YUmee_miru
Well-known member
Tasuku.
_________________________
____________________
Seharusnya ini sudah waktunya aku dan kakak kembali ke London.
Dengan berat hati, Izin tinggal kami disini sudah hampir habis,
Daina pemurung dan tidak mau bicara padaku maupun kakak, tidak bisa diapa-apakan, ia menderita trauma sangat hebat sampai sampai ia sering terbangun setiap malam dan histeris sendiri.
Tak bisa disalahkan memang, aku yang sudah melewatinya bertahun tahun saja, kadang kadang masih terbawa mimpi, berteriak dalam tidurku.
Seperti umumnya adat Thailand, upacara pemakaman melalui proses kremasi terlebih dahulu dan pihak keluarga memilih menyimpan abunya, Tapi karena mereka sudah tidak memiliki rumah lagi, maka pemerintah setempat membuatkan rumah penyimpanan khusus untuk menyimpan abu Jenazah.
Dan Daina termasuk salah satu yang tidak mau beranjak dari sana.
Tidak hanya padaku, ia bahkan tidak bersedia membuka mulut pada kak Ari.
Merasa tidak berdaya, aku dan kakak hanya bisa diam dan menunggu, tak terasa sebulan berlalu, masa tinggal kami disini nyaris berakhir.
Aku dan kakak hendak berpamitan pada Daina sore itu karena rencananya besok, kami akan segera kembali ke London.
Kami melihat ada cukup banyak orang dan anggota kepolisian yang memeriksa diklinik tempat mereka merawat Daina, Daina juga ada disana, kelihatannya sedang bicara pada mereka.
Entah memberikan keterangan atau apa,
Gadis itu kelihatan sudah terbiasa, karena sejak ia terlihat mulai sehat dan bisa bicara, ia sudah diberondong macam macam pertanyaan.
Aku dan kakak juga menghadapi keadaan yang sama tapi karena kakak seorang Prajurit bayaran dan ini memang pekerjaannya, disisi kami sama sekali tidak ada kesulitan.
Beda dengan Daina...
Aku dan kak Ari berpandangan, memutuskan mendekat untuk melihat lihat, apa sekiranya yang tengah terjadi.
Betapa kagetnya kami, ketika seorang wanita paruh baya bertubuh gemuk penuh emosi menampar wajah Daina keras keras, sambil berteriak teriak dalam bahasa daerah.
“Kenapa kau yang hidup?!” Teriak wanita itu, “Kenapa bukan putriku dan keluarganya?!” Lalu menangis tergugu, “Kuizinkan ia pindah ke desa itu mengikuti suaminya… Tapi kenapa malah kau?! Kenapa kau yang hidup?! Ini tidak adil… ini benar benar tidak adil… cucuku, putriku yang malang…”
Beberapa orang menghentikan gerakannya, mencoba menenangkan jiwa yang baru saja mengalami kehilangan tersebut.
Daina memegangi pipinya yang memanas, ia menerima begitu saja perlakuan yang diberikan padanya seakan ia memang pantas mendapatkannya.
Para polisi dan beberapa orang warga desa melepaskan si wanita tua yang tampaknya sudah bisa mengendalikan diri, namun sekali lagi, tanpa bisa ditahan, Ibu tua itu melayangkan tangannya untuk kedua kali kearah Daina begitu melihat celah terbuka,
Aku langsung melompat diantara mereka.
Bahkan Kak Ari saja kaget melihat apa yang kulakukan.
Aku menghalangi luapan kemarahan dan kekecewaan bertubi tubi itu dengan tubuhku sendiri, aku tidak paham kenapa aku senekat itu, padahal aku sendiri juga baru sembuh dari cidera yang kudapat malam itu.
“Ini tidak seperti dia menginginkannya…” Tahanku, “Jangan bicara seolah olah hanya kau yang menderita, tidak ada yang tahu!”
Ya, ini tidak seperti dia hidup lalu dia lantas menjadi yang paling bahagia diantara yang lain.
Bertahan hidup, dalam konteks seorang diri sementara yang lainnya mati, tidak selalu adalah baik, bahkan meskipun banyak orang mengatakan hal itu sebagai suatu keberuntungan.
Ini adalah perang, kami hidup disini dan bertarung dengannya selama bertahun tahun.
Orang menilai hanya dari luar, bicara seenaknya dan menyalahkan.
Jika Daina tak mengeluh, itu bukan karena ia bahagia,
Justru ia takut merepotkan orang lain, khas yatim piatu, dan aku memahami perasaannya melebihi siapapun didunia.
Iapun tak berharap ia hidup setelah apa yang baru saja ia alami, rasa sakit, ia juga tahu dan merasakan.
Hanya kekuatan dan Imannya lah yang menahannya untuk tidak menyayat urat nadi sendiri saat ini.
Mereka… tidak bisa melihat itu, kah? Menyepelekan perasaannya…
Biasanya aku tenang, tapi aku paham sekali perasaan Daina sampai pada titik aku tidak bisa diam melihatnya dinilai seenaknya.
Bahkan hiduppun… hidup sudah tidak ada gunanya lagi, saat kau sendirian.
Kugigit bibirku, betapa kekanakannya tindakanku sekarang,kubentangkan kedua tanganku selebar mungkin, bertindak sebagaimana bocah yang melindungi gadis kecil seusia yang membawa takdir sama dengannya.
Baik pak polisi maupun beberapa warga yang ada disana, ikut terdiam.
Lalu Ibu tua itu menangis sejadinya.
Mungkin sadar bahwa apapun yang dilakukannya, siapapun yang disalahkannya, anaknya takkan kembali hidup.
Aku sendiri juga ikut diam, menyesal,
Karena tadi sempat berteriak kepada orang lain yang lebih tua dariku.
Itu tidak sopan...
Walau pada kenyataannya kami tidak salah, Terkadang orang dewasa membingungkan, usia mereka tidak selamanya menjamin apakah mereka akan selalu bijaksana...
Tapi kami para anak kecil, senantiasa memiliki hati yang cukup lapang untuk memaafkan...
Kemudian seakan tersadar dari hipnotis, orang orang dewasa lainnya dengan sigap memapah sang nyonya.
Meninggalkan aku, bertiga dengan Daina dan Kak Ari saja.
Aku berpaling kepada Daina dibelakangku, Daina sedang berdiri menunduk, airmatanya mengalir deras.
Menggunakan segenap kekuatan yang kupunya, aku memeluknya, merengkuhnya kedalam dekapanku.
Gadis itu tangisnya makin kencang, tapi tak sekalipun aku menyuruhnya diam, sebaliknya, aku malah ikut menangis juga, padahal aku laki laki.
Jangan lihat, Imej-ku benar benar runtuh sekarang…
Kusadari, puncak kepalaku dibelai sedemikian rupa, saat aku menengadahkan kepala, kakakku tersenyum arif disampingku, melakukan hal yang sama kepada Daina, ia kembali merangkul kami berdua seperti waktu kami di klinik,
Sebagai satu satunya orang dewasa yang paling kupercaya didunia.
“Maaf…” Bisikku tanpa suara, kakak selalu bilang laki laki tidak boleh menangis,
Tapi kakakku diam saja membiarkan, ia menempelkan dagunya pada bagian ubun ubunku, sambil mengusap usap bahu Daina.
Seperti menyembunyikan kami dengan tubuhnya yang besar.
“Aku bangga padamu,” Senyumnya padaku secerah matahari, Inilah orang dewasa kami.
Sialnya, malah aku menangis makin keras, beradu nyaring dengan Daina.
Bodoh sekali kan?
Benar benar bocah…
Sangat tidak keren,
Hari ini adalah hari paling memalukan, sepanjang sejarah hidupku.
+++
_________________________
____________________
Seharusnya ini sudah waktunya aku dan kakak kembali ke London.
Dengan berat hati, Izin tinggal kami disini sudah hampir habis,
Daina pemurung dan tidak mau bicara padaku maupun kakak, tidak bisa diapa-apakan, ia menderita trauma sangat hebat sampai sampai ia sering terbangun setiap malam dan histeris sendiri.
Tak bisa disalahkan memang, aku yang sudah melewatinya bertahun tahun saja, kadang kadang masih terbawa mimpi, berteriak dalam tidurku.
Seperti umumnya adat Thailand, upacara pemakaman melalui proses kremasi terlebih dahulu dan pihak keluarga memilih menyimpan abunya, Tapi karena mereka sudah tidak memiliki rumah lagi, maka pemerintah setempat membuatkan rumah penyimpanan khusus untuk menyimpan abu Jenazah.
Dan Daina termasuk salah satu yang tidak mau beranjak dari sana.
Tidak hanya padaku, ia bahkan tidak bersedia membuka mulut pada kak Ari.
Merasa tidak berdaya, aku dan kakak hanya bisa diam dan menunggu, tak terasa sebulan berlalu, masa tinggal kami disini nyaris berakhir.
Aku dan kakak hendak berpamitan pada Daina sore itu karena rencananya besok, kami akan segera kembali ke London.
Kami melihat ada cukup banyak orang dan anggota kepolisian yang memeriksa diklinik tempat mereka merawat Daina, Daina juga ada disana, kelihatannya sedang bicara pada mereka.
Entah memberikan keterangan atau apa,
Gadis itu kelihatan sudah terbiasa, karena sejak ia terlihat mulai sehat dan bisa bicara, ia sudah diberondong macam macam pertanyaan.
Aku dan kakak juga menghadapi keadaan yang sama tapi karena kakak seorang Prajurit bayaran dan ini memang pekerjaannya, disisi kami sama sekali tidak ada kesulitan.
Beda dengan Daina...
Aku dan kak Ari berpandangan, memutuskan mendekat untuk melihat lihat, apa sekiranya yang tengah terjadi.
Betapa kagetnya kami, ketika seorang wanita paruh baya bertubuh gemuk penuh emosi menampar wajah Daina keras keras, sambil berteriak teriak dalam bahasa daerah.
“Kenapa kau yang hidup?!” Teriak wanita itu, “Kenapa bukan putriku dan keluarganya?!” Lalu menangis tergugu, “Kuizinkan ia pindah ke desa itu mengikuti suaminya… Tapi kenapa malah kau?! Kenapa kau yang hidup?! Ini tidak adil… ini benar benar tidak adil… cucuku, putriku yang malang…”
Beberapa orang menghentikan gerakannya, mencoba menenangkan jiwa yang baru saja mengalami kehilangan tersebut.
Daina memegangi pipinya yang memanas, ia menerima begitu saja perlakuan yang diberikan padanya seakan ia memang pantas mendapatkannya.
Para polisi dan beberapa orang warga desa melepaskan si wanita tua yang tampaknya sudah bisa mengendalikan diri, namun sekali lagi, tanpa bisa ditahan, Ibu tua itu melayangkan tangannya untuk kedua kali kearah Daina begitu melihat celah terbuka,
Aku langsung melompat diantara mereka.
Bahkan Kak Ari saja kaget melihat apa yang kulakukan.
Aku menghalangi luapan kemarahan dan kekecewaan bertubi tubi itu dengan tubuhku sendiri, aku tidak paham kenapa aku senekat itu, padahal aku sendiri juga baru sembuh dari cidera yang kudapat malam itu.
“Ini tidak seperti dia menginginkannya…” Tahanku, “Jangan bicara seolah olah hanya kau yang menderita, tidak ada yang tahu!”
Ya, ini tidak seperti dia hidup lalu dia lantas menjadi yang paling bahagia diantara yang lain.
Bertahan hidup, dalam konteks seorang diri sementara yang lainnya mati, tidak selalu adalah baik, bahkan meskipun banyak orang mengatakan hal itu sebagai suatu keberuntungan.
Ini adalah perang, kami hidup disini dan bertarung dengannya selama bertahun tahun.
Orang menilai hanya dari luar, bicara seenaknya dan menyalahkan.
Jika Daina tak mengeluh, itu bukan karena ia bahagia,
Justru ia takut merepotkan orang lain, khas yatim piatu, dan aku memahami perasaannya melebihi siapapun didunia.
Iapun tak berharap ia hidup setelah apa yang baru saja ia alami, rasa sakit, ia juga tahu dan merasakan.
Hanya kekuatan dan Imannya lah yang menahannya untuk tidak menyayat urat nadi sendiri saat ini.
Mereka… tidak bisa melihat itu, kah? Menyepelekan perasaannya…
Biasanya aku tenang, tapi aku paham sekali perasaan Daina sampai pada titik aku tidak bisa diam melihatnya dinilai seenaknya.
Bahkan hiduppun… hidup sudah tidak ada gunanya lagi, saat kau sendirian.
Kugigit bibirku, betapa kekanakannya tindakanku sekarang,kubentangkan kedua tanganku selebar mungkin, bertindak sebagaimana bocah yang melindungi gadis kecil seusia yang membawa takdir sama dengannya.
Baik pak polisi maupun beberapa warga yang ada disana, ikut terdiam.
Lalu Ibu tua itu menangis sejadinya.
Mungkin sadar bahwa apapun yang dilakukannya, siapapun yang disalahkannya, anaknya takkan kembali hidup.
Aku sendiri juga ikut diam, menyesal,
Karena tadi sempat berteriak kepada orang lain yang lebih tua dariku.
Itu tidak sopan...
Walau pada kenyataannya kami tidak salah, Terkadang orang dewasa membingungkan, usia mereka tidak selamanya menjamin apakah mereka akan selalu bijaksana...
Tapi kami para anak kecil, senantiasa memiliki hati yang cukup lapang untuk memaafkan...
Kemudian seakan tersadar dari hipnotis, orang orang dewasa lainnya dengan sigap memapah sang nyonya.
Meninggalkan aku, bertiga dengan Daina dan Kak Ari saja.
Aku berpaling kepada Daina dibelakangku, Daina sedang berdiri menunduk, airmatanya mengalir deras.
Menggunakan segenap kekuatan yang kupunya, aku memeluknya, merengkuhnya kedalam dekapanku.
Gadis itu tangisnya makin kencang, tapi tak sekalipun aku menyuruhnya diam, sebaliknya, aku malah ikut menangis juga, padahal aku laki laki.
Jangan lihat, Imej-ku benar benar runtuh sekarang…
Kusadari, puncak kepalaku dibelai sedemikian rupa, saat aku menengadahkan kepala, kakakku tersenyum arif disampingku, melakukan hal yang sama kepada Daina, ia kembali merangkul kami berdua seperti waktu kami di klinik,
Sebagai satu satunya orang dewasa yang paling kupercaya didunia.
“Maaf…” Bisikku tanpa suara, kakak selalu bilang laki laki tidak boleh menangis,
Tapi kakakku diam saja membiarkan, ia menempelkan dagunya pada bagian ubun ubunku, sambil mengusap usap bahu Daina.
Seperti menyembunyikan kami dengan tubuhnya yang besar.
“Aku bangga padamu,” Senyumnya padaku secerah matahari, Inilah orang dewasa kami.
Sialnya, malah aku menangis makin keras, beradu nyaring dengan Daina.
Bodoh sekali kan?
Benar benar bocah…
Sangat tidak keren,
Hari ini adalah hari paling memalukan, sepanjang sejarah hidupku.
+++
Last edited: