BAB 17 :
Cresendo
____________________________________
_______________________________________
Ari.
Years ago....
_____________________________________
_________________________________________
“Jangan makan banyak banyak,” Gadis itu berkacak pinggang didepanku, Usianya mungkin sekiranya belasan tahun, rambutnya ikal bergelombang sehingga ujung ujungnya menggulung,
Wajahnya bulat, dan warna matanya cokelat gelap, Ia berkulit putih dan selalu terlihat dengan model pakaian kesukaannya, terusan berkerah Sabrina warna pink,
Kadang kadang ia juga membawa bawa bunga kemana mana,
Jika ia berjalan, gerakannnya seperti melompat lompat, menunjukkan betapa lincahnya ia, Ia aktif dan selera makannya besar.
Tapi ia tidak tahu bahwa ialah bunga sebenarnya.
Tingkah lakunya seperti anak anak, jika kau tidak salah mengenal kau akan mengira dia cacat mental.
Tapi dipedesaan gadis langka seperti ini adalah hal yang lumrah kau temui.
Walau mungkin tidak semuanya semenarik dia.
“Jangan mengeluh,” Ujarku, menusuk sepotong nanas dengan garpu, memasukkannya kedalam mulutku, merasakan asam dan manis lumer menjadi satu. “Aku pasti akan memberikannya padamu juga,”
Wajah bulat Daina pada awalnya kelihatan ngambek, tapi setelah mendengar kata kataku ia kelihatan senang sekali, terlihat dari matanya yang berbinar bahagia.
“Benar, kak?” katanya mendekat, Aku membetulkan posisi dudukku, berpura pura tidak melihat ia yang tanpa disuruh lagi langsung meraih gelas disampingku, menenggak isinya tanpa ragu.
Berikutnya sambil tersenyum aku hanya memperhatikannya ikut memakan kudapan siangku dengan wajah bahagia,
Aku menepuk kepalanya
“Kau ini putri pemilik penginapan, tapi kenapa rakus sekali,”
“Biar,” Katanya membela diri, jujur tanpa malu malu, “Aku jarang makan makanan enak, Orang tua juga hanya membuka kedai kecil, hmm…” Ia melanjutkan sambil mengunyah, “Apa apa yang enak dirumah kami hanya untuk dijual sih, kalau yang untuk dimakan, sayang barangnya…”
"Pelit sekali orang tuamu,"
"Tidak!" Bantahnya cepat, "Mereka memberikanku apa saja yang kumau sebenarnya..."
"Lalu?"
"Aku tidak ingin merepotkan, hidup sekarang sulit dan ayahku sedang sakit... Jadi kami harus lebih berhemat, itu saja..."
Aku tersenyum, betapa jujurnya.
Pikirannya masih seperti anak anak walau badannya bongsor,
Aku bersandar diatas kursi rotan, masih memandangi keindahan dihadapanku, setengah kagum, terpesona, setengah geli.
“Umurmu berapa sih?” tanyaku penasaran, menyuapinya, ia menganga selebar yang ia bisa.
Ia tidak segera menjawab, lebih mementingkan makanan yang akan segera masuk ke mulutnya,
Benar benar tidak tahu sopan santun.
"Berapa?" Tanyaku lagi, “14? 13?”
Si bulat bergegas menelan, ia bahkan tidak mengunyah, sudah rakus tergesa gesa pula.
“16!” Teriaknya memberitahuku, “Enak saja 13, memangnya tidak kelihatan apa?”
Aku terdiam, memandanginya dari ujung rambut hingga ujung kaki, menilai.
Yah… dengan tubuh se-sexy itu yang mampu membuat lelaki normal menelan ludah, memang mustahil hanya 13-14 tahun… tapi…
“Siapa suruh kelakuan mirip anak 10 tahun,” Jawabku memalingkan muka cepat cepat.
Sial, lagi lagi aku ingin…
“Siapa yang anak 10 tahun?” Bantahnya, “Kakak sendiri umur berapa sih?” Menodongkan garpu kearahku, aku malah berakhir mengambil garpu itu dari tangannya, sekali lagi menyuap potongan buah buahan.
“21,” Aku menggerak gerakkan alisku bangga, “Yang jelas aku sudah melewati batas usia dewasa menurut undang undang.”
“Sok Tua,” Daina menggerutu dan tak kupedulikan.
“Aku lihat dapur dipondok ini cukup lengkap,” Ujarku lagi, “Kalau kau bisa membawakan bahan makanan mentah mungkin aku bisa membuatkanmu sesuatu,”
“Itu saja?” Tanyanya, “Akan kuberitahu pada kepala Desa kalau begitu,”
Aku mengangguk, “Kau akan makan enak setiap hari sampai bulat, aku janji,”
“Kenapa namaku jadi bulat,” Daina mencibir, “Tapi benar yah! Kau bisa masak kan? Bisa dimakan, kan? Tidak akan gosong kan?” Katanya menuntut.
Aku tertawa, “Urusan memasak aku sangat percaya diri,” Kataku membanggakan,
Bunga didepanku tertawa, begitu senangnya sampai sampai tubuhnya ikut bergerak gerak, rambut ikalnya bergoyang.
“Itu,” meminta kepastian, “Janji diantara kita yah, kak,”
-
-
-
-
-
Dear Tasuku.
Bagaimana kuliahmu?
Aku yakin kau bisa meraih gelar doctor yang kau impi impikan kurang dari beberapa bulan lagi.
Mengenai penelitianmu, bersabarlah karena aku sedang mencarikan dananya.
Oh ya, kau ingat kan’ Email yang kuterima beberapa waktu yang lalu?
Akhirnya aku menerima permintaan untuk menjaga desa ini sementara waktu.
Yah bayarannya memang tidak terlalu besar tapi kau pasti mengerti maksudku.
Kau akan suka ini.
Tidak, tidak, kau selalu suka mendengarku melakukan ini.
-
-
-
-
-
-
“Tinggalah disini,” tetua adat itu mengangsurkan secarik cek kearahku, “Perbaikan jembatan itu beserta sistem pengamanannya akan memakan waktu beberapa bulan, mereka melonggarkan keamanan setiap dua jam sekali untuk percobaan,”
“Kenapa kalian tidak meminta bantuan pada pemerintah saja, atau lebih mendatangkan banyak lagi prajurit bayaran,”
“Pemerintah sudah melakukan penjagaan seperlunya, kami tidak bisa meminta ditambah lagi, saat ini kekuatan negara ini juga sudah mulai terbagi,”
Aku menghela nafas,
‘seperlunya’,
Memang benar Thailand hanyalah Negara kecil yang berbatasan dengan Malaysia dan Laos yang secara militer memiliki kekuatan tempur jauh lebih menjanjikan,
Meskipun saat ini pemerintah diseluruh dunia tengah mengadakan rapat untuk menyatukan beberapa negara dibenua Asia sekaligus, Hal ini menimbulkan pertentangan pada beberapa pihak.
Belum lagi pihak Rusia sendiri sebagai Negara terkuat menyarankan hal yang sama,
Aku mengutuk dalam hati,
Padahal akan lebih baik kalau segera saja disatukan, Keadaan sudah sangat genting mengingat Invasi bisa terjadi kapan saja.
Kenapa harus egois mempertahan sesuatu jika pengorbanan itu ada demi keselamatan banyak orang?
Desa kecil ini sebagai contohnya, harus menderita karena lambannya pemerintah dalam mengambil keputusan.
“Kalau hanya aku sendirian…” Aku memandang cek didepanku, resah, tapi tetua adat itu meraihnya dan menggenggamkannya pada tanganku sangat erat,
“Hanya ini yang kami punya,” Mohonnya, “Kau yang terbaik dan dengan pengalaman melanglang buana keberbagai tempat, Tuan Aryanov Gabriel, sangat berharap kau bersedia…”
Aku menelan ludah, gugup.
Sial, aku selalu tidak mampu menolak orang yang meminta bantuanku dengan cara seperti ini…
Kali itulah pertama kali aku melihatnya.
Ditengah kebimbangan yang melanda, Pandanganku tertuju pada sosok sosok lain yang bersembunyi dari balik dinding anyaman,
Tidak begitu jelas, karena tertutupi wanita wanita lain dengan anak anak mereka yang masih kecil menunggu keputusanku dengan wajah harap harap cemas.
Sial, sial, sial,
Ini sih tidak ada harapan…
“Baiklah…” Sahutku mau tak mau, “Hanya sampai jembatannya selesai diperbaiki, kan?”
Orang tua itu mengangguk bersemangat, Ia bicara dalam bahasa daerah yang tidak kumengerti pada beberapa orang lelaki paruh baya didekatnya, seperti mengabarkan berita gembira, jika dilihat dari raut wajah orang orang yang diajaknya bicara,
“Sudah diputuskan kalau begitu,” Tetua adat berseru,
Pembicaraan berlanjut beberapa lama, sang kepala desa yang kutaksir berusia sekitar 50 tahunan secara rinci menjelaskan kondisi serta letak geografi desa mereka, aku mendengarkan secara seksama sambil sesekali mengajukan pertanyaan akan hal hal yang kurang jelas bagiku.
Begitu terus hingga tak terasa hari sudah siang dan mereka mengajakku makan.
Dalam sekejap saja aroma makanan makanan lezat khas daerah mereka memenuhi indera penciumanku disertai bermunculannya hidangan hidangan yang dibawakan oleh gadis gadis thai,
Pada saat itulah pandangan mataku kembali tertumbuk pada sosok mungil yang tampak gugup membawakan baki berisi buah buahan,
Itulah kali pertama aku melihatnya.
Ia mengenakan dress terusan krem dengan celemek berenda, rambutnya ikal bergelombang dan berwarna sama dengan matanya, warna kayu mahogani gelap yang cantik.
Tergesa gesa, ia mengangguk angguk menerima instruksi dari wanita paruh baya yang sepertinya ibunya.
Kelihatan sekali kalau kurang begitu pengalaman.
Tidak lama kemudian perhatianku kembali teralih pada sang tetua adat yang mengajakku bicara, “Berapa periode sekali biasanya perbaikan diadakan?” Tanyaku, memikirkan apakah Tidak apa apa meninggalkan Tasuku selama itu.
Yap, tololnya aku, Tasuku memang bukan anak anak lagi, dia juga seorang laki laki, tapi ia kurang bisa mengurus dirinya sendiri dan aku cemas.
Apakah penghasilan disini cukup untuk membiayai dia disana?
“Biasanya hanya sekali dalam 15-16 tahun, Tapi selama itu tidak ada sensor yang diaktifkan, akan sangat berbahaya, terutama kami tidak terbiasa menghadapi serangan Undead sebelumnya.” Lelaki tua itu menjelaskan.
Aku manggut manggut sok mengerti.
Padahal dilain pihak aku sedang sibuk berkutat dengan pikiranku sendiri.
Apakah aku yang terlalu bodoh menerima tawaran tidak biasa hanya karena dorongan rasa kasihan?
‘Itu sudah benar, Yang kakak lakukan sangat benar.’
“Bodohnya aku bertanya padamu,” Dengusku kesal pada suara Tasuku yang bergema dalam kepalaku.
“Iya?” Kepala Desa mengerutkan keningnya tidak mengerti, aku tersadar, cepat cepat meminta maaf, sedikit salah tingkah.
“Oh, bukan, hanya bicara sendiri.”
Bahkan didepan orang lainpun perasaan itu tidak dapat ditekan.
Seperti layaknya tempat berbudaya, walau terbelakang, mereka masih menjunjung tinggi keramahtamahan, Ibu ibu memasak dibelakang dan anak gadis mereka membantu.
Pekerjaan pekerjaan kasar seperti beternak dan bertani dilakukan oleh laki laki.
Selain itu entah sejak kapan dimulai, kudengar mereka juga sangat pandai membuat kerajinan tangan serta ukiran.
“Daina, bawakan ini juga,” Aku menoleh kesebelah kiri, gadis yang lebih tua menyuruh si mungil membawakan piring kosong, mataku bertemu lagi dengannya,
Ia mengucapkan permisi, meletakkan sepiring pisang didepanku, lalu menunduk, cepat sekali,
Penasaran, sambil mendengarkan ocehan tetua adat sesekali aku melirik.
Aku apaan sih.
Tidak, bukan saatnya untuk ini kan?
Bekerjalah dengan benar… Naksir naksiran, asmara dan semacamnya itu tolol sekali.
Belum waktunya Ar,
Aku mengingatkan diriku sendiri.
“Daina, bawakan ini juga,”
“Baik…!” Gadis itu berdiri dan menerima mangkuk besar dari wanita disebelahnya, mengantarkannya kepadaku.
Tasuku, fokus pada Tasuku saja.
Dia sudah hampir meraih gelas S2 nya, dia butuh biaya banyak.
Membanggakan ya?
Aku tersenyum senyum sendiri…
Ia kembali lagi, membawa seteko air putih,
Kali ini aku bisa melihat jelas bola matanya, bulat dan cemerlang,
Ia sadar aku memandanginya dan sepertinya ia berusaha kelewat keras agar tidak melakukan kesalahan.
Astaga, Aku lupa aku belum menelepon Tasuku hari ini,
Bagaimana kabarnya sekarang?
Gadis itu punya kulit yang halus,
Tidak, tolol, jangan sekarang, Pikirkan Tasuku saja, konsentrasi... Konsentrasi...
Sial, ia lagi lagi kesini membawa... entahlah, Akal sehatku berhenti mencatat.
Lebih jelas lagi, Pastinya masih belasan, kelihatan kok, Ia menggemaskan, apa kata Tasuku tentang gadis gadis muda imut di Jepang? Loli-loli?
Ahhh aku ingin memeluknya...
Astaga, Kau bajingan, Ar.
Aku kesini untuk apasih sebenarnya? Tidak bisa dipercaya.
‘Kakak membantu orang lain, Yang kakak lakukan hebat, ini akan menjadi hari yang hebat.’
Suara Tasuku menyejukkanku lagi.
Kau senang ya, Tasuku?
Kau benar…
“Kyaaa!”
Ini akan menjadi hari yang hebat.
Sehebat sup yang ditumpahkan diatas kepalaku.
Oleh gadis yang bayangannya sedang berusaha keras kuusir,
-
-
-
-
-
Guyuran air shower menyegarkan pikiranku, sial, baru hari pertama saja sudah babak belur begini,
Kubersihkan rambutku dari sisa sisa minyak dan lada,
Konyol sekali, Perempuan pertama yang membuatku terpana justru yang menumpahkan semangkuk sup keatas rambutku.
Hari sudah sore ketika mereka mengantarkanku ke pondokan yang kutempati, gemetar dan meminta maaf berkali kali atas keteledoran yang terjadi,
Akhirnya aku bisa mandi, membersihkan tubuhku yang belepotan,
bagaimana bisa aku tadi berpikir gadis itu manis?
Pikiranku melayang lagi pada detik detik aku melihatnya.
Kendatipun ia, yeah, sangat cantik.
Andai saja dia bukan tipeku pasti aku akan meneriakinya, sayang sekali…
Kalau begini jangankan meneriaki, melihatnya mendapat teguran keras dari anggota keluarganya saja aku tidak sampai hati…
Aku tertawa sendiri, membilas rambutku dengan dinginnya air,
Krak!
Suara patahnya ranting terinjak menyadarkanku yang sedang mengeringkan rambut, dengan hanya mengenakan celana panjang aku melihat kebawah kakiku,
Betapa merepotkannya, lantai tempatku berpijak hanya terbuat dari kayu yang susunannya agak renggang, dengan kolong bawah rumah yang tinggi cukup untuk pemilik tinggi badan bahkan yang setinggi akupun bisa menyelusup kebawahnya tanpa susah payah merundukkan badan.
Dasar Desa kecil, tidak ada privasi dong?
Aku mengawasi pergerakan sesuatu dibawah kakiku, menyadari bahwa sesuatu yang membuatku waspada sesaat itu ternyata bukan hal yang membahayakan,
Bahkan membuatku tergerak oleh perasaan gembira yang aneh,
Iseng, aku mengambil segelas besar air dingin dan meminumnya, pura pura tidak tahu, aku melanjutkan acara bersiulku, mengusap usap rambutku yang basah dengan handuk,
Kehidupan di bawah kolong rumahku kelihatannya mulai bernafas lega karena mengira dirinya bisa lolos dengan mudah.
Pada hitungan ketiga, aku menumpahkan isi gelas yang kupegang itu diatas lantai.
Bunyi air beriringan dengan pekikan pelan seorang gadis remaja benar benar menjadi musik yang menyejukkan gendang telingaku setelah sekian lama.
Aku bergegas menuju samping jendela, setengah menjulurkan badanku keluar, “Balasan untuk yang tadi, tidak buruk, huh? Berani juga, yah, pengintip!”
“Aku tidak mengintip!” Teriak suara bernada halus dari bawah kolong, “Basah, kan!”
“Hooo,” Aku memberikan tanggapan seolah tak peduli, “Kenapa kebetulan sekali kalau begitu, pas dengan momen aku mandi,”
“Sudah kubilang bukan!”
“Ingin melihat ya?”
“Demi Tuhan aku tidak melihat apapun!” Suara halus itu berteriak lagi, Aaahh, ingin sekali aku berteriak betapa menggemaskannya mendengar nada serak gelisah bercampur takut itu,
Seperti anak kelinci yang sedang bersembunyi dibawah sana…
“Kalau ingin melihat, jujur saja, sekarang juga keluarlah, aku tak apa kok, memperlihatkan…”
“Bukan! Ya Tuhan… Kenapa tega sekali?”
Aku tersenyum senyum geli, rasa keasyikan mulai menagihku, “Kalau bukan mengintip apa dong? Perlu kusiram lagi kau dibawah sana supaya aku bisa melihatmu lebih jelas?”
“Aku keluar!” Tegas suara itu akhirnya menyerah, “Aku akan keluar! Awas kalau kau menyiramku lagi,”
Aku hanya tersenyum senyum geli penuh kemenangan, menunggu lawan bicaraku menunjukkan dirinya.
Diiringi dengan bunyi kresek-kresek sosok yang kutunggu akhirnya muncul,
Ia tidak pakai sendal, kepalanya basah kuyup sehingga masih ada tetesan air mengalir dari wajahnya, menghiasi pipi berona pink itu, membingkai kecantikan alami seorang gadis remaja,
Kulitnya putih, berbeda dengan wanita wanita Thai yang biasanya berkulit sawo matang,
tubuhnya hanya ditutupi terusan berwarna merah muda yang membuatku terbayang bayang sejak tadi, bedanya adalah, sekarang bagian dadanya nampak tembus pandang karena basah, memperlihatkan segaris pakaian dalam berwarna putih yang menjadi batas moral antara seni ciptaan Tuhan itu dan mataku sekarang.
‘Dahsyaaat…’ Aku membatin.
Tahu begitu sekalian kusiram pakai air satu ember saja tadi…
“Aku bukan pengintip…” Ia memandangiku dengan wajah polosnya, menyangkal dengan sedih, membuatku tersadar dari betapa membiusnya pemandangan indah dihadapanku.
“Terus ngapain kau disana?” Tanyaku penasaran, sama penasarannya dengan perasaan aku ingin melihat apa saja kiranya yang tersembunyi dibalik kain yang basah itu.
Gadis itu menunjukkan sesuatu yang sedari tadi ia sembunyikan dibelakangnya.
“Seekor ayam?” Aku mengerutkan kening, Gadis itu mengangguk, “Kau keluar masuk kolong rumah hanya untuk mengejar itu? Bukannya malah mengintipku…maksudku, repot sekali!”
“Ini untuk makan malam,” gadis itu memasukkan ayam ditangannya kedalam sebuah kurungan yang terbuat dari bambu, “Kau tamu spesial, Ibuku akan masak enak untukmu malam ini,” Ia tersenyum polos.
“Kenapa tidak beli saja?” Gerutuku, kecewa.
“Pasar jauh, kau harus kekota dulu jika ingin, Lagipula ternak sendiri rasanya akan lebih enak,” bangga, ia menepuk nepuk kurungan itu, bersiap membawanya.
Terkesiap, aku bergegas mencegat, “Heh, tunggu-tunggu-tunggu!”
Si wajah malaikat menoleh,
“Kau serius mau pulang dengan tampilan begitu?” Ujarku gugup, mencoba mengalihkan pandanganku kelain tempat, entah mengapa rasanya sulit sekali.
“Kenapa?” Gadis itu mengecek sekujur tubuhnya, memastikan. “Ada yang aneh denganku?”
Aku menghela nafas, gusar, entah mengapa tidak rela ada orang lain yang menikmati pemandangan yang sama seperti kulihat, Tergesa gesa aku melompat dari rumah adat yang tinggi itu, kebawah.
Gadis didepanku terkejut bercampur kagum melihatku mendarat sempurna diatas tanah berpasir.
Aku menutupi tubuhnya dengan handuk, “Jangan sampai masuk angin,” Ujarku mencari alasan,
Malaikat didepanku nampak kebingungan sesaat, tapi ia kelihatan tidak terlalu memikirkannya, “Terima kasih, kakak…” ia menangkupkan kedua tangannya sebagai salam, melapisi tubuh bagian atasnya yang nyaris tembus pandang dengan handuk yang kuberikan.
Wajahnya damai dan hangat, ia kemudian berkata padaku, “Aku Daina Amare, Orang tuaku pemilik kedai dan penginapan disini, Aku bertugas sebagai pemandu dan pelayanmu,” Ia mengangguk angguk seperti bayi, “Jangan sungkan kalau butuh sesuatu, panggilah aku,” katanya lagi.
Tunggu… Putri pemilik penginapan yang mengurus keperluanku?
Berarti setiap hari…
“Aku akan membawakan makananmu, juga menemanimu jalan jalan, menyiapkan semua keperluanmu,” sambungnya seperti membaca pikiranku . “Aku minta maaf, tadi siang…” Kaki jenjang itu bergerak gerak gelisah diatas pasir, “Malam ini aku benar benar akan membawakan sesuatu yang enak untuk menyelamatkan mukaku,” Ia tertawa,
“Asalkan kau jangan lagi lagi menumpahkannya diatas kepalaku saja,” Ujarku sok mengingatkan,
“Iya, tenang saja, tadi aku benar benar gugup, Aku sangat bersyukur ada kakak Prajurit yang menjaga Desaku, Maafkan aku tadi ya,”
Aku terdiam.
Setiap hari dia akan datang kemari? Akan sering bertemu?
Terlebih lagi… malam ini juga?
Jantungku berdegup kencang.
Ini…
Asyik.
“K-kalau begitu niat minta maaf, datanglah sore ini!” Pintaku mengetes, “Bawakan aku handuk baru…”
Bola mata dihadapanku membulat, “Hanya itu?” Ia bertanya, “Segera!”
Aku terhanyut, melihatnya berlari hingga langkah ringan seperti terbang itu lenyap dari pandangan.
Suara tawa cekikikan dari wanita wanita yang lewat sambil membawa bakul cuci menyadarkanku,
Kerumunan yang berbisik bisik sambil melihat kearahku sambil menyembunyikan wajah malu malu mereka,
Butuh beberapa detik sampai akhirnya aku tersadar bahwa aku sedang dalam keadaan telanjang dada dan hanya mengenakan celana jeans panjang yang warnanya agak kusam.
####,
Pura pura tidak tahu, dengan kesal aku menaiki tangga pondokkanku.
Aku benar benar tidak suka dilihat orang lain, apalagi para wanita,
Tapi, Gadis barusan…
Menyambar kemeja yang tergeletak didepan koperku begitu saja, pikiranku semakin menjadi jadi,
Kalau dia yang ingin melihat tentu akan kuperlihatkan semuanya dengan senang hati,
Bodoh sekali, kalau tahu ada yang seperti dia disini, tidak dibayarpun aku mau…
…Tidak, Ari, itu pikiran paling tolol yang pernah singgah diotakmu.
Aku tidak pernah memikirkan untuk memiliki wanita sebelumnya.
Lagipula ia hanya gadis dusun, apa iya semenarik itu?
Aku menepuk telingaku sendiri.
Kelihatannya hati dan otakku sudah tidak sinkron.
+++++