Ari.
_____________________________
_______________________
Memang tidak ada efek baiknya sama sekali untuk kesehatan, tapi merokok membantu memperbaiki mood seseorang, atau setidaknya begitulah sugesti yang kurasakan sebagai pecandunya.
Aku benar benar tidak menyangka, Aku melompat kebelakang kargo menghindari tembakan demi tembakan, tepat pada saat pergulatanku dengan lelaki bernama Hendric itu, tiba tiba saja kedua Undead itu -anak anak dan orang dewasa- muncul begitu saja dari dalam hutan, menyerang Hendric tanpa bisa kuhentikan, lelaki itu -yang panik tanpa alasan- tidak mampu melawan, kejadiannya begitu cepat, sampai sampai aku yang semula berniat menangkapnya dalam keadaan hidup ikut terperangah.
Memang pada akhirnya aku bisa dengan mudah melumpuhkan kedua makhluk ganas itu, hanya dengan -masing masing- satu tembakan dikepala.
Tak lupa kupisahkan kepala mayat lelaki itu dengan pedangku agar ia tak kembali bangkit dari kematian.
Aku sempat berkeliling hutan sekitar mencari cari tanda tanda keberadaan Undead lainnya, hingga kemudian munculah kecurigaanku,
Jika 'sesuatu' yang berbahaya tanpa sengaja keluar saat lelaki itu menganti kuncinya...
Aku kembali ke titik awal dimana mayat mayat itu tergeletak, memperhatikan baik baik, bukankah tadi, orang ini kelihatannya sedang kepayahan?
Apa tandanya ia sedang mengejar sesuatu?
Darimana datangnya makhluk itu?
Pastilah berhubungan dengan orang orang yang kulihat kemarin.
Ya, sesuatu yang mengerikan, Logikaku jalan.
Jika benar dugaanku, didalam kargo ini sekarang pastilah dipenuhi dengan Undead.
Dan beberapa diantaranya... pastilah lepas saat bajingan ini bermaksud menyembunyikan kecerobohannya dari kawanannya sendiri, dengan cara mengganti kunci sebelum ketahuan.
Tapi untuk apa?
Undead sebanyak ini... Ada apa didalam mereka?
Organ... Undead tidak memiliki organ yang bisa dipakai untuk pengobatan.
Bahan penelitian?
Tidak perlu sampai diselundupkan segala kan?
Mereka yang terinfeksi diperlakukan lebih rendah daripada binatang.
Asal kau punya izin yang cukup, aku teringat pada adikku yang seorang dokter, maka kau bisa bepergian dengan sampel virusnya...
Ada tiga opsi yang membawaku kemari sekarang,
Pertama adalah, langsung meledakkan peti kemas itu ditempat, apapun yang menjadi isi didalamnya dijamin hancur berkeping keping, atau mungkin membukanya dengan paksa.
Membuka paksa terlalu beresiko, ledakkan ditempat berarti hangus tanpa mengetahui apapun motif sebenarnya dibalik kejadian ini.
Aku perlu tahu seperti apa detal metode mereka agar kelak kejadian seperti ini tidak terulang kembali, minimal bisa ditanggulangi, karena modusnya sudah ketahuan.
Kedua, Zombie itu, membedahnya ditempat, ah, bukan membedah, potong potong langsung sajalah,
Tapi terlalu makan waktu.
Ya, kalau kulakukan sendiri, hanya akan menghancurkan barang bukti atau apapun itu yang ingin kutahu, dan lagi, hutan ini terlalu gelap, hanya cahaya bulan yang membantuku...
Dan opsi ketiga, bawa mayat Undead ini pulang, meminta Tasuku melakukan pemeriksaan, sekaligus memberitahukan pada Tasuku dan Daina bahwa kemungkinan besar bahaya akan segera datang…
Ya, memperingatkan mereka untuk berhati hati.
Saat ini mereka berdua adalah prioritas utamaku.
Pasang peledak otomatis, yang bisa kukendalikan dari jarak jauh, untuk jaga jaga...
Jadi jika kawan kawan pemilik kargo datang, mereka tidak akan bisa mendekati benda ini, merasakan ancaman bahwa benda ini bisa saja meledak sewaktu waktu.
Dari semua pilihan, hanya opsi ketigalah yang paling masuk akal bagiku.
Jadi begitulah, aku akhirnya membawa mayat mayat Undead itu kerumah,
Gelisah, kumatikan rokokku dengan cara menekannya keatas tangga kayu tempatku duduk,
Tak kuduga Daina kembali kedalam, padahal sebelumnya ia yang paling tampak shock melihat mayat mayat Undead didepan matanya sendiri.
Kukira dia tipe gadis penakut yang akan lari jika berhadapan dengan sesuatu yang menyeramkan.
Ternyata ia malah memilih untuk membantu Tasuku.
Karena itulah kau menyukainya, kan, Ar?
Ia berusaha keras membuat dirinya kelihatan berguna,
Ia tidak bisa ditebak dan penuh kejutan, jika ia sudah serius, sifat nekatnya parah sekali…
Betapa ajaibnya, gadis ajaib, memikirkannya saja sudah membuatku tersenyum, pun disaat saat genting begini.
Aku harus tetap berkepala dingin seperti biasa, Daina sangat membantu.
Bunga yang tumbuh diladang kering merupakan sesuatu yang langka bukan?
Dan amat istimewa, lebih indah, daripada bunga bunga lainnya...
Lama sekali, jika kuhitung hitung sudah dua setengah jam berlalu, Aku menguap resah di serambi pondokan, Mondar mandir sambil menyalakan rokok, menghisap beberapa kali, lalu berakhir dengan mematikannya begitu saja, lanjut menyalakan yang baru lagi, idiot.
Iseng iseng, aku melongok kedalam pondokan, mengintip apa kiranya yang sedang berlangsung didalam sana.
Dan kenapa lama sekali.
Perasaan gembira menyergapku, terbelalak begitu saja ketika pandanganku tertumbuk pada sosok muda-mudi didepan meja makan yang berubah jadi ruang operasi dadakan.
Mereka kelihatan akrab, Tasuku sedang mengajarkan Daina menutup irisan yang dibuatnya pada tubuh mayat dengan jahitan.
Daina gugup tapi ia bersemangat, mereka berdua berlumuran darah tapi kelihatan senang,
Bocah bocah psikotik sialan, senyumku.
Aneh,padahal sebelum ini perasaanku pada Daina hanyalah hasrat ingin memiliki-dan ingin memiliki, aku sendiri sudah sadar bahwa ada satu kepingan yang hilang, apapun itu, membuatku sulit untuk melangkah.
Tapi begitu melihat Daina bersama Tasuku, berdiri bersama Tasuku seperti itu,
Semua kepingan yang hilang itu menyatu kembali.
Aku mendapatkannya, lengkap ditanganku secara utuh, tak terbagi.
Aku tidak lagi melihatnya sebagai ‘wanita idaman’ yang kudambakan sejak lama, tapi lebih seperti karya seni yang sempurna dan mulia, bersama dengan Tasuku.
Sesuatu yang kupuja.
Ingatanku melayang pada malam jahanam itu.
Malam ketika kami berdua, aku dan Tasuku, kehilangan segalanya…
Ah yah, Ibu kami meninggal saat usia kandungannya 8 bulan, sesaat setelah kelahiran prematurnya, benar juga,
Ia memohon padaku dan Tasuku untuk menyelamatkan bayi didalam perutnya disaat saat terakhir,
Itu bukan kecelakaan, kami sudah berhasil mengurung ayahku yang terlebih dahulu bermutasi didalam lemari, hanya berdua Tasuku, begitu susah payah.
Aku berteriak, menyuruh Tasuku mengambil gembok didalam laci, kami mengikatnya kuat kuat dengan rantai, tapi itu hanya lemari Tua, kami tidak tahu seberapa lama benda itu dapat bertahan.
Selanjutnya Tasuku yang masih sangat kecil berlari ketakutan keruangan tengah,
Ia berteriak “Ibu! Ibu!”
Aku mengikutinya, melihat keadaan didapur sangat parah.
Ibuku, ketubannya sudah pecah, darah berceceran memenuhi bagian paha dalamnya.
Panik, kami berdua beradu dengan jerit kesakitan ibu,
“Selamatkan dia!” Teriak ibuku melengking, “Bayinya saja, kalian tidak usah memikirkan aku!”
Lalu ia terbatuk, mengeluarkan darah.
Aku dan adikku mendelik ngeri pada luka luka menganga ditubuh ibuku, leher, bahu, dada, yang –ironisnya- dibuat oleh ayah kami sendiri,
Ia tidak mempedulikan dirinya sendiri, bergulat dengan kontraksi yang berkepanjangan.
Toh’ ia merasa dirinya takkan mungkin selamat,
Tapi bayinya, adik kami, harus hidup.
Itulah prioritas sekarang.
Lima belas menit penuh penentuan sebelum detik detik menegangkan itu berakhir.
Bersama satu tarikan nafas terakhir, Ibuku menyelesaikan persalinannya, bayi mungil itu kini berguling berbantalkan lengan kecil Tasuku.
Adikku memandanginya penuh kekaguman, aku juga.
Betapa ajaibnya.
Tasuku selalu ingin punya adik, sejak Ibu kami memberitahu bahwa ia hamil, Tasuku selalu menjadi yang paling antusias menanti nanti.
Aku tahu perasaannya, sama dengan apa yang kurasakan ketika ia akan lahir kedunia…
“Perempuan,” Tasuku berbisik, “Lihat, kakak… Dia perempuan,” Tasuku berbalik kebelakang, “Ibu, Ibu, adikku perempuan, Ibu…! Lihat!” bekas airmata mengering dipipinya kembali basah.
Ibu kami tidak bergerak.
Begitu pula badannya, perlahan lahan menjadi dingin, ia kehilangan banyak darah dari luka ditubuhnya dan luka persalinan sekaligus.
Tasuku kecil mengguncang guncangkan tubuh wanita yang surga kami terletak ditelapak kakinya itu,
Mencoba menemukan denyut harapan.
“Ibu… Ibu… Jawab aku, Ibu… Ibu,” Mohonnya menyayat hati, “Kakak, kenapa Ibu dingin sekali, kakak, bangunkan Ibu! Kakak!”
Saat itulah aku tidak mampu bicara apapun, benar benar lumpuh, meminta maaf entah untuk apa.
Semua kesalahan terjadi begitu saja. Entah ganjaran untuk apa...
Tasuku menangis tanpa suara, ia tidak berani meraung sekerasnya walaupun ia ingin,
Sadar bahwa diluar rumah bahaya besar mengancam kami jika kami berdua bersuara sedikit saja.
Kami hanya bisa menangis dalam kebisuan.
Ibu sudah meninggal, Ayah juga…
Teknisnya, kami berdua tak punya siapa siapa sekarang.
“Tasuku,” Ujarku lemah, “Kau ambillah air hangat, kita harus memandikan adik bayinya,”
Tasuku mengangguk menurut, menyerahkan bayi dalam pelukannya ketanganku, keadaan memaksa kami untuk tetap kuat walau kenyataannya kami hancur.
Aku masih ingat jelas wajah adik perempuan kami.
Tangisan lirihnya, kudekap erat didadaku, mengusir dingin yang mungkin saja ia rasakan.
Dan adik laki lakiku tak lama kemudian kembali membawa air hangat yang ia tumpahkan dari termos ke baskom, mencampur dengan air dingin hingga kami mendapat suhu yang pas.
Aku membasuh kaki adik baru kami kedalam baskom air hangat, melanjutkan dengan bagian bagian tubuhnya yang lain, kami berdua berusaha melakukannya sebaik mungkin.
“Ia akan selamat kan?” Tanya Tasuku hati hati, aku mengangguk menyemangatinya,
Hanya itu yang bisa kulakukan sekarang, menghapus kecemasan adikku.
Kami akan baik baik saja…
“Ya… kurasa belum, virusnya belum lama menyerang ibu dan sepertinya…” baru saja aku bicara, bayi ditanganku meronta kuat. Kuat sekali.
Bukan tenaga manusia.
Lalu wajah bayi yang tadinya lucu menggemaskan berubah.
Menjadi wajah makhluk itu.
Berusaha menyerangku dan Tasuku,
Bahkan gigi gigipun sudah tumbuh dengan kecepatan tidak lazim seorang bayi baru lahir.
Aku dilanda kepanikan luar biasa, sekuat tenaga kutekan bayi itu masuk seluruhnya kedalam baskom.
Tulang tulang kecilnya patah, tapi rasa sakit seakan tiada arti baginya.
Ia berusaha dan berusaha, Ia ingin memakanku dan Tasuku!
Aku harus melindungi Tasuku!
Tekanan ditanganku semakin kuat, Undead kecil malang itu meronta semakin berani membela diri.
Rasanya aku nyaris kalah karena licinnya air membuat tanganku mudah tergelincir.
Sruukk, Tasuku ikut mencelupkan tangannya kedalam baskom yang kini penuh dengan genangan darah itu.
Membantuku melenyapkannya.
Terdengar derak tulang patah, kami berusaha memutar leher satu satunya keluarga kami sekarang, mematahkannya, hingga tidak lagi terasa ada pergerakan.
Bagus, kami pembunuh, benar benar pembunuh berdarah dingin.
Sunyi,
Aku dan Tasuku saling pandang.
Hanya ada kesunyian, dan adik bayi kami yang sekarang terasa seringan kapas.
Virus itu merenggut segalanya dari kami.
Sampai harapan terakhir juga.
Tatapan tak berdosa dari Tasuku menyadarkanku,
Tangisannya tak terbendung lagi, ia memelukku, memohon perlindungan, aku mengangguk mengerti,
Sebenarnya dalam hati akupun ingin menangis sekarang,
Tapi jika kulakukan, tentulah adik semata wayangku hanya akan bertambah kalut.
Deminya aku takkan menangis,
Takkan menangis.
Gratakk,
Bunyi menyeramkan terdengar dibelakang kami begitu saja,
Tenggorokanku dan Tasuku berdeguk cemas, perlahan menoleh kebelakang.
Ibu kami, baru saja bangkit dari kematian.
Rasa takut tak terperikan menghampiri kami.
Tasuku gemetar dalam dekapanku,
Belum lagi, dari arah depan juga terdengar bunyi bunyi mengerikan.
Ayah.
Kami tak pernah mengalami horror yang lebih seram dan absolut selain malam ini.
Ayah dan Ibu, didepan dan dibelakang.
Saat itu ada hasrat aneh merasuki diriku dan Tasuku,
Ingin menyerahkan diri saja, karena hidup seorang diri seperti inipun rasanya sudah tak ada gunanya lagi.
Tangan kecil adikku menggenggam erat, mengenyahkan semua pikiran gila,
Tidak, aku masih punya Tasuku.
Dia akan menjadi alasanku bertahan hidup mulai sekarang.
Ia akan menjadi seluruh hidupku mulai sekarang.
‘Ayah’ menyerang kearahku, matanya seluruhnya berwarna hitam pekat, tidak menyisakan bagian putih setitikpun, mulutnya penuh darah menggeram kearahku,
Aku mendorong Tasuku, jauh dan cepat.
Meraih baskom disampingku dengan cepat, gigi gigi ‘Ayah’ menancap pada benda plastik itu,
Aku tahu aku kejam, sebelah tanganku meraba raba, mencari ‘adik’ bayi tersayangku yang hanya sempat hidup dua menit merasakan dunia tanpa pernah diberikan nama.
Menariknya dikepala, mencabut dengan begitu mudah karena ia baru saja dilahirkan dan teramat rapuh.
Melemparkan daging segar itu sejauh mungkin kesudut ruangan, mengalihkan perhatian ‘Ibu’ yang berniat menyerangku juga karena aku tahu anak kecil sepertiku takkan bisa menghadapi dua Zombie dewasa sekaligus,
Sambil terus bertahan karena ‘Ayah’ sepertinya akan segera jatuh menimpaku,
Tapi adik lelakiku yang pintar tidak diam saja dan meninggalkanku,
Ia mengambil setrika yang tergeletak diatas meja dapur, memukulkannya tepat pada kepala ‘Ayah’ hingga jatuh tersungkur, Karena tenaga Tasuku kurang kuat tentu saja ‘Ayah’ masih mencoba bangun lagi.
“Kakak…!” Tasuku mengulurkan tangannya,
Aku menyambut cepat cepat, kami berdua berlarian didalam rumah, mencari tempat lain untuk bersembunyi.
Dan gudang adalah tempat terdekat yang bisa kami temukan.
‘Ayah’ dan ‘Ibu’ menyusul dibelakang, hendak memberikan pelukan selamat bergabung.
Aku mengunci pintu gudang cepat cepat,
Baik Aku maupun Tasuku sama sama bermandikan keringat, ketakutan dan menderita.
‘Ayah’ dan ‘Ibu’ masih menggedor gedor pintu diluar.
Tasuku merosot kedinding, nafasnya tidak teratur, badannya lemah dan aku tahu ia tidak terbiasa ‘kerja keras’ seperti ini.
“Tasuku…” Aku memegang dahinya, menghangat,
Ya Tuhan, jangan sampai adikku sakit.
Kemana kami didalam gudang begini?
Dengan apa?
Apa bisa bertahan?
Semua pintu dan jendela memang sudah di blokade agar Undead diluar takkan bisa masuk kedalam, tapi… didalam gudang ini tak ada jendela sama sekali.
Jika Paladin Datang apa mereka akan mengevakuasi kami?
Apa mereka bisa menemukan kami disini?
Aku berpikir, memutar otakku.
Suara gedoran orangtua kami semakin keras terdengar.
Aku tidak tahan.
“Tash, Tash…” Panggilku pada Tasuku, kuusap poninya keatas, membujuk, “Bantu kakak, mau kan?”
Adikku sepert kehilangan suaranya, hanya matanya yang mengedip ngedip yang menandakan bahwa ia masih hidup ditanganku.
Tubuhnya gemetar dalam ketakutan, tapi ia menunggu.
Horror, yang absolut.
Aku tidak menjawab, hanya melangkah kearah tempat penyimpanan peralatan, Lampu remang remang gudang menjadi saksi bisu apa yang kulakukan, kutarik keluar sebuah gergaji mesin dibawah meja,
“Kakak akan membunuh Mama dan Papa?” Tanya adikku cemas, aku sontak kaget mendengar pertanyaannya, tidak tahu mesti menjawab apa.
“Tasuku,” ujarku penuh tipu, “Ingat apa yang Kakak ceritakan? Tentang Hansel dan Gretel?”
“Aku menghafalkannya diluar kepala,” Seru adikku kekanakan, “Hansel melindungi Gretel dari penyihir jahat yang akan memakan mereka…”
Aku tersenyum bangga, “Itulah yang akan terjadi sekarang, mereka bukan Mama, mereka bukan Papa, mereka penyihir jahat, mereka akan memakanmu,” Aku berusaha menarik tali starter gergaji mesin itu, butuh beberapa kali karena tenagaku memang tidak sekuat orang dewasa, hingga akhirnya benda itu menyala, “Kakak akan melindungimu, tenang saja,”
Aku berkata sambil menatap Tasuku, rambut pirang adikku lengket jadi satu karena keringat, keadaannya menyedihkan dan pasti begitu pula keadaanku, jika aku melihat cermin sekarang, ia kacau tapi ia mempercayaiku,
“Pada hitungan ketiga, buka pintu itu, dan tolong bacakan dongeng Hansel dan Gretel untukku, bisa kan?”
Adikku mendengarku dan segera mengambil posisi dibelakang pintu,
Ia patuh padaku,
Sehingga ketika aku menghitung sampai tiga, ia tetap bisa berada dibelakangnya,
Satu, dua, tiga,
“Jangan keluar dari sana, sampai kau selesai membaca dongengmu,” pesanku, wajah mengerikan kedua orangtuaku muncul dari balik pintu, “Kakak bersumpah, penyihir jahat tidak akan bisa menyentuhmu.”
Jujur, saat itu, aku tidak tahu apakah aku akan hidup atau mati,
Aku tidak pernah berhadapan dengan Undead sebelumnya, kasarnya, aku hanya bocah.
Aku menerjang secara sembarangan.
Memutuskan satu demi satu anggota tubuh ‘Ayah’ dan ‘Ibu’.
“Lalu Gretel sekuat tenaga mendorong penyihir itu,”
Gergaji mesin yang kupegang menyayat tubuh orangtuaku, darah menyembur disana sini, sangat sulit memisah misahkan bagian bagiannya, karena ‘Ayah’ dan ‘Ibu’ baru saja meninggal, tubuh mereka masih keras,
Tenaga alat berat ditanganku satu satunya pegangan, dan tubuh manusia sama sekali tak dapat bertahan jika dibandingkan dengan gergaji mesin ini.
Aku berhasil melakukan pembantaian untuk pertama kalinya.
Pada saat itu, sebenarnya aku menangis, tanpa suara, menangis.
Air mataku bercampur dengan darah segar yang membasahi wajahku.
“Mendorongnya kedalam tungku,”
Suara gumaman sakit hati Tasuku dibalik pintu gudang menentramkan hatiku, memberiku kekuatan pada saat aku merasa tidak sanggup.
“Angsa yang bersinar menjemput mereka,”
Bunyi berdesing gergaji mesin beradu dengan derak derak tulang yang dipatahkan secara paksa.
Aku menggila dalam kesunyian.
Mereka orang orang yang kucintai, tapi mengapa seperti ini?
Mengapa dunia begitu tidak adil padaku?
“Lalu mereka hidup bahagia selamanya,”
Sakit, rasanya begitu sakit.
Masa kanak kanakku yang bahagia terhenti sampai disitu,
Setelah malam ini, aku takkan bisa tidur nyenyak lagi.
Takkan pernah bisa.
Kenangan jahanam ini akan selalu menghantuiku, senantiasa.
Aku terjatuh layu dengan tangan berlumuran darah, sementara anggota badan orangtua kami berceceran dimana mana.
Kupegangi kepalaku yang terasa sakit luar biasa,
Menyiksa, ini sangat menyiksa,
“Kakak…” Aku mendengar suara adikku memanggil, aku tidak berbalik, justru ia memelukku, tanpa sedikitpun rasa kebencian,
Ia membantuku memasukkan potongan potongan tubuh orangtua kami kedalam ember, kemudian mengepel ceceran darah dilantai,
Kami berdua duduk menunggu, hanya berbagi sebuah selimut.
Aku menguatkan hatiku sepanjang malam.
Sampai akhirnya Paladin menemukan kami dengan kondisi amat sangat menyedihkan.
Saat kami keluar rumah untuk pertama kali sejak malam petaka itu, hari sudah terang, prajurit Paladin sudah ramai mengevakuasi para korban, aku berlari sekali lagi masuk kedalam rumah, untuk menyebar bensin dan menyulut api.
Tak ada yang menghiraukan apapun yang kami lakukan sekarang,
Apakah itu membakar rumah kami sendiri, hidup tanpa tujuan, atau mati sekalian.
"Takkan kubiarkan lagi, orang lain merasakan penderitaan yang kita rasakan saat ini," Itulah tekadku, menjadi kuat, lalu melindungi setiap jiwa yang mampu kulindungi.
Tasuku berpegangan pada lenganku, erat.
Aku menariknya dalam pelukan.
"Kakak... apa Ayah dan Ibu bisa pergi ke surga?" Tasuku kecil mengeluarkan pertanyaan yang amat sulit untuk kujawab, aku tertegun, membiarkannya melanjutkan sambil terisak, "Mereka bilang begitu, didalam kitab suci... Jiwa yang telah tiada akan berkumpul disuatu tempat indah, mereka menyebutnya surga." Tasuku bertanya, tapi ia sendiri mengharapkan jawaban tertentu.
Yang tak kuberikan.
"Tidak Tasuku," Aku menolak mengiyakan, walau aku tahu itulah yang ingin Tasuku dengar, "Tidak akan ada surga, sampai semua kengerian ini berakhir."
Kusembunyikan air mata maupun rasa sakit.
Aku akan jadi kuat, aku takkan lari.
Mulai sekarang aku hanya hidup untukmu, untukmu.
Ini adalah ikatan diantara kita.
-
-
-
-
“Kak!” Tasuku menyentakkan tubuhku, aku melongo kaget, ia dan Daina sudah mencuci tangan dengan cairan antiseptik yang mematikan kuman kuman maupun Virusnya.
“Oh...yah?”
“Melamunkan apa sih?” Rajuk Tasuku kesal, “Aku sudah selesai melakukan permintaan kakak,” Ia menggenggam sesuatu ditangannya, menyerahkan padaku dengan cara melempar.
Kutangkap benda itu gesit,
Terasa berat dalam genggaman, Tasuku mengangguk menyuruhku memeriksa,
Sebuah kantung yang dikemas steril kedap udara, pastinya supaya virusnya tidak bisa ikut masuk kesana juga,
Kutarik belati dipinggangku untuk memastikan, merobeknya.
“Narkotik,” Tasuku menyentuh cuping telinganya sendiri, “Dari jenis paling bagus dan paling mahal,”
“Ya…” jawabku, memperhatikan serbuk putih halus ditanganku.
Menyelundupkan ini kedalam tubuh Zombie? Untuk apa?
“Undead tidak diperiksa,” Tasuku menjelaskan, “Tidak ada standar pemeriksaan untuk Undead ataupun orang yang terinfeksi, tapi mayat ini belum lama, waktu perkiraan kematian sekitar 2 hari, masih bagus, mungkin mereka mengecoh petugas airport dengan orang orang yang terinfeksi, karena orang orang ini dipindahkan melalui Unit khusus yang tidak melalui standar pengecekan seperti normalnya.”
Ah, begitu… “Mereka memilih provinsi terpencil ini sebagai lokasi transaksi, kalau begitu, pintar sekali.”
"Tapi kak, Undead ini dibawa sedari sejak mereka belum bermutasi," Tasuku mengingatkan, "Mereka masih memiliki kesadaran penuh, saat mereka disuruh menelan benda itu," Ia menunjuk narkotik ditanganku.
"Tapi menempatkan orang orang terinfeksi hingga beberapa sekaligus ditempat yang sama, sungguh ceroboh,
Kita tidak tahu, batas waktu hingga penyebaran virus selesai dalam tubuh manusia berbeda pada tiap orang, bisa ditebak, yang sakitnya sudah sangat parah dan akhirnya bermutasi menjadi Zombie menyerang mereka yang belum sepenuhnya siap bermutasi, Mempercepat apapun itu, proses penyebaran yang seharusnya makan waktu lebih lama."
Aku tidak paham dengan penjelasan Tasuku,
Garis besar yang kutangkap adalah, Undead ini digunakan sebagai alat dari sejak mereka belum sepenuhnya berubah.
Kejam sekali...
“Mereka akan membongkarnya malam ini? Tengah malam?” Tasuku bertanya lagi, Daina bersembunyi dibelakangnya, imut sekali, aku berpikir jika kami punya adik perempuan pasti…
“Ya, tapi kurasa dengan kejadian ini, mereka tidak akan menunda selama itu,” ujarku seraya mengenyahkan pikiran bodohku tentang Daina. “Ok, Airport lewat, Yang menjadi pertanyaanku adalah…, Bagaimana bisa menyelundupkan Undead sebanyak itu ketempat ini tanpa diperiksa petugas…”
“Selamat malam,”
Kami dikejutkan oleh kedatangan delapan orang berseragam polisi.
Daina bersembunyi semakin ketakutan dibelakang punggung Tasuku, yang sebaliknya, terlihat tenang sekali.
“Ada perlu apa datang kemari?” Tanyaku cuek, Petugas itu tampaknya tidak menghiraukan kami, ia dan teman temannya masuk begitu saja kedalam rumah, mendapati sisa sisa tubuh Zombie yang terpencar diatas meja makan.
“Apa itu?” Tanyanya menunjuk kearah ceceran darah, “Kalian tidak melaporkan kejadian sepenting ini?” Aku mengenalinya sebagai petugas yang sama dengan yang bentrok denganku dulu.
“Tidak ada yang perlu dilaporkan,” Tukasku, “Karena ini soal Undead, Urusanku.” Kuberikan penekanan, menyatakan secara tegas bahwa aku tidak senang diikut campuri.
Para petugas itu tertawa menyebalkan,
Dari sorot wajah Daina, menyiratkan bahwa gadis itu tidak mengenal mereka sebelumnya,
Aku tidak bertanya lebih lanjut, Tasuku juga diam saja,
Petugas itu mengangkat teleponnya, kedengaran seperti melaporkan sesuatu kepada seseorang, dalam bahasa setempat,
Aku tidak mengerti bahasanya, tapi aku bertindak melihat Tasuku –yang paham dialog Thai- menarik Daina.
“Merunduk!” Tasuku berteriak.
Daina berguncang dibawah tubuhnya ketika ia menarik gadis itu kuat kuat.
Pada detik ia melakukan hal itu, Tanganku sudah menarik pelatuk pada pistol,
Peluru yang kutembakkan tepat membentur kearah peluru sang petugas polisi,
Bertabrakan dan meluncur mulus kearah tangannya.
Meledak.
Petugas itu memegangi satu tangannya yang penuh darah.
Berteriak kesakitan.
“Jika ingin menembak,” Senyumku sinis, “Jangan pernah ragu ragu!”
Jadi mereka benar benar ingin menyerang kami disini?
“Maju,” Kepala polisi yang sedari tadi sedang bicara ditelepon memerintahkan,
“Perintah dari Boss, Lenyapkan semua saksi.”
+++