Selain menunding ada rekayasa fakta, penasehat hukum Susno mengungkapkan bahwa rekayasa ini terjadi dengan memanfaatkan rasa sakit hati Sjahril Djohan dan Syamsurizal Mokoagouw.
Persidangan mantan Kabareskrim Mabes Polri Susno Duaji kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (24/2). Setelah minggu lalu penuntut umum menuntut Susno tujuh tahun penjara dan denda Rp500 juta, kini giliran Susno dan penasehat hukumnya yang membacakan nota pembelaan (pledoi).
Dalam pledoinya, Susno menyatakan jaksa penuntut umum telah memutarbalikan dan merekayasa fakta, baik dalam perkara PT Salmah Arowana (SAL) maupun Pilkada Jawa Barat. Hal ini ditegaskan Susno, karena fakta di persidangan tidak mendukung semua dalil yang dituduhkan penuntut umum.
Pertama, untuk perkara SAL. Susno mengatakan penuntut umum memilih menggunakan keterangan Sjahril Djohan dan mengabaikan keterangan saksi a de charge (saksi meringankan) yang jelas-jelas mematahkan semua keterangan Sjahril. Karena, menurutnya, Sjahril tidak mungkin datang ke rumahnya pada 4 Desember 2008 tanpa diketahui oleh penjaga pintu gerbang, ajudan, serta supir pribadi Susno.
Susno melanjutkan, tidak ada satu pun saksi yang melihat kedatangan maupun kepulangan Sjahril dari rumahnya di Jl Abuserin No.2 B, Jakarta Selatan. Menurut penuntut umum, pada hari itu Sjahril datang ke rumah Susno untuk memberikan uang titipan sebesar Rp500 juta dari Haposan Hutagalung.
Lebih dari itu, Susno menganggap sebuah kebohongan besar jika Sjahril dikatakan sampai ke rumahnya sekitar pukul 21.00 WIB. Pasalnya, berdasarkan print out karcis parkir Hotel Sultan, Sjahril baru keluar dari hotel (tempat Sjahril menerima uang dari Haposan-red) pada pukul 21.16 WIB.
Setelah itu pun, Sjahril juga tidak langsung ke rumah Susno. Melainkan mandi dan berganti baju dulu di kantornya. Hal ini diakui juga oleh supir Sjahril, Upang Supandi. Setelah berganti baju, Sjahril juga harus menempuh perjalanan yang cukup macet. Sehingga Sjahril seharusnya baru sampai ke rumahnya pada pukul 00.21 WIB pada 5 Desember 2008.
Kebohongan lainnya adalah mengenai pengakuan Sjahril tentang pertemuannya dengan seorang perwira menengah bernama Syamsurizal Mokoagouw di rumah Susno. Syamsurizal, kata Sjahril, saat itu sedang meminta tanda tangan Susno.
Pertemuan itu, menurut Susno tidak pernah terjadi, karena Syamsurizal baru meminta tanda tangannya pada tanggal 27 Desember 2008. Pernyataan Susno ini didukung oleh bukti autentik berupa surat perintah jalan yang ketika itu ditandatangani Susno untuk Syamsurizal dan seorang perwira menengah lainnya bernama Charles Marpaung. Tidak sampai di situ, kebohongan lainnya adalah mengenai keterangan Sjahril yang menyatakan bertemu Susno yang sedang memakai sarung dan menggendong cucu.
Hal ini lebih lucu lagi. Karena, semua saksi a de charge mengatakan Jenderal bintang tiga ini tidak pernah menerima tamu dengan memakai sarung. Kemudian, pada 4 Desember 2008, cucu Susno belum lahir. Sesuai akta dan kartu keluarga penghuni rumah di Jl Abuserin, cucu Susno baru lahir pada 24 Februari 2009.
“Aneh cerita yang dikarang Sjahril Djohan. Semakin lucu. Tapi, lebih lucu lagi kalau Jaksa Penuntut Umum mempercayai keterangan yang tidak masuk akal ini.”
Maka dari itu, Susno menduga Sjahril telah membohongi Haposan dengan menyatakan telah memberikan uang Rp500 juta kepadanya. “(Bisa jadi uang itu) sudah ditilep atau dimakan sendiri oleh Sjahril Djohan dengan menjual nama saya,” tuturnya. Dengan semua ketidaksesuaian fakta itu, Susno menegaskan bahwa Sjahril telah berbohong dan memberikan kesaksian palsu.
Kemudian, untuk perkara kedua, yaitu korupsi dana hibah untuk pengamanan Pilkada Jawa Barat, Susno juga menganggap penuntut umum juga telah merekayasa fakta. Karena, penuntut umum begitu “mendewakan” keterangan saksi Kepala Bidang Keuangan Polda Jawa Barat Maman Abdurrahman Pasya tanpa didukung keterangan saksi dan alat bukti lainnya.
Menurut Susno, keterangan Maman yang menyatakan pemotongan dana pengamanan Pilkada Jawa Barat dilakukan atas perintahnya adalah bohong. Tidak ada saksi dan bukti tertulis yang mampu menunjukan adanya perintah itu. Karena, pada kenyataannya, saksi Yutje Aprianti dan Iwan Gustiawan (anak buah Maman) menyatakan bahwa perincian pemotongan dana pengamanan Pilkada Jawa Barat itu malah ditandangani sendiri oleh Maman.
Kemudian, untuk keterangan Maman yang menyatakan dirinya diperintahkan Susno untuk membeli sejumlah uang dollar Amerika dengan uang hasil pemotongan tersebut, Susno juga menganggap hal itu hanya kebohongan Maman. Karena, tidak ada bukti tertulis maupun saksi yang dapat membuktikan adanya perintah itu. Begitupun terhadap keterangan Maman yang mengatakan Susno memerintahkan dirinya untuk membeli traveller cheque dengan uang hasil pemotongan dana pengamana Pilkada Jawa Barat.
Susno menganggap Maman berbohong, karena pada kenyataannya traveller cheque sebesar Rp1 miliar itu dibeli Susno dengan menggunakan uang pribadinya. Susno telah membuktikan bahwa uang yang dipergunakan untuk membeli traveller cheque itu berasal dari kocek pribadinya. Yakni, berasal dari hasil penjualan tanah miliknya sebesar Rp900 juta dan uang gajinya di PPATK sebesar Rp100 juta. Sama halnya, dengan mobil dinas Kapolda Jawa Barat yang menurut Maman juga diperintahkan Susno untuk dibeli dengan uang hasil pemotongan dana pengamanan Pilkada Jawa Barat.
Menurut Susno, mobil Camry itu dibeli dengan menggunakan uang insentif Kapolda Jawa Barat yang berasal dari Dispenda Jawa Barat. Dan, itu dapat dibuktikan dengan bukti nota Kapolda Jawa Barat pada 5 Mei 2008. Dengan serentetan kebohongan Maman ini, Susno mempertanyakan mengapa penuntut umum tetap menggunakan keterangan Maman sebagai alat bukti untuk menyusun surat dakwaan. Malahan, bukan hanya surat dakwaan, tetapi juga digunakan penuntut umum untuk menyusun surat tuntutannya. “Kalau demikian sistem pembuktian pidana di negeri ini. Gawat! Terus, apa kata dunia,” tukasnya.
Sakit hati
Senada dengan pledoi yang dikemukakan Susno, pledoi penasehat hukum pun mengungkapkan hal yang sama. Hanya saja, penasehat hukum menambahkan bahwa sebenarnya perkara Susno ini hanyalah rekayasa yang dibuat karena Susno membongkar adanya praktek mafia hukum dalam tubuh Polri. Yaitu, pada penanganan perkara Gayus Halomoan P Tambunan dan SAL. Bahkan, Susno menyebut sejumlah oknum Kepolisian, serta Sjahril turut terlibat dalam praktek mafia hukum itu.
Sehingga, menurut penasehat hukum Susno, Henry Yosodiningrat, telah membuat banyak pihak menjadi malu, marah, sakit hati, “khususnya Kapolri saat itu, Jenderal Bambang Hendarso Danuri (BHD) dan Sjahril”. Oleh karena merasa institusinya dipermalukan, Kapolri saat itu marah terhadap Susno, sehingga mencoba menjerat Susno dengan pelanggaran kode etik. Namun, pelanggaran kode etik itu tidak dapat menangkap dan menahan Susno, sehingga membuat Kapolri makin marah, sehingga membentuk Tim Independen. Dengan dibentuknya Tim yang diketuai oleh Mathius Salempang ini, Susno dapat ditangkap dan ditahan, serta dijerat dengan perkara pidana, yaitu korupsi dalam penanganan kasus SAL dan korupsi dana hibah untuk pengamanan Pilkada Jawa Barat.
Tentunya, untuk perkara SAL, lanjut Henry, dimanfaatkan lah rasa sakit hati Sjahril yang sempat digadang-gadang sebagai mafia sejati. Selain memanfaatkan rasa sakit hati Sjahril, dimanfaatkan pula sakit hati Syamsurizal yang ketika itu di-non job-kan atas rekomendasi Susno. Dan untuk membantu rekayasa perkara Susno ini, dibantu pula dengan keterangan bohong supir dan office boy Sjahril. Sehingga, seolah-olah ada saksi yang melihat kedatangan Sjahril untuk memberikan uang Rp500 juta dari Haposan Hutagalung. Dengan demikian, penasehat hukum meminta majelis untuk memutus bebas Susno dan melepaskan Susno dari semua tuntutan.
Atas pledoi itu, penuntut umum yang dikoordinatori Erbagtyo Rohan menyatakan bahwa pembelaan itu adalah hak terdakwa dan penasehat hukumnya. Namun, penuntut umum akan menanggapinya dalam replik. “Itu kan menurut mereka, versi mereka. Tapi, nanti semuanya akan kita tanggapi dalam replik. Jadi nggak masalah,” tuturnya.
Pasal penyertaan “hilang”
Selain mengungkapkan banyaknya rekayasa fakta, Susno dalam pledoinya juga mengungkapkan “hilangnya” pasal penyertaany dalam tuntutan pada perkara Pilkada Jawa Barat. Hal ini dikemukakan Susno, karena dalam dakwaan penuntut umum menyertakan pihak lain, seperti Maman Abdurrahman Pasya, Yutje Aprianti, dan Iwan Gustiawan. Susno dianggap bersama-sama Maman, Yutje, dan Iwan memotong anggaran pengamanan Pilkada Jawa Barat. Namun, dalam tuntutan Pasal 55 ayat 1 ke-1 (penyertaan) itu hilang. “Kemana gerangan (pasal penyertaan itu),” katanya.
Susno menduga penuntut umum tidak dapat membuktikan adanya penyertaan itu. Sehingga, pasal penyertaan itu dihilangkan. Lagipula, Susno juga mengaku tidak pernah diperiksa untuk tersangka lain. Karena, pada kenyataannya, tidak ada pihak lain yang dijadikan tersangka, bahkan terdakwa.
Tapi, penuntut umum Erbagtyo Rohan membantah.
Sumber:
http://susnoduadji.com/berita/susno-anggap-jaksa-rekayasa-fakta