Wanita Kedua

Status
Not open for further replies.

zoeratmand

New member
Semoga cerita ketiga yang saya share kali ini dapat tempat di hati pembaca... :D
Cerita ini ditulis oleh Nurma,

gaya penulisan dari cerita ini tidak akan saya rubah, hanya saya tulis kembali..

silahkan di nikmati.... [<:)


note : kalau ada comment silahkan...
 
Last edited:
WANITA KEDUA
By NURMA

Aku bertemu dengannya di sebuah kafe. Saat itu aku sedang berusaha menghilangkan
kegundahan hatiku, akibat ditinggalkan Papa untuk selama-lamanya.

Aku sedang menikmati secangkir cappuccino dan sepotong avocado mousse, ketika
tatapan mataku bersirobok dengan wanita itu. Wajahnya cantik, seperti artis-artis
sinetron yang sering kulihat di televisi. Paling-paling, usianya tidak terlalu jauh di
atasku. Kami bertatapan selama beberapa menit, sebelum akhirnya aku membuang
muka. Aku mencoba menikmati kembali avocado mousse di depanku, yang tinggal
tersisa separuh. Hatiku terlalu sedih untuk mengurusi orang lain, sekalipun aku
merasa pernah melihat wanita tadi. Entah di mana, aku tak ingat.

Kucoba mencuri pandang kembali. Wanita itu tampak bangkit dari kursinya dan
meninggalkan kafe. Aku mengembuskan napas lega. Entah mengapa, sepertinya ada
daya magis yang dipancarkan wanita tadi. Daya magis yang seolah membuat napasku
sesak. Aku sedikit heran karena sepertinya baru kali ini aku melihatnya. Tapi, aku tak
mengerti, mengapa aku merasa tidak asing pada wajah itu.
 
Sedang menunggu siapa, San

Sebuah suara mengagetkanku. Seketika kepalaku berputar mencari sumber suara.
Ternyata, wanita tadi! Bukankah dia tadi telah meninggalkan kafe? Dan, bagaimana
dia bisa tahu namaku?

Melihatku terkejut, wanita itu justru mengulurkan tangannya.

Kita belum berkenalan. Namaku Jeanny. Aku teman papamu... almarhum papamu,;
katanya.

Aku melihat ada gurat kesedihan di wajahnya.

O... pantas, pikirku. Mungkin saja, aku pernah bertemu dengannya ketika diajak Papa
menghadiri sebuah acara. Jeanny lalu duduk di depanku.

Boleh, kan tanyanya, meminta persetujuan.
 
Aku hanya mengangguk pelan. Apa yang bisa kulakukan selain memberinya izin?
Toh, ia hanya minta izin untuk duduk di kursi yang bukan milikku.

Aku baru saja mendengar kabar meninggalnya papamu. Aku benar-benar kaget.
Sudah sebulan kami kehilangan kontak. Aku tidak tahu apa-apa tentang sakitnya,;
katanya.

Aku paham. Sebulan yang lalu itu tepat saat Papa muntah darah dan harus dilarikan
ke rumah sakit. Papa koma dan tentu saja tidak bisa berkomunikasi dengan siapa pun.
Teman-temannya yang datang menjenguk pun tidak mendengar kabar itu dari kami,
melainkan dari informasi yang beredar dari mulut ke mulut. Kami tidak sempat
memberitahukan keadaan Papa pada siapa pun, kecuali keluarga terdekat.

Sakit apa, sih, papamu tanyanya dengan nada prihatin.

Sirosis. Dulu memang Papa pernah dirawat karena lever. Tapi, kami pikir Papa hanya
kecapekan. Kami tidak tahu bahwa penyakitnya bisa berkembang seperti ini. Lagi
pula, sepertinya Papa berusaha menutupi sakitnya dari kami. Mungkin, Papa tidak
ingin membuat kami susah. Ehm, ngomong-ngomong, dari mana kamu tahu namaku

Jeanny tersenyum.
 
Papamu pernah memperlihatkan foto kamu. Lagi pula, tidak sulit, kok, mengenalimu.
Karena, wajahmu mirip banget dengan Benny. Hidung dan dagumu benar-benar
mirip, jawab Jeanny.

Ya, memang banyak orang mengatakan wajahku mirip Papa. Darah Belanda yang
mengalir di tubuh Papa membuat kami memiliki hidung dan dagu yang khas. Kata
orang-orang, kami bertampang indo. Begitulah.

Apa yang terjadi pada Benny tanya Jeanny.

Lebih kurang sebulan lalu, Papa tiba-tiba muntah darah dan sejak saat itu Papa tidak
pernah betul-betul sadar. Kalaupun sadar, Papa begitu kesakitan, sehingga harus
diberi suntikan penenang. Sehingga, sampai Papa meninggal pun, kami tidak banyak
berbicara dengannya.
 
Cerita itu telah berkali-kali kuulangi setiap kali ada yang menanyakan. Bercerita
tentang Papa sebenarnya masih sangat menyakitkan, meski dua minggu telah berlalu
sejak kepergiannya.

Maaf, ya, San, aku membuat kamu sedih. Aku hanya penasaran, bagaimana mungkin
Benny yang terlihat segar tiba-tiba bisa anfal,; kata Jeanny, tampak prihatin.

Sejak tadi, Jeanny menyebut nama Papa tanpa embel-embel. Itu agak mengherankan.
Karena, dilihat dari penampilannya, sepertinya Jeanny belum terlalu tua. Tapi,
sudahlah, di zaman sekarang sopan santun semacam itu mungkin sudah tak berlaku
lagi.

Itulah yang kami sekeluarga sesali. Apalagi, kata dokter, bila dideteksi sejak awal,
sebetulnya penyakitnya masih bisa disembuhkan. Tapi, ini sudah menjadi kehendak
Tuhan,; aku mencoba tabah. Kulihat Jeanny berusaha menahan air mata.

Jean, di mana kamu mengenal Papa aku mencoba menggali keterangan darinya.
Karena, sepertinya dia cukup mengenal Papa. Apalagi, menurutnya, Papa pernah
memperlihatkan fotoku padanya. Tentu Papa tak melakukan hal itu kepada sembarang
orang.

Oh, itu sudah sangat lama. Mungkin hampir sepuluh tahun yang lalu. Kami
dikenalkan oleh seorang rekan bisnis papamu. Seiring waktu, aku pun sering terlibat
bisnis bersama papamu,; jawab Jeanny, sambil menghirup espresso yang baru
dipesannya.
 
karena di bacaannya emang gak ada "..." biar pembaca lebih memahami.. :D
dari awal siy memang begitu sa, tapi ikuti dulu aja ya...silahkan...
 
Aku mengangguk-angguk. Ya, kebanyakan teman Papa di Jakarta memang dari
lingkungan bisnis, karena Papa memulai usahanya di Jakarta. Pendidikannya sejak SD
sampai universitas diselesaikannya di Sulawesi Utara, tanah kelahirannya. Jadi,
kebanyakan orang yang dikenalnya adalah dari lingkungan tersebut. Kuakui juga,
Papa bukan orang yang pandai bergaul, meski dia sangat jeli dalam melihat peluang
bisnis. Papa sedikit arogan. Bagi beberapa orang, sifatnya itu mungkin kurang
menyenangkan. Tapi, bagiku, itulah keunikan Papa. Buktinya, ibuku yang asli Yogya
itu saja bisa jatuh hati kepadanya. Itulah Papa, dengan segala kelebihan dan
kekurangannya. Dan, aku sangat memujanya.

Kamu sudah bekerja tanya Jeanny, memecah lamunanku.

Ya, di bank. Belum lama. Aku masih belum banyak menimba pengalaman dalam hal
kerja, apalagi bisnis.

Jeanny tertawa kecil.

Tapi, kata Benny, kamu cerdas dan selalu menjadi yang terbaik. Pasti tidak akan sulit
menjadi yang terbaik di tempat kerjamu juga, katanya, memuji.

Ah, biasalah, seorang ayah pasti akan selalu memuji anaknya, aku mencoba rendah
hati.

Jeanny tertawa lagi.

Tidak juga. Papaku tidak pernah memujiku, seperti Benny memujimu. Mungkin,
karena prestasiku di sekolah biasa-biasa saja, ya? Jeanny masih berusaha memujiku.

Ah, wanita ini penuh basa-basi, pikirku. Meski demikian, aku senang pada
keramahannya itu.
 
Setelah bercerita banyak tentang Papa, termasuk tentang pribadi kami masingmasing,
Jeanny permisi hendak pergi ke suatu tempat. Ia memberi kartu namanya
padaku dan berjanji akan menghubungiku lagi kapan-kapan. Aku pun meninggalkan
kafe karena jam sudah menunjukkan pukul 10 malam.

Sejak pertemuan di kafe di kawasan Pondok Indah itu, aku dan Jeanny sering
berhubungan melalui telepon. Kami juga sering jalan-jalan di mal bersama. Mungkin,
karena kondisiku yang rapuh sejak ditinggal Papa, aku sangat menyukai perhatian
darinya. Ternyata, Jeanny lebih tua delapan tahun dariku. De-ngan perbedaan usia
yang cukup banyak itu, aku merasa Jeanny bisa menjadi kakak bagiku. Apalagi,
sebagai anak tunggal, sudah lama aku me-rindukan figur seorang kakak. Aku ingin
punya seseorang yang bisa kujadikan teman berbagi dalam berbagai hal.

Meskipun aku adalah anak satu-satunya yang mereka miliki, Papa dan Mama tidak
pernah memanjakanku. Papa selalu menanamkan kedisiplinan. Meskipun uangnya
banyak, Papa tidak pernah memberinya dengan cuma-cuma. Jika ingin tas atau sepatu
baru, aku harus menunjukkan prestasi di sekolah. Aku harus menunjukkan bukti nilai
ulangan di atas 9, baru boleh meminta sesuatu. Itu sebabnya, prestasiku sejak SD
hingga SMA selalu bagus. Kebiasaan itu terbawa hingga di perguruan tinggi. Untuk
mendapatkan mobil idamanku, IP-ku harus 4. Dan, itu benar-benar kubuktikan.

Tadinya, mendapat nilai terbaik kulakukan hanya untuk memperoleh hadiah, kini
semua menjadi sebuah kebiasaan. Kebiasaan yang positif tentunya. Aku selalu ingin
berprestasi, setidak-tidaknya untuk mendapatkan perhatian Papa. Aku sangat bahagia
bila melihat Papa tersenyum, ketika aku mengabarkan IP-ku yang selalu di atas tiga.
Ketika aku berhasil lulus cum laude dari fakultas ilmu komunikasi, Papa begitu
bangga. Papa langsung membelikanku city car keluaran terbaru berwarna biru, yang
ku­idam-idamkan. Setelah mendapatkan pekerjaan di sebuah bank pun, Papa
masih membanjiriku dengan hadiah, seolah aku ini masih putri kecilnya yang berumur
10 tahun.

Kini, setelah Papa pergi menghadap Tuhan, duniaku berubah total. Aku jadi banyak
melamun. Selepas kerja, kuhabiskan waktuku di kafe, duduk minum kopi, sambil
mengenang masa-masa indah saat Papa masih bersamaku. Aku melamun atau sekadar
membaca majalah, sambil menghabiskan kopi perlahan-lahan, seolah aku berusaha
berkawan dengan sepi, yang kini menghiasi hari-hariku. Sampai akhirnya aku
bertemu Jeanny.
 
Suatu hari, setelah jalan-jalan di Plaza Senayan, Jeanny mengajakku ke rumahnya di
daerah Jakarta Selatan. Rumah mungil berlantai dua di sebuah perumahan di kawasan
Lebak Bulus itu cukup nyaman. Arsitekturnya bergaya art deco yang minimalis.
Temboknya berwarna salem dengan jendela ala Eropa berwarna hijau tua.

Melihat lokasi dan material rumah Jeanny, kutaksir nilainya mencapai 1 miliar. Tapi,
Jeanny sedikit merendah, Dulu harganya belum setinggi itu. Lagi pula, aku
membelinya dengan cara kredit, kok.

Jeanny tidak bekerja di sebuah perusahaan. Dia mengaku mencari nafkah dengan
bisnis jual-beli. Macam-macam yang dijualnya, mulai dari tanah, rumah, sampai
berlian. Meskipun barang-barang itu tidak cepat terjual, bila kebetulan laku,
keuntungannya bisa digunakan untuk hidup selama berbulan-bulan. Bahkan, dari
bisnis itu pula, dia bisa memiliki deposito dan tabungan yang jumlahnya cukup besar.
Aku mengagumi kemandiriannya. Aku ingin bisa sehebat dirinya.

Kata Jeanny, dia memilih berbisnis daripada bekerja kantoran agar tidak sering
meninggalkan putra semata wayangnya yang kini berumur 9 tahun.

Kasihan kalau Dito sering ditinggal sendirian dengan pembantu. Apalagi, papanya
sudah meninggal, begitu alasan Jeanny padaku.

Sewaktu kami datang, Dito baru saja pulang dari sekolah. Anak itu tampan dan lucu.
Kulitnya putih dan rambutnya ikal. Kuperhatikan sepintas, hidungnya mirip
denganku. Jeanny mungkin membaca pikiranku.

Kayaknya, kamu cocok juga jadi ibunya Dito, ledeknya.

Lalu, dia menyuruh Dito bersalaman denganku.

Mama, bikin spaghetti saus keju, dong, rengeknya, manja.
 
Nanti, ya, Sayang. Mama kan sedang ada tamu, jawab Jeanny, lembut, sambil
melirik padaku.

Nggak apa-apa, Jean. Bikin saja, biar aku bantu, kataku pada Jeanny.

Jeanny agak ragu, tapi aku mengangguk untuk meyakinkannya.

Kami pun melangkah ke dapur mungil milik Jeanny. Dari lemari di dinding, Jeanny
mengeluarkan sebungkus spaghetti dan merebusnya. Aku pun membantunya mengiris
bawang bombay.

Dito suka semua makanan yang mengandung keju. Spaghetti saus keju ini
membuatnya gampang dan cepat. Kapan saja bisa dibuat,; kata Jeanny, sambil
menaburkan keju parmesan di atas spaghetti yang telah disiram dengan saus keju.
Dito makan dengan lahap. Aku dan Jeanny juga mencicipinya. Rasanya memang
enak. Baru kali ini aku makan spaghetti dengan saus keju, karena biasanya selalu
dengan tumisan daging atau seafood.

Enak, kan tanya Jeanny, seolah meminta pengakuan kehebatannya dalam memasak.

Ya, enak, Jean. Ternyata, kamu pintar memasak. Kok, nggak membuat restoran saja?

Jeanny menuang orange juice ke dalam gelas dan meminumnya.

Pernah, sih, aku ingin membuat semacam kafe. Tapi, bisnis makanan kan repot
banget, apalagi kalau mengerjakannya sendirian. Kalau ada partner, mungkin aku
berani, jawabnya.

Mendengar itu, tiba-tiba aku mendapat ide.
 
Bagaimana kalau kita bekerja sama membuat kafe? Aku juga ingin membangun
usaha sendiri. Papa meninggalkan tabungan yang lumayan atas namaku. Kalau usaha
Papa, sih, sudah diambil alih oleh Mama. Aku nggak berbakat mengurus bisnis. Tapi,
kalau makanan, aku suka,; kataku cepat.

Aku memang suka makan dan juga suka memasak. Sangat berbeda dari Mama.
Mama paling tidak suka mengurus dapur. Bukan cuma tidak suka, aku pikir Mama
juga tidak berbakat. Pernah suatu kali, Mama memasak ayam panggang untuk
merayakan ulang tahun Papa. Rasanya? Uh... aku dan Papa tak sanggup
menghabiskannya. Rasanya hambar, apalagi di bagian dalamnya. Selain bumbunya
kurang, rasanya pun tak jelas. Kenapa bisa begitu, ya? Padahal, aku lihat sendiri
Mama memasak, sambil melihat buku resep.

Karena tak tega pada Mama yang sudah bersusah payah memasaknya, kami terpaksa
menghabiskan ayam panggang yang tak ada rasanya itu dengan bantuan sebotol besar
soft drink. Setiap kali menelan sepotong daging ayam, kami harus mendorongnya
dengan dua teguk minuman ringan, sampai-sampai perut kami menjadi kembung.
Sepertinya, Mama sadar bahwa masakannya tidak enak, sebab sejak saat itu Mama
tidak pernah memasak lagi. Dia lebih memilih membeli atau memesan masakan
matang untuk acara-acara keluarga.

Dari perbincangan yang sepintas lalu itu, aku dan Jeanny mulai sering membicarakan
kafe yang ingin kami buat. Kami begitu bersemangat. Kami sepakat bahwa bisnis ini
sangat menarik. Selain potensial, juga sesuai dengan hobi kami berdua, yaitu
memasak.

Dua minggu kemudian kami mulai membuat perencanaan.Menghitung anggaran dan
dana yang tersedia. Setelah klop, kami berburu lokasi. Kami menemukan satu tempat
yang bagus. Memang, harganya tidak murah, namun strategis dan sesuai dengan
target market kami. Bangunannya juga masih baru, sehingga tidak banyak yang harus
kami renovasi, kecuali menyiapkan interior kafe lengkap dengan furniture-nya.

Lokasinya di pinggir jalan utama sebuah perumahan, yang menjadi jalur alternatif ke
perumahan-perumahan kelas atas di lokasi itu. Dengan demikian, kafe itu akan
menjadi tempat yang pas untuk melepas lelah sepulang dari kantor. Juga tidak terlalu
jauh untuk dijangkau oleh mereka yang sedang bosan berada di rumah.
 
Selain menjadi tempat untuk memanjakan lidah, kami juga ingin menjadikan kafe ini
sebagai tempat refreshing. Karena itu, kami menyiapkan dua ruang tertutup untuk
karaoke dan internet. Beragam kopi dan teh, mulai cappuccino, espresso, sampai kopi
medan, kami sediakan. Juga ada macam-macam teh, seperti black tea, green tea, dan
peppermint tea.

Kami juga menyediakan satu jenis teh spesial kafe yaitu rose tea. Aku mendapat
idenya karena pernah meminum air seduhan bu­nga mawar untuk mengobati
batuk yang tak kunjung sembuh. Resepnya kudapat dari seorang kerabat di
Yogyakarta. Ternyata, selain bisa menyembuhkan batuk, rasanya pun nikmat.
Kupikir, tak ada salahnya bila bunga mawar kujadikan salah satu pilihan aroma teh
yang kuhidangkan di kafe kami.

Untuk makanannya, kami menyediakan tiramisu, blueberry cheesecake, avocado
mousse, juga masakan Italia, seperti lasagna dan spaghetti saus keju dalam porsi kecil.
Semua makanan adalah hasil racikan kami berdua, sehingga kami tidak perlu
mempekerjakan chef profesional, yang gajinya sudah pasti tinggi. Cukup dua orang
lulusan sekolah boga, yang dilatih khusus untuk memasak makanan hasil kreasi kami
itu. Dengan dasar ilmu yang mereka miliki, dengan cepat mereka menguasainya,
bahkan jauh lebih terampil daripada kami.

Jadwal kerja pun kami bagi. Jeanny menunggui kafe sejak pagi sampai sore,
bergantian denganku yang bertugas malam hari sepulang dari kantor. Kadang-kadang,
Jeanny menemaniku di kafe sebelum pulang ke rumahnya.

Untunglah, lokasi kafe tidak terlalu jauh dari rumahnya, sehingga dia bisa pulang
kapan saja untuk menjenguk Dito. Tapi, Dito pun sering mampir sepulang sekolah.
Kadang-kadang, dia datang bersama teman-temannya. Mereka begitu manis, tidak
pernah berulah macam-macam. Biasanya, hanya memesan lemon tea, lalu main game
di internet. Aku selalu mengirimkan beberapa potong brownies untuk menemani
mereka bermain. Aku menyayangi Dito. Dia sudah seperti anak, sekaligus adik
bagiku. Toh, aku belum terlalu tua untuk menjadi kakaknya.

Sepertinya, Mama juga menyukai Jeanny. Mereka bertemu saat pem­bukaan
kafe. Mama menyukai keramahan Jeanny. Memang, Jeanny adalah orang yang pandai
bergaul. Dalam sekejap dia bisa akrab dengan Mama. Kadang-kadang, Mama mampir
ke kafe, bila se­dang jenuh di rumah, sekadar mengobrol dengan Jeanny, sambil
me­nungguiku pulang dari kantor. Keakraban mereka kadang-kadang
mem­buatku sedikit cemburu, tapi aku sadar, Mama memang sangat
mem­butuhkan teman sejak ditinggal Papa untuk selama-lamanya.
 
Suatu hari aku melihat seorang pria paruh baya datang ke kafe kami. Ia terlihat sangat
akrab dengan Jeanny. Bukan hanya akrab, tapi mesra. Setelah kutanyai, Jeanny
mengaku, pria itu adalah kekasihnya. Namanya Wilman. Aku agak heran, ketika
Jenny dengan enteng mengatakan bahwa Wilman adalah seorang pria beristri.
Gila kamu, Jean. Suami orang dijadikan kekasih! Memangnya tidak ada pria lain
tanyaku.

Apa salahnya? Dia kan manusia biasa seperti kita. Kalau istrinya tidak bisa
menyenangkan hatinya dan dia jatuh cinta pada kita, boleh, dong, dia jadi kekasihku,;
katanya, sambil tertawa.

Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Meskipun tidak setuju pada pendapat
itu, aku tak berani mengkritiknya. Itu kehidupan pribadinya. Kami, toh, belum lama
saling mengenal. Jadi, aku merasa tidak pantas memberikan kritik atau nasihat
padanya. Tapi, aku kasihan pada Dito. Wajahnya selalu masam bila melihat mamanya
bersama Wilman di kafe. Mungkin, dia cemburu melihat ada pria lain yang dekat
dengan mamanya.

Tapi, cinta sejatiku hanya untuk papanya Dito, kok.;
Ketika mengatakan itu, aku melihat guratan kesedihan di wajahnya. Aku selalu
merasa bahwa di balik sifatnya yang terlihat tak peduli, Sandra menyimpan rahasia
hidup yang begitu berat.

Sejak dekat dengan Wilman, Jeanny sering bepergian. Kami jadi jarang bertemu,
kecuali bila kebetulan sedang berada di kafe. Apalagi, ia sering pergi ke luar kota,
yang membutuhkan waktu beberapa hari. Aku tahu, Jeanny pergi bersama Wilman,
dan Jeanny tidak berusaha menutupinya. Tapi, dia tidak pernah memberi tahuku
sebelumnya, apalagi meminta pendapatku. Kupikir itu wajar. Toh, dia bukan anak
kecil yang harus selalu minta izin, bila hendak melakukan sesuatu. Sifat terbukanya
itu yang kusuka. Meski aku juga sedikit menyesal karena telah salah memilih teman.
Bagiku, Jeanny mempunyai cara hidup yang begitu bebas, tepatnya terlalu bebas.
Tapi, mungkin dia melakukan itu karena merasa kesepian, hidup sendirian selama
bertahun-tahun.
 
Memangnya, kamu tidak ingin menikah lagi tanyaku.

Siapa yang mau menikah dengan wanita seperti aku? Sudah pernah menikah dan
punya anak,; katanya, dingin.

Setiap manusia ditakdirkan berpasang-pasangan. Seburuk apa pun kamu menilai
dirimu, aku yakin, pasti akan ada seseorang yang berpikir dirimu adalah belahan
jiwanya
,; kataku, menasihatinya. Aku sedih melihat cara hidup Jean yang demikian.
Aku ingin, suatu saat dia akan menikah lagi dan memberikan Dito seorang papa yang
baik.

Kalau yang kamu maksud itu cinta sejati, aku sudah kehilangan cinta sejatiku sejak
papanya Dito meninggalkan aku. Tubuhku ini memang bisa dimiliki pria lain, tapi
hatiku tidak.;

Kata-kata Jeanny itu begitu jelas menggambarkan isi hatinya. Sepertinya, Jeanny
hanya mencintai satu orang: papanya Dito. Aku salut pada kesetiaan hati Jeanny pada
cintanya.

Melihat cara hidup Jeanny, diam-diam aku sering memandang wajah Dito dan
bertanya-tanya, siapakah ayah anak ini. Apalagi, selama ini Jeanny tidak pernah
bercerita tentang suaminya. Di rumahnya yang indah itu tidak ada sepotong pun foto
suaminya. Seolah, hal itu adalah misteri yang sengaja disembunyikannya dari semua
orang. Aku hanya tahu, Jeanny pernah menikah sekitar 10 tahun lalu. Tapi, siapa dan
seperti apa wajah suaminya, tetap menjadi sebuah rahasia yang tersimpan begitu
rapat.

Aku tak berani bertanya pada Dito, karena sepertinya Dito pun menghindari
percakapan tentang ayahnya. Apalagi, aku merasa Dito sangat tertekan karena
kehilangan figur ayah. Sama tertekannya ketika melihat ibunya kini sering bepergian
dengan pria bernama Wilman itu.

Terus-terang saja, aku merasa, Wilman tidak pantas untuk Jeanny. Selain karena pria
itu sudah beristri, usianya juga sudah 55 tahun. Dia lebih pantas jadi ayah Jeanny.
Kuakui, pria itu kaya. Dan, sepertinya, jabatannya di sebuah instansi pemerintah
cukup tinggi. Setidak, itu terlihat dari mobil mewah yang dikendarainya.
 
Walaupun aku kurang menyukai Wilman, mau tak mau aku harus menerima
keberadaannya sebagai kekasih Jeanny. Kami juga sering bertemu, baik di kafe,
maupun di acara-acara yang diadakan olehnya. Dia sering mengundang kami.
Biasanya, bila ia datang, aku lebih banyak menghabiskan waktu duduk sendirian, tak
ikut mengobrol dengannya. Atau, bila Dito ada, kami akan ngobrol berdua, sementara
Jeanny dan Wilman menghilang entah ke mana.

Suatu hari, Wilman mengadakan pesta ulang tahun Jeanny di sebuah restoran. Agar
aku tidak bengong sendirian, Wilman berinisiatif mengajak temannya yang bernama
Gunawan. Sebetulnya, Gun, begitu dia dipanggil, tidak terlalu tampan. Tubuhnya
yang tidak seberapa tinggi itu sedikit gendut. Dia sudah berumur 50 tahun dan
memiliki dua anak. Rambutnya pun tipis, bahkan cenderung botak. Kulitnya putih
dengan mata yang sipit. Logatnya sangat kental, menunjukkan asalnya.

Dia tidak tampan, tapi menawan. Begitulah aku menilainya. Kecerdasan yang
terpancar dari kedua bola matanya, membuatku tak pernah bosan memandangnya,
saat dia sedang menjelaskan sesuatu, mulai dari strategi bisnis, sampai
pengalamannya saat pergi ke kota-kota besar dunia. Pengalamannya begitu luas.
Karena itu, dia bisa menjadi teman mengobrol yang sangat mengasyikkan. Sampaisampai,
aku pernah berpikir, alangkah beruntungnya istri Gunawan mendapatkan pria
sehebat dia. Aku tak tahu, apakah ini yang dinamakan cinta? Sebab, dulu, palingpaling
aku naksir pria hanya karena ketampanannya. Sangat berbeda dari kekaguman
yang kurasakan pada Gunawan saat ini. Sepertinya Gunawan menyadari
ketertarikanku padanya.

Jeanny menggodaku suatu hari.

Sepertinya, kamu tertarik pada Gunawan, ya? Aku tidak menyangka, ternyata
seleramu cukup tinggi,; katanya.

Apa, sih, maksudmu dengan selera tinggi tanyaku, penasaran. Karena, bagiku,
Gunawan bukan sosok yang istimewa secara fisik.

Gunawan itu sangat kaya, Non. Hartanya bisa membiayai hidupmu. Sampai tujuh
turunan pun tak akan habis. Wilman, sih, kalah. Maklum, pegawai negeri. Kalau mau
kaya, dia harus korupsi. Itu pun tidak bisa banyak-banyak, agar tidak terlalu
mencolok,; kata Jeanny, ngawur.
 
Kamu ngomong apa, sih

Maaf, aku lupa bahwa kamu juga anak orang kaya. Materi itu nomor kesekian. Tapi,
kalau benar kau suka padanya, pilihanmu sebenarnya tidak salah. Kalau belum ada
Wilman, mungkin aku juga bersedia. Tapi, tidak etis kan kalau aku mencuri pria
incaran teman,; celoteh Jeanny.

Tidak etis? Kamu pikir, berhubungan dengan suami orang itu bisa dikatakan etis?

Jeanny mengerling nakal.

Aku hanya bisa tertawa. Sejak Jeanny berterus-terang tentang gaya hidupnya yang
bebas, aku tak lagi merasa itu sebuah aib atau kejahatan. Aku hanya berusaha
memahaminya sebagai sebuah pilihan hidup.

Memang, kuakui, aku terkagum-kagum pada figur Gunawan. Tentu saja, itu di luar
kemampuan finansialnya. Seperti kata Jeanny, aku tidak melihat bahwa kekayaan
merupakan sebuah daya pikat tersendiri dari seorang pria. Mungkin, itu karena secara
materi aku juga cukup berada. Tapi, aku jatuh cinta pada kecerdasannya. Atau,
mungkin juga, aku melihat figur ayah pada diri Gunawan. Bisa jadi. Tapi, berpacaran
dengan suami orang? Amit-amit, ah! Biar Jeanny saja yang melakukannya.

Aku masih saja bertanya-tanya, seperti apakah wanita yang beruntung menjadi istri
Gunawan itu. Dalam sebuah perbincangan, aku pernah menanyakannya. Gunawan
menjelaskan bahwa istrinya cantik dan lembut. Wanita itu lebih muda 17 tahun
darinya. Jadi, kurang lebih usianya kini 33 tahun. Namanya Rini. Pernikahan mereka
terjadi karena perjodohan. Gunawan mengaku terlambat menikah karena dia tak
pandai bergaul. Menurutnya, ketika menikah dulu Rini masih terbilang lugu, baru saja
lulus SMA. Saat menikah, usianya 18 tahun dan Gunawan 35 tahun.

Saat bercerita, kulihat Gunawan seperti menyimpan permasalahan yang berat. Ia
bercerita dengan suara pelan dan tersendat.
 
Status
Not open for further replies.
Back
Top