"Setahun yang lalu, ditempat ini, seperti sekarang, aku bisa
membunuhmu."
"Kau menunda setahun lamanya, karena kau percaya aku
pasti akan datang."
"Kalau kau tidak datang, selamanya mungkin aku tidak
akan bisa menemukan kau."
"Mungkin sekali."
"Tapi kau datang juga."
"Ya, aku pasti datang."
"Bila cita-citamu belum terlaksana, aku masih bisa memberi
kelonggaran setahun."
"Tidak usah."
"Tidak usah, katamu?"
"Bahwa hari ini aku sudah kemari, aku sudah bertekad
menerima kematian."
"Kau tidak ingin hidup setahun lagi?"
Mendadak Yan Lam-hwi tertawa besar sambil mendongak,
katanya: "Seorang lelaki sejati hidup didunia ini, jikalau tidak
mampu memberantas kelaliman, membalas dendam, umpama
hidup sepuluh tahun lebih lama juga sia-sia, lebih baik mati
saja." Dia tertawa, namun nada tawanya lebih mirip raung
tangisan yang menyedihkan, tangis penderitaan.
Pho Ang-soat mengawasi, setelah orang berhenti tertawa,
baru dia berkata: "Tapi cita-citamu belum terlaksana.:
"Siapa bilang?"
"Aku yang bilang. Aku dapat melihatnya."
Yan Lam-hwi menyeringai dingin. "Umpama benar cita-
citaku belum terlaksana, kan tiada sangkut-pautnya dengan
kau."
"Tapi kau...."
"Kau bukan orang yang cerewet, akupun tidak ingin banyak
bicara dengan kau."
"Jadi kau ingin lekas mati? Sampai matipun kau tidak mau
membeber cita-citamu yang belum tercapai itu?"
"Ya," tegas dan berat, laksana golok membacok paku,
agaknya tiada seseorang didunia ini yang mampu merubah
tekadnya.
Punggung jari Pho Ang-soat yang menggenggam golok
sudah memutih, otot hijau merongkol. Bila golok ini
meninggalkan sarungnya, kematianpun akan datang, tiada
seorangpun didunia ini yang mampu melawannya. Apakah
sekarang goloknya siap keluar dari sarungnya?"
Dengan kedua tangan Yan Lam-hwi pegang pedang,
katanya: "Aku lebih senang mati dibawah pedangku sendiri."
"Aku tahu."
"Tapi kau tetap ingin menggunakan golokmu."
"Kau punya persoalan yang tidak mau kau bereskan,
demikian pula aku."
Yan Lam-hwi menepekur, katanya perlahan: "Setelah aku
mati, sudikah kau merawat pedangku ini?"
Dingin suara Pho Ang-soat: "Pedang ada orangnya hidup,
orang mati pedangpun lenyap, bila kau mati, pedang ini akan
tetap mendampingi kau."
Yan Lam-hwi menghela napas panjang perlahan, memejam
mata serta berkata: "Silahkan, silahkan turun tangan."
Golok Pho Ang-soat sudah bergerak, sebelum
meninggalkan kerangka, mendadak dari luar terdengar suara
gemuruh seperti roda raksasa menggelinding dijalan berbatu,
disusul "Blang" yang menggetar seisi rumah. Daun pintu yang
memang sudah keropos mendadak semplak berhamburan,
sebuah benda menggelinding masuk laksana roda kereta,
itulah sebuah bola bundar berwarna kuning emas kemilau.
Pho Ang-soat tidak bergerak, Yan Lam-hwi juga tidak
berpaling. Bila bola emas itu menggelundung dibelakangnya,
sekejap lagi bakal menumbuk punggungnya.
Tiada seorangpun yang kuat menahan terjangan bola emas
ini, terjangan yang tidak mungkin bisa ditahan oleh tenaga
manusia yang berdarah daging.
Pada saat itulah golok Pho Ang-soat tercabut. Hanya sekali
sinar golok berkelebat lalu berhenti. Segala suara, semua
gerakan, berhenti seluruhnya. Bola emas yang menerjang
datang dengan dahsyat, hanya sekali tutul dengan tajam
goloknya, lantas berhenti bergerak. Pada saat yang sama
itulah, dari dalam bola emas itu mendadak melesat keluar tiga
belas batang ujung tombak runcing menusuk punggung Yan
Lam-hwi.
Yan Lam-hwi tetap tidak bergerak, kembali Pho Ang-soat
yang bertindak. Dimana sinar golok menyambar, ujung tombak
rontok seluruhnya. Bola emas yang kelihatannya berat ribuan
kati itu sekilas telah dibacoknya menjadi empat potong.
Bola emas ini ternyata kosong, laksana kelopak bunga saja
empat potongan bola itu merekah keempat penjuru, lalu
muncullah seseorang. Seorang kate, manusia kerdil duduk
bersimpuh diatas tanah, bila kelopak bola itu jatuh perlahan
menyentuh bumi, orang kerdil ini tetap duduk diam tidak
bergerak sedikitpun.
Sambaran golok sekali tadi, sekaligus membabat kutung
tiga belas batang tombak, sekalian membelah bola emas itu
menjadi empat potong, maka dapat dibayangkan betapa besar
tenaga dan kecepatan samberan golok itu, seolah-olah sudah
membaur dengan kekuatan gaib yang ada di dunia ini, boleh
dikata itu sudah termasuk segala perobahan ilmu pedang
yang paling top di dunia ini, cukup ampuh untuk
menghancurkan apa saja di dunia ini.
Tapi setelah tombak putus bola terbelah, manusia kerdil ini
tetap bersimpuh di tanah, bukan saja tidak bergerak, mimik
mukanya juga kaku tidak menunjukkan perobahan, tak
ubahnya manusia kayu, seperti pinokio.
Daun pintu jebol, genteng juga runtuh, sekeping genteng
kebetulan jatuh mengenai manusia kerdil itu "Klotak" suaranya
keras, ternyata dia memang betul adalah manusia kayu.
Namun Pho Ang-soat tidak pernah lepas pandang. dia tidak
bergerak, diapun diam.
Benarkah manusia kayu bisa bergerak? Kenyataan
manusia kayu ini memang bergerak. Malah bergerak cepat
bagai kilat, gerakannyapun aneh dan ganjil, mendadak
dengan tubuhnya yang kecil itu nyeruduk kepunggung Yan
Lam-hwi.
Tidak memakai senjata, dengan badan sendiri sebagai
gaman, seluruh badan termasuk kaki tangan adalah gaman.
Gaman apapun yang paling dahsyat di dunia ini pasti
digunakan manusia, karena gaman itu sendiri adalah benda
mati. Tapi gaman yang satu ini justru adalah gaman hidup.
Pada saat yang sama, lantai kedai yang kering keras itu
mendadak merekah, sepasang tangan mendadak
menyelonong keluar merogoh sepasang kaki Yan Lam-hwi.
Aksi yang tak terduga dan luar biasa inipun mengejutkan.
Umpama Yan Lam-hwi ingin berkelit juga sudah tidak mampu
bergerak lagi.
Sepasang tangan yang keluar dari tanah manusia kayu
yang mendadak bergerak, serangan atas dan bawah, kaki
manusia kayu menjepit pinggang, sepasang tangan sudah
siap mencekik tenggorokkan. Serangan serentak dari atas dan
bawah ini bukan saja aneh bin ajaib, jelas telah direncanakan
secara sempurna pula, mereka yakin sekali gebrakan pasti
tidak akan gagal.
Sayang sekali mereka lupa, bahwa disamping Yan Lam-hwi
masih ada sebilah golok. Golok Pho Ang-soat. Golok yang
tiada tandingan di langit maupun di bumi. Kembali golok hanya
berkelebat sekali, sekalipun cukup berlebihan. Empat tangan
seketika tergores luka berdarah, tangan manusia kayu
ternyata juga mengeluarkan darah. Darah yang merah namun
raut mukanya yang kelam dan kering tampak mulai berkerut.
Pegangan terlepas, empat tangan telah melepas
pegangannya, seorang menerobos keluar dari dalam tanah,
sekujur badan berdebu, bentuk seperti manusia tanah diapun
seorang kate. Gerakan kedua orang kate ini serasi dan mirip
satu dengan yang lain. Ditengah udara mereka bersalto dan
jatuh kearah pojokan yang sama lalu mengkeret seperti
trenggiling.
Golok Pho Ang-soat sudah kembali ke dalam kerangkanya,
orangnya tetap diam. Demikian pula Yan Lam-hwi, hakikatnya
dia tidak bergerak atau berpaling.
Manusia tanah mendekap tangan yang terluka, mendadak
dia mengomel: "Gara-garamu hingga aku terluka, kau terlalu
yakin bahwa sergapan kita pasti tidak akan gagal."
Manusia kayu menjawab: "Ya, perhitunganku meleset."
Manusia tanah mendesis gemas: "Perhitungan meleset,
maka kau harus mati."
"Bahwa tugas ini tidak terlaksana, pulang juga dihukum
mati, lebih baik mati sekarang saja."
"Mati dengan cara apa yang kau inginkan?"
"Aku ini manusia kayu, sudah tentu harus dibakar."
"Bagus, lebih baik kalau terbakar sampai jadi abu."
Manusia kayu menghela napas, entah darimana dia
keluarkan ketikan api, terus menyulut badan sendiri. Api lekas
menyala, manusia kayu lantas ditelan kobaran api yang
semakin besar.
Manusia tanah sudah menyingkir kesamping, mendadak
dia membentak keras: "Jangan sekarang kau belum boleh
mati, kau masih menyimpan tiga ribu tahil uang kertas kalau
terbakar, uangmu takkan berguna lagi."
"Kemarilah kau mengambilnya." terdengar sahutan dari
tengah kobaran api.
"Aku takut kebakar." sahut manusia tanah.
Terdengar helaan napas dari dalam kobaran api,
mendadak sejalur air menyembur keluar dari gugusan api
yang menyala, laksana hujan saja menciprat kemana-mana,
kebanyakan jatuh ditengah kobaran api sehingga
menimbulkan suara mendesis yang ramai, maka mengepullah
asap tebal. Kobaran api besar itu seketika padam hanya oleh
siraman sejalur air putih, kini berganti kepulan asap putih yang
semakin tebal. Manusia kayu terbungkus di dalam kepulan
asap tebal, siapapun tiada yang melihat bagaimana bentuknya
sekarang setelah terbakar.
Bahwasanya Pho Ang-soat tidak pernah perhatikan
kejadian sekelilingnya, yang diperhatikan hanya seorang. Yan
Lam-hwi sendiri seolah-olah tidak ambil peduli akan apa yang
terjadi disekitarnya. Lekas sekali asap tebal itu makin meluap
sehingga seluruh kedai arak ini ditelannya, asap terus
merembes keluar melalui celah-celah pintu, lobang jendela
dan atap genteng. Angin menghembus lalu diluar, asap yang
keluar seketika buyar tertiup angin.
Kucing yang kurus kering bermalas-malas di luar tadi
sedang menyebrang jalan pula kearah kedai, sambil
merunduk dia sembunyi dibelakang sebuah saka. Kebetulan
angin menghembus lalu membawa segumpal asap lewat
disekitar tubuhnya. Kucing itu seketika roboh, setelah
kelejetan terus tak bergerak lagi. Setelah mengalami banyak
penderitaan, kelaparan yang tidak mungkin kuat ditahan oleh
manusia. Kucing ini masih bertahan hidup, tapi hanya
hembusan asap lalu cukup membuatnya mati dan mayatnya
pun luluh tinggal kerangka saja.
ooooOOoooo