#11
![]()
Re: Wanita Kedua
Suatu hari, setelah jalan-jalan di Plaza Senayan, Jeanny mengajakku ke rumahnya di
daerah Jakarta Selatan. Rumah mungil berlantai dua di sebuah perumahan di kawasan Lebak Bulus itu cukup nyaman. Arsitekturnya bergaya art deco yang minimalis. Temboknya berwarna salem dengan jendela ala Eropa berwarna hijau tua. Melihat lokasi dan material rumah Jeanny, kutaksir nilainya mencapai 1 miliar. Tapi, Jeanny sedikit merendah, Dulu harganya belum setinggi itu. Lagi pula, aku membelinya dengan cara kredit, kok. Jeanny tidak bekerja di sebuah perusahaan. Dia mengaku mencari nafkah dengan bisnis jual-beli. Macam-macam yang dijualnya, mulai dari tanah, rumah, sampai berlian. Meskipun barang-barang itu tidak cepat terjual, bila kebetulan laku, keuntungannya bisa digunakan untuk hidup selama berbulan-bulan. Bahkan, dari bisnis itu pula, dia bisa memiliki deposito dan tabungan yang jumlahnya cukup besar. Aku mengagumi kemandiriannya. Aku ingin bisa sehebat dirinya. Kata Jeanny, dia memilih berbisnis daripada bekerja kantoran agar tidak sering meninggalkan putra semata wayangnya yang kini berumur 9 tahun. Kasihan kalau Dito sering ditinggal sendirian dengan pembantu. Apalagi, papanya sudah meninggal, begitu alasan Jeanny padaku. Sewaktu kami datang, Dito baru saja pulang dari sekolah. Anak itu tampan dan lucu. Kulitnya putih dan rambutnya ikal. Kuperhatikan sepintas, hidungnya mirip denganku. Jeanny mungkin membaca pikiranku. Kayaknya, kamu cocok juga jadi ibunya Dito, ledeknya. Lalu, dia menyuruh Dito bersalaman denganku. Mama, bikin spaghetti saus keju, dong, rengeknya, manja.
|
Loading...
|
#12
![]()
Re: Wanita Kedua
Nanti, ya, Sayang. Mama kan sedang ada tamu, jawab Jeanny, lembut, sambil
melirik padaku. Nggak apa-apa, Jean. Bikin saja, biar aku bantu, kataku pada Jeanny. Jeanny agak ragu, tapi aku mengangguk untuk meyakinkannya. Kami pun melangkah ke dapur mungil milik Jeanny. Dari lemari di dinding, Jeanny mengeluarkan sebungkus spaghetti dan merebusnya. Aku pun membantunya mengiris bawang bombay. Dito suka semua makanan yang mengandung keju. Spaghetti saus keju ini membuatnya gampang dan cepat. Kapan saja bisa dibuat,; kata Jeanny, sambil menaburkan keju parmesan di atas spaghetti yang telah disiram dengan saus keju. Dito makan dengan lahap. Aku dan Jeanny juga mencicipinya. Rasanya memang enak. Baru kali ini aku makan spaghetti dengan saus keju, karena biasanya selalu dengan tumisan daging atau seafood. Enak, kan tanya Jeanny, seolah meminta pengakuan kehebatannya dalam memasak. Ya, enak, Jean. Ternyata, kamu pintar memasak. Kok, nggak membuat restoran saja? Jeanny menuang orange juice ke dalam gelas dan meminumnya. Pernah, sih, aku ingin membuat semacam kafe. Tapi, bisnis makanan kan repot banget, apalagi kalau mengerjakannya sendirian. Kalau ada partner, mungkin aku berani, jawabnya. Mendengar itu, tiba-tiba aku mendapat ide.
|
#13
![]()
Re: Wanita Kedua
BLAH! jangan-jangan ntu tante naksir ama si laki! sudah ama bapaknya ama anaknya juga?!! |>:(
|
#14
![]()
Re: Wanita Kedua
laki siapa non? belum aku sebutin ada laki2 selain bapak n anaknya Jeanny...
|
#15
![]()
Re: Wanita Kedua
Bagaimana kalau kita bekerja sama membuat kafe? Aku juga ingin membangun
usaha sendiri. Papa meninggalkan tabungan yang lumayan atas namaku. Kalau usaha Papa, sih, sudah diambil alih oleh Mama. Aku nggak berbakat mengurus bisnis. Tapi, kalau makanan, aku suka,; kataku cepat. Aku memang suka makan dan juga suka memasak. Sangat berbeda dari Mama. Mama paling tidak suka mengurus dapur. Bukan cuma tidak suka, aku pikir Mama juga tidak berbakat. Pernah suatu kali, Mama memasak ayam panggang untuk merayakan ulang tahun Papa. Rasanya? Uh... aku dan Papa tak sanggup menghabiskannya. Rasanya hambar, apalagi di bagian dalamnya. Selain bumbunya kurang, rasanya pun tak jelas. Kenapa bisa begitu, ya? Padahal, aku lihat sendiri Mama memasak, sambil melihat buku resep. Karena tak tega pada Mama yang sudah bersusah payah memasaknya, kami terpaksa menghabiskan ayam panggang yang tak ada rasanya itu dengan bantuan sebotol besar soft drink. Setiap kali menelan sepotong daging ayam, kami harus mendorongnya dengan dua teguk minuman ringan, sampai-sampai perut kami menjadi kembung. Sepertinya, Mama sadar bahwa masakannya tidak enak, sebab sejak saat itu Mama tidak pernah memasak lagi. Dia lebih memilih membeli atau memesan masakan matang untuk acara-acara keluarga. Dari perbincangan yang sepintas lalu itu, aku dan Jeanny mulai sering membicarakan kafe yang ingin kami buat. Kami begitu bersemangat. Kami sepakat bahwa bisnis ini sangat menarik. Selain potensial, juga sesuai dengan hobi kami berdua, yaitu memasak. Dua minggu kemudian kami mulai membuat perencanaan.Menghitung anggaran dan dana yang tersedia. Setelah klop, kami berburu lokasi. Kami menemukan satu tempat yang bagus. Memang, harganya tidak murah, namun strategis dan sesuai dengan target market kami. Bangunannya juga masih baru, sehingga tidak banyak yang harus kami renovasi, kecuali menyiapkan interior kafe lengkap dengan furniture-nya. Lokasinya di pinggir jalan utama sebuah perumahan, yang menjadi jalur alternatif ke perumahan-perumahan kelas atas di lokasi itu. Dengan demikian, kafe itu akan menjadi tempat yang pas untuk melepas lelah sepulang dari kantor. Juga tidak terlalu jauh untuk dijangkau oleh mereka yang sedang bosan berada di rumah.
|
#16
![]()
Re: Wanita Kedua
Selain menjadi tempat untuk memanjakan lidah, kami juga ingin menjadikan kafe ini
sebagai tempat refreshing. Karena itu, kami menyiapkan dua ruang tertutup untuk karaoke dan internet. Beragam kopi dan teh, mulai cappuccino, espresso, sampai kopi medan, kami sediakan. Juga ada macam-macam teh, seperti black tea, green tea, dan peppermint tea. Kami juga menyediakan satu jenis teh spesial kafe yaitu rose tea. Aku mendapat idenya karena pernah meminum air seduhan bunga mawar untuk mengobati batuk yang tak kunjung sembuh. Resepnya kudapat dari seorang kerabat di Yogyakarta. Ternyata, selain bisa menyembuhkan batuk, rasanya pun nikmat. Kupikir, tak ada salahnya bila bunga mawar kujadikan salah satu pilihan aroma teh yang kuhidangkan di kafe kami. Untuk makanannya, kami menyediakan tiramisu, blueberry cheesecake, avocado mousse, juga masakan Italia, seperti lasagna dan spaghetti saus keju dalam porsi kecil. Semua makanan adalah hasil racikan kami berdua, sehingga kami tidak perlu mempekerjakan chef profesional, yang gajinya sudah pasti tinggi. Cukup dua orang lulusan sekolah boga, yang dilatih khusus untuk memasak makanan hasil kreasi kami itu. Dengan dasar ilmu yang mereka miliki, dengan cepat mereka menguasainya, bahkan jauh lebih terampil daripada kami. Jadwal kerja pun kami bagi. Jeanny menunggui kafe sejak pagi sampai sore, bergantian denganku yang bertugas malam hari sepulang dari kantor. Kadang-kadang, Jeanny menemaniku di kafe sebelum pulang ke rumahnya. Untunglah, lokasi kafe tidak terlalu jauh dari rumahnya, sehingga dia bisa pulang kapan saja untuk menjenguk Dito. Tapi, Dito pun sering mampir sepulang sekolah. Kadang-kadang, dia datang bersama teman-temannya. Mereka begitu manis, tidak pernah berulah macam-macam. Biasanya, hanya memesan lemon tea, lalu main game di internet. Aku selalu mengirimkan beberapa potong brownies untuk menemani mereka bermain. Aku menyayangi Dito. Dia sudah seperti anak, sekaligus adik bagiku. Toh, aku belum terlalu tua untuk menjadi kakaknya. Sepertinya, Mama juga menyukai Jeanny. Mereka bertemu saat pembukaan kafe. Mama menyukai keramahan Jeanny. Memang, Jeanny adalah orang yang pandai bergaul. Dalam sekejap dia bisa akrab dengan Mama. Kadang-kadang, Mama mampir ke kafe, bila sedang jenuh di rumah, sekadar mengobrol dengan Jeanny, sambil menungguiku pulang dari kantor. Keakraban mereka kadang-kadang membuatku sedikit cemburu, tapi aku sadar, Mama memang sangat membutuhkan teman sejak ditinggal Papa untuk selama-lamanya.
|
#17
![]()
Re: Wanita Kedua
Suatu hari aku melihat seorang pria paruh baya datang ke kafe kami. Ia terlihat sangat
akrab dengan Jeanny. Bukan hanya akrab, tapi mesra. Setelah kutanyai, Jeanny mengaku, pria itu adalah kekasihnya. Namanya Wilman. Aku agak heran, ketika Jenny dengan enteng mengatakan bahwa Wilman adalah seorang pria beristri. Gila kamu, Jean. Suami orang dijadikan kekasih! Memangnya tidak ada pria lain tanyaku. Apa salahnya? Dia kan manusia biasa seperti kita. Kalau istrinya tidak bisa menyenangkan hatinya dan dia jatuh cinta pada kita, boleh, dong, dia jadi kekasihku,; katanya, sambil tertawa. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Meskipun tidak setuju pada pendapat itu, aku tak berani mengkritiknya. Itu kehidupan pribadinya. Kami, toh, belum lama saling mengenal. Jadi, aku merasa tidak pantas memberikan kritik atau nasihat padanya. Tapi, aku kasihan pada Dito. Wajahnya selalu masam bila melihat mamanya bersama Wilman di kafe. Mungkin, dia cemburu melihat ada pria lain yang dekat dengan mamanya. Tapi, cinta sejatiku hanya untuk papanya Dito, kok.; Ketika mengatakan itu, aku melihat guratan kesedihan di wajahnya. Aku selalu merasa bahwa di balik sifatnya yang terlihat tak peduli, Sandra menyimpan rahasia hidup yang begitu berat. Sejak dekat dengan Wilman, Jeanny sering bepergian. Kami jadi jarang bertemu, kecuali bila kebetulan sedang berada di kafe. Apalagi, ia sering pergi ke luar kota, yang membutuhkan waktu beberapa hari. Aku tahu, Jeanny pergi bersama Wilman, dan Jeanny tidak berusaha menutupinya. Tapi, dia tidak pernah memberi tahuku sebelumnya, apalagi meminta pendapatku. Kupikir itu wajar. Toh, dia bukan anak kecil yang harus selalu minta izin, bila hendak melakukan sesuatu. Sifat terbukanya itu yang kusuka. Meski aku juga sedikit menyesal karena telah salah memilih teman. Bagiku, Jeanny mempunyai cara hidup yang begitu bebas, tepatnya terlalu bebas. Tapi, mungkin dia melakukan itu karena merasa kesepian, hidup sendirian selama bertahun-tahun.
|
#18
![]()
Re: Wanita Kedua
Memangnya, kamu tidak ingin menikah lagi tanyaku.
Siapa yang mau menikah dengan wanita seperti aku? Sudah pernah menikah dan punya anak,; katanya, dingin. Setiap manusia ditakdirkan berpasang-pasangan. Seburuk apa pun kamu menilai dirimu, aku yakin, pasti akan ada seseorang yang berpikir dirimu adalah belahan jiwanya,; kataku, menasihatinya. Aku sedih melihat cara hidup Jean yang demikian. Aku ingin, suatu saat dia akan menikah lagi dan memberikan Dito seorang papa yang baik. Kalau yang kamu maksud itu cinta sejati, aku sudah kehilangan cinta sejatiku sejak papanya Dito meninggalkan aku. Tubuhku ini memang bisa dimiliki pria lain, tapi hatiku tidak.; Kata-kata Jeanny itu begitu jelas menggambarkan isi hatinya. Sepertinya, Jeanny hanya mencintai satu orang: papanya Dito. Aku salut pada kesetiaan hati Jeanny pada cintanya. Melihat cara hidup Jeanny, diam-diam aku sering memandang wajah Dito dan bertanya-tanya, siapakah ayah anak ini. Apalagi, selama ini Jeanny tidak pernah bercerita tentang suaminya. Di rumahnya yang indah itu tidak ada sepotong pun foto suaminya. Seolah, hal itu adalah misteri yang sengaja disembunyikannya dari semua orang. Aku hanya tahu, Jeanny pernah menikah sekitar 10 tahun lalu. Tapi, siapa dan seperti apa wajah suaminya, tetap menjadi sebuah rahasia yang tersimpan begitu rapat. Aku tak berani bertanya pada Dito, karena sepertinya Dito pun menghindari percakapan tentang ayahnya. Apalagi, aku merasa Dito sangat tertekan karena kehilangan figur ayah. Sama tertekannya ketika melihat ibunya kini sering bepergian dengan pria bernama Wilman itu. Terus-terang saja, aku merasa, Wilman tidak pantas untuk Jeanny. Selain karena pria itu sudah beristri, usianya juga sudah 55 tahun. Dia lebih pantas jadi ayah Jeanny. Kuakui, pria itu kaya. Dan, sepertinya, jabatannya di sebuah instansi pemerintah cukup tinggi. Setidak, itu terlihat dari mobil mewah yang dikendarainya.
|
#19
![]()
Re: Wanita Kedua
Walaupun aku kurang menyukai Wilman, mau tak mau aku harus menerima
keberadaannya sebagai kekasih Jeanny. Kami juga sering bertemu, baik di kafe, maupun di acara-acara yang diadakan olehnya. Dia sering mengundang kami. Biasanya, bila ia datang, aku lebih banyak menghabiskan waktu duduk sendirian, tak ikut mengobrol dengannya. Atau, bila Dito ada, kami akan ngobrol berdua, sementara Jeanny dan Wilman menghilang entah ke mana. Suatu hari, Wilman mengadakan pesta ulang tahun Jeanny di sebuah restoran. Agar aku tidak bengong sendirian, Wilman berinisiatif mengajak temannya yang bernama Gunawan. Sebetulnya, Gun, begitu dia dipanggil, tidak terlalu tampan. Tubuhnya yang tidak seberapa tinggi itu sedikit gendut. Dia sudah berumur 50 tahun dan memiliki dua anak. Rambutnya pun tipis, bahkan cenderung botak. Kulitnya putih dengan mata yang sipit. Logatnya sangat kental, menunjukkan asalnya. Dia tidak tampan, tapi menawan. Begitulah aku menilainya. Kecerdasan yang terpancar dari kedua bola matanya, membuatku tak pernah bosan memandangnya, saat dia sedang menjelaskan sesuatu, mulai dari strategi bisnis, sampai pengalamannya saat pergi ke kota-kota besar dunia. Pengalamannya begitu luas. Karena itu, dia bisa menjadi teman mengobrol yang sangat mengasyikkan. Sampaisampai, aku pernah berpikir, alangkah beruntungnya istri Gunawan mendapatkan pria sehebat dia. Aku tak tahu, apakah ini yang dinamakan cinta? Sebab, dulu, palingpaling aku naksir pria hanya karena ketampanannya. Sangat berbeda dari kekaguman yang kurasakan pada Gunawan saat ini. Sepertinya Gunawan menyadari ketertarikanku padanya. Jeanny menggodaku suatu hari. Sepertinya, kamu tertarik pada Gunawan, ya? Aku tidak menyangka, ternyata seleramu cukup tinggi,; katanya. Apa, sih, maksudmu dengan selera tinggi tanyaku, penasaran. Karena, bagiku, Gunawan bukan sosok yang istimewa secara fisik. Gunawan itu sangat kaya, Non. Hartanya bisa membiayai hidupmu. Sampai tujuh turunan pun tak akan habis. Wilman, sih, kalah. Maklum, pegawai negeri. Kalau mau kaya, dia harus korupsi. Itu pun tidak bisa banyak-banyak, agar tidak terlalu mencolok,; kata Jeanny, ngawur.
|
#20
![]()
Re: Wanita Kedua
Kamu ngomong apa, sih
Maaf, aku lupa bahwa kamu juga anak orang kaya. Materi itu nomor kesekian. Tapi, kalau benar kau suka padanya, pilihanmu sebenarnya tidak salah. Kalau belum ada Wilman, mungkin aku juga bersedia. Tapi, tidak etis kan kalau aku mencuri pria incaran teman,; celoteh Jeanny. Tidak etis? Kamu pikir, berhubungan dengan suami orang itu bisa dikatakan etis? Jeanny mengerling nakal. Aku hanya bisa tertawa. Sejak Jeanny berterus-terang tentang gaya hidupnya yang bebas, aku tak lagi merasa itu sebuah aib atau kejahatan. Aku hanya berusaha memahaminya sebagai sebuah pilihan hidup. Memang, kuakui, aku terkagum-kagum pada figur Gunawan. Tentu saja, itu di luar kemampuan finansialnya. Seperti kata Jeanny, aku tidak melihat bahwa kekayaan merupakan sebuah daya pikat tersendiri dari seorang pria. Mungkin, itu karena secara materi aku juga cukup berada. Tapi, aku jatuh cinta pada kecerdasannya. Atau, mungkin juga, aku melihat figur ayah pada diri Gunawan. Bisa jadi. Tapi, berpacaran dengan suami orang? Amit-amit, ah! Biar Jeanny saja yang melakukannya. Aku masih saja bertanya-tanya, seperti apakah wanita yang beruntung menjadi istri Gunawan itu. Dalam sebuah perbincangan, aku pernah menanyakannya. Gunawan menjelaskan bahwa istrinya cantik dan lembut. Wanita itu lebih muda 17 tahun darinya. Jadi, kurang lebih usianya kini 33 tahun. Namanya Rini. Pernikahan mereka terjadi karena perjodohan. Gunawan mengaku terlambat menikah karena dia tak pandai bergaul. Menurutnya, ketika menikah dulu Rini masih terbilang lugu, baru saja lulus SMA. Saat menikah, usianya 18 tahun dan Gunawan 35 tahun. Saat bercerita, kulihat Gunawan seperti menyimpan permasalahan yang berat. Ia bercerita dengan suara pelan dan tersendat.
|
Thread Tools | Search this Thread |
|
Pengumuman Penting |
- Pengumuman selengkapnya di Forum Pengumuman & Saran |