Tasuku.
Beberapa hari setelahnya…
______________________________________
__________________________________
Aku termenung duduk diatas kursi anyaman panjang tepat didepan penginapan,
Benar kata Daina dulu, para Turis yang semula berkemah disini memenuhi halaman penginapan sudah sama sekali bubar,
Keadaan sepi seperti layaknya senja hari, hanya satu dua pekerja yang mengangguk ramah padaku sebagai tanda kesopanan mereka,
Sudah seminggu yah, atau nyaris 10 hari? Aku tidak bisa menghitungnya,
Aku ingat saat dimana Daina meninggalkanku,
Sepertinya sangat mudah, tapi wajah yang terakhir kali diperlihatkannya padaku mengusikku hingga aku tidak bisa konsentrasi dengan penelitianku.
Merasa bersalah sudah pasti, aku paling tidak tahan menyakiti seseorang,
Aku selalu begini, tidak bisa mengatakan dengan jelas kalau aku terganggu,
Sekalinya telanjur kukatakan, aku malah menyesal sendiri,
Sifatku yang seperti ini sering dimanfaatkan orang, kakakku benar, karena aku tidak bisa berkata 'tidak' dengan tegas kendati hatiku menolak.
Aku sangat munafik.
Sifat burukku, kelemahanku,
Yang paling parah adalah ketika aku sudah tahu -Biasanya aku selalu tahu dari awal jika ada seseorang yang memanfaatkanku- dan aku diam saja membiarkan.
Orang lain menganggapku baik hati.
Padahal aku hanya... menikmati mengawasi manusia lainnya, betapa kerdil dan piciknya mereka terutama ketika mereka menginginkan sesuatu dariku,
Mempelajari sifat mereka adalah hal yang menyenangkan, aku tidak bilang aku super sabar hingga tidak pernah mencela orang lain,
Kuingatkan saja, Tidak terdengar bukan berarti tidak pernah sama sekali.
Sedikit sekali orang yang pernah mendengarku mencela, karena aku tidak suka mengeluarkan kata celaan dimulut atau meremehkan terang terangan, Sejujurnya aku sering menertawakan mereka dibelakang, berakhir hanya didalam hati.
Betapa buruk sifatku.
Kak Ari kebalikannya, mulutnya sering mencela, tapi hatinya baik dan lembut...
Hanya kakakku yang pernah mendengarku mengeluhkan tentang orang orang, ia selalu memancingku untuk bicara.
Sama seperti hanya aku yang melihat sisi baik dalam dirinya yang sekilas tak berhati.
Jadi begitulah, bukan karena aku baik hati, tapi lebih karena aku terlalu sombong.
Karena aku bosan sekaligus ingin tahu, makanya kubiarkan saja.
Separuh alasannya lagi, aku kasihan pada mereka, jiwa congkakku kasihan pada mereka yang mungkin saja ingin meminjam separuh dari kekuatanku,
Egoku membuatku senang menjadi berguna.
Karena hidupmu pantas disebut hidup selama kau masih bisa berguna bagi orang lainnya.
'Orang lainnya' berarti 'Semua orang', atau 'Sebanyak mungkin orang', yang mana saja, buatlah dirimu bermanfaat, dan selama itulah kau layak untuk bernafas.
Entah apakah mereka punya maksud jahat atau baik padamu, lakukan saja.
Tenang saja,
Dimanfaatkan orang lain tidak akan membuatmu kehilangan atau rugi.
Justru perasaan antipatimu terhadap mereka yang disebabkan oleh diri mereka sendiri itulah yang membuat mereka merugi pada akhirnya.
Yak, mereka sendiri yang patut dikasihani pada akhirnya kan'?
Karena hal tersebut membuat mereka kehilangan teman sebaik dan seberguna kau.
Inilah cara berpikirku, Buat dirimu berguna, then, Nothin' to lose.
'Teman'? Mereka yang biasanya hanya datang kepadaku karena aku berguna.
Jika saja aku tidak dikaruniai kelebihan kelebihan yang mereka perlukan sebagai tempat mereka meminta pertolongan, apakah mereka masih akan datang kepadaku?
Betapa sombongnya aku,
Nyaris semua yang kutemui bersikap seperti itu,
Walau ada juga orang orang yang berbeda, orang orang yang sungguh bisa kupanggil 'Teman'.
Dan biasanya orang orang semacam ini pergi sama cepatnya seperti saat mereka datang.
Yang bertahan dan tinggal untukku hanya kakakku.
Daina tidak ingin memanfaatkanku, memang, tapi ia mengganggu.
Dan ini memang bukan pertama kalinya seorang gadis menaruh hati ataupun dekat denganku,
Aku cukup tahu hubungan wanita pria itu yang bagaimana,
Tunggu, dia tidak menyatakan cintanya, aku melarangnya sebelum ia mengatakan apapun, keterlaluan kan?
Kasar, meskipun nada suaraku saat itu selembut sutera, sok pintar menebak nebak hati orang, tukang mengatur perasaan, banyak alasan… Sungguh…
Kuakui aku begitu takut…
Kurapatkan jaketku, musim hujan berangin serta sisa sisa gerimis membuatku pening.
Teringat kembali percakapanku dengan Daina.
“Aku tidak boleh kesini lagi?”
“Aku tidak melarangmu, aku senang bertemu denganmu, tapi ini tidak akan bekerja, padaku, pada kita,”
Daina saat itu menampakkan sorot mata tidak percaya, matanya berkaca kaca, “Tapi… Aku… Aku belum mengatakan apapun,”
Bingung, aku malah bicara “Tidak perlu dikatakan, karena memang tidak perlu, bisakah kita tetap seperti ini saja?”
Tidak perlu, huh?
Perasaannya itu tidak perlu? aku sok tahu, yah…
Aku pantas dibenci, bukan karena aku suka dia, tapi karena aku begitu angkuh sampai bisa merasa tahu akan hati manusia selainku…
Tuhanlah maha pengasih dan penyayang yang entah mengapa selalu berbaik hati membenarkan setiap tebakanku.
Karenanya aku amat takut jika aku sampai berprasangka buruk.
Gadis itu memegang teguh kata katanya, ia tidak pernah sekalipun muncul dihadapanku lagi,
Pun mengantar makanan, aku selalu turun kebawah untuk makan, tapi tidak pernah menemuinya, kelihatannya ia sengaja bersembunyi didapur atau mengatur jadwalnya agar tidak bentrok dengan ‘jadwal keluar kamar’ku, tentu saja ia tahu karena sebelumnya ialah yang mengurus segala keperluanku disini.
Dan sekarang ia menyerahkan tugas itu kepada seorang pelayan lain yang aku tidak tahu namanya.
Membuatku susah payah melakukan pidato ulang peraturanku bahwa tidak ada seorangpun yang boleh masuk kamarku tanpa izin.
Dan pada siang hari, Daina selalu, selalu saja, menghilang entah kemana, Ia pernah bilang bahwa ia keluar tiga kali dalam sehari untuk mengantarkan makanan kepada tamu penting.
Tapi siapa dan dimana tamu ini, aku tidak tahu…
Aku setiap hari bertanya dan meninggalkan pesan kepada pelayan baru yang mengurus kamarku, ingin tahu apakah Daina meninggalkan pesan untukku, Sudah berhari hari dan tetap saja tidak ada, aku harus menahan malu karena akhir akhir ini muka si pelayan wanita berusia paruh 40-an itu jadi ikut ikutan bersemu merah dan ia terkikik geli seperti menertawakan adegan percintaan dalam opera sabun.
Aku mendesah, menyandarkan tubuhku pada kursi sambil mendengarkan bunyi rotan tua yang kududuki berderit mengenaskan, merana dalam perasaan bersalah yang membuatku tidak bisa mengerjakan apa apa selain melamun.
Ini menyebalkan karena aku tidak pernah seperti ini sebelumnya.
Bertanya tanya apakah gadis itu cukup berharga untuk kujadikan 'Teman'.
Seseorang yang mendekatiku bukan karena ia ingin aku berguna untuknya, tapi karena ia ingin berguna untukku...
“Tuan,” Aku menoleh, ternyata pelayan wanita itu lagi, dengan perasaan agak sedikit kecewa aku menanyakan ada apa, ia menjawab “Kamar anda sudah selesai dibersihkan, dan surat kabar baru yang anda inginkan sudah kami sediakan diatas meja tulis,”
Aku mengangguk, teringat sesuatu, lalu kembali mengajukan pertanyaan yang sama seperti yang selalu kutanyakan padanya beberapa hari belakangan,
“Daina menanyakan aku? Bagaimana dia? Apa pesanku sudah kau sampaikan padanya?”
Seperti biasa pula, si pelayan hanya mengangkat bahunya, tidak ada harapan.
Apa ia sudah benar benar tidak mau lagi bicara padaku?
Bagus, Tasuku, kau bajingan.
“Daina sering bercerita kalau anda membuat obat untuk virus Undead…”
Aku hanya meringis malu menanggapi ibu paruh baya itu bercerita, “Ia selalu membicarakanmu,”
Apa semua orang didesa ini sudah tahu aku meneliti obat obatan? Nice, memalukan…
“ Daina bilang kau hebat, ia selalu kagum pada kepandaianmu.”
“Dia? Yang benar?” Tanyaku antusias, oh well, ini tidak seperti aku ingin tahu apa pendapatnya tentangku…
“Tunggulah sampai malam, kalau kau mau,” Pelayan itu tersenyum padaku, “Ia merubah semua jadwal dan tugasnya, Ia mengambil alih tugas mengemudikan kapal, menukar pekerjaaan rumahnya dengan salah satu pegawai, dan jam pulangnya juga berubah, biasanya sore atau petang, tapi ia baru menampakkan batang hidungnya malam hari, pulang hanya sebentar untuk mengambil makanan yang akan diserahkannya pada tamu, ia lewat jalan belakang penginapan pula, Dia melarangku memberitahumu, tapi kau pantas mendapatkannya,” Ia menepuk bahuku menguatkan,
Apa apaan…
Aku bukan Lover boy atau semacamnya, aku cuma ingin minta maaf.
Tersenyum seadanya, kualihkan pandanganku dari sorot mata –Sorry-For-Your-Lose- Wanita berwajah ramah didepanku.
Malam yah… kulirik arlojiku, matahari sudah hampir terbenam,
Tak apa, siapa takut, aku harus sesegera mungkin meluruskan masalah ini,
Agar tidak ada satu halpun yang akan menggangguku memusatkan perhatian pada penelitianku kelak.
-
-
-
Kutepuk nyamuk dipipiku keras keras,
Sudah nyaris 4 jam aku duduk disini, aku sudah cukup sabar, tapi tidak sekalipun kulihat batang hidung Daina muncul atau bahkan masuk kedalam penginapan.
Ia kemana sih?
Ingin sekali aku menarik pipinya yang bulat bagaikan bakpao itu.
Eh? Tunggu, kau ini bicara apa, Tasuku!
Selesaikan urusanmu, minta maaf, lalu minta jadi teman lagi, beres.
Menguap, aku nyaris tertidur,
‘Kau bodoh sekali angin anginan diluar begini…’
“Ini karena kau,” Aku menyahut asal, tersengat kantuk, sudah beberapa hari yah aku tidak cukup tidur? Antara gelisah memikirkan Daina dan juga mencatat data data… “Coba tidak usah pakai acara ngambek segala…”
Aku tersentak,
Tidak ada seorangpun disampingku.
Nah, aku jadi pengkhayal sekarang, aku sudah sering mendengar suara kakakku, bicara sendiri seolah bicara padanya, tapi ini kakakku, yah…
Suara orang lain selain kak Ari yang kudengar pertama kali antara sadar dan tidakku,
mengapa justru dia?
Aku seperti mendengarkan suara Daina, ia seolah terus menerus bersamaku walau kenyataannya aku tidak pernah lagi bertemu dengannya sejak lebih dari seminggu lalu,
Bunyi berkeresek mengganggu pendengaranku, aku bangkit dari duduk, pegal sekali rasanya, memaksakan diriku untuk melihat, suasana tampak lengang sekarang, jelas saja, jam makan malam sudah jauh lewat sedari tadi, aku berjalan hingga kesamping bangunan untuk melihat lebih jelas apa saja yang telah kuabaikan, mengenali siluet ramping yang menghantui alam bawah sadarku belakangan ini.
“Daina!” Panggilku, “Tunggu!” Oh tidak, ia mau kabur, kami berkejaran, secepat kilat aku langsung mencegatnya,
Daina memberontak dalam pelukanku,
“Lepaskan aku!” Sekuat tenaga ia meronta, tentu saja tenagaku lebih kuat, ia menyandung kakiku, bermaksud membuatku terjungkal tapi malangnya aku malah oleng dan menimpa dia, Reflek aku menyelipkan tanganku melindungi bagian belakang kepalanya,
Kami jatuh diatas semen, Daina hampir menangis kesakitan, susah payah aku menepuk nepuk pipinya supaya ia tidak bersikap berlebihan.
“Kau ini seperti mau disembelih atau apa,” Keluhku, masih berada diatasnya, merapikan rambut berantakannya, “Aku tidak akan mengekspormu ke Paris, tenanglah,”
Daina membuang mukanya kesamping, mengesalkan…
Karena sebal aku jadi menangkupkan tanganku dikedua pipinya, memaksanya agar memandang kearahku. “Tatap aku,” Ujarku memerintah, Aku menyesal memintanya.
Karena sekarang aku melihat apa yang disembunyikannya dariku lebih jelas dari apapun.
Wajah memerah karena takut, bahagia karena melihatku, sedih juga, wajah seseorang yang mencintaiku.
Ayolah, Tash,
Kau laki laki, semua laki laki tahu betapa menyenangkannya ketika seorang gadis memasang ekspresi seperti ini untukmu, ekspresi memohon agar kau menyentuhnya sekaligus menyuruhmu pergi tapi tidak bisa melakukan apapun untuk memaksamu.
Ekspresi yang membuatmu merasa berkuasa.
Tidak, ini sinting, aku tidak ingin berkuasa.
Aku bukan orang gila kekuasaan yang haus mengontrol hidup orang lain.
Aku menggeleng kuat kuat sambil menutup mata.
“Kau belakangan menghindariku, yah?”
Dibawahku, Daina terlihat seperti menahan nafas, “Kau yang bilang tidak ingin diganggu,” katanya lemah, kurasa kalau aku mendesaknya sekarang ia akan benar benar patah.
“Aku hanya tidak bisa menahan diri untuk tidak mengganggumu saat aku berada didekatmu, jadi aku berpikir, lebih baik tidak usah dekat sama sekali.”
Ha? Jujur sekali... Dan ini semua tentangku...
Aku balik bertanya, “Kau yakin? Tapi kau sendiri akan jadi yang paling menderita kalau kau melakukan itu,” Pembicaraan macam apa ini?
Seolah aku yakin sekali ia tidak bisa hidup tanpaku!
“Tidak apa apa, kalau kau senang, kau senang kan? Jika dengan begitu aku bisa membuatmu senang, aku tak masalah,”
“Justru akan… lebih menggangguku…” Aku melanjutkan kalimatku satu demi satu, berjuang agar jangan sampai salah ngomong, “Kalau kau memusuhiku seperti ini,”
“Aku tidak memusuhimu,” Tolaknya, “Aku hanya…”
“Hanya…?” Aku menunggu.
Daina ragu ragu memandangku, “Aku takut… kau marah…”
Kembali aku terdiam,
Tolol, aku tersentuh.
Bagaimana aku harus menghadapinya?
Satu lagi hal yang kumengerti tentang dirinya, ternyata Daina tidak hanya hangat, tapi juga lembut dan perasa…
Perasaannya teramat sangat halus,
Ia mudah terluka, rapuh, seperti kupu kupu yang bisa hancur kapan saja ditanganku,
Wanita itu… seperti ini, ya…
kalau saja aku masih punya Ibu, mungkin ibuku bisa menjelaskan padaku,
tapi sayang sekali aku hanya punya kakak laki laki, tidak ada tempat bertanya.
“Bagaimana kalau aku marah…?” Tanyaku tanpa sadar, aku seperti ingin menampar mulutku sendiri atas kelancangan yang kuperbuat,
Aku ini kepribadian ganda yah?
Padahal bukan itu yang tadinya ingin kukatakan!
Kak, kau terlalu sering mengataiku ‘Setengah iblis-Setengah malaikat’,
mereka bilang ucapan adalah kata lain dari doa, makanya kata katamu berbalik menjadi kutukan sekarang.
Karena pergolakan jiwaku yang ingin menggodanya lebih dan lebih lagi, dan yang disisi satunya hanya ada secuil sudut pandang etika serta moral, aku sendiri kaget naluri macam ini muncul begitu saja,
Ingin mempertahankan, mengurungnya, membuatnya menjadi milikku.
Hanya kepadanya, begitu tak tertahankan.
Rasanya ingin mengerjainya sampai mati.
Mata Daina meredup gelisah, ia memperlihatkan wajah bersedih itu lagi, bukan, bukan sekedar wajah kecemasan yang biasa…
Melainkan Wajah teramat sangat ketakutan, begitu nyata, Takut membuatku marah, takut ditinggalkan, takut padaku…
“Aku minta maaf…” Bisiknya tercekat, suaranya gemetar membuatku tidak tega,
Hampir saja kata kata ‘Kalau tidak kumaafkan bagaimana?’ keluar dari bibirku.
Kak, Bunuh aku sekarang, lakukan saja dengan cepat karena aku tidak tahu caranya mengatasi lompatan lompatan tak terduga dalam dadaku.
“Aku hanya bercanda, tidak apa apa…” sahutku cepat,
Sampai kapan kau mau diatasnya, Tash? Oh baiklah…
Malas malasan, aku bangun dan membantunya berdiri, Daina masih saja menunduk jadi aku berinisiatif untuk bicara duluan.
“Kita masih boleh bercakap cakap bersama, kan?”
Daina mengambil nafas, ia mengangguk, tapi aku belum puas, kutarik lengannya hingga tubuh mungilnya membenturku, sedikit service? Dan ancaman, tentu saja, “Masih, kan?”
Gadis itu menoleh kesamping, “Kenapa laki laki selalu memaksa seperti ini…?”
Keluhannya membuatku ingin tertawa,
Kenapa ya?
Jika ada seorang wanita menjadikanmu sebagai seluruh dunianya, hartanya yang paling berharga, tentu kau mengerti perasaanku.
'Seseorang yang tidak memikirkan apakah aku berguna untuknya, tapi sebaliknya ia ingin selalu berguna untukku'.
Pertama-tama, ada satu hal yang menyadarkanku malam ini,
Yaitu, Daina berharga untuk kujadikan teman.
Daina bukan tipe menyusahkan dan bergantung, sebaliknya ia selalu berusaha agar ia berguna buatku,
Ia melakukan yang terbaik melebihi batasnya, Ia lemah kayak mau patah saja, tapi juga kuat melebihi besi.
Saat kau berbicara dengannya, kau akan tahu ia berbohong ataukah jujur, dengan amat jelas.
Bisakah kau bayangkan perasaanku sekarang, saat ia berkata bahwa ia tidak peduli ia sakit dan susah berpisah dariku, asalkan aku tidak terganggu olehnya?
Ia bahkan membuang harga dirinya dan mengakui bahwa ia tidak pernah ingin ditinggalkan!
Sekarang kau bertanya tanya apa yang membuatku ngotot ingin minta maaf?
Perasaannya itu!
Perasaan yang… walau kau tahu hal tersebut sangat mengganggumu, kau tidak bisa marah, tidak bisa kesal, menghilangkan semua dayamu untuk menyalahkannya.
“Aku akan menunggumu, seperti biasa,” putusku seenaknya, mempertahankan nada bicaraku yang sehalus beledu, kakak benar, aku seperti setan berwujud malaikat…
Bukankah seperti ini akan semakin sakit? Aku tidak bisa menjanjikan apa apa padanya, tapi dilain pihak aku memintanya untuk tetap tinggal.
Betapa tidak adilnya ini untuk Daina.
“Jadi teman lagi?” Kuulurkan tanganku, mengajak bersalaman, Daina memandangi sesaat sebelum menyambut, bahkan tangan lembutnya dingin dan basah oleh keringat.
Hey, apa aku semenarik itu? Seberarti itukah aku baginya?
Tidak, Aku tidak ingin tahu, aku sudah memutuskan untuk tak memberikan harapan macam apapun padanya bukan?
Masalah selesai, dengan ini selesai.
Bagiku.
Percakapan kami berdua terhenti kala beberapa orang yang tak dikehendaki kehadirannya muncul,
Gerombolan siberat lagi, aku nyaris lupa kalau mereka juga menginap ditempat yang sama denganku.
“masuklah duluan,” Aku berkata pelan membisiki Daina, “Aku akan melihatmu,”
Daina mundur, kelihatan tidak rela berpisah dariku, aku menepuk bahunya dan mendorongnya lembut.
Ia masuk kedalam dengan enggan.
Meninggalkanku seorang diri diluar.
“Berpacaran ditengah malam buta begini, nak?” Mulai lagi, Bajingan yang kuketahui bernama Hendric itu membuat gelagat seperti ingin memancing perkelahian, dilain pihak, bisa kulihat sorot kotor bernafsu kepada gadis yang baru saja menghilang dibalik pintu tadi dari mata abu abu keruhnya.
Aku memberikan senyuman paling ramah yang kubisa, walau hatiku ingin meninjunya kalau bisa.
“Kalian sendiri sedang apa? Ini sudah waktunya orang dewasa tidur,” sahutku,
Lelaki itu sepertinya tak sabaran ingin mendaratkan bogemnya kewajahku, tangannya ditangkap-lagi lagi oleh si topi tinggi- sehingga ia hanya bisa menggeram, “Bocah cantik, lihat saja nanti,”desisnya seraya meludah,
Aku tertawa santai,
Si topi tinggi menyapaku ramah, “Jangan hiraukan dia, Ah, ya, bagaimana penelitianmu? Mereka semua didesa ini membicarakan pemuda Jenius dari London yang menghabiskan waktunya untuk meneliti obat untuk Virus, Jika aku terinfeksi dan butuh bantuan, kurasa aku tahu kemana harus datang,”
Apa semua orang didesa ini tahu apa apa yang kulakukan? Astaga, berita kecil cepat sekali menyebar…
Aku sudah terbiasa berbasa basi, jadi menjawabnya mudah saja, “Terima kasih, dengan senang hati, malam yang indah, tuan tuan, semoga waktu kalian menyenangkan.”
Kuanggukkan kepala, sopan.
Sebelum akhirnya beranjak masuk kedalam penginapan.
Sayup sayup masih kudengar mereka bercakap cakap antara satu sama lain.
“Kita tidak boleh membuang buang waktu kita disini,” aku mendengar mereka saling bicara, “Tolong perhatikan gerakanmu, jangan sampai menarik perhatian penduduk lokal,”
“Pastikan juga kerjasama dengan aparat berjalan lancar, kalau metode ini bisa berhasil kita bisa menggunakannya untuk pengiriman setelah ini.”
Menajamkan telinga, aku menutup pintu.
Pengiriman? Metode?
Sebenarnya bukan urusanku, tapi aku tidak suka…
-
-
-
Aku mengistirahatkan mataku sebentar, kelelahan mengawasi mikroskop, sampai sekarang aku belum juga berhasil mengurai materi berbahaya virus Undead, walaupun aku mengerti garis besarnya tapi mengapa sesulit ini?
Obatnya pastilah ada didalam sana juga…
Padahal melalui teropong mikroskop aku bisa melihat mereka jelas sekali memakan satu sama lain dan berkembang biak, apa kiranya yang bisa mematikan mereka, atau merubah susunan cara kerjanya hingga kekebalan bisa terjadi?
aku memasukkan bangkai kelinci yang kuawetkan, menyuntikkan sampel virus kedalamnya, aku selalu membawa barang barang mengerikan semacam ini, dan aku tak suka orang mengutak atik kamarku, inilah alasannya,
Aku takut jika ada yang tidak sengaja menyentuh virusnya, hanya akan membuat kehebohan dan kecelakaan yang akibatnya amat fatal.
Tidak semua orang punya sampel virus Undead.
Hanya orang yang telah bersusah payah mengikuti serangkaian tes rumit tertentu serta sertifikasi yang cukup yang dapat bepergian dengan membawa serta sampel virus bersamanya.
Aku memasukkannya kedalam spesimen yang telah kusiapkan.
Nah, sekarang aku bisa melihat daging bangkai itu perlahan lahan berubah warna menjadi ungu pucat, berdenyut,
Bergerak gerak menggeliat, hidup. Tapi tidak memiliki daya karena tanpa otak,
Sekarang aku sudah membuat sepertiga dari Undead. Virusnya hanya makan dari sisa sisa nutrisi dalam daging mati ini, tidak punya kemampuan menyerang ataupun membaui mangsa, buta sama sekali.
Drak!
Dalam satu sentakan aku menusuk benda bergeliat itu dengan pinset ditanganku.
Kau punya wujud sekarang, jadi aku bisa melampiaskan kekesalanku,
Aku melakukannya berkali kali, sampai aku puas.
Kau Psycho, Tasuku.
Suara kakak membuatku berhenti, aku bersandar setelah barang haram dihadapanku tidak lagi menunjukkan pergerakannya,
“Habis, aku kesal… sudah sampai seperti ini, tapi tidak juga bisa memecahkannya.”
Kupejamkan mataku, bicara sendiri, kalau kakakku ada disini ia pasti menyemangatiku seperti yang biasa dilakukannya.
Sebenarnya dibilang tidak ada yang kebal dari virus pun sama sekali tidak.
Aku berpikir, selama ini tidak ada laporan mengenai adanya infeksi yang disebabkan oleh gigitan serangga.
Dengan kata lain, serangga seperti nyamuk, memiliki kekebalan tertentu terhadap Virusnya...
Bayangkan, jika saja serangga tidak memiliki sistim imun terhadap virus Undead, bumi pastilah dikuasai Undead dalam waktu 3 jam...
Tunggu!
Aku tersentak, bangkit dari kursi, menatap nanar kearah spesimen mati diatas meja kerjaku.
Bagaimana jika aku salah?
Bagaimana jika yang seharusnya kuteliti selama ini bukanlah virus, Undead itu sendiri, ataupun para manusia... melainkan... mencari tahu, makhluk apa saja, yang memiliki kekebalan terhadap Virusnya dan meneliti apa yang ada didalam tubuh mereka sampai bisa menghentikan pergerakan virusnya?
Kau yang paling tahu kita tidak akan menyerah, bukan? Hei, ayolah, bersemangatlah,
Kita akan menciptakan surga, ya kan?
Suara kak Ari berbisik lembut.
Aku sudah agak mulai tenang dan memutuskan untuk mencoba lagi.
“Tidak tahu,” Bisikku melantur, “Kau juga saat ini sedang sibuk memikirkan gadis cinta pertamamu disana,”
Cemburu?
Kau sudah besar, kan…
Kau tahu aku sayang padamu.
Bukan berarti aku melupakanmu dan juga impian kita,
“Kak…” Aku mengeluh, bermanja manja pada ruang kosong, “Apa seorang gadis bisa segitu mengganggunya…?”
Sebelum pikiranku yang mengambil wujud suara kakakku kembali memberikan bisikan setan,
Tiba tiba saja aku mendengar suara gaduh orang orang berlarian diloteng.
Ada apa? Tidak biasanya jam segini…
Keluar dari kamar untuk mengintip sedikit apa yang tengah terjadi, aku hanya melihat para pelayan dilorong berbisik bisik, lalu berlalu lalang kesana kemari, suara langkah kaki cepat cepat bersahutan,
Ya ampun, pukul berapa ini….
“Ada apa?” Tegurku, Mereka memandangiku setengah ketakutan.
Ini baru pertama kalinya ada keributan ditengah malam sejak pertama kali aku datang.
Lorong yang biasanya gelap pada jam segini sekarang malah terang benderang karena semua lampu tengah dinyalakan.
Salah satu dari pelayan itu mengadu tanpa bisa menyembunyikan rasa panik.
“Nona Daina… Menghilang…”
+++