Daina.
_________________________
_______________________
Pria baik itu menunduk saja, Ia tidak bilang padaku, tapi aku tahu alasannnya,
Itu karena ia memang seperti ini.
Tasuku orang yang baik sekali, selalu ingin berpikir positif dan berusaha untuk tidak sampai menaruh prasangka buruk terhadap orang lain.
Malahan, semustahil apapun ia menuruti mereka karena ia percaya win-win solution itu ada, Dia tipe yang selalu ingin membantu orang lain dan tidak pernah mau menang sendiri.
Dalam hati aku marah.
Bukan karena sifat baik hatinya yang terkadang membuatnya menjadi salah langkah, Melainkan orang lain yang selalu saja mengambil keuntungan dari Tasuku yang seperti ini…
Ya, adalah manusia jika kita memikirkan diri sendiri sampai menjahati orang lain, tapi kan…, Bukankah mereka bisa memilih siapa korbannya?
Kenapa Tasuku? Kenapa orang sebaik ini? Manusia macam apa mereka? Yang hanya memanfaatkan seseorang yang baik sekali, seseorang yang percaya pada mereka, yang menginginkan hal hal bagus terjadi pada mereka sama baiknya dengan diri mereka sendiri?!
Aku benci sekali… Pada orang orang semacam ini.
“Tidak apa-apa, Daina…” Dan Tasuku, selalu saja tahu hatiku, ia balas memegangi tanganku, padahal aku tahu saat ini ialah yang sedang paling butuh dikuatkan.
Aku tidak tahu ia sedang menatap apa, pandangannya menerawang jauh kedepan, jalanan beraspal sepi dipinggiran kota.
Seperti melamun, ia bicara.
“Hal paling menakjubkan dari Tuhan adalah, ketika kau sudah memantapkan dirimu untuk percaya sepenuh hati dan berserah, Ia akan memberikanmu lebih banyak cobaan lagi untuk mengukur seberapa dalam kesetiaanmu kepadanya.”
Aku mendengarkan, menggedikkan bahuku tanda tidak tahu.
Pikiran sederhanaku tidak akan pernah bisa sampai untuk menerjemahkan ungkapan setinggi itu.
Aku tidak mengerti, Tasuku…
Tapi untung saja ‘Dia’ yang kau bicarakan saat ini adalah Tuhan, andai saja ‘Dia’ adalah manusia biasa sama sepertimu dan aku, menurutku ‘Dia’ pastilah bocah kekanakan yang sangat keterlaluan dalam membolak balikkan hati manusia karena merasa sudah punya segalanya.
-
-
-
-
-
Saat kami sampai dirumah pada sore harinya, kakiku sangat pegal, Aku tahu Tasuku juga, Cuma dia kuat jalan, Jadi aku sendiri yang terliat kuyu terseok seok ingin segera masuk kedalam.
Didepan pintu terlihat kak Ari sedang berbincang dengan beberapa orang.
Kakak segera mengenaliku dan Tasuku bahkan dari kejauhan.
Ia menganggukkan kepalanya, menggeser tubuh memberikan jalan, lalu dengan gerakan matanya Ia menyuruhku dan Tasuku untuk masuk duluan,
Kami menurut saja membiarkan Ia menyelesaikan urusannya entah apa.
Aku mendengar sekilas percakapan mereka sambil lewat,
Tapi Tasuku menarik tanganku setengah memaksa agar segera mengikutinya kedalam.
Kakak masuk tepat pada saat aku baru keluar kamar setelah selesai mengganti bajuku dengan babydoll rumahan.
Tasuku kelihatan sabar menunggu diruang tamu, aku kaget karena gelas air mineral dingin sudah disiapkan untukku juga, betapa baiknya Tasuku…
“Berapa banyak kali ini?” Tanya Tasuku pelan, menatap layar televisi seolah sedang menonton, padahal sebenarnya tidak.
Kak Ari kelihatan salah tingkah, ia mencoba menutupinya,
“Errr, tidak separah itu kok,”
Untuk pertama kalinya Tasuku mengalihkan pandangan, menatap sang kakak secara langsung.
“Gara-gara memfasilitasi peralatan penunjang proyek penelitianku lagi, kan? Kenapa kakak tidak bilang padaku kalau berutang banyak demi itu?!”
Hening,
“Jangan begini, kakak…” Mohon pemilik mata sebiru samudera itu dengan pandangan berkaca-kaca, ia menengadahkan kepalanya kelangit-langit, “Aku tidak bisa hidup dengan menanggung malu karena sudah teramat sangat merepotkan semua orang disekitarku…”
“Bisa kuatasi.” Tukas kak Ari cepat. “Kau tenanglah, Besok aku berangkat dan aku akan…”
“Mempertaruhkan nyawamu dimedan tempur, lagi-lagi demi aku.” Sambung Tasuku.
Mereka bertengkar..
Aku diam saja, menutupi mulutku dengan kedua tanganku, menatap kakiku sendiri, menahan diri untuk tidak ikut bicara.
Aku ikut bicarapun belum tentu membantu apalagi memperbaiki keadaan…
Betapa sulitnya, keadaan teramat sangat sulit…
Tasuku benar soal kekhawatirannya tentang kakak yang bertempur dan bisa mati kapan saja, Tapi kak Ari juga tidak bisa disalahkan, karena siapapun tahu betapa besar pengorbanan yang dibutuhkan untuk mewujudkan sebuah mimpi…
Penelitian Tasuku dilakukan secara independen tanpa sokongan pihak manapun, baik pemerintah maupun swasta, Tasuku memiliki prinsipnya sendiri yang memang sudah dari sananya setali tiga uang dengan kak Ari, tidak akan melibatkan pihak manapun yang berniat menitipkan kepentingannya dan mengikat mereka.
Jalannya akan lebih susah, tapi mereka sudah sepakat, bukan?
“Itu tidak benar,” Bantah kak Ari cepat-cepat, seperti biasa, ngotot pada pendiriannya, “Kita sudah sangat dekat dengan mimpi kita kan? Impianku, impianmu…”
“Sampai kapan kita mau hidup seperti ini?” Tasuku berkata lagi, “Daina juga kesusahan kan…” Ia berbalik kearahku, membuatku ikut mendelik sambil menggelengkan kepala sekuat kubisa, Tasuku tertawa renyah.
“Kakak… kau orang hebat dengan banyak bakat, Walaupun aku lebih suka kakak masuk sekolah tata boga saja dan menjalani hidup sebagai koki terkenal –maaf jangan marah padaku aku hanya bercanda- aku cukup bisa mengerti hobimu bertempur melawan Undead… kau bisa gunakan penghasilanmu sebagai modal, pergi ke Rusia, ikut ujian sebagai Prajurit Paladin, aku yakin takkan ada yang bisa menolak kemampuanmu disana, Tidak perlu repot-repot memikirkan aku segala…”
“Dan kau, Daina,” No, no, Tasuku, Lagi-lagi aku… “Kau tidak perlu membantuku lagi, bisa mengambil pekerjaan purna waktu yang penghasilannya jauh lebih besar dan cukup untukmu, lalu beli apapun yang kau suka, baju, sepatu, apa saja… tidak usah berhemat lagi…”
“Ide bodoh macam apa itu?!” Sambar kak Ari mendahuluiku. “Bakatku, tangan yang bisanya mengiris bawang atau memenggal kepala mayat hidup begini saja kau bilang ‘bakat’…”
Oke, kak Ari memang lucu, aku juga nyaris keterlepasan tertawa, Tapi Tasuku ikut tersenyum menimpali kata-kata kakaknya.
“Kita hanya bicara realita saja, kan,” Tasuku tersenyum lagi sambil menundukkan kepala. “Aku mungkin bisa bekerja di Rumah sakit juga, mengumpulkan dana untuk penelitianku sendiri, dengan demikian aku tidak membebani kalian lagi…”
“Dan berapa lama sampai bisa terkumpul semua?”
“Entahlah… Kabarnya seorang ahli bedah punya penghasilan lumayan yang…”
“Tidak sebesar penghasilan seorang Prajurit bayaran yang ketimpukan uang banyak dalam satu kali misi,” Kak Ari menghela nafas pelan, “Lupakanlah, Tasuku, kau juga tidak memikirkan berapa banyak nyawa melayang sementara kau menunggu dirimu sendiri berhasil mengumpulkan pundi pundi isi celenganmu itu.”
Aku nyaris menambahkan ‘Penghasilan kakak sendiri juga tidak mencukupi untuk memfasilitasi semuanya’.
Dana yang dibutuhkan memang sangat banyak… dan kalau dengan cara kami yang sekarang berbagi tugas memang lebih efisien.
“Mimpiku adalah melihatmu mewujudkan mimpimu,” Kak Ari bangkit dari duduknya, tangannya terulur membelai ubun-ubunku dan Tasuku bergantian. “Tidak kurang, tidak lebih, aku tidak akan sudi membiarkan diriku mati sampai semua itu tercapai.”
Lalu ia menyambar handuk dan masuk kedalam kamar mandi, tak lama kemudian terdengar suara guyuran shower.
Aku dan Tasuku sama-sama diam terduduk diatas sofa.
Tidak bicara satu sama lain.
Diam-diam aku mengintip kesebelahku, sekadar ingin tahu ekspresi macam apa yang saat ini tengah dibuat lelaki yang diam-diam kupuja dalam hati.
Pandangan matanya sedih.
Aku nyaris tidak pernah melihat Tasuku sesedih ini sebelumnya.
Betapapun, saat ia sedang bicara berhadap-hadapan dengan kak Ari ia menyampaikannya dengan intonasi biasa yang seakan tidak menyimpan beban perasaan yang dalam,
Bernada ‘aku baik baik saja’, kenyataannya ia memang menyembunyikan kegelisahan dalam hati.
Ia memandangi tangannya sendiri, seolah kebingungan apa selanjutnya yang ingin ia lakukan, atau mengapa kami semua begitu percaya bahwa ia mampu melakukannya.
Ternyata beban Tasuku juga berat,
Diluar, ia dikhianati teman-teman dan orang-orang yang diajaknya bekerja sama hingga akhirnya ia lebih memilih untuk bekerja seorang diri saja, dirinya yang lurus dianggap terlalu naif, sebagai orang yang terlalu jujur yang terkadang suka dimusuhi...
Sementara didalam, ia sendiri teramat takut mengecewakan orang orang yang mempercayainya, aku, kak Ari…
Aku kembali pura pura sibuk sendiri sebelum Tasuku menyadari aku mencuri curi pandang kearahnya.
Apa yang bisa kulakukan untuk Tasuku…?
++++