan tanganku melindungi bagian belakang kepalanya,
Kami jatuh diatas semen, Daina hampir menangis kesakitan, susah payah aku menepuk nepuk pipinya supaya ia tidak bersikap berlebihan.

“Kau ini seperti mau disembelih atau apa,” Keluhku, masih berada diatasnya, merapikan rambut berantakannya, “Aku tidak akan mengekspormu ke Paris, tenanglah,”

Daina membuang mukanya kesamping, mengesalkan…
Karena sebal aku jadi menangkupkan tanganku dikedua pipinya, memaksanya agar memandang kearahku. “Tatap aku,” Ujarku memerintah, Aku menyesal memintanya.
Karena sekarang aku melihat apa yang disembunyikannya dariku lebih jelas dari apapun.

Wajah memerah karena takut, bahagia karena melihatku, sedih juga, wajah seseorang yang mencintaiku.

Ayolah, Tash,
Kau laki laki, semua laki laki tahu betapa menyenangkannya ketika seorang gadis memasang ekspresi seperti ini untukmu, ekspresi memohon agar kau menyentuhnya sekaligus menyuruhmu pergi tapi tidak bisa melakukan apapun untuk memaksamu.
Ekspresi yang membuatmu merasa berkuasa.



Tidak, ini sinting, aku tidak ingin berkuasa.
Aku bukan orang gila kekuasaan yang haus mengontrol hidup orang lain.
Aku menggeleng kuat kuat sambil menutup mata.


“Kau belakangan menghindariku, yah?”


Dibawahku, Daina terlihat seperti menahan nafas, “Kau yang bilang tidak ingin diganggu,” katanya lemah, kurasa kalau aku mendesaknya sekarang ia akan benar benar patah.
“Aku hanya tidak bisa menahan diri untuk tidak mengganggumu saat aku berada didekatmu, jadi aku berpikir, lebih baik tidak usah dekat sama sekali.”

Ha? Jujur sekali... Dan ini semua tentangku...

Aku balik bertanya, “Kau yakin? Tapi kau sendiri akan jadi yang paling menderita kalau kau melakukan itu,” Pembicaraan macam apa ini?
Seolah aku yakin sekali ia tidak bisa hidup tanpaku!

“Tidak apa apa, kalau kau senang, kau senang kan? Jika dengan begitu aku bisa membuatmu senang, aku tak masalah,”

“Justru akan… lebih menggangguku…” Aku melanjutkan kalimatku satu demi satu, berjuang agar jangan sampai salah ngomong, “Kalau kau memusuhiku seperti ini,”

“Aku tidak memusuhimu,” Tolaknya, “Aku hanya…”

“Hanya…?” Aku menunggu.

Daina ragu ragu memandangku, “Aku takut… kau marah…”

Kembali aku terdiam,



Tolol, aku tersentuh.



Bagaimana aku harus menghadapinya?
Satu lagi hal yang kumengerti tentang dirinya, ternyata Daina tidak hanya hangat, tapi juga lembut dan perasa…
Perasaannya teramat sangat halus,
Ia mudah terluka, rapuh, seperti kupu kupu yang bisa hancur kapan saja ditanganku,

Wanita itu… seperti ini, ya…
kalau saja aku masih punya Ibu, mungkin ibuku bisa menjelaskan padaku,
tapi sayang sekali aku hanya punya kakak laki laki, tidak ada tempat bertanya.

“Bagaimana kalau aku marah…?” Tanyaku tanpa sadar, aku seperti ingin menampar mulutku sendiri atas kelancangan yang kuperbuat,

Aku ini kepribadian ganda yah?
Padahal bukan itu yang tadinya ingin kukatakan!

Kak, kau terlalu sering mengataiku ‘Setengah iblis-Setengah malaikat’,
mereka bilang ucapan adalah kata lain dari doa, makanya kata katamu berbalik menjadi kutukan sekarang.

Karena pergolakan jiwaku yang ingin menggodanya lebih dan lebih lagi, dan yang disisi satunya hanya ada secuil sudut pandang etika serta moral, aku sendiri kaget naluri macam ini muncul begitu saja,
Ingin mempertahankan, mengurungnya, membuatnya menjadi milikku.
Hanya kepadanya, begitu tak tertahankan.
Rasanya ingin mengerjainya sampai mati.

Mata Daina meredup gelisah, ia memperlihatkan wajah bersedih itu lagi, bukan, bukan sekedar wajah kecemasan yang biasa…
Melainkan Wajah teramat sangat ketakutan, begitu nyata, Takut membuatku marah, takut ditinggalkan, takut padaku…

“Aku minta maaf…” Bisiknya tercekat, suaranya gemetar membuatku tidak tega,
Hampir saja kata kata ‘Kalau tidak kumaafkan bagaimana?’ keluar dari bibirku.

Kak, Bunuh aku sekarang, lakukan saja dengan cepat karena aku tidak tahu caranya mengatasi lompatan lompatan tak terduga dalam dadaku.

“Aku hanya bercanda, tidak apa apa…” sahutku cepat,

Sampai kapan kau mau diatasnya, Tash? Oh baiklah…
Malas malasan, aku bangun dan membantunya berdiri, Daina masih saja menunduk jadi aku berinisiatif untuk bicara duluan.

“Kita masih boleh bercakap cakap bersama, kan?”

Daina mengambil nafas, ia mengangguk, tapi aku belum puas, kutarik lengannya hingga tubuh mungilnya membenturku, sedikit service? Dan ancaman, tentu saja, “Masih, kan?”

Gadis itu menoleh kesamping, “Kenapa laki laki selalu memaksa seperti ini…?”
Keluhannya membuatku ingin tertawa,

Kenapa ya?

Jika ada seorang wanita menjadikanmu sebagai seluruh dunianya, hartanya yang paling berharga, tentu kau mengerti perasaanku.

'Seseorang yang tidak memikirkan apakah aku berguna untuknya, tapi sebaliknya ia ingin selalu berguna untukku'.
Pertama-tama, ada satu hal yang menyadarkanku malam ini,

Yaitu, Daina berharga untuk kujadikan teman.

Daina bukan tipe menyusahkan dan bergantung, sebaliknya ia selalu berusaha agar ia berguna buatku,
Ia melakukan yang terbaik melebihi batasnya, Ia lemah kayak mau patah saja, tapi juga kuat melebihi besi.

Saat kau berbicara dengannya, kau akan tahu ia berbohong ataukah jujur, dengan amat jelas.
Bisakah kau bayangkan perasaanku sekarang, saat ia berkata bahwa ia tidak peduli ia sakit dan susah berpisah dariku, asalkan aku tidak terganggu olehnya?
Ia bahkan membuang harga dirinya dan mengakui bahwa ia tidak pernah ingin ditinggalkan!


Sekarang kau bertanya tanya apa yang membuatku ngotot ingin minta maaf?
Perasaannya itu!
Perasaan yang… walau kau tahu hal tersebut sangat mengganggumu, kau tidak bisa marah, tidak bisa kesal, menghilangkan semua dayamu untuk menyalahkannya.

“Aku akan menunggumu, seperti biasa,” putusku seenaknya, mempertahankan nada bicaraku yang sehalus beledu, kakak benar, aku seperti setan berwujud malaikat…

Bukankah seperti ini akan semakin sakit? Aku tidak bisa menjanjikan apa apa padanya, tapi dilain pihak aku memintanya untuk tetap tinggal.
Betapa tidak adilnya ini untuk Daina.

“Jadi teman lagi?” Kuulurkan tanganku, mengajak bersalaman, Daina memandangi sesaat sebelum menyambut, bahkan tangan lembutnya dingin dan basah oleh keringat.

Hey, apa aku semenarik itu? Seberarti itukah aku baginya?

Tidak, Aku tidak ingin tahu, aku sudah memutuskan untuk tak memberikan harapan macam apapun padanya bukan?

Masalah selesai, dengan ini selesai.

Bagiku.

Percakapan kami berdua terhenti kala beberapa orang yang tak dikehendaki kehadirannya muncul,
Gerombolan siberat lagi, aku nyaris lupa kalau mereka juga menginap ditempat yang sama denganku.
“masuklah duluan,” Aku berkata pelan membisiki Daina, “Aku akan melihatmu,”

Daina mundur, kelihatan tidak rela berpisah dariku, aku menepuk bahunya dan mendorongnya lembut.
Ia masuk kedalam dengan enggan.
Meninggalkanku seorang diri diluar.

“Berpacaran ditengah malam buta begini, nak?” Mulai lagi, Bajingan yang kuketahui bernama Hendric itu membuat gelagat seperti ingin memancing perkelahian, dilain pihak, bisa kulihat sorot kotor bernafsu kepada gadis yang baru saja menghilang dibalik pintu tadi dari mata abu abu keruhnya.
Aku memberikan senyuman paling ramah yang kubisa, walau hatiku ingin meninjunya kalau bisa.

“Kalian sendiri sedang apa? Ini sudah waktunya orang dewasa tidur,” sahutku,

Lelaki itu sepertinya tak sabaran ingin mendaratkan bogemnya kewajahku, tangannya ditangkap-lagi lagi oleh si topi tinggi- sehingga ia hanya bisa menggeram, “Bocah cantik, lihat saja nanti,”desisnya seraya meludah,
Aku tertawa santai,
Si topi tinggi menyapaku ramah, “Jangan hiraukan dia, Ah, ya, bagaimana penelitianmu? Mereka semua didesa ini membicarakan pemuda Jenius dari London yang menghabiskan waktunya untuk meneliti obat untuk Virus, Jika aku terinfeksi dan butuh bantuan, kurasa aku tahu kemana harus datang,”

Apa semua orang didesa ini tahu apa apa yang kulakukan? Astaga, berita kecil cepat sekali menyebar…
Aku sudah terbiasa berbasa basi, jadi menjawabnya mudah saja, “Terima kasih, dengan senang hati, malam yang indah, tuan tuan, semoga waktu kalian menyenangkan.”
Kuanggukkan kepala, sopan.
Sebelum akhirnya beranjak masuk kedalam penginapan.


Sayup sayup masih kudengar mereka bercakap cakap antara satu sama lain.

“Kita tidak boleh membuang buang waktu kita disini,” aku mendengar mereka saling bicara, “Tolong perhatikan gerakanmu, jangan sampai menarik perhatian penduduk lokal,”

“Pastikan juga kerjasama dengan aparat berjalan lancar, kalau metode ini bisa berhasil kita bisa menggunakannya untuk pengiriman setelah ini.”
Menajamkan telinga, aku menutup pintu.

Pengiriman? Metode?

Sebenarnya bukan urusanku, tapi aku tidak suka…


-
-
-


Aku mengistirahatkan mataku sebentar, kelelahan mengawasi mikroskop, sampai sekarang aku belum juga berhasil mengurai materi berbahaya virus Undead, walaupun aku mengerti garis besarnya tapi mengapa sesulit ini?
Obatnya pastilah ada didalam sana juga…
Padahal melalui teropong mikroskop aku bisa melihat mereka jelas sekali memakan satu sama lain dan berkembang biak, apa kiranya yang bisa mematikan mereka, atau merubah susunan cara kerjanya hingga kekebalan bisa terjadi?
aku memasukkan bangkai kelinci yang kuawetkan, menyuntikkan sampel virus kedalamnya, aku selalu membawa barang barang mengerikan semacam ini, dan aku tak suka orang mengutak atik kamarku, inilah alasannya,
Aku takut jika ada yang tidak sengaja menyentuh virusnya, hanya akan membuat kehebohan dan kecelakaan yang akibatnya amat fatal.
Tidak semua orang punya sampel virus Undead.
Hanya orang yang telah bersusah payah mengikuti serangkaian tes rumit tertentu serta sertifikasi yang cukup yang dapat bepergian dengan membawa serta sampel virus bersamanya.

Aku memasukkannya kedalam spesimen yang telah kusiapkan.

Nah, sekarang aku bisa melihat daging bangkai itu perlahan lahan berubah warna menjadi ungu pucat, berdenyut,
Bergerak gerak menggeliat, hidup. Tapi tidak memiliki daya karena tanpa otak,
Sekarang aku sudah membuat sepertiga dari Undead. Virusnya hanya makan dari sisa sisa nutrisi dalam daging mati ini, tidak punya kemampuan menyerang ataupun membaui mangsa, buta sama sekali.

Drak!

Dalam satu sentakan aku menusuk benda bergeliat itu dengan pinset ditanganku.
Kau punya wujud sekarang, jadi aku bisa melampiaskan kekesalanku,
Aku melakukannya berkali kali, sampai aku puas.

Kau Psycho, Tasuku.

Suara kakak membuatku berhenti, aku bersandar setelah barang haram dihadapanku tidak lagi menunjukkan pergerakannya,

“Habis, aku kesal… sudah sampai seperti ini, tapi tidak juga bisa memecahkannya.”

Kupejamkan mataku, bicara sendiri, kalau kakakku ada disini ia pasti menyemangatiku seperti yang biasa dilakukannya.

Sebenarnya dibilang tidak ada yang kebal dari virus pun sama sekali tidak.
Aku berpikir, selama ini tidak ada laporan mengenai adanya infeksi yang disebabkan oleh gigitan serangga.
Dengan kata lain, serangga seperti nyamuk, memiliki kekebalan tertentu terhadap Virusnya...
Bayangkan, jika saja serangga tidak memiliki sistim imun terhadap virus Undead, bumi pastilah dikuasai Undead dalam waktu 3 jam...

Tunggu!
Aku tersentak, bangkit dari kursi, menatap nanar kearah spesimen mati diatas meja kerjaku.
Bagaimana jika aku salah?
Bagaimana jika yang seharusnya kuteliti selama ini bukanlah virus, Undead itu sendiri, ataupun para manusia... melainkan... mencari tahu, makhluk apa saja, yang memiliki kekebalan terhadap Virusnya dan meneliti apa yang ada didalam tubuh mereka sampai bisa menghentikan pergerakan virusnya?

Kau yang paling tahu kita tidak akan menyerah, bukan? Hei, ayolah, bersemangatlah,
Kita akan menciptakan surga, ya kan?


Suara kak Ari berbisik lembut.
Aku sudah agak mulai tenang dan memutuskan untuk mencoba lagi.
“Tidak tahu,” Bisikku melantur, “Kau juga saat ini sedang sibuk memikirkan gadis cinta pertamamu disana,”

Cemburu?
Kau sudah besar, kan…
Kau tahu aku sayang padamu.
Bukan berarti aku melupakanmu dan juga impian kita,


“Kak…” Aku mengeluh, bermanja manja pada ruang kosong, “Apa seorang gadis bisa segitu mengganggunya…?”

Sebelum pikiranku yang mengambil wujud suara kakakku kembali memberikan bisikan setan,
Tiba tiba saja aku mendengar suara gaduh orang orang berlarian diloteng.
Ada apa? Tidak biasanya jam segini…

Keluar dari kamar untuk mengintip sedikit apa yang tengah terjadi, aku hanya melihat para pelayan dilorong berbisik bisik, lalu berlalu lalang kesana kemari, suara langkah kaki cepat cepat bersahutan,
Ya ampun, pukul berapa ini….

“Ada apa?” Tegurku, Mereka memandangiku setengah ketakutan.
Ini baru pertama kalinya ada keributan ditengah malam sejak pertama kali aku datang.
Lorong yang biasanya gelap pada jam segini sekarang malah terang benderang karena semua lampu tengah dinyalakan.

Salah satu dari pelayan itu mengadu tanpa bisa menyembunyikan rasa panik.
“Nona Daina… Menghilang…”


+++
 
Last edited:
[ame="http://www.youtube.com/watch?v=LVsaT76YECc"]http://www.youtube.com/watch?v=LVsaT76YECc[/ame]
 
Last edited:
Ari.


_______________________________
____________________________




Bersin tiba tiba saja melanda, padahal aku tidak sedang pilek.

Membuang rokokku diatas dedaunan kering, kuinjak puntungnya hingga nyala redup itu berakhir.
Apa ada seseorang yang sedang membicarakanku?
Tasuku… Ya, bisa jadi, dia suka bergumam gumam tidak penting menyebut nyebut namaku kan'?
Kembali aku menekan barisan angka diponselku,
Berniat meneleponnya lagi,
Sial, aku tidak bisa mengenyahkan pikiranku.
Rasa kantuk dan lelahpun lenyap sudah, masih saja nomor teleponnya tidak bisa dihubungi.

Dimana kau, dik?

Untuk mengusir depresi aku menyibukkan diri berkeliling tengah malam melanjutkan penyelidikanku akan kemungkinan adanya aktifitas ilegal didesa ini,
Daina benar, hal hal seperti ini bukan urusanku, aku bukan polisi,
Tapi mengapa perasaanku tidak enak?
Lagipula kepala desa sendiri sudah memintaku.
Sudah menjelang subuh.
Jika aku adalah kriminal, Waktu waktu seperti inilah yang paling cocok untuk mengadakan pertemuan rahasia, saat semua orang sedang tertidur.

Sial, pikiranku tentang Tasuku tidak dapat kuhilangkan,
Aku tidak peduli lagi dimana Tasuku sekarang, aku hanya ingin bicara padanya…
Mungkin berbincang dengan Tasuku akan sangat menenangkan hatiku,
Dia adalah obat yang sangat manjur jika aku merasa kurang enak.
Mengawasinya tumbuh, mendengar suaranya,
Adikku pintar, aku tidak menyesal tak melanjutkan pendidikanku dan mengalah padanya, sejak kecil kami menjaga satu sama lain, terutama seusai kejadian naas yang membuat kami kehilangan orang tua.
Sejak kecil saja Tasuku sudah menunjukkan bakatnya, ia menonjol dan selalu berhasil meraih berbagai prestasi, ditambah lagi keadaanku, karena pekerjaan aku harus berpindah pindah keberbagai Negara, memudahkan Tasuku mempelajari macam macam bahasa, dalam usianya yang tidak sampai delapan tahun, ia sudah menguasai 12 bahasa berbeda,

Ia meraih gelar S2 nya saat berusia tidak lebih dari 18 tahun,
Masing masing gelar ditamatkan hanya dalam waktu setahun setengah, Kupikir andai saja ia tidak memilih dunia kedokteran sebagai karir, mungkin saja ia bisa bekerja sebagai anggota senat atau kedutaan besar,
Aku sering bergurau bagaimana kalau ia mengikuti saja pemilihan presiden, dengan kemampuannya, ia pasti sanggup mengatur negaranya sendiri.
Tapi Tasuku tidak pernah berminat pada dunia politik.
Tasuku berhati lembut, ia tidak suka kekerasan dan rasa empatinya tinggi,
Tak heran karena sifatnya yang lurus itu ia selalu bisa menyampaikan suaranya dengan amat baik.
Anak itu selalu berkata dirinya sombong dan berusaha menekan perasaannya, tapi kurasa dengan kemampuannya yang memang sepadan dan usia mudanya, 'sombong' merupakan kata yang amat berlebihan.
Tujuannya pasti, fokusnya tak tergoyahkan, ia mungkin nampak lembek diluar tapi niatnya teguh.
Sekilas saja orang akan tahu betapa aku bangga padanya.


Nada sambung, lalu mati.


Hah, apa dia sudah tidur sekarang? Jangan bilang kalau jam tidurnya berubah, Aku kenal adikku, dia tidur hanya satu dua jam sehari, dan biasanya pagi hari.

Mataku menangkap kelebatan asap ditengah lebatnya hutan,

Beberapa orang, mereka berkumpul seolah sedang melakukan sebuah rapat penting.
Tersenyum, aku memalingkan badan, berjalan kearah cahaya samar samar itu.
Mengendap endap, berusaha agar tidak menimbulkan suara ranting yang terinjak, aku mengikuti mereka.

Ini pasti tempatnya,kuperhatikan peti kemas besar didepanku.
Mereka menyimpannya disini ternyata,
Tidak ada seorangpun yang tampak disini, walau api unggun kelihatan baru saja dibuat,
Tak ada yang terlihat, Baik penjagaan maupun seseorang, suasana sepi, membuatku heran, kemarin banyak sekali orang menjagai benda besar ini seakan akan sesuatu teramat penting berada didalamnya.
Tapi sekarang sepi begini?

Kudekatkan telingaku,

Drak!
Aku menepuk peti kemas itu keras keras, memastikan isinya,
Tidak ada suara, Tapi balasan mengerikan membuat jantungku nyaris copot.

Suara ketukan, berkali kali, Diikuti suara menggaruk yang membuat ngilu gigiku.
Lalu aku mendengar langkah kaki seseorang datang,
Cepat cepat aku melompat bersembunyi disemak semak, Pria bertopi tinggi itu lagi, dengan kenalan kenalannya.
Dari arah berlawanan, seorang lelaki bertampang kasar muncul dibalik rerimbunan pohon,

“Kenapa terlambat? Kami mencarimu kemana mana?”

“Maaf, ada sedikit keperluan tadi, jadi bagaimana prosesnya?”

“Mr.Liem berkata mereka akan tiba kemari besok siang,” Orang bertopi itu berjalan cepat cepat dengan tongkat ditangannya. “Pastikan besok barangnya sudah tersedia,” Ia bicara pada anak buahnya.
Lalu melirik kearah si besar lagi,

"Apa ini?" tanyanya, ia menarik sebuah benda dari tubuh si besar, nampaknya tersangkut pada kancing bajunya.

Sebuah pita, dan aku tahu itu milik siapa.
Daina.

Ia biasa memakainya untuk mengikat rambutnya.
Dalam hati aku bertanya tanya, apa yang dilakukan orang itu pada Daina?
Apa sesuatu yang buruk telah terjadi?

"Sial, tersangkut dibajuku," Hendric menyumpah, si Topi mengawasinya tajam,

"Kau tidak akan melakukan sesuatu yang mempersulit kita, bukan?"

"Tidak akan," Orang itu menggeleng penuh keyakinan, "Lagipula kita hanya disini untuk sehari lagi, bukan? Takkan ada masalah dengan itu.
Bagaimana mengeluarkan barangnya dari sana? Akan sangat susah nantinya,” katanya membelokkan topik,

Lelaki bertopi tinggi diam saja, aku yakin ia ingin memprotes tindakan rekanannya tetapi rasa malas menghantamnya begitu saja.
Aku sudah berkali kali melihat Tasuku melakukan hal yang sama.
Entah mengapa aku tidak melihat pria ini sebagai lelaki biasa.

“Hanya beberapa ekor ayam,” seseorang lain menyahut, “Kau sendiripun bisa melakukannya dengan mudah, Henric, kau yang jaga, ingat itu.”

Si besar menyahut malas malasan menerima tugasnya,
“Ya, ya, Besok malam, kan? kalau begitu kita bertemu lagi nanti, ada yang harus kuurus setelah ini,”

Si topi memberikan kunci kepada Hendric, masih tanpa bicara, kuat dugaanku ia sedang merasa kesal saat ini.

Aku mengira mereka akan mengecek isi peti, tapi dugaanku salah, si topi tinggi dan teman temannya berlalu begitu saja, meninggalkan si besar didepan api unggun.
Mereka berpisah setelah mengadakan pertemuan, seolah takut ketahuan.
Aku melamun memikirkan.

Dibalik tempat persembunyianku, aku melihat lelaki besar itu berjalan kearah lain, beberapa saat setelah rekan rekannya menghilang dibalik malam.

‘Urusan lain’ katanya? Apa?
Akan kemana dia?
Adakah hubungannya dengan Daina?
Man, perasaanku tentang Daina tidak enak sekali, sial, aku sungguh orang bodoh yang lebih mendahulukan cinta daripada kewajiban, payah sekali.

Sebenarnya inilah kesempatanku untuk menyelidiki isi kargo,
Tapi hal hal yang menyangkut pita Daina terus mengusikku, kenapa bisa ada ditangan orang itu?
Aku takut terjadi sesuatu yang buruk padanya.
Alasan aku berada didesa ini karena Daina, bukan?
Aku harus memastikannya, maka kuputuskan untuk mengikuti orang itu.

Terdorong oleh rasa ingin tahu, Aku bergegas mematikan ponselku, Mengurungkan niat menghubungi Tasuku.


++++
 
Last edited:
Daina.


________________________
_______________




Samar samar ingatan terpatri dalam benakku adalah, aku yang baru saja pulang, Padahal sudah mengendap endap supaya tidak ketahuan, masih saja, Tasuku mencegatku diluar, ia berbicara sesuatu… Tapi apa…
Oh yah, ia minta maaf dan berkata ingin tetap menjadi teman…

Apa aku sebodoh itu?
Wajar saja aku merasa enggan bertemu dengannya lagi, tapi… rasa rinduku padanya berkata lain, rasa senang saat melihatnya justru lebih besar lagi.
Lebih besar dari rasa sakitku setelah penolakan,
Ah, aku memang tidak bisa move on... Sedihnya.

Pembicaraan kami terhenti saat orang orang itu datang lagi,
Tasuku menyuruhku masuk, dan…
Aku menurut.
Ya, begitu yang kuingat, terima kasih Tuhan, aku ingat sekarang,


Aku selesai menggantungkan Cardigan dan melepas sepatu yang kukenakan, Cuaca tidak bagus, bukan panas dan bukan hujan, bahkan rambutku saja terasa masih lembab karena berkeringat, mungkin aku harus keramas setelah ini...
Aku tidak ingin berpikir tentang Tasuku, sengaja mengalihkan perhatianku,

Begitu naik ke lantai tiga penginapan yang juga rumahku itu, aku langsung disambut kepanikan ibuku,

“Ayahmu…” Ia berkata gelisah, beberapa pelayan nampak berlarian membawa kompres untuk menolong ibuku, perasaanku tidak menentu.

“Ayah kenapa?” Desakku, bergegas masuk kedalam kamar, Diatas pembaringan, lelaki tua penuh kasih yang senantiasa menjaga aku didunia ini tergeletak tak berdaya,
Aku menyentuh dahinya,

“Tuhan… Panas sekali…” Desahku, “Sudah berapa lama keadaan ini?”

“Baru saja,” Ibuku memegang tanganku, aku memeluk bahunya untuk menenangkan,

“Ibu, tenanglah…” mendekap ibuku, aku berkata pelan, “Kita rawat saja ayah, ya?” Ibuku mengangguk sementara aku memeras kompres, ia menggantikan baju ayahku yang penuh keringat,
Penuh perhatian, ibu menatapku,

“Kau sudah makan, Daina?”

Aku menggeleng, hilang sudah nafsu makanku sejak pembicaraan dengan Tasuku tadi.
Walau sekarang aku harus sangat bijak mengepinggirkan permasalahan kami karena tepat didepanku, ayahku sedang sekarat.
Bukan waktunya galau karena cinta, sebagai anak gadis, aku harus mengutamakan kepentingan orang tua yang amat kuhormati dan mencintaiku.

Entahlah kalau orang kota, didesa kami dekat dengan keluar satu sama lain.
Membentuk sebuah ikatan, beginilah aku tumbuh, dengan kasih sayang dan limpahan cinta.
Aku selalu diajarkan untuk mempercayai orang lain apapun alasannya.
Aku masih manja, kadang suka merajuk, dan aku juga lemah.
Tapi jangan takut jatuh selama kita masih memperlakukan orang lain dengan baik dan layak, Sebab aku percaya kita akan senantiasa diberikan kebaikan pula sebagai balasannya.
Tidak peduli kuat ataupun lemah.
Yang paling penting bagi seorang manusia adalah hati yang berharap bisa selalu membantu kesulitan orang lain.
Kalimatku ini bukan suatu bentuk kenaifan, melainkan hukum sebab-akibat yang diajarkan orangtuaku dan selalu kuyakini.

“Dai…na...” Aku mendengar ayahku berbisik pelan, wajahnya merah menahan sakit, “Suruh… makan…”

Dengan segera aku menghampirinya, membelai rambut beruban itu, berupaya meringankan beban, “Ya ayah? Ayah pusing kah? Ingin minum?”

“Makan…Dulu…”

Aku tersenyum lembut,
Sungguh besar karuniamu padaku, Tuhan… Bahkan ditengah sakit dan sedihnya ayahku masih mengingatkanku agar jangan telat makan.
Betapa beruntungnya aku memiliki sepasang orangtua yang mencintaiku demikian dalam seperti ini, Ibuku ikut mendekat, mengusap kepalaku dan mencium ubun ubunku dengan sayang,

“Ayahmu benar, Makanlah dulu…”

Aku mengangguk, meraih tangan ayahku, menempelkannya dipipi sebagai bentuk cinta kasihku padanya.
Kemudian beranjak mencari makan malamku,
Ayahku sakit stroke, ia tidak memungkinkan untuk turun dari tempat tidur, jadi bila ada sesuatu yang gawat terjadi, aku yang akan bertindak, misalnya memanggil dokter atau apa…

Sekitar setengah jam kemudian, atau tepatnya baru saja aku selesai makan, aku langsung dikagetkan oleh suara ibuku,
Aku tergesa gesa naik lagi kelantai tiga, melihat ayahku kejang kejang dan terbatuk,
Ibuku dengan air mata mengalir berusaha menenangkannya,

“Ada apa ini?!” Desakku khawatir, “Ibu, ayah kenapa?”

“Tiba tiba saja kejang begini,” Ibuku mengompres dahi ayah, “Tuhanku, panasnya semakin naik,”

Aku memandangi dengan prihatin, “Aku akan pergi,” kataku mantap, ibuku terkejut,

“Kamu mau kemana, nak?”

Kuraih jas hujan yang tergantung didekat perapian, “Aku akan memanggil dokter.”

“Nona, biar kami temani…” Salah seorang pelayan menawarkan diri, tapi aku menggeleng kuat kuat,

“Tak usah, aku kenal semua orang didesa ini, takkan kenapa kenapa…”

-
-
-

Lalu begitulah, mengapa aku bisa berakhir disini…
Akh, ini dimana?
Aku menyesal kenapa tidak minta ditemani saja sebelumnya.
Mataku agak berkunang kunang, aku ingat sebelum aku kehilangan kesadaranku, aku sedang berusaha naik ke kapalku, berniat memanggil dokter ke kota… dan…
Dan apa?
Aku merasakan sesuatu yang keras menghantam tengkukku,
Sakit dan pening, kepalaku mau pecah rasanya.

Tuhan… ini dimana?

Aku melihat kearah jendela, tidak salah lagi, ini pondok ditengah hutan, bukan? Sepertinya hari sudah beranjak subuh karena agak terang,
Kusadari kedua tanganku dalam keadaan terikat, dan aku juga tak bisa menggerakkan kakiku,

Brak! Aku mendengar suara pintu dibuka dengan kasar,
Lalu gaung yang berasal dari sumpah serapah laki laki,

“#######! Memanggil disaat orang lain ingin bersenang senang!” Aku mengenali suara itu, orang asing yang menginap…

Astaga?

Berpura pura pingsan lagi, aku segera menutup mataku secepat kubisa.
Merasakan tarikan kuat pada tubuhku, rupanya ia yang merencanakan perbuatan jelek padaku…
Tunggu, tunggulah Daina.

Lelaki itu menyumpah karena jas hujan yang terpasang ditubuhku sulit sekali dilepas jika kedua tanganku masih dalam keadaan terikat dibelakang begini,

Sabarlah Daina…
Aku menutup mata rapat rapat, memberikan kesan padanya bahwa aku masih dalam keadaan tak sadarkan diri.

Pelan2 kurasakan tali yang membelit pergelanganku melonggar dan akhirnya terbuka,

“Bedebah!” Teriakku tiba tiba, menendang bagian paha dalam lelaki itu yang seketika terjengkang kebelakang.

Ia meringis kesakitan berusaha menggapaiku, aku melarikan diri, nyaris terpeleset didepan pintu, tapi tidak jadi,
Tersangkut sangkut ranting, kurasakan perih menggores gores kulitku, tapi tidak kuhiraukan.
Enak saja, mau berbuat tidak baik pada Daina yah! Tunggu seribu tahun lagi!

“Perempuan Jalang! Kembali kau kemari!” Teriakannya membahana, Tidak! Cepat juga ia menyusulku, aku kebingungan karena dibeberapa sudut yang kulalui masih tampak gelap.
Rasanya aku hanya berputar putar ditempat yang sama saja.
Aku seharusnya mengenali daerah ini, tapi gelap sekali!

“Akh!” Aku tidak tahu darimana asalnya, mungkin memang tenagaku saat menendang tidak terlalu kuat, atau lariku yang lamban, tangan penjahat itu menjambak rambutku yang panjang, membuatku terjatuh dan terjerembab kesakitan diatas tanah, aku merayap berusaha bangun, tapi bajingan itu sudah ada didepanku.

“Kau mau lari, hah?” Ia membuka kancing bajunya dengan tidak sabar, Aku menggenggam apa saja benda terdekat denganku, tak apa, jika dia mendekati dan berani menyentuhku satu jari saja, aku akan mencongkel matanya, tekadku dalam hati sambil meremas ranting ditanganku kuat kuat, cukup besar untuk dijadikan senjata…

Ia mendekat, bersiap menerkamku,
Aku juga bersiaga dalam hitungan mundur, detik detik pencongkelan mata akan...

Duagh!

Penjahat itu seketika kehilangan kesadarannya, karena tendangan yang bersarang dikepala,

Bukan satu, melainkan dua.

Mulutku ternganga,
Kabut pagi memudar seolah memberikanku kesempatan baik melihat wajah penyelamatku.

“Kau tidak apa apa?!” Teriak para pahlawan memberikanku pertanyaan klise yang kubenci.

Lalu mereka berpandangan satu sama lain dengan wajah keheranan.
Memucat, seperti saling melihat setan.
Aku sendiri juga tak mengerti, hening beberapa lama sebelum akhirnya mereka buka suara, nyaris dalam waktu bersamaan pula,


“…Kau… Tasuku…?”



Kakak…?


++++
 
Last edited:
Daina (Lanjutan)

__________________________
_______________________




Tasuku keluar dari kamar, melepaskan stetoskopnya, “Sudah kuberikan obat yang sesuai, ayahmu akan baik baik saja,” ia menepuk kepalaku lembut menenangkan.
Aku tersedu memandangnya, memanjatkan rasa syukur dan terima kasih tak terhingga,
Ia tersenyum menanggapiku.

“Aku tidak tahu kalau kau seorang Dokter, Kukira…” Menyeka air mata, aku mengikutinya berjalan keluar, Tasuku mendesah,

“Hanya orang aneh yang suka meneliti kimia? Aku baru lulus,” ia meringis, menyeringai jail kepada kak Ari yang duduk menunggu kami diluar,

“Pendidikanmu sudah selesai?” Kakak menatapinya tak percaya, Tasuku tersenyum penuh arti, “Oh baiklah, kau Professor nya sekarang,” Kelihatan dari rautnya kakak tidak jadi marah, aku tidak mengerti apa itu gelar gelar tapi pastilah luar biasa,

“Hanya setahun, lebih cepat dari sebelumnya, tidak buruk,”

“Tidak jadi marah?” Tasuku menelengkan kepalanya untuk melihat lebih jelas wajah seperti apa yang tengah dibuat kakaknya, ia tertawa geli. “Masih sayang padaku, kan?”


“Masih marah,” Kakak berkata pendek, kentara sekali kalau ngambek.

Tasuku tertawa lagi, “Dan masih sayang,” putusnya inosen.
Ia melirik kearahku, "Bagaimana kalau Daina menyiapkan sesuatu yang enak? Aku lapar, dan ini sudah waktunya sarapan..."

-
-
-
-

Kembali pada kejadian beberapa jam yang lalu,
Baik kak Ari maupun Tasuku sama kagetnya,

Apalagi aku,

“Tasuku?” Kak Ari menyebut nama Tasuku dengan tampang seperti baru bangun tidur,

“Kakak!”

Mereka berdua serta merta melihat kearahku dengan sorot penuh pertanyaan, tunggu, aku kan' juga tidak tahu mereka saling... ah?

Pikiranku terhenti sejenak saat memperhatikan mereka berdua.
Memang kalau dilihat satu satu secara terpisah, Rasanya beda...
Mungkin karena warna rambut dan matanya beda,
Tapi... Jika disandingkan seperti ini...

Mereka mirip.

Secara fisik, mirip, bentuk mata dan hidung itu,
Raut wajah juga,
Bagaimana bentuk mata bertatapan tajam milik kak Ari tercetak jelas pada mata berpandangan lembut milik Tasuku.

Mereka punya ciri khas masing masing tetapi kemiripan itu tak terbantahkan.

Kenanganku memutar seketika.
Adik... Adik...?!

Sementara pria kasar dengan maksud jahat padaku itu jatuh, telinganya pasti berdengung sekarang, karena kerasnya tendangan kak Ari dan Tasuku dari kedua sisi sekaligus.
Tampaknya ia tidak menyerah, menggeram marah, ia menyerang Tasuku, menghunuskan sebilah pisau,
Tasuku kuat, tapi reaksinya tidak sebagus kakaknya, kelihatan sekali bahwa bertarung bukanlah bidangnya,
Ia menangkis secara sembrono menggunakan tangan, melindungi bagian wajah.
Aku dan kak Ari masih kaget,


“Tasuku!”


Tasuku melompat mundur kebelakang, kakak dengan sigap menghalangi pandangan si penyerang dari adiknya,
Menendang pisau ditangan orang itu hingga terlempar,
Kak Ari menggunakan tangan kirinya dan –bagiku terlihat seperti- gerakan mencengkeram amat cepat, langsung kearah tenggorokan lawan,
Menggunakan tangan satunya lagi, Ia sukses mendaratkan pukulan yang menghancurkan wajah musuhnya dengan sempurna, melanjutkan dengan gerakan membanting teramat keras, teriakan dan suara tulang berderak menghiasi setiap gerakan yang ia buat.
Serangannya hanya sekali tapi berturut turut tanpa balas!

Kemampuan beladiri yang luar biasa,

Melalui sinar matahari terbit yang mulai jelas terlihat, aku mengenali wajah tamu penginapanku,
Hendric, atau begitulah teman temannya memanggilnya,
Pengecut itu, dengan wajah berlumuran darah, tertatih tatih berlari, menjauh dari kami,

Sementara kak Ari, berdiri dengan gagahnya, mengantongi kemenangannya sendiri.
Dengan manusia saja sebegitu ganasnya, apalagi dengan Undead…
Aku pelan pelan berdiri, bermaksud mengucapkan terima kasih, tapi suasananya…

Kak Ari masih berdiri tegak, tak bergerak,

Ia berpaling pada Tasuku, adiknya memegangi lengan yang berdarah,
Dengan wajah marah yang tidak susah payah ia sembunyikan.
Aku belum pernah melihat kakak seperti ini sebelumnya.
Ia berjalan menyusul Tasuku, tergesa gesa dan langkahnya menghentak kacau,

Gawat! Apa dia akan memukul Tasuku?!
Otak lambanku berpikir cepat mencoba menghentikan, kakak mengayunkan tangannya kearah Tasuku.
Seperti ingin meninjunya juga,
Tu-tunggu!

“Hentika…”




"Apakah parah?!”
Diluar dugaanku, Kak Ari -bukannya memukul- justru meraih lengan Tasuku, mengecek lukanya, Tasuku meringis kecil sambil tersenyum kikuk, kakak terlihat luar biasa overprotektifnya, bagaimana ia mencemaskan Tasuku, semua terpapar jelas.
Tidak... aku tidak percaya ini, mereka saling kenal?
Dan lagi... kakak beradik?

“Kalian…” Ujarku terbata,

“Ceritanya nanti saja,” Elak Tasuku, ia membiarkan kak Ari membebat tangannya dengan sapu tangan. "Aku membawa pesan dari rumahmu..."

“Kau juga bulat, kenapa berkeliaran malam malam?!” bentak kakak,

Aku sudah akan mengeluarkan kata kata pembelaan diri, namun semua bentuk pertahanan yang kusiapkan malah terhenti begitu saja didalam tenggorokanku, terpaksa kutelan kembali, terkesiap ingat sesuatu yang penting sekali, sesuatu yang membuatku rela naik perahu malam malam hanya untuk...



“Astaga! Ayahku!”

-
-
-
-


Kunyalakan api serta membakar ubi didepanku, menunggu hingga matang,
Ceria sekali, aku mengusap telapak tanganku satu sama lain,

“Oh Yah, Kakak ingin kupas sendiri atau Daina kupaskan?” Tanyaku gembira,

Kakak duduk diatas sebatang pohon tumbang, didepan penginapanku, bersama Tasuku, muram, ia menyahut “Terserah.”

Tasuku sejak tadi menunduk gelisah, ia tidak berani mengangkat kepalanya.
Diam saja seperti patung, meskipun kejadian diantara kami membuatku masih sungkan padanya, mau tak mau aku kasihan juga...



“Tasuku bagaimana?” Tanyaku bersahabat, Tasuku kelihatan kaget aku menanyainya, seperti tidak menyangka aku akan bersedia menunjukkan keramahan lagi padanya.

Ia mengangguk padaku, senyum mempesona yang biasa, “Bawa kemari, Daina,” Aku menurutinya dan membawa ubi yang masih panas dilapisi daun pisang kepadanya.

“Ajari aku cara mengupasnya,” Ia meminta begitu sopan.

Aku langsung mengambil pisau yang kupinjam dari dapur Ibuku.
Mulai membuka kulit Ubi perlahan lahan, Tasuku membantuku, ia memegangi dan bisa kulihat betapa putih serta halus tangannya, sampai sampai aku lupa apa yang harus kulakukan dan nyaris mengupas kulit tanganku sendiri.


“Lihat ubinya saja,” Tasuku menegur kalem, membuatku merona untuk kesekian kalinya.
Ah, dasar penggoda!
Dan dia melakukan itu dengan sangat acuh...!
Untunglah ia fokus memperhatikan apa yang tengah kukerjakan sehingga kata katanya tidak menggangguku sama sekali, pandai ya?
Tahu sekali timing dan cara yang tepat, ia sadar, tapi ia tidak ingin membuatku malu, ia mengingatkan sewajarnya. Bahkan ekspresi wajahnya tidak berubah.

“Enak sekali,” Pujinya memasukkan potongan kecil kemulut,

“Kalau ditambah gula pasir sebenarnya lebih enak lagi,” Aku tertawa, Tasuku mengiyakan, ia berbalik dan menyapa kak Ari, kakak kelihatan diam saja dari tadi, matanya menatap lurus kedepan, kearah perkampungan,
Tasuku beranjak dari duduknya, mendekati sang kakak, aku bahkan tidak menyangka sama sekali mereka bersaudara…

Walau ia menggunakan nada ceria dalam alunan lembutnya, aku tahu ia salah tingkah, “Kak,”

Diluar dugaan, kak Ari membentak, “Hanya itukah yang bisa kau katakan?!” Bahkan akupun kaget karena tak menyangka kakak akan mengeluarkan suara sebesar itu.

“Tidak menjelaskan apapun padaku-tidak bicara-miskomunikasi-Ponsel sedang diperbaiki- ternyata semua itu hanya akal akalanmu saja,” Suara kakak bergetar, tidak perlu dijelaskan pun aku sudah tahu ia marah besar, “Berbohong sampai seperti ini-Kau tidak tahu apa yang kau lakukan, sekarang beri aku satu alasan mengapa aku tidak harus menghajarmu-saat ini…”

Tasuku terdiam,

“Kau tidak mau jawab-atau tidak bisa jawab?” Tanya kak Ari tajam.

“Kakak!” Aku menyela, “Ku-kurasa aku bisa jelaskan… Tasuku… Penelitiannya…”

“Beginikah sekarang caramu?” Kak Ari kembali membuang muka, “Bersembunyi dibelakang punggung anak perempuan memintanya menjelaskan dan membelamu atas kesalahan yang kau lakukan? Aku tidak ingat pernah membesarkan pecundang serendah itu,”

Salah, deh…

Aku berbalik untuk menatap Tasuku, meminta petunjuk, tapi ia malah tersenyum padaku, menempelkan jari telunjuk dibibirnya, memberikan isyarat padaku untuk diam, aku serba salah jadinya,

“Daina, sudahlah,” Tasuku menepuk bahuku,

“Kau juga bulat!” Kak Ari balik memelototiku, walau ia kelihatan marah juga, tapi sorot kekhawatiran yang ia tampilkan membuatku tidak jadi sedih, “apa maumu?! Kau tidak tahu semua orang sedang panik mencarimu? Setidaknya carilah bantuan!”

Aku mengangguk, sadar posisiku salah.
Lalu sunyi lagi...

"Aku mencarimu," Bisik Tasuku serak, cukup untuk kak Ari agar bisa mendengarnya, ia terlihat menyesal, "Aku ingin bertemu, tapi kalau kukatakan, kau pasti hanya berpikir aku mengganggu dan menyuruhku pulang..."

He?

Tasuku... Tasuku...
Ia jadi terlihat lebih... manusiawi sekarang, tak ubahnya anak anak lainnya.
Ia bicara dengan penuh pengharapan, Layaknya anak kecil yang memohon agar diajak bermain juga oleh ayahnya.

Aku bukannya merasa diriku sebaik itu, tapi, entah kenapa sekarang aku merasa, bahwa Tasuku sebenarnya tidaklah jauh berbeda... Denganku.
Kami hanya anak anak.

Mungkinkah aku salah?
Aku menoleh kearah kakak, dan kejutan berikutnya menantiku.
Awalnya kukira kakak benar benar tidak ingin memberikan kesempatan pada Tasuku.
Memang dari tempat Tasuku duduk, tidak terlihat jelas karena kakak memalingkan muka kearah lain.

Tapi dari tempatku berdiri, aku bisa melihatnya,
Kakak menyunggingkan senyum bangga.
Bangga dan bahagia.
Ia tidak bisa menutupi betapa ia senang melihat adiknya kembali.

Astaga, apa aku buta?
Padahal kakak setiap hari selalu menceritakan tentang Tasuku, dan Tasuku selalu setiap hari bercerita tentang kakak...
Mereka saling menyayangi,

"Daina, apa kau tidak ingin ke kamar mandi?" Tanya Tasuku tiba tiba padaku.
Aku yang sedang melamun mendadak salah tingkah, ia sudah kembali memasang ekspresi lelaki dewasa penuh kebijaksanaan itu lagi.
Seakan apa yang kulihat dua menit lalu merupakan mimpi belaka.
Lagi lagi hanya aku yang bocah.

"Kamar mandi? Aku? Kenapa?"

Tasuku tersenyum geli, "Tak apa, kekamar mandi saja dulu,"

Perlu sedetik bagiku untuk menterjemahkan kata kata Tasuku,
Oh, Artinya dia ingin bicara berdua saja dengan kakaknya, tanpa diganggu, kan?
Ia memintaku dengan sangat sopan,
Aku mengangguk paham, Kurasa sebaiknya sekarang aku merawat ayahku didalam,

"Baiklah, kurasa ini sudah saatnya aku mandi," Garuk garuk kepala, aku menuruti kata kata Tasuku dan segera beranjak masuk kedalam rumah.

"Bulat," Suara kak Ari menahanku didepan pintu.

"Ya?"

"Untuk makan siang, tolong bawakan udang saja, yang mentah, aku masak sendiri," Suruhnya cuek, sambil menambahkan, "Porsi untuk tiga orang,"
Tidak salah, walau tidak mengatakannya langsung, kakak minta maaf karena sudah membentakku tadi,
Dibandingkan adiknya, kak Ari lebih mudah dipahami,
Sebelumnya aku canggung karena merasa salah melulu, tapi perasaanku jauh lebih baik dengan kata kata kak Ari...

Porsi untuk tiga orang? Artinya dia mengundangku juga? hehehe,

Aku mengangguk bersemangat.
Ini sungguh tak disangka,
Aku memang suka sekali pada mereka...
Kelihatannya mulai saat ini, hari hari pasti akan lebih menyenangkan untukku,
Aku, orangtuaku, desaku, teman teman baruku yang unik,
Semoga kebahagiaan ini tidak pernah berakhir...


++++
 
Last edited:
Ari.

_________________________
___________________



“Jadi… Apakah permintaan maaf diterima?” Adikku mendekati, memasang sorot penuh harap,


“Tidak juga,”


“Ayolah, kak… Tidak asyik tahu, memarahiku seperti itu, apalagi didepan seorang gadis,”

“Kalau selalu dipuji, kau takkan pernah belajar,”

"Aku belajar kok, setiap hari,"

"Hanya karena kau pintar, Tuan muda, bukan berarti kau bisa bermain main membohongi orangtua dengan mudahnya,"

“Aku tak mengatakan begitu,”

“Kau belum mengatakan alasan keberadaanmu disini, dan mengapa membohongiku.”

Tasuku menarik nafas.
Ia menyentuh perutnya, membelokkan pembicaraan “Aku lapar,”

Hah, kebiasaan…

Mengingatkanku pada Daina, mirip sekali.
Maka aku memutuskan mengunci mulutku rapat rapat.
Tasuku selalu merasa bisa melakukan segala hal sendirian dan tidak mau merepotkan orang lain, dan sialnya ia memang.
Karena itulah aku cemas, ia sering bertindak sendiri tanpa memberitahu apa apa ke aku.

“Jangan marah lagi,” Jurus besarnya sudah keluar, Saat ia bicara seakan ada visualisasi warna warni dan bunga bunga disekitarnya, daripada marah, aku malah ingin tertawa,
Tidak, Ar, jangan terpancing!
Jangan dengarkan apapun tipu muslihat Iblis kecil ini!

Tasuku nampaknya sadar bahwa aku tak bergeming, tetap pada pendirianku menuntut alasan.
Sedikit merajuk, adikku menggumam lucu,
“Baiklah, kujelaskan, aku baru saja mendapatkan passport dari temanku, Aku hanya ingin cari suasana saja, kok, hanya itu, sekalian mengejarmu,”

“Dan mengapa tidak memberitahuku?”

Tasuku melipat kedua tangannya didepan dada, “Dan kalau kuberitahu, apa kakak akan mengizinkanku pergi?”

Aku menarik nafas, “Tidak,”

Tasuku mendelik secara pasti, “Ya, kan!”

“Saat ini keadaan tidak aman, aku hanya ingin memastikan kau ada ditempat yang tepat, saat aku tidak ada bersamamu…”

“Dimanapun,” Tasuku menekankan, “Tidak aman saat ini, Mau itu di Eropa, Asia, Benua manapun, apa saja bisa terjadi, yang jelas aku selamat sekarang, kakak tidak usah cemas lagi,” Ia memeluk dan mengelus bahuku, “Aku sehat, lihat, Dan aku lapar,”

"Padahal kau baru saja makan Ubi bakar,"

"Belum kenyang," Tawanya rakus,

Aku tidak paham mengapa, tapi ia benar, hatiku tentram sekarang, setidaknya setelah melihatnya baik baik saja dengan mata kepalaku.
“Kak,” Adikku menarik bagian belakang jaket kulit yang kukenakan, manja,
Setidaknya perasaanku lebih baik, daripada saat kami berjauhan.

“Aku benar benar lapar,” tuntutnya seperti anak kecil.
Setan setengah malaikat itu memanfaaat keadaan serta rasa sayangku padanya.
Dalam hati aku gemas, antara ingin memeluk dan meninjunya sekalian.

“Kau tinggal disini? Aku tidak tahu,” Aku berkata dengan nada biasa, “Apa kau makan dengan benar? Aku selama ini tidak menyangka hanya terpisah beberapa kilometer denganmu…”

Tasuku mengangkat bahu, “Apalagi aku, saat kakak mengatakan kau ada pekerjaan di Thailand, aku tidak menyangka kakak ada disini,” Ia melanjutkan lagi, “Tapi aku senang, kakak tidak usah khawatir, Daina mengurusku dengan baik,” Tampaknya ekspresiku berubah sedemikian cepatnya, sehingga adikku yang cerdas ini membacanya dengan sempurna, “Aaaa! Bidadari yang kau ceritakan…” Tasuku menepuk jidatnya,

“Aku tidak ceritakan apapun!” Teriakku panik, “Dan itu bukan dia, aku tidak pernah bilang dia orangnya!”

“Kelihatan kok,” Tasuku memasang wajah polos.
Membakar rasa penasaranku,

“Darimana kau tahu?”

“Karena pertanyaan ‘Darimana kau tahu’ tadi,”

Oh baiklah…
Aku tersenyum masam, “Tidak-berarti-dialah-orangnya-kan, Mr. Gary Stu with a Smart mouth.”

Gary Stu adalah sebutan untuk karakter fiksi yang nyaris sempurna,
Setidaknya begitulah adikku -Dipermukaan- Nyaris tanpa cacat.

Tasuku mengangkat bahu, bilang ‘terserah kakak saja’ secara tidak langsung

“Bagian mana?” Ia nyengir menyebalkan,

“Hah?”

“Ayolah, bagian mana dari dia yang kakak suka? Dadanya? Dadanya besar kan!”

“Setan,” makiku kesal, “Kau ini Dokter tapi omonganmu…”

"Tak ada yang dengar," Tasuku menoleh kiri kanan, iseng, “Ceritakan, kak, jangan malu malu, kita sama sama laki laki begini, aku ngerti kok” sambungnya ceria, sesaat, aku merasa kembali ingin meninju wajah inosen adikku,

“Diam,”

"Dada Daina besar kan?" Ia meninggikan suaranya, membuatku kelabakan,

"Sssshh! Mereka bisa mendengarmu didalam!" Astaga, aku bisa dikira orang mesum... -Padahal Iya-

“Apa kau sering self service gara gara dia? Apa kau mimpi basah juga? Kau memfantasikan dia saat kau...”

“Fvck off!” Bentakku memotong percakapan, tidak berniat meladeni ocehan sinting Tasuku, darimana dia pelajari semua itu? dia tidak bisa berhenti berkicau!
Dia memang begini, ck, hanya didepanku dia menunjukkan sisi lepasnya seperti ini, Diluar mungkin ia Jenius berprestasi yang bisa apa saja dan dihormati, bertopeng penuh senyum, sabar, menyenangkan, anak baik, dambaan siapa saja.

Tapi dibagiku, ia tetap saja bocah 19 tahun yang serba ingin tahu dan kolokan.
Adikku satu satunya, hartaku.

Ia manja, ada kepribadian lain dalam dirinya yang cengeng, egois, tidak mau kalah, angkuh, sombong, dan senang meremehkan orang.
Ia tidak berpura pura, semua kebaikan maupun keburukan itu adalah bagian dirinya, ia hanya berusaha menekannya, memberikan citra terbaik bagi siapa saja yang baru mengenalnya.

Dan tidak ada yang pernah benar benar mengenalnya hingga saat ini.
Tasuku hanya menunjukkan sisi kanak kanaknya padaku,
Dalam hati aku bangga, tapi juga tidak kalah kesal,

“Tinggallah bersamaku” tawarku akhirnya, “Kau lapar kan, Sebentar lagi Daina mengantarkan bahan makanan, aku akan memasak makan siang untukmu,”

Tasuku tertawa, tawa yang kurindukan, tawa yang menenangkan hatiku.

“Tentu,” Jawabnya segera tanpa pikir pikir lagi, seakan memang inilah yang diinginkannya sejak dulu, “Kakak pikir berapa lama aku menantikan untuk bisa makan masakanmu lagi?”

Sambil ikut tersenyum tipis, aku meninju dadanya, “Saatnya menggemukkanmu lagi,”

“Tapi kau harus cerita padaku, bagian mana dari Daina yang…” Tasuku menaikkan suaranya satu oktaf lebih keras.




“Ingin dihajar yah?”


++++
 
Last edited:
Tasuku.

____________________
_________________



Kumainkan hiasan berbentuk burung merak diatas meja, merasa lucu dengan bentuknya,
Kakak selalu hidup dengan baik dimanapun, Rumah ini seperti umumnya rumah adat Thai yang lain, tinggi dan kau harus melewati tangga saat ingin masuk,
Pelatarannya lumayan luas, ajaib Karena semuanya terbuat dari kayu.
Berbeda dengan Penginapan milik keluarga Daina, setidaknya bagian tembok dan dinding masih terbuat dari beton, kelihatannya dari semua bagian didesa ini, hanya penginapan saja yang terkena sentuhan modern,

Bisa jadi karena mereka banyak menerima tamu dari luar.

Dilain pihak, aku amat gembira bisa bertemu kakak lagi,
Setiap hari aku agak kesusahan tidur, membayangkan bahwa kakakku mungkin hidup dalam kesulitan,
Ia bisa mengurus dirinya sendiri, aku yakin, dan rasa sayangku padanya tak membiarkannya menghadapi hal ini sendirian.

Aku berkeliling, Ini kedengaran bodoh tapi aku suka bau kakakku.
Seperti seorang bayi yang hafal aroma tubuh Ibunya,
Wangi kakak menyebar dirumah ini, samar, namun jelas.

Hanya ada satu kamar, Dapur yang cukup besar untuk memasukkan meja makan dan lemari es, ruang tengah yang menghubungkan semuanya tak diisi apapun selain karpet tebal, ruang tamu yang tersambung langsung dengan teras adalah tempat bersantai yang pas karena disana diletakkan beberapa buah kursi rotan.

Kak Ari datang dari arah dapur, membawakan setoples kue buatan sendiri, ia menyerahkannya padaku yang langsung kusambut dengan penuh suka cita.

“Sudah berapa lama kau disini?”

Aku membuka toples dan mengingat ingat, memberikan jawaban pendek ‘tiga bulan bulan’ padanya, kakakku terhenyak diatas tempat duduknya, melihatnya kehabisan kata kata aku hanya menyeringai tak tahu mesti ngomong apa, serta merasa bersalah.

"Aku sudah empat bulan disini, artinya kau datang... hampir selama aku."

Ia menyulut sebatang rokok, menghisapnya dalam dalam, aku memicingkan mata,
“Kak,” Tegurku tak suka, “Bukankah sudah kubilang merokok itu tidak baik? Kenapa kakak teruskan?”

Kak Ari tidak menanggapi, ia bahkan menghembuskan asap rokoknya kewajahku, membuatku terbatuk.

“Kak! Berikan itu padaku, Biar kubuang,” Aku menadahkan tangan, “Astaga, kak!” Tentu saja kakak dengan gesit menyelamatkan rokoknya, “Berikan padaku!”

Ditengah acara perebutan kami, Tanpa kusadari seseorang sudah berdiri dipuncak tangga rumah pondok milik kak Ari,

Daina membawa bungkusan penuh bahan makanan melongo melihat tingkahku dan kakak,

“Jadi ini… Hobi kalian?” Gadis itu berkata pelan, aku cepat cepat melepaskan cekalanku, batuk batuk menutupi gugup, Tanpa kuduga kakakku merangkul bahuku erat erat, “Ya, kami akrab ya, Ini adik kecilku yang sering kuceritakan padamu,”

Susah payah aku melepaskan diri sendiri, “Kakak apa apaan sih,” Malu sekali rasanya, Aku tidak mau dilihat orang!
Padahal pas aku mau ngomong berdua kakak saja tadi Daina sudah kuungsikan entah kemana, kenapa sekarang kakak malah sengaja ingin mengerjaiku?
Kelihatannya kakak ingin membalas...

Daina tertawa senang, membuatku semakin malu, Lalu sekilas aku menatap wajah kakakku,
Melihat caranya memandangi Daina.
Sekejap timbul hasrat aneh dihatiku untuk balas menggodanya, aku tidak suka kalah.

“Oh Tapi Daina sudah ada disini, kelihatannya kakak tidak perlu aku lagi.”



Dan Kak Ari meninju rusukku cukup keras,



“Ngomong apa sih, Haha,” Ia tertawa salah tingkah, rasakan, batinku.

“Kak,” Daina tersenyum, menyerahkan bungkusan yang dibawanya kepada kak Ari, “Bahan makanan yang kakak pesan, Titipan dari Ibu juga ada, Tanda terima kasih katanya,” Ia menyampaikannya dengan lembut, Kusadari kakakku menerima dengan mata agak menerawang.

Ia sangat menyukai gadis itu yah.
Aku hanya tersenyum.

Syukurlah.
Syukurlah aku membuat keputusan yang tepat.

Walau beramah tamah, Daina agak menghindariku tapi aku tahu, begitu lebih baik.
Kakakku selalu melakukan apa saja demi aku, Dia juga tidak melanjutkan sekolahnya karena aku,
Dia bekerja keras selama ini demi membiayai pendidikanku, Memang benar aku sering mendapatkan beasiswa, tapi itu tidak cukup, karena diusiaku sekarang, mengusai semua cabang ilmu yang kubutuhkan nyaris nyaris mustahil tanpa biaya meskipun otakku mampu…

Karenanya kakak berusaha keras mengusahakan apa yang ia bisa, dan ternyata ia memang bisa.
Pendidikanku sudah selesai, ia harusnya lebih memikirkan dirinya sendiri,


Sekarang giliranku…



+++


“Dia seksi ya?” Pancingku ketika Daina sudah pulang, kakak lagi lagi nyaris menyemburkan teh yang sedang ia minum.
Kembali gelagapan menjawabku.

“S-siapa?”

Pura pura bodoh lagi, Aku menghela nafas menanggapi sikap kak Ari.

“Daina lah…” Seruku sambil bertopang dagu diatas jendela,
Kakak mendekatiku, terlihat tegang, tapi diam seribu bahasa.
Aku mengangguk tanda mengerti, sejak dulu aku memang tidak suka memaksanya, kakak bukan tipe yang bisa diajak bicara menggunakan kekerasan, tapi jika kau lembut padanya, ia mudah luluh.
“Pasti sulit bersama sama selama ini,”

“Ha?”

Lagi lagi kak Ari memasang tampang tidak mengerti, ia membuang muka, tipe yang bagi sebagian orang menyebalkan namun begitulah caranya ia menutupi kegugupannya.
Aku menurut untuk tidak menatap matanya lagi,

“Serius belum jadian?” Aku tertawa, “Pasti berat sekali setiap hari dia datang kemari dan kau tergoda untuk memeluknya…”

“Mulai lagi…, Kau ini mempelajari hal aneh darimana sih?!” Teriak kak Ari mengacak rambutku, “Sudahlah, mengapa bahas itu terus?”

“Berdasarkan penelitian laki laki saat jatuh cinta memikirkan yang tidak tidak setidaknya 6 kali dalam sehari,” “Dan pada saat berhadapan dengan orang yang dicintai, intensitas pikiran aneh itu bertambah semakin sering…” Aku menghitung, “Sebentar, sebentar, kau dan Daina bertemu tiga kali dalam sehari artinya kalau dikalikan selama beberapa bulan ini…”

“Stop!” Kakak mendorong kepalaku, “Bisa tidak sih, semuanya jangan pakai hitung hitungan segala?”

“Aku kan Ilmuwan,” Selorohku, kakak menarik nafas panjang.

“Bukan dia, lupakanlah, aku mana mau dengan cewek jin botol kerdil mirip casper itu…”

Aku menutup mataku, menikmati hembusan angin, kudengar langkah kaki kakakku menjauh, berpaling sekilas dan ia melepas T-shirtnya,
mendengar suara ia menjatuhkan diri keatas ranjang empuknya.
Tersenyum, aku kembali membalikkan badan, membuka jendela lebih lebar agar angin dapat masuk karena kakakku kelihatan kegerahan.
Aku ingat sewaktu kecil kakak selalu mengatai kucing atau kelinci peliharaan tetangga kami “Jelek-jorok-menjijikkan” tapi faktanya dia datang setiap hari hanya untuk melihat, kadang kadang ikut memberi makan dan memandikan.
Aku menunduk, menatap anak anak berkepala plontos asyik bermain gundu didekat pondok.
Mereka tersenyum dan melambai kearahku, aku tersenyum balik.
Tenang sekali rasanya tempat ini.
Berbagai kejadian yang telah menimpa kami selama ini bagaikan mimpi…

“Bawa barang barangmu kesini,” Perintah kakakku dengan wajah tertutup bantal,
hmmm… apa kata para wanita jika melihat ini? Aku nyengir,
Dada bidangnya naik turun teratur seirama nafas, belum lagi otot perutnya…

Kakinya yang panjang tergeletak sembarangan terbungkus celana jeans dan ia meletakkan tangannya diatas kepala.
Kalau aku jadi Daina, akan lebih mudah jika ia jatuh cinta pada kakakku saja.
Pilihan yang sempurna.

Ia seharusnya memilik kakak.

“Tinggallah disini, denganku, Untuk apa menyewa kamar segala,”
Lamunanku terhenti, kakak tampaknya tahu pikiran jahilku dan ia merasa terganggu.



Aku senang kami bisa bersama lagi, aku sangat kangen padanya tentu saja.

“Ya…”


++++
 
Last edited:
Tasuku (Lanjutan)

____________________________
_________________________




Daina mengikutiku, wajahnya cemas, “Kau suruh orang… bawa kopermu,” Ia memprotes, “Tasuku mau kemana?” Cecarnya ingin tahu,

Meskipun aku tidak bilang, dan Daina berusaha keras tidak bicara padaku selain basa basi yang perlu saja selama beberapa hari ini, ia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak bertanya ketika melihat beberapa orang mengeluarkan barang barangku dari penginapan.
Kubalikkan badan, hiruk pikuk keramaian yang biasa saat suasana cerah didepan penginapan membuat hatiku ikut bersemangat,
Aku lupa sama sekali menceritakan pada Daina, tentang kepindahanku ketempat kakak,
Ia pasti khawatir mengira aku pergi dari desa ini.
Sebenarnya mengapa ia khawatir dan mengapa aku harus peduli?
Kupikir ia pasti akan marah, karenanya aku merencanakan bagaimana cara membujuknya terlebih dahulu.

“Kebetulan kau ada,” Sapaku memasang wajah ceria.
Tampang mempesona penuh senyum adalah keahlianku.
Aku tidak pernah suka kalau sampai ada yang sakit hati hanya gara gara aku…

“Ayo, ada yang ingin kutunjukkan,” Ajakku menarik tangan Daina, gadis itu agak ragu ragu dan aku tidak menghiraukannya, kuayunkan kunci kamar ditanganku, “Aku masih punya kuncinya, ” Kucoba bercanda dan mataku menangkap segaris senyuman malu malu Daina.

Sesampainya dikamar, kubiarkan Daina berkeliling sementara aku sibuk membuka buka ranselku yang tersisa, Daina menyentuh meja tulis yang tadinya penuh sesak oleh sobekan sobekan kertas dan ceceran tinta dan sekarang tampak bersih kosong melompong.
Ia mengusap permukaan kayu berpernis itu menggunakan ujung jemari mungil dan lentiknya. Hari ini adalah pertama kalinya ia masuk kedalam kamarku setelah beberapa minggu.
Wajahnya tampak sedih.

"Kau mau kemana sebenarnya? Pulang ke London?" Ia bertanya lagi, tidak bisa dialihkan,

"Aku akan pindah ke tempat kakakku," ujarku menjelaskan, menutup resluiting ransel cepat cepat,
Daina terlihat kecewa, walau demikian gadis itu tahu ia tidak punya hak untuk melarang,

Aku menghampirinya, menyodorkan stoples bening yang didalamnya ada percikan percikan yang sekilas terlihat seperti air jus warna warni,
Daina mengerinyitkan alis, menerimanya dengan tatapan tidak paham, saat ia menggerakkan tangan hendak membuka, aku cepat cepat menghentikan.

“Bukan!” Seruku, “Bukan begitu cara kerjanya,”

“Ini bukan makanan?” Mata Daina membesar penuh minat, aku menggeleng,
“Sebentar,” Kataku sambil menutup gorden gorden dikamar, Daina sepertinya membawa stoples itu dan meletakkannya diatas ranjangku, karena saat aku berbalik untuk melihatnya, ia sudah duduk dilantai, memandangi pendar pendar menakjubkan didalam kaca.
Sinarnya lebih terang dari yang kuperkirakan, karena saat ini seluruh ruangan dihiasi remang remang indah yang berasal dari stoples kosong didepan Daina.

“Indahnya…” Ia berkata terkagum kagum, “Apa ini kunang kunang?”

Aku tersenyum simpul, “Ini trik kuno, dari jaman kapan sudah ada, Mereka memang menyebutnya kunang kunang, Fireflies in a jar,
Daina melihatku, lalu kembali sibuk memandangi keindahan didepannya, aku maklum.

“Tapi tadi tidak ada apa apa didalam sini…”

“Teknisnya memang begitu, tapi menggunakan bahan kimia tertentu, jadi bisa bersinar dalam gelap, kadang kadang aku membawa beberapa material untuk lucu lucuan saat aku tidak ada kerjaan, mudah kok membuatnya…” Ujarku menjelaskan sekalian duduk bersila disamping Daina,

“Indah sekali,” Puji Daina lagi, “Apa ini untukku? Kau membuatnya untukku?”

Aku mengangguk mengiyakan. Sekali lagi wajah gadis itu terlihat begitu bahagia, sudah berapa lama ya, aku tidak melihat ekspresi tersebut?

"Barang murah kok itu," Tukasku merendah, "Kau bisa menemukan bertumpuk tumpuk yang seperti ini, kalau kau ke pasar malam"

"Tapi aku sungguh tak pernah melihat yang ini disini," Daina mendekap toplesnya, "Terima kasih, aku akan menjaganya baik baik,"

For God sake, itu bukan benda yang hebat, Daina...
Aku sudah tahu ia akan sesenang ini, ia selalu senang pada apa saja, sama sekali tidak ada kebencian dalam dirinya.
Namun aku tidak menyangka bahwa aku juga akan terlarut dalam kebanggaan akan penghargaan yang ia berikan kepadaku.
Ia selalu begitu, menghargaiku secara penuh, tidak peduli sesepele apapun pekerjaan yang kulakukan,
Sekarang tatapanku sulit dialihkan dari kecantikan melebihi kunang kunang yang paling bersinar sekalipun didunia ini.

Jika aku... jatuh cinta padanya dan kehilangan, aku bisa gila.

Tidak, Tash.

Daina mendekatiku, aku terkesiap sadar dari lamunanku sendiri,
“Tasuku, baik baik saja?” Kedua tangannya bertumpu pada pahaku dan ia kelihatannya cemas sekali,
Ia mendekatkan wajah kami.

"Justru kau, apa kau baik baik saja?" Aku balik bertanya, pandanganku mengabsen helaian bulu mata panjang gadis remaja ini, yang membuatku penasaran sendiri,

Daina menggeleng, "Kalau hanya ketempat kakak, berarti aku masih bisa melihatmu," ia menghibur diri, "Aku takut kau menghilang,"

"Memangnya kenapa kalau aku menghilang?"

Bodoh, aku menantang lagi, naluri mudaku sungguh penghalang.

Daina menelengkan kepalanya, matanya yang bulat besar menyiratkan kesyahduan yang tak kupahami.

"Aku tidak tahu..." Katanya lirih, masalahnya bukanlah kata kata 'Aku tidak tahu' itu, tetapi ekspresinya saat ia mengatakannya, bukanlah ekspresi ketidak tahuan, melainkan ekspresi 'Mungkin aku akan mati'.

Pasti ini hanya sementara, hatiku memberitahu,
Sama seperti gadis lain yang terikat pada konsep mereka sendiri,
Terpikat padaku hanya secara fisik,
Jujur saja, wanita yang cukup waras takkan sungguh sungguh jatuh cinta padaku.
Suatu saat juga Daina akan menyadari, dan pergi mencari jawaban atas penyesalannya akan sesuatu yang tak ada padaku.
Menyadari bahwa aku bukanlah pilihan terbaik.

Bahwa diluar sana, selalu ada pilihan lain yang lebih sesuai untuknya.
Aku memikirkan kakakku, betapa baik hatinya, kakak ribuan kali lebih sempurna dariku, dan hanya kepadanya,

Tanpa sadar aku mencengkeram lengan Daina, gadis itu menatap perbuatanku, tak mengerti,


Hanya kepadanya aku rela menyerahkan gadis ini.


“Terima kasih,” Katanya bersungguh sungguh, walaupun agak gelap tapi aku bisa melihat dengan jelas bahwa ia…
Menginginkanku.
Serta mengira aku menginginkannya.
Salah paham, benar benar salah paham...
Sebenarnya apa… yang dilihatnya dariku?

Mata Daina menyiratkan kesalah pahaman, aku ingin menolak tapi aku tidak tega merusak.
Ditengah kebimbanganku, kubulatkan tekadku, Untuk menyakitinya lagi.
Ia akan melupakanku, hanya sedikit kenangan, tanda terima kasih,
Dan setelah itu, lupakanlah...
Kumohon, lupakanlah.

Daina memajukan wajahnya sedikit demi sedikit,






Bibir kami bersentuhan.





Ditengah remang remang cahaya buatan, kami berciuman.
Walaupun ia berhati hati, tapi aku sama sekali tidak berdaya menolaknya.
Aku mengutuk mengapa aku harus bertemu dengannya didalam kamar dan mengapa aku harus menyerah seperti ini.
Lagi lagi aku menyakitinya, rasanya sampai sekarang yang kulakukan hanyalah menyakitinya saja, tidak ada yang lain yang aku bisa.

Kapan sebenarnya dia sadar bahwa aku bukanlah orang yang tepat?

Meskipun demikian, justru kehati hatiannya itulah yang membuatku melemah, Ia begitu menampakkan ketakutannya akan penolakanku, malah hal tersebutlah yang membuatku tidak sampai hati.
Ini ciuman pertamaku, tidak ada rasa apapun, hanya kenyal bibir Daina dan nafasnya yang harum menerpaku, agak terputus putus, mungkin karena ia gugup atau apa,
Kurasakan tekanan lembut pada bibirku mereda, Daina memberanikan diri membuka mata.



Gadis kecil yang berani, batinku.



“Kau sudah puas?” Tanyaku, yakin sekali bahwa sama sekali tidak terjadi perubahan apapun pada air mukaku saat ini, Daina menatap kecewa.
Aku yakin ia mengerahkan bahkan separuh nyawanya sekaligus untuk tindakannya barusan.
Dan sangat sakit mengetahui bahwa keputusannya merendahkan diri dihadapanku sama sekali tidak membuat hatiku tergerak sedikitpun.


Benar kan, kau sakit lagi, sudahlah, menyerah saja...


Karena penampilan yang pandai menyembunyikan perasaan inilah sebenarnya aku disebut ‘Jenius’, Aku mengejek diriku sendiri.

Daina terdiam, betapa tak terduganya, kemudian ia berkata, “Tidak, belum,” padaku.

Ia pastilah tidak hanya mengerahkan separuh melainkan seluruh nyawanya untuk keberanian sebesar ini.

Biasanya begitu aku melakukan penolakan wanita lain akan segan mendekat… Mulai mengubah sudut pandang mereka tentang betapa buruknya aku dibalik kemasan yang mewah dan sempurna,

Tapi kali ini berbeda. Daina agaknya sangat faham walau ia sendiri tidak sadar, Bahwa siapa yang berusaha lebih banyak maka ialah yang layak mendapatkan sesuatu yang terbaik,
Dan sebagai lelaki yang terkadang merasa dirinya congkak, aku juga tidak sudi mengejar wanita.
Daina membuatku benar benar merasa hebat, sikap keras kepala, pantang menyerah, tidak ragu walau harus mengorbankan harga diri sekalipun,


Meletakkan aku diatas segala-galanya…


Sekilas terlihat tidak berkelas, kalah jauh, tidak ada apa apanya, payah.
Padahal sebenarnya akulah yang dikuasai, lihat kan? Apa aku bisa menolak?
Aku mengepalkan tanganku tanpa sadar.
Pintar, wanita yang sangat pintar.

Ia memajukan badannya sekali lagi,
Mencium pipiku dengan lembut, tangannya gemetar bertumpu pada kedua pahaku, merasa ini tidak membantu, aku memindahkannya kedadaku agar ia bisa memegangku dengan lebih stabil.
Daina kaget karena aku terkesan memberikannya bantuan, dan hal itu dianggapnya sebagai izin masuk.
Mata kami bertemu lagi, Daina mengisyaratkan tatapan memohon itu lagi, disertai rasa penasaran yang tersirat jelas melalui tiap sentuhannya.

Aku menolehkan kepalaku kesamping, tidak mengiyakan ataupun menolak,
Membuatnya leluasa mengalungkan kedua lengannya dileherku, kembali menciumi pipi kiri, kemudian telinga, menggigiti pelan pelan, lalu kembali lagi kedaerah pipi, ragu ragu dan kikuk sehingga sedikit rasa geli menggelitikku setiap kali hidung dan bibir lembutnya menggesek kulit wajahku.
Menyiksaku hingga beberapa lama, begitu pelan dan lambat sampai sampai kurasa aku akan gila.
Tubuhku mengejang seiring turunnya ciuman polos tanpa pengalaman itu kearea leher.

Daina kikuk sempurna tapi ia membuatku gemas karena rasa penasarannya tidak diimbangi dengan persiapan yang matang.
Sentuhannya begitu inosen, Aku bahkan ragu bahwa ia mengerti apa yang dilakukannya sekarang, membuatku gemas.
Kelihatan sekali bahwa ia hanya mengikuti naluri dimana ia ingin menyentuhku.

Darah kelelakianku menggelegak panas.
Tidak bisa kutahan tanganku, segera menangkap kedua lengan mungil itu, memegangi bahunya dan meremas kuat, saat kurasakan pagutan lembut menyengat leherku, hisapan yang awalnya pelan lalu semakin lama semakin kuat,
bibir dan salivanya yang hangat basah...
Sikap dan tingkahnya yang seperti bayi kelaparan…
Terkutuknya, kedua telapak tanganku malah menjalar membelai punggung Daina, seolah memberikan dukungan.

Bukan malah menyentakkan lalu menasehatinya seperti yang seharusnya kulakukan.

Aku justru menikmati ini.


Daina merenggangkan tubuhnya perlahan, kami berpandangan dengan nafas sama sama terengah.

Lalu wajahnya memerah.
Sangat sangat merah padam sampai kau akan mengira ia keracunan makanan.

“Ma…af…” Ia membalikkan badannya, begitu gelisah tidak berani menatapku.
Kusentuh bagian leherku, hangatnya masih terasa, pastilah meninggalkan bekas nantinya, merepotkan juga harus menutupinya, mungkin aku harus memakai plester luka nanti…

“Sudah puas?” tanyaku lagi, menetralkan nafas, Daina tidak menjawab, ia memeluk dirinya sendiri dipojok, aku tidak bisa melihat wajahnya,

“Kalau kau belum puas aku bisa mengikuti arahmu sejauh kau mau, tapi kukatakan lagi, tidak akan ada yang berubah… Yang seperti ini tidak akan mempengaruhiku.”

Daina menoleh, “Mengapa?” Tanyanya sedih,
Aku mendesah pelan, duduk berselonjor dilantai.
“Kau tahu aku, berapa kalipun ditanya, sama saja,” Jawabku singkat. “Aku punya sesuatu yang menjadi prioritasku melebihi apapun…”

Daina tersenyum, senyum sedih, ya, tapi ia menerimanya,
Ia mengangguk lemah, mengusap sebentuk titik bening yang menetes dipelupuk matanya.
Ia mengambil stoples itu, mendekapnya erat.

“Aku… masih boleh bersamamu? Walau tidak berarti apa apa… sebagai adik saja tak apa, boleh?”

Ya, aku bukan yang terbaik untuk dicintai, aku pilihan yang salah,
Begini sudah benar, kakakku menyukainya, dan akupun sudah memiliki target masa depan yang harus kukejar, tidak sulit bukan?
Dunia mempermudahnya untukku.

Permintaan sederhana, maka kuiyakan, apa sulitnya menganggap seseorang sebagai adik?
Terlebih lagi, mungkin ia akan menjadi saudaraku juga dimasa depan.

Saudara ipar.

Denyut hebat menyerang ulu hatiku, tidak tahu mengapa.
Aku pasti hanya terbawa perasaan.
Cinta dan semacamnya mustahil kurasakan, tidak…
Begitu tenangnya aku kembali menyibak tirai kamarku, membiarkan sinar matahari kembali menembus masuk kedalam ruangan.
Daina berdiri, mengucapkan terima kasih sekali lagi, ia sudah kelihatan tegar meskipun masih tidak berani menatapku,
Entah kenapa aku kecewa.
Kedua pipinya dihiasi semburat merah jambu, ia bersikap seolah hari ini adalah perayaan besar umat beragama.


Bagaimana bisa kau tidak mengistimewakannya, Tasuku?

Tidak, hatiku,
aku tidak akan terbujuk.




++++
 
Last edited:
Ari.


_______________________
_____________________




Tasuku menata barang barangnya didekat lemariku begitu saja,

“Kuperhatikan, sepertinya kakak banyak pikiran belakangan ini,”

Aku mengeluh, “Kalau kuceritakan, apa kau mau mendengar?”

Tasuku menaruh minat sangat besar pada apa yang ingin kubicarakan, seperti biasa, Ia meluang waktunya untuk mendengar ceritaku.
Hebat, kemampuannya dalam mendengarkan.

“Aku curiga, ada aktifitas Ilegal didesa ini,”

Alis Tasuku naik, ia menjadi sangat tertarik.

“Ilegal?” Katanya berhenti tersenyum, “Maksud kakak…”

Aku menceritakan padanya.
Tak butuh waktu lama bagi Tasuku untuk memahami apa yang hendak kusampaikan.
Ia manggut manggut sambil duduk, memikirkan apa apa yang kukatakan padanya.

“Aku pernah mendengar tentang itu,” Tasuku memberitahu, “Kemarin aku… saat dibandara, sempat melakukan sesuatu,”

“Aku tahu,” kukatakan saja, berita yang kulihat di internet dan banyak lagi, Tasuku mengangguk nyengir,

“Padahal aku sudah hati hati sekali, loh,” katanya, “ Ah ya, orang orang yang kakak ceritakan ini mungkin kukenal, Mereka teman dari lelaki yang menyerang Daina kemarin, mereka menginap dipenginapan yang sama denganku,”

Aku terbelalak, “Mereka? Dipenginapan yang sama?!”

“Aku telah memberitahu orang tua Daina, Aku juga sudah mencari mereka, tapi kamar mereka kosong, sepertinya penghuninya sedang pergi untuk waktu yang belum ditentukan…”

Pasti, mereka bilang tidak akan kembali sebelum waktu yang telah ditentukan, itu inti yang kudengar semalam, yaitu waktu pembukaan peti kargo…
Aku diam membenarkan.


Berapa lama? Menunggu mereka datang dan sergap ditempat?
Itu terlalu lambat,
“Tapi, kita tidak bisa menuduh tanpa bukti…” Tasuku berkata sambil melirik penasaran kearah kunci ditanganku, “Itu apa, kak?”

Kupandangi anak kunci itu, menahan nafas, “Kelihatannya ini kunci peti kemas berisi barang selundupan mereka, pria itu menjatuhkannya semalam, kurasa dengan ini kita akan mendapatkan bukti,”

“Kakak ingin… membongkar barang orang?!” Tembak Tasuku kaget, aku mengangguk,

“Aku akan pergi kesana,” Putusku akhirnya, “Apapun itu, aku harus menemukannya, kembali kesana sekali lagi malam ini.”

"Malam ini mereka serah terima kan?”Tanya Tasuku lagi, aku mengangguk. “Berarti kakak berniat bertindak sebelum mereka melakukannya ya kan'? Hati hatilah,” Ia mengingatkan, kemudian berbalik untuk membuat teh.
Tasuku tidak mengingatkanku bahwa ini bukan urusanku, kurasa ia sudah mengerti bahwa aku tipe orang yang tidak mungkin bertindak tanpa ada alasan.

Aku senang dimengerti, adikku memang tidak ada bandingannya didunia ini.

“Selamat siang…” Aku dan Tasuku nyaris terlonjak karena kaget, sedang bicara serius, Daina tiba tiba muncul, wajahnya terlihat cemas, ia membawa rantang seperti biasa,

Aku langsung memasang tampang sok tenang,


“Aku mengganggu?” Gadis itu bertanya ragu,

“Tidak, tidak sama sekali, aku sudah lapar, kau lamban sekali jalannya,”

Daina mendengus kesal, langsung masuk dan ngeluyur kearah dapur,
Ia mengambil baki dan beberapa piring piring, berpapasan dengan Tasuku yang sedang menenteng gelas berisi teh panas manis yang mengepul,
Gerakan Daina terhenti sebentar, demikian pula Tasuku.
Tidak tahu apa yang terjadi, mereka terlihat sama sama canggung, Daina menunduk sambil berkata ‘Permisi’, kedengaran serak, sementara Tasuku cepat cepat menyingkir memberi jalan.


“Ada apa?” Tanyaku, “Kalian aneh, bertengkar?”


“Tidak,” Tasuku adalah yang terlebih dahulu menjawab, “Kami baik baik saja, ya kan, Daina?” Ia menoleh pada Gadis itu seolah mencoba mendapatkan dukungan.
Daina yang ditanyai langsung berbalik, senyumannya mengembang tak kalah dari milik Tasuku.


Entah mengapa aku merasa mereka berdua seram.


“Ya! Kami amat sangat bersahabat,” Daina memberi penekanan pada kata ’bersahabat’.


“Ieuh…” Ejekku, “Terserah kalian sajalah.”
Aku benar benar banyak pikiran sekarang, Daina seperti Tasuku yang terbagi jadi dua bagian. Mirip sekali.

Aku memperhatikannya menyalin ikan bakar diatas piring besar, Ia mengenakan T-shirt dan rok panjang selutut yang anggun, ditutupi celemek tua, kakinya yang telanjang malah sangat putih padahal ia jarang pakai sendal,
Diam diam aku tersenyum mengagumi kecantikannya.

“Aku mau mengerjakan catatanku,” Tasuku menepuk bahuku lembut, “Kakak makanlah duluan…”

Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya,
Yah, memang sampai saat ini aku paling berbangga hati karena aku satu satunya orang yang berdekatan dengan Tasuku dan mengerti dia, sejauh yang manusia bisa.
Tetap saja, kadang ia begitu jauh dari jangkauanku, pikirannya…

Bunyi berkelenting sendok selesai ditata, Daina tersenyum seraya mengambilkan nasi untukku,
“Kau cocok jadi Istri, bulat,” Pujiku sungguh sungguh, Daina merengut masam,

“Yang jelas bukan istrimu,” Sahutnya galak, sibuk mencari cari gelas di rak.

Aku tertawa, memasukkan buah ceri kedalam mulutku. “Heh…, Sombong.”

Daina? Istriku?
Ide bagus.


-
-
-


“Sial,” umpatku, saat mau tak mau mengakui kekalahanku,

Peti kemas itu tak bergeming, sama sekali.
Meskipun aku berusaha keras mencocokkan kunci yang ada padaku.

Ketika hari beranjak senja, seperti yang sudah kurencanakan, aku pergi untuk melihat kargo sekali lagi,
Sudah diganti, jelas saja, geramku dalam hati.
Sia sia sudah, kuperhatikan bekas penyok pada gagang pintunya,
Mereka cepat sekali, pasti mereka tahu salah satu anak buahnya kehilangan kunci…

“Apa sebenarnya yang ada didalammu, bedebah!”
Kutendang benda besar itu dengan perasaan kesal,
Namun tiba tiba saja, suara gebrakan nyaring memberikan respon dari dalamnya.


Seperti ada sesuatu yang hidup disana…

Belum habis rasa keterkejutanku, aku sudah harus melompat menghindari peluru yang ditembakkan kearahku,
Didepanku, sudah berdiri lelaki yang kemarin malam kuhajar, hampir setengah dari wajahnya terbalut perban, melihatku dengan tatapan bernafsu membunuh.


Ia menembakkan pistol ditangannya sekali lagi.




+++
 
Daina.

_________________________
______________________



Tasuku menjatuhkan gelas ditangannya, Ia sendiri kaget.
Aku bersegera menghampirinya, kami hanya berdua didalam pondokan malam ini, aku tak tahu kakak kemana, aku mengantarkan makan malam seperti biasa,
Tapi yang kudapati hanya Tasuku.
Tasuku dan aku, sebenarnya saling menghindari, terutama sejak kejadian 'Itu'. Suasana jadi canggung, aku tak suka ini,
Seandainya saja kakak ada…

Aku mengambilkan nasi dan menuangkan air minum untuknya seperti yang biasa kulakukan untuk kakak, Tasuku kelihatan berusaha keras bersikap normal menghadapiku,

“Biasanya juga begini,” Kataku hati hati, Ia hanya tertawa sekenanya, untuk mencairkan suasana,
Kami sama sama diam lagi, sampai ia selesai makan malam,
Tasuku berdiri untuk mengambil airnya sendiri, dan begitulah ia berakhir menjatuhkan gelasnya.

“Biar aku saja!” Ujarku cepat tanggap, Tasuku juga mengulurkan tangannya kearah pecahan gelas dilantai, tangan kami bersentuhan.
Secepat kilat ia menarik lagi.

“Maaf…” Keluhnya, ia tampak kesusahan, aku tidak ingin memaksakan.
Astaga, sebegitunya kah ia menghindariku?
Amat sangat tidak menyenangkan.

“Tunggu,” dengan gerakan sigap, kusambar lap yang tersampir begitu saja diatas meja makan, mengelap tangan Tasuku,
Tasuku, kebingungan bercampur tidak enak, membiarkan saja,
Tangan Tasuku halus sekali, besar, kuperhatikan jari jari ramping itu, hampir kehilangan konsentrasiku sendiri.

“Tasuku!”

Aku dan Tasuku sama sama tersentak mendengar suara Kak Ari memanggil.
Tasuku segera melangkah keluar dapur, menyambut kakaknya, sementara aku melanjutkan membersihkan pecahan gelas dilantai.

“Ada apa?” Aku mendengar suara lembut Tasuku beradu dengan nada Baritone milik kak Ari.
sibuk menyapu pecahan kaca kemudian mengelap lantai, tetapi telingaku aktif mencuri dengar,
Kak Ari seperti ngos-ngosan,

“Aku punya sesuatu untuk diperlihatkan padamu,”

“Kau berdarah,” Tasuku memotong kata kata kak Ari tanpa mempedulikan,

“Bukan aku, tunggu sebentar,”

Kakak kenapa? Apanya yang berdarah?
Kuletakkan sapu disudut samping rak piring,
Khawatir, sambil memegangi celemek untuk mengeringkan tangan.
Memutuskan untuk pergi keluar melihat apa yang terjadi.

Didepanku Tasuku masih berdiri mematung, entah apa yang dipikirkannya, sementara tak lama kemudian kakak datang, menggeret karung besar, spontan aku menutup mulutku dengan kedua tangan, menahan diri sendiri agar tidak berteriak.

Karung itu berdarah, ya, darah.

Tampak darah berceceran sepanjang jalan dimana kakak menyeretnya, seakan apapun tadinya yang berada didalam sana, pastilah sesuatu yang…

Tasuku merunduk, membuka bungkusan itu, menariknya cepat dan kasar, nafasku tertahan.
Benar saja,

Mayat.

Dua mayat tak dikenal, bahkan salah satunya kelihatan masih kecil, mungkin balita.
Refleks aku meneteskan airmata, terbawa dalam kesedihan membingungkan.

“Kak… kau membunuh orang?” Tanyaku serak,

Tasuku yang memberikanku jawaban, bukan Kak Ari.

“Mereka bukan orang,” Bisiknya sendu, tangannya sangat terlatih, tanpa jijik sedikitpun membuka mata mayat mayat itu yang tadinya tertutup, sekali lihatpun ia tahu, karena berikutnya ia berkata :

“Undead, Dimana kakak temukan ini?”

Aku tercekat ngeri.
Kak Ari membuang muka, melangkah kearah dapur, begitu tergesa gesa hingga ia tak sadar menabrakku, aku terhuyung kesudut, sementara kak Ari mencuci tangan dan mukanya yang berlumuran darah diwastafel, ia mengelap dengan handuk, sesaat kemudian melemparkan benda itu kedalam bak sampah.

“Bakar itu,” Perintahnya padaku. “Dan kau,” Tak ketinggalan, ia memandang Tasuku, memberikan instruksi selanjutnya sehingga baik aku dan Tasuku, satu sama,
sama sama disuruh suruh,

“Bisakah kau menolongku?” Kata kak Ari tajam, Tasuku terlihat serius, ia tidak mengiyakan tapi juga tidak menolak, ia hanya menunggu sang kakak melanjutkan bicara.

“Lakukan autopsi pada mayat ini, disini, sekarang juga.”


++++
 
Back
Top