~DESCENDANT OF THE DEATHMASTER~ by:DYNA

bagaimana menurut kalian novel pertama Dyna (daina) ini?


  • Total voters
    35
Tasuku.

________________________
___________________



Haruskah?
Daina sudah sangat kesakitan...

Hanya ada dua opsi, bunuh, atau biarkan saja sampai ia berubah...
Virus jenis baru ini... Tak akan sampai 30 menit...

“Dingin, Tasuku…” Daina menangis dalam pelukanku. “Dingin sekali…”


Masih ada opsi ketiga.


Tuhan…
Aku mendesah, menyaksikan Daina menggeliat sekarat dalam dekapanku.
Kata kata Stast mengusik batinku,
Sekali lagi, pertanyaannya membisikiku lebih kuat dari apa yang kubayangkan.

Apa kau mengerti…? Kau masih memiliki pilihan pilihan itu.
Penderitaanmu, atau penderitaannya.
Kenangan akan selalu indah, tidak peduli seberapapun usahamu untuk menghapusnya, akan selalu terkunci didalam hatimu.
Karena itulah ekspektasiku padamu teramat tinggi.
Kau sudah tahu, Jika kau berharap untuk melanjutkan ini.
Kau akan menjadi yang paling menderita, sebab kau pernah mencicipi dan tahu betul bagaimana rasanya dicintai sekaligus mencintai dengan teramat dalam…



++++
 
Last edited:
Daina.

_______________________
___________________



”Sejak awal aku tahu kau tidak akan pernah bisa menyakitimu lebih lagi.”

Cresh.

Suara apa itu?
Aku menggigit bibir menahan sakit,

Perasaan apa ini? Dingin…
Kebutaan sesaat itu lenyap.
Begitu pula rasa sakitnya, sedikit demi sedikit, berangsur angsur menghilang…
Apa aku mati? Aku sudah jadi Zombie?
Tapi aku masih mengingat dengan benar siapa diriku sekarang… kucoba membayangkan aku yang sedang memakan daging mentah, dan aku mual.
Aku… masih manusia kan?

“Kau benar…aku mencintaimu…” Ia berbisik.
Segalanya menjadi terang kembali.
Apa yang…?

Aku menoleh kebawah, melihat dengan jelas jarum suntik yang tertancap dipahaku.
Tu… Tunggu…
Aku tidak mengerti…

Tidak mungkin.
Mustahil.
Apa yang terjadi?
Aku seharusnya sudah...

“Manusia pertama,” Tasuku mencium pipiku, “Yang kebal terhadap Virus Undead…”


Vaksin itu.

'Berbahagialah...'

Aaaah, pandangan mataku mengabur lagi.

Bukan karena virusnya, semua kekhawatiran serta rasa sakit membakar lenyap sudah.

Saat kalimat terakhir selesai ia katakan, aku telah menangis dalam diam, aku selalu menangis ya, kali ini tangis bahagia.
suamiku yang baik hati menciumiku, terus membisikkan semua kata yang ingin kudengar darinya:

“Daina,apa kau tahu? Betapa aku selalu mendambakanmu selama ini? Betapa aku sangat tersiksa karena jauh darimu…”
“Daina…kau adalah dunia bagiku,aku selalu jadi gila karena mu, aku gila, karena aku berpikir aku sudah tidak bisa lagi memilikimu,”

"Segalanya telah berlalu, kau tidak dan tidak akan pernah jadi sepertiku, aku tidak akan merubahmu menjadi makhluk cacat, jelek, dan mengerikan seperti aku, kau terlahir sebagai Daina, dan akan selalu menjadi seperti itu apa adanya... aku akan melindungimu..."

Iya, iya,
Aku berbisik mengiyakan dalam hati.
Aku ingin membuatnya tenteram, lenganku yang barusan terasa kesemutan kini telah pulih, dan aku telah mampu menarik tangannya agar aku bisa balas mencumbunya, berusaha keras bicara padanya.
“Aku hanya milik Tasuku,hati maupun tubuhku,”

Tasuku tampak senang mendengarnya, tapi sedetik kemudian ia tampak muram,
Tasuku masih mengelus tengkukku,membuat bulu kudukku meremang karena geli.
Syarafku masih bagus, dan luka lukaku... aku tidak merasakan apa apa, tiba tiba saja luka luka itu sembuh secara ajaib, bahkan luka ditanganku.
Pikiranku bekerja sendiri, menganalisa prilaku serta apa apa yang kurasakan.
Seperti kebiasaanku saat masih membantu Tasuku sebagai asistennya.

Hanya saja, kali ini obyek yang kuanalisa adalah diriku sendiri.

“Bagaimana ini,” ia memijat dahinya sendiri,kebingungan dan wajahnya masih tersembunyi dibalik leherku,“aku tidak bisa berhenti…, dan kau kebal sekarang,” masih memelukku dari belakang, ia menarikku semakin rapat diatas pangkuannya.
“Artinya aku bisa melakukan apa saja yang aku mau,”

“Aku tidak peduli,” seru ku sambil melingkarkan tangan di lehernya,

Tasuku mendesah,lalu tersenyum hambar,mencumbuku lagi, untuk pertama kalinya,ia benar-benar terlihat seperti seorang suami setelah sekian lama kami berpisah,

“Bergeraklah” Aku memohon, Kasih sayang darinya adalah hakku sebagai istri, dan aku akan menuntutnya.

Tasuku tidak menjawab, banyak yang ia cemaskan, tapi ia memikirkan hal yang sama denganku,
lagipula, mungkin perasaannya sendiri juga sudah tak tertahankan,
aku menarik ia semakin dekat kepadaku,

“Malam ini,kau adalah pengantinku,” adalah kata kata terakhir yang diucapkannya dengan nada –anehnya- sedih.
Sebelum ia memasukiku lagi, aku memekik ketika ia mulai bergerak.
Mendekap punggungnya erat, setiap kali ia memasukiku lebih dalam aku berteriak, merasakan setiap tetes kebahagiaan yang diberikannya padaku saat ia menjelajah hingga kesudut sudut jiwaku,

Saat itu hari sudah semakin larut, kemesraan kami teredam oleh bunyi deburan ombak, laut seolah mengerti dan membantu menyembunyikan dosa ini dari kenyataan,
Kami tidak peduli, masa bodoh dengan kenyataan,

Aku tahu ini salah, kami menantang takdir,
Walaupun demikian, memisahkan kami, meski itu Tuhan sekalipun, Tetap tidak termaafkan, tidak akan pernah termaafkan...


Aku tidak mau memikirkan apa apa, dan terus mengharapkan, mengucap doa supaya saat ini akan berlangsung selamanya.
Sesuatu yang kutahu akan kami sesali, tetapi aku tidak takut.

Malam ini ia menyelamatkanku.
Besok, entah siapakah yang akan ia selamatkan.
Tangan itu tercipta untuk memberikan mimpi serta kebahagiaan, itulah Tasuku yang aku kenal.
Aku tidak kehilangan harapan lagi, tidak akan lagi.


Kami berdua, aku tidak sendirian lagi, aku bersamanya bukan?!
Kakak... temukanlah kami.
Temukanlah dia.

Aku sudah melakukan segalanya yang aku bisa, membawa separuh hatinya yang kita cintai kembali kepada kita.
Lengkapilah tugasku...



++++
 
Stast.

_____________________
__________________




Dengan ini jelas sudah,
hubungan yang tidak wajar,hanya saja,alih-alih perasaan kesal,justru rasa senang yang kurasakan.

Aku turut senang melihatnya bahagia,ia yang nyaris tidak pernah terlihat sebahagia ini sebelum membawa gadis itu kemari.
Raja kami lebih hebat dari yang dibayangkan,
bisa kulihat melalui caranya mengendalikan diri yang tidak bergantung pada naluri,
tapi kali ini sudah kelewatan, ia tidak mampu mengendalikan diri akan cintanya kepada gadis itu,
ia kalah begitu mudah,


Aku menang ya?


Rasanya aku sulit sekali bergerak setelah kehabisan tenaga membantu sang Raja membuat Vaksin itu menggunakan darahku sendiri.

Apa yang ia tidak bisa? Ia bisa semuanya.

Menghidupkan orang mati.
Menyelamatkan orang lain dari kematian.
Membuat obat dari segala penyakit.

Menciptakan surga,


Tujuannya.
Dan itulah yang ingin kulihat sehingga aku memutuskan mengubah fokusku dan mengikutinya.

Rasa cinta,aku tahu tidak ada satu kekuatanpun yang lebih hebat daripada hal itu.
Aku bertanya tanya dimana keberadaan Ferina saat ini, cemas.
Aku tahu, ialah yang menyembunyikan para prajurit itu dengan baunya sendiri.
Mengaburkan penciumanku.
Bahkan lolos dari pengamatan DeathMaster sendiri...

Biarlah, apa yang bisa ia lakukan?
Ia hanya sedang kesal, kenakalan anak anak, kelak ia akan mengerti, aku harap ia mengerti...
aku masih bisa menutupi hal ini dari Sang raja sendiri.

Kurapatkan selimutku.

Ferina...

Kau tidak akan melakukan hal hal bodoh diluar perkiraan bukan?
Aku percaya padamu...


++++
 
Luciferina.


_______________________
_____________________



Aku tertawa, seperti yang kuduga,
Raja baru itu dan Stast sama tidak bergunanya.
Bodoh sekali aku percaya pada mereka,

Memang, baik sang Raja maupun Stast sama sama masih pada tujuan semula, namun hati mereka masing masing sudah tercemar oleh kelembutan yang tidak perlu.
Aku menggeram, melemparkan mayat yang baru saja kusantap hingga hancur membentur tembok,

Memoriku menguar, mengingatkan pada kejadian beberapa hari lalu dihutan.

Aku tahu para prajurit itu takkan mempercayai kata kataku, jadi aku diam diam memberikan gas tidur untuk melumpuhkan mereka.
Membaurkan bau manusia mereka dengan bau Undead.
Menipu Stast, 50-50, membuat mereka berhasil melewati kawanan Undead yang diperintahkan Stast untuk berjaga dalam jarak yang telah ditentukan.
keberhasilanku hanya disebabkan oleh satu hal, yaitu faktor cuaca.

Stast... harusnya tahu, tapi entah mengapa ia diam saja.
Ia mengancamku beberapa kali.
Tapi Stast amat baik,
Aku tahu, ia takkan sampai hati memusnahkanku...
Orang sepertinya yang terlalu lena akan permainan bodoh 'Keluarga Undead Bahagia' tidak akan mengerti...

Aku juga tidak begitu yakin DeathMaster akan terbunuh semudah itu walaupun ia sedang lemah.
Yang paling menyebalkan adalah, gadis itu selamat!
Gadis pembawa petaka.

Aku mengurung diri berhari hari diruang bawah tanah kastil ini, mencari cara, lihat saja, aku akan menemukannya, jalan keluar yang lebih baik dari apa yang dimiliki DeathMaster dan Stast!

Aku berjalan, menarik jubahku yang tergantung didinding, mengenakannya, menutupi tubuh telanjangku.
Gelang kakiku bergemerincing sementara aku berjalan melewati sel sel tahanan berisi manusia sehat yang kami tangkapi, sebagian untuk stok makanan kami, sebagian lagi untuk bahan percobaan,
makhluk makhluk jelek itu membuatku jijik, mereka makan, tidur, buang air besar ditempat yang sama, untuk apa makhluk setara binatang seperti mereka diperlakukan hormat?
Stast maupun sang Raja benci caraku, tapi mereka bisa apa? Ruang bawah tanah ini wilayah pribadiku dan mereka harus menghormati privasi.
Aku suka disini.
Manusia manusia itu berusaha menggapaiku, memohon kebebasan mereka, sinar lampu berwarna kuning yang cukup terang itu membuatku bisa melihat dengan sangat jelas.

“Minggir,” Malas, cakar cakarku menyabet kearah depan,
Potongan tangan berhamburan disertai jerit kesakitan menyenangkan.
Jalan yang kulalui dihiasi dengan serpihan daging dan tetesan darah segar.
Aku menutup mata menghirup wanginya.
Tidak sekarang.

Aku berhenti didepan pintu sel paling ujung.
Lenganku merogoh kedalam saku jubah, mengambil segebung kunci dan memilih yang cocok.
Kubuka pintu sel dan segera menghambur masuk kedalamnya.

Seorang laki laki lusuh mengkeret tidak berdaya dilantai batu, kedua tangannya terikat dengan rantai menancap kuat pada tembok beton dan kakinya juga tersambung dengan rantai yang menggunakan bola besi,
Diujung kakinya setumpuk kotoran serta kencing manusia nampak berhamburan.
Jadi satu dengan buku buku nasi.
Kasihan, aku bergidik jijik, jika aku terlambat mengantarkan makanan dia pasti terpaksa memakannya bersama dengan kotorannya sendiri.
Lelaki itu membuka matanya susah payah, tetap gagal.
Kelihatan sekali usianya tidak panjang lagi, aku bahkan ragu ia masih waras.

Dialah Dr. Dominic.
Peneliti handal dengan kemampuan nyaris menyamai Dr.TsaraniaKova Gabriel yang sekarang telah menjadi DeathMaster.

Sang raja menyuruhku membunuhnya, tapi tentu saja tidak kulakukan,
Aku selalu berjaga jaga seandainya hal hal yang tidak kuinginkan terjadi.
Entah sejak kapan ia menjadi kesayanganku, aku selalu membawanya kemana mana.

Aku mengerutkan kening, berpikir.
Mungkin ia tidak sekuat DeathMaster jika ia dijadikan Undead.
Tapi akan berbeda hasilnya jika aku mengambil akalnya, mesin tempur sekuat DeathMaster, tanpa akal pikiran, hanya naluri mendominasi dan menghancurkan… hebat bukan?

Aku sudah meneliti selama ini.
Apa saja sebab yang membuat kami kelihatan tidak berkembang sama sekali.
DeathMaster tidak bisa melenyapkan rasa sayangnya pada perempuan yang ia cintai, serta pada kakaknya, orang orang yang ia sebut ‘Keluarga’.
Itulah yang menjegalnya selama ini, lihat saja bagaimana ia kabur kesana kemari menghindari orang orang yang ia cintai.
Sekalipun itu hanya seorang gadis lemah yang bisa ia bunuh dalam waktu kurang dari sedetik.

Dan Stast?
Dia sama tidak bergunanya.
Yang ia lakukan selama bertahun tahun ini hanyalah bergerak dengan amat lambat seperti siput.
Mencoba sedikit demi sedikit menanamkan cara berpikirnya kedalam otak semua orang,
Memberikan Terror yang bukannya memaksa berkuasa malah semakin membakar semangat para manusia untuk melawan.
Menyangka dunia akan lebih baik jika semua manusia punya musuh yang sama dan bisa bersatu untuk memeranginya.
Menyangka dirinya pahlawan dengan mengorbankan diri sebagai kambing hitam atas segala kerusakan.
Masih saja, tidak ada yang bisa menerima keberadaan kami.
Gagal…


Aku ingin pengakuan.
Aku ingin mereka semua tahu bahwa aku ada.
Dan demi tujuan itu, aku tidak peduli apa yang akan terjadi pada mereka.
Aku tidak ingin punah.
Aku ingin hidup.

Suara serak dibelakangku menjawab panggilan yang kuberikan,
“Seret dia,” Perintahku, “Bawa keruanganku, segera.”
Zombie zombie berbadan besar itu maju dan melakukan perintahku, amat patuh.
Aku tersenyum bangga dan berpaling.
Kalau perhitunganku benar, maka proyek ini paling lambat akan selesai nanti siang,
Tidak akan ada yang menyadari pergerakanku.
Sang raja sedang berbahagia bersama pengantin manusianya.
Stast juga sedang melemah setelah setengah dari daya hidupnya diambil untuk membantu sang raja menciptakan Vaksin menggelikan, yang sudah dapat kuduga kelak hanya akan menjadi bumerang bagi kaum kami.



Sudahlah, Tak apa jika Stast dan rajanya tidak berguna.
Aku akan menciptakan rajaku sendiri.


++++
 
Ari.


__________________________
________________________




“Jadi begitulah, Aku dan Mikia sejak setengah bulan lalu memutuskan untuk tinggal bersama,” Ryo terus mengoceh padaku menceritakan perkembangan hubungannya dengan Mikia.

Lucu sekali mengingat bahwa ditempat ini, hanya Monroe yang terlihat bahagia sekali menanggapi celotehan membosankan dari Ryo.
Sementara Caesar sejak tadi terlihat seperti benar benar ingin melempar Ryo keluar dari pesawat.
Aku yakin sekali seandainya Mikia ada disini dia pasti ingin menendang kekasihnya itu sampai remuk,
Aku sendiri menanggapi sesekali dengan “Oh” atau “Ya,” sialnya sikap diamku malahan membuat Ryo semakin bernafsu menceritakan kisah asmaranya lebih detil lagi.

“Kita sampai, sepertinya itu dia tujuan kita,” Monroe memberitahu, aku bersyukur, karena informasi ini bisa membungkam aktifitas Ryo untuk sementara.

Suara gemuruh pesawat menuju wilayah perbukitan, Mansion besar terlihat dari atas sini, pesawat pesawat lain berisi prajurit Paladin terdengar ikut mendekat, bersiap melakukan pendaratan.
Itu tempat sangat megah ditengah lokasi yang dikelilingi hutan belantara seperti ini,
Aku bisa melihat laut tepat dibelakangnya,


Tasuku…

Meneguhkan hati, aku memerintahkan pada Monroe untuk mendarat didekat tempat yang penuh diisi aura kematian itu.


“Lakukan secara serentak,” Ujarku memberikan aba aba. “Paladin, Kita bergerak sekarang.”


++++


(End Of chapter 16)
 
Aku malah yakin, satu2nya yang berpikir dengan tenang hanya Ryo, LOL
Kau tahu, Dia bisa melihat hal yang jarang terpikirkan oleh orang lain, hwhwhwh,
Baginya hari ini musuh, bukan tidak mungkin besok jadi teman(?), Aneh memang...
Justru Mikia dan Ari, aku kok ragu... =w=;;

*Derr
hei-hei bahkan kau ragu dengan Ari yang jelas-jelas sayang sama Tasuku T-T

uoooo..!!! Ferina mau melakukan Kudeta!!! pasti perang antar Undead nih! Tasuku dan Stast membela Ari dan paladin, mau menghancurkan Ferina!!!

vaksinnya sukses!!! yattaaa!!!!
 
Last edited:
hei-hei bahkan kau ragu dengan Ari yang jelas-jelas sayang sama Tasuku T-T

uoooo..!!! Ferina mau melakukan Kudeta!!! pasti perang antar Undead nih! Tasuku dan Stast membela Ari dan paladin, mau menghancurkan Ferina!!!

vaksinnya sukses!!! yattaaa!!!!

Apa dengan vaksin saja masalah selesai... itulah pertanyaannya...


*SengajaMemBelitCerita *A la sinetron indo
 
Apa dengan vaksin saja masalah selesai... itulah pertanyaannya...


*SengajaMemBelitCerita *A la sinetron indo
aku lebih suka nanti si Dr.Oneng yang jadi bulan-bulanan Paladin, karena nanti saat dia jadi Undead dia jadi jahat melebihi Ferina sekalipun wkwkwkwk

Dr.Oneng... jadi Undead dan ngacak-acak Tasuku dan yg lain!!!
 
aku lebih suka nanti si Dr.Oneng yang jadi bulan-bulanan Paladin, karena nanti saat dia jadi Undead dia jadi jahat melebihi Ferina sekalipun wkwkwkwk

Dr.Oneng... jadi Undead dan ngacak-acak Tasuku dan yg lain!!!

What da... Dr. oneng, wkwkkwkwkw
Makin runyam Paladin, hwhwhwh~

Nyohh apdet wattpad dhuyu, nanti baru mulai chapt 17 ==d
Chapt 17 itu bab dambaan Daina, hohoho,
Soal na udh lama banget perencanaan na =w=d *Ahaay~
 
What da... Dr. oneng, wkwkkwkwkw
Makin runyam Paladin, hwhwhwh~

Nyohh apdet wattpad dhuyu, nanti baru mulai chapt 17 ==d
Chapt 17 itu bab dambaan Daina, hohoho,
Soal na udh lama banget perencanaan na =w=d *Ahaay~
aaah..... mau mau mauuuuuu cepat selesaikan!!
 
BAB 17 :


Cresendo


____________________________________
_______________________________________



Ari.



Years ago....

_____________________________________
_________________________________________





“Jangan makan banyak banyak,” Gadis itu berkacak pinggang didepanku, Usianya mungkin sekiranya belasan tahun, rambutnya ikal bergelombang sehingga ujung ujungnya menggulung,
Wajahnya bulat, dan warna matanya cokelat gelap, Ia berkulit putih dan selalu terlihat dengan model pakaian kesukaannya, terusan berkerah Sabrina warna pink,
Kadang kadang ia juga membawa bawa bunga kemana mana,
Jika ia berjalan, gerakannnya seperti melompat lompat, menunjukkan betapa lincahnya ia, Ia aktif dan selera makannya besar.


Tapi ia tidak tahu bahwa ialah bunga sebenarnya.



Tingkah lakunya seperti anak anak, jika kau tidak salah mengenal kau akan mengira dia cacat mental.
Tapi dipedesaan gadis langka seperti ini adalah hal yang lumrah kau temui.
Walau mungkin tidak semuanya semenarik dia.


“Jangan mengeluh,” Ujarku, menusuk sepotong nanas dengan garpu, memasukkannya kedalam mulutku, merasakan asam dan manis lumer menjadi satu. “Aku pasti akan memberikannya padamu juga,”

Wajah bulat Daina pada awalnya kelihatan ngambek, tapi setelah mendengar kata kataku ia kelihatan senang sekali, terlihat dari matanya yang berbinar bahagia.

“Benar, kak?” katanya mendekat, Aku membetulkan posisi dudukku, berpura pura tidak melihat ia yang tanpa disuruh lagi langsung meraih gelas disampingku, menenggak isinya tanpa ragu.
Berikutnya sambil tersenyum aku hanya memperhatikannya ikut memakan kudapan siangku dengan wajah bahagia,
Aku menepuk kepalanya

“Kau ini putri pemilik penginapan, tapi kenapa rakus sekali,”

“Biar,” Katanya membela diri, jujur tanpa malu malu, “Aku jarang makan makanan enak, Orang tua juga hanya membuka kedai kecil, hmm…” Ia melanjutkan sambil mengunyah, “Apa apa yang enak dirumah kami hanya untuk dijual sih, kalau yang untuk dimakan, sayang barangnya…”

"Pelit sekali orang tuamu,"

"Tidak!" Bantahnya cepat, "Mereka memberikanku apa saja yang kumau sebenarnya..."

"Lalu?"

"Aku tidak ingin merepotkan, hidup sekarang sulit dan ayahku sedang sakit... Jadi kami harus lebih berhemat, itu saja..."

Aku tersenyum, betapa jujurnya.

Pikirannya masih seperti anak anak walau badannya bongsor,
Aku bersandar diatas kursi rotan, masih memandangi keindahan dihadapanku, setengah kagum, terpesona, setengah geli.

“Umurmu berapa sih?” tanyaku penasaran, menyuapinya, ia menganga selebar yang ia bisa.
Ia tidak segera menjawab, lebih mementingkan makanan yang akan segera masuk ke mulutnya,
Benar benar tidak tahu sopan santun.

"Berapa?" Tanyaku lagi, “14? 13?”
Si bulat bergegas menelan, ia bahkan tidak mengunyah, sudah rakus tergesa gesa pula.

“16!” Teriaknya memberitahuku, “Enak saja 13, memangnya tidak kelihatan apa?”

Aku terdiam, memandanginya dari ujung rambut hingga ujung kaki, menilai.
Yah… dengan tubuh se-sexy itu yang mampu membuat lelaki normal menelan ludah, memang mustahil hanya 13-14 tahun… tapi…

“Siapa suruh kelakuan mirip anak 10 tahun,” Jawabku memalingkan muka cepat cepat.
Sial, lagi lagi aku ingin

“Siapa yang anak 10 tahun?” Bantahnya, “Kakak sendiri umur berapa sih?” Menodongkan garpu kearahku, aku malah berakhir mengambil garpu itu dari tangannya, sekali lagi menyuap potongan buah buahan.

“21,” Aku menggerak gerakkan alisku bangga, “Yang jelas aku sudah melewati batas usia dewasa menurut undang undang.”

“Sok Tua,” Daina menggerutu dan tak kupedulikan.

“Aku lihat dapur dipondok ini cukup lengkap,” Ujarku lagi, “Kalau kau bisa membawakan bahan makanan mentah mungkin aku bisa membuatkanmu sesuatu,”

“Itu saja?” Tanyanya, “Akan kuberitahu pada kepala Desa kalau begitu,”

Aku mengangguk, “Kau akan makan enak setiap hari sampai bulat, aku janji,”

“Kenapa namaku jadi bulat,” Daina mencibir, “Tapi benar yah! Kau bisa masak kan? Bisa dimakan, kan? Tidak akan gosong kan?” Katanya menuntut.

Aku tertawa, “Urusan memasak aku sangat percaya diri,” Kataku membanggakan,

Bunga didepanku tertawa, begitu senangnya sampai sampai tubuhnya ikut bergerak gerak, rambut ikalnya bergoyang.
“Itu,” meminta kepastian, “Janji diantara kita yah, kak,”

-
-
-
-
-

Dear Tasuku.
Bagaimana kuliahmu?
Aku yakin kau bisa meraih gelar doctor yang kau impi impikan kurang dari beberapa bulan lagi.
Mengenai penelitianmu, bersabarlah karena aku sedang mencarikan dananya.
Oh ya, kau ingat kan’ Email yang kuterima beberapa waktu yang lalu?
Akhirnya aku menerima permintaan untuk menjaga desa ini sementara waktu.
Yah bayarannya memang tidak terlalu besar tapi kau pasti mengerti maksudku.
Kau akan suka ini.
Tidak, tidak, kau selalu suka mendengarku melakukan ini.


-
-
-
-
-
-


“Tinggalah disini,” tetua adat itu mengangsurkan secarik cek kearahku, “Perbaikan jembatan itu beserta sistem pengamanannya akan memakan waktu beberapa bulan, mereka melonggarkan keamanan setiap dua jam sekali untuk percobaan,”

“Kenapa kalian tidak meminta bantuan pada pemerintah saja, atau lebih mendatangkan banyak lagi prajurit bayaran,”

“Pemerintah sudah melakukan penjagaan seperlunya, kami tidak bisa meminta ditambah lagi, saat ini kekuatan negara ini juga sudah mulai terbagi,”

Aku menghela nafas,

‘seperlunya’,

Memang benar Thailand hanyalah Negara kecil yang berbatasan dengan Malaysia dan Laos yang secara militer memiliki kekuatan tempur jauh lebih menjanjikan,
Meskipun saat ini pemerintah diseluruh dunia tengah mengadakan rapat untuk menyatukan beberapa negara dibenua Asia sekaligus, Hal ini menimbulkan pertentangan pada beberapa pihak.
Belum lagi pihak Rusia sendiri sebagai Negara terkuat menyarankan hal yang sama,
Aku mengutuk dalam hati,
Padahal akan lebih baik kalau segera saja disatukan, Keadaan sudah sangat genting mengingat Invasi bisa terjadi kapan saja.
Kenapa harus egois mempertahan sesuatu jika pengorbanan itu ada demi keselamatan banyak orang?
Desa kecil ini sebagai contohnya, harus menderita karena lambannya pemerintah dalam mengambil keputusan.

“Kalau hanya aku sendirian…” Aku memandang cek didepanku, resah, tapi tetua adat itu meraihnya dan menggenggamkannya pada tanganku sangat erat,

“Hanya ini yang kami punya,” Mohonnya, “Kau yang terbaik dan dengan pengalaman melanglang buana keberbagai tempat, Tuan Aryanov Gabriel, sangat berharap kau bersedia…”

Aku menelan ludah, gugup.
Sial, aku selalu tidak mampu menolak orang yang meminta bantuanku dengan cara seperti ini…

Kali itulah pertama kali aku melihatnya.
Ditengah kebimbangan yang melanda, Pandanganku tertuju pada sosok sosok lain yang bersembunyi dari balik dinding anyaman,
Tidak begitu jelas, karena tertutupi wanita wanita lain dengan anak anak mereka yang masih kecil menunggu keputusanku dengan wajah harap harap cemas.
Sial, sial, sial,
Ini sih tidak ada harapan…

“Baiklah…” Sahutku mau tak mau, “Hanya sampai jembatannya selesai diperbaiki, kan?”

Orang tua itu mengangguk bersemangat, Ia bicara dalam bahasa daerah yang tidak kumengerti pada beberapa orang lelaki paruh baya didekatnya, seperti mengabarkan berita gembira, jika dilihat dari raut wajah orang orang yang diajaknya bicara,

“Sudah diputuskan kalau begitu,” Tetua adat berseru,

Pembicaraan berlanjut beberapa lama, sang kepala desa yang kutaksir berusia sekitar 50 tahunan secara rinci menjelaskan kondisi serta letak geografi desa mereka, aku mendengarkan secara seksama sambil sesekali mengajukan pertanyaan akan hal hal yang kurang jelas bagiku.

Begitu terus hingga tak terasa hari sudah siang dan mereka mengajakku makan.


Dalam sekejap saja aroma makanan makanan lezat khas daerah mereka memenuhi indera penciumanku disertai bermunculannya hidangan hidangan yang dibawakan oleh gadis gadis thai,
Pada saat itulah pandangan mataku kembali tertumbuk pada sosok mungil yang tampak gugup membawakan baki berisi buah buahan,

Itulah kali pertama aku melihatnya.

Ia mengenakan dress terusan krem dengan celemek berenda, rambutnya ikal bergelombang dan berwarna sama dengan matanya, warna kayu mahogani gelap yang cantik.
Tergesa gesa, ia mengangguk angguk menerima instruksi dari wanita paruh baya yang sepertinya ibunya.
Kelihatan sekali kalau kurang begitu pengalaman.
Tidak lama kemudian perhatianku kembali teralih pada sang tetua adat yang mengajakku bicara, “Berapa periode sekali biasanya perbaikan diadakan?” Tanyaku, memikirkan apakah Tidak apa apa meninggalkan Tasuku selama itu.
Yap, tololnya aku, Tasuku memang bukan anak anak lagi, dia juga seorang laki laki, tapi ia kurang bisa mengurus dirinya sendiri dan aku cemas.
Apakah penghasilan disini cukup untuk membiayai dia disana?

“Biasanya hanya sekali dalam 15-16 tahun, Tapi selama itu tidak ada sensor yang diaktifkan, akan sangat berbahaya, terutama kami tidak terbiasa menghadapi serangan Undead sebelumnya.” Lelaki tua itu menjelaskan.
Aku manggut manggut sok mengerti.
Padahal dilain pihak aku sedang sibuk berkutat dengan pikiranku sendiri.
Apakah aku yang terlalu bodoh menerima tawaran tidak biasa hanya karena dorongan rasa kasihan?



‘Itu sudah benar, Yang kakak lakukan sangat benar.’



“Bodohnya aku bertanya padamu,” Dengusku kesal pada suara Tasuku yang bergema dalam kepalaku.

“Iya?” Kepala Desa mengerutkan keningnya tidak mengerti, aku tersadar, cepat cepat meminta maaf, sedikit salah tingkah.

“Oh, bukan, hanya bicara sendiri.”

Bahkan didepan orang lainpun perasaan itu tidak dapat ditekan.

Seperti layaknya tempat berbudaya, walau terbelakang, mereka masih menjunjung tinggi keramahtamahan, Ibu ibu memasak dibelakang dan anak gadis mereka membantu.
Pekerjaan pekerjaan kasar seperti beternak dan bertani dilakukan oleh laki laki.
Selain itu entah sejak kapan dimulai, kudengar mereka juga sangat pandai membuat kerajinan tangan serta ukiran.

“Daina, bawakan ini juga,” Aku menoleh kesebelah kiri, gadis yang lebih tua menyuruh si mungil membawakan piring kosong, mataku bertemu lagi dengannya,
Ia mengucapkan permisi, meletakkan sepiring pisang didepanku, lalu menunduk, cepat sekali,
Penasaran, sambil mendengarkan ocehan tetua adat sesekali aku melirik.

Aku apaan sih.

Tidak, bukan saatnya untuk ini kan?
Bekerjalah dengan benar… Naksir naksiran, asmara dan semacamnya itu tolol sekali.
Belum waktunya Ar,
Aku mengingatkan diriku sendiri.

“Daina, bawakan ini juga,”

“Baik…!” Gadis itu berdiri dan menerima mangkuk besar dari wanita disebelahnya, mengantarkannya kepadaku.

Tasuku, fokus pada Tasuku saja.
Dia sudah hampir meraih gelas S2 nya, dia butuh biaya banyak.
Membanggakan ya?
Aku tersenyum senyum sendiri…

Ia kembali lagi, membawa seteko air putih,
Kali ini aku bisa melihat jelas bola matanya, bulat dan cemerlang,
Ia sadar aku memandanginya dan sepertinya ia berusaha kelewat keras agar tidak melakukan kesalahan.

Astaga, Aku lupa aku belum menelepon Tasuku hari ini,
Bagaimana kabarnya sekarang?

Gadis itu punya kulit yang halus,

Tidak, tolol, jangan sekarang, Pikirkan Tasuku saja, konsentrasi... Konsentrasi...

Sial, ia lagi lagi kesini membawa... entahlah, Akal sehatku berhenti mencatat.
Lebih jelas lagi, Pastinya masih belasan, kelihatan kok, Ia menggemaskan, apa kata Tasuku tentang gadis gadis muda imut di Jepang? Loli-loli?
Ahhh aku ingin memeluknya...

Astaga, Kau bajingan, Ar.

Aku kesini untuk apasih sebenarnya? Tidak bisa dipercaya.

‘Kakak membantu orang lain, Yang kakak lakukan hebat, ini akan menjadi hari yang hebat.’
Suara Tasuku menyejukkanku lagi.

Kau senang ya, Tasuku?
Kau benar…

“Kyaaa!”

Ini akan menjadi hari yang hebat.

Sehebat sup yang ditumpahkan diatas kepalaku.
Oleh gadis yang bayangannya sedang berusaha keras kuusir,

-
-
-
-
-

Guyuran air shower menyegarkan pikiranku, sial, baru hari pertama saja sudah babak belur begini,
Kubersihkan rambutku dari sisa sisa minyak dan lada,
Konyol sekali, Perempuan pertama yang membuatku terpana justru yang menumpahkan semangkuk sup keatas rambutku.

Hari sudah sore ketika mereka mengantarkanku ke pondokan yang kutempati, gemetar dan meminta maaf berkali kali atas keteledoran yang terjadi,
Akhirnya aku bisa mandi, membersihkan tubuhku yang belepotan,
bagaimana bisa aku tadi berpikir gadis itu manis?
Pikiranku melayang lagi pada detik detik aku melihatnya.
Kendatipun ia, yeah, sangat cantik.
Andai saja dia bukan tipeku pasti aku akan meneriakinya, sayang sekali…
Kalau begini jangankan meneriaki, melihatnya mendapat teguran keras dari anggota keluarganya saja aku tidak sampai hati…
Aku tertawa sendiri, membilas rambutku dengan dinginnya air,

Krak!

Suara patahnya ranting terinjak menyadarkanku yang sedang mengeringkan rambut, dengan hanya mengenakan celana panjang aku melihat kebawah kakiku,
Betapa merepotkannya, lantai tempatku berpijak hanya terbuat dari kayu yang susunannya agak renggang, dengan kolong bawah rumah yang tinggi cukup untuk pemilik tinggi badan bahkan yang setinggi akupun bisa menyelusup kebawahnya tanpa susah payah merundukkan badan.
Dasar Desa kecil, tidak ada privasi dong?

Aku mengawasi pergerakan sesuatu dibawah kakiku, menyadari bahwa sesuatu yang membuatku waspada sesaat itu ternyata bukan hal yang membahayakan,
Bahkan membuatku tergerak oleh perasaan gembira yang aneh,
Iseng, aku mengambil segelas besar air dingin dan meminumnya, pura pura tidak tahu, aku melanjutkan acara bersiulku, mengusap usap rambutku yang basah dengan handuk,

Kehidupan di bawah kolong rumahku kelihatannya mulai bernafas lega karena mengira dirinya bisa lolos dengan mudah.

Pada hitungan ketiga, aku menumpahkan isi gelas yang kupegang itu diatas lantai.
Bunyi air beriringan dengan pekikan pelan seorang gadis remaja benar benar menjadi musik yang menyejukkan gendang telingaku setelah sekian lama.

Aku bergegas menuju samping jendela, setengah menjulurkan badanku keluar, “Balasan untuk yang tadi, tidak buruk, huh? Berani juga, yah, pengintip!”

“Aku tidak mengintip!” Teriak suara bernada halus dari bawah kolong, “Basah, kan!”

“Hooo,” Aku memberikan tanggapan seolah tak peduli, “Kenapa kebetulan sekali kalau begitu, pas dengan momen aku mandi,”

“Sudah kubilang bukan!”

“Ingin melihat ya?”

“Demi Tuhan aku tidak melihat apapun!” Suara halus itu berteriak lagi, Aaahh, ingin sekali aku berteriak betapa menggemaskannya mendengar nada serak gelisah bercampur takut itu,
Seperti anak kelinci yang sedang bersembunyi dibawah sana…

“Kalau ingin melihat, jujur saja, sekarang juga keluarlah, aku tak apa kok, memperlihatkan…”

“Bukan! Ya Tuhan… Kenapa tega sekali?”

Aku tersenyum senyum geli, rasa keasyikan mulai menagihku, “Kalau bukan mengintip apa dong? Perlu kusiram lagi kau dibawah sana supaya aku bisa melihatmu lebih jelas?”

“Aku keluar!” Tegas suara itu akhirnya menyerah, “Aku akan keluar! Awas kalau kau menyiramku lagi,”

Aku hanya tersenyum senyum geli penuh kemenangan, menunggu lawan bicaraku menunjukkan dirinya.
Diiringi dengan bunyi kresek-kresek sosok yang kutunggu akhirnya muncul,
Ia tidak pakai sendal, kepalanya basah kuyup sehingga masih ada tetesan air mengalir dari wajahnya, menghiasi pipi berona pink itu, membingkai kecantikan alami seorang gadis remaja,
Kulitnya putih, berbeda dengan wanita wanita Thai yang biasanya berkulit sawo matang,
tubuhnya hanya ditutupi terusan berwarna merah muda yang membuatku terbayang bayang sejak tadi, bedanya adalah, sekarang bagian dadanya nampak tembus pandang karena basah, memperlihatkan segaris pakaian dalam berwarna putih yang menjadi batas moral antara seni ciptaan Tuhan itu dan mataku sekarang.

‘Dahsyaaat…’ Aku membatin.


Tahu begitu sekalian kusiram pakai air satu ember saja tadi…



“Aku bukan pengintip…” Ia memandangiku dengan wajah polosnya, menyangkal dengan sedih, membuatku tersadar dari betapa membiusnya pemandangan indah dihadapanku.

“Terus ngapain kau disana?” Tanyaku penasaran, sama penasarannya dengan perasaan aku ingin melihat apa saja kiranya yang tersembunyi dibalik kain yang basah itu.

Gadis itu menunjukkan sesuatu yang sedari tadi ia sembunyikan dibelakangnya.

“Seekor ayam?” Aku mengerutkan kening, Gadis itu mengangguk, “Kau keluar masuk kolong rumah hanya untuk mengejar itu? Bukannya malah mengintipku…maksudku, repot sekali!”

“Ini untuk makan malam,” gadis itu memasukkan ayam ditangannya kedalam sebuah kurungan yang terbuat dari bambu, “Kau tamu spesial, Ibuku akan masak enak untukmu malam ini,” Ia tersenyum polos.

“Kenapa tidak beli saja?” Gerutuku, kecewa.

“Pasar jauh, kau harus kekota dulu jika ingin, Lagipula ternak sendiri rasanya akan lebih enak,” bangga, ia menepuk nepuk kurungan itu, bersiap membawanya.

Terkesiap, aku bergegas mencegat, “Heh, tunggu-tunggu-tunggu!”

Si wajah malaikat menoleh,

“Kau serius mau pulang dengan tampilan begitu?” Ujarku gugup, mencoba mengalihkan pandanganku kelain tempat, entah mengapa rasanya sulit sekali.

“Kenapa?” Gadis itu mengecek sekujur tubuhnya, memastikan. “Ada yang aneh denganku?”

Aku menghela nafas, gusar, entah mengapa tidak rela ada orang lain yang menikmati pemandangan yang sama seperti kulihat, Tergesa gesa aku melompat dari rumah adat yang tinggi itu, kebawah.
Gadis didepanku terkejut bercampur kagum melihatku mendarat sempurna diatas tanah berpasir.

Aku menutupi tubuhnya dengan handuk, “Jangan sampai masuk angin,” Ujarku mencari alasan,

Malaikat didepanku nampak kebingungan sesaat, tapi ia kelihatan tidak terlalu memikirkannya, “Terima kasih, kakak…” ia menangkupkan kedua tangannya sebagai salam, melapisi tubuh bagian atasnya yang nyaris tembus pandang dengan handuk yang kuberikan.
Wajahnya damai dan hangat, ia kemudian berkata padaku, “Aku Daina Amare, Orang tuaku pemilik kedai dan penginapan disini, Aku bertugas sebagai pemandu dan pelayanmu,” Ia mengangguk angguk seperti bayi, “Jangan sungkan kalau butuh sesuatu, panggilah aku,” katanya lagi.

Tunggu… Putri pemilik penginapan yang mengurus keperluanku?
Berarti setiap hari…

“Aku akan membawakan makananmu, juga menemanimu jalan jalan, menyiapkan semua keperluanmu,” sambungnya seperti membaca pikiranku . “Aku minta maaf, tadi siang…” Kaki jenjang itu bergerak gerak gelisah diatas pasir, “Malam ini aku benar benar akan membawakan sesuatu yang enak untuk menyelamatkan mukaku,” Ia tertawa,

“Asalkan kau jangan lagi lagi menumpahkannya diatas kepalaku saja,” Ujarku sok mengingatkan,

“Iya, tenang saja, tadi aku benar benar gugup, Aku sangat bersyukur ada kakak Prajurit yang menjaga Desaku, Maafkan aku tadi ya,”

Aku terdiam.
Setiap hari dia akan datang kemari? Akan sering bertemu?
Terlebih lagi… malam ini juga?

Jantungku berdegup kencang.
Ini…

Asyik.

“K-kalau begitu niat minta maaf, datanglah sore ini!” Pintaku mengetes, “Bawakan aku handuk baru…”

Bola mata dihadapanku membulat, “Hanya itu?” Ia bertanya, “Segera!”
Aku terhanyut, melihatnya berlari hingga langkah ringan seperti terbang itu lenyap dari pandangan.

Suara tawa cekikikan dari wanita wanita yang lewat sambil membawa bakul cuci menyadarkanku,
Kerumunan yang berbisik bisik sambil melihat kearahku sambil menyembunyikan wajah malu malu mereka,
Butuh beberapa detik sampai akhirnya aku tersadar bahwa aku sedang dalam keadaan telanjang dada dan hanya mengenakan celana jeans panjang yang warnanya agak kusam.
####,
Pura pura tidak tahu, dengan kesal aku menaiki tangga pondokkanku.
Aku benar benar tidak suka dilihat orang lain, apalagi para wanita,

Tapi, Gadis barusan…
Menyambar kemeja yang tergeletak didepan koperku begitu saja, pikiranku semakin menjadi jadi,

Kalau dia yang ingin melihat tentu akan kuperlihatkan semuanya dengan senang hati,
Bodoh sekali, kalau tahu ada yang seperti dia disini, tidak dibayarpun aku mau…

Tidak, Ari, itu pikiran paling tolol yang pernah singgah diotakmu.
Aku tidak pernah memikirkan untuk memiliki wanita sebelumnya.
Lagipula ia hanya gadis dusun, apa iya semenarik itu?

Aku menepuk telingaku sendiri.
Kelihatannya hati dan otakku sudah tidak sinkron.


+++++
 
Last edited:
Hi Minna saaaan~

Bab 17 sudah turun, maaf lama menunggu, ^^
Bab kali ini seluruhnya berisi tentang flashback, hehe, Biasa, dongkrak rating *Dipukulin
Eh salah, maksut na, supaya ketika cerita ini tamat, tidak meninggalkan 'lubang' yang berarti untuk dipertanyakan,
Sekalian, Daina ingin men-developt hubungan antar ketiga tokoh utama dengan lebih mantap lagi, hehe
Tapi biar gimanapun, Daina tetap berusaha memberikan yang terbaik untuk Minna san semua yang telah bersedia meluangkan waktu dan yang menunggu2 cerita ini keluar, hehe,

Baiklah, tanpa menunggu lama, terima kasih banyak yah,
Cekidot this song, Lunatic tears by AYANE.
Dai merasa lagu ini sangat sesuai untuk momen kita sekarang, ^^d


[ame="http://www.youtube.com/watch?v=ui6wy8h4OaY"]http://www.youtube.com/watch?v=ui6wy8h4OaY[/ame]


Hope you like it <3
 
Last edited:
Don Mueang International airport,
Bangkok, Thailand.

________________________________________________
_______________________________________



Kau tahu, Tasuku?
Awalnya kupikir aku benar benar terjebak disini,
Sungainya kotor, dibawah rumah tempatku tinggal setiap malam ayam berisik berkeliaran, orang orangnya tidak pakai sendal, makanannya enak sih, tapi aku tidak pernah ketempat terpencil seperti disini,
Kalau boleh memilih, aku lebih suka dihutan sekalian, bukan, bukan suasananya, itu hanya alasan,
Sebenarnya yang paling membuatku tidak nyaman, karena ini Desa, kau ngerti kan, Desa,
Semua orang ingin tahu urusan satu sama lain.

Ah, kau pasti tahu.










Pemuda itu agak tergesa gesa menuruni bis, Ia membawa ransel besar dipunggungnya, sambil berlari kecil, nyaris menabrakkan dirinya sendiri didepan loket.

“Kanchanaburi,” Katanya merunduk, tersengal sengal, “Harus… sampai… sore ini juga…” Ia tidak bisa menunda keberangkatannya lagi, cukup sudah waktunya tersita karena kejadian heboh dibandara tadi.
Merasa membuang waktu, ia tidak ingin lebih lama lagi.
Ia sudah menitipkan barang barangnya ditempat jasa angkut dan penitipan barang.
Sekarang yang terpenting adalah bagaimana ia harus menemukan transportasi yang sesuai untuknya.

Petugas loket yang keduanya wanita hanya menggeleng pelan sambil menggantungkan tulisan Closed besar besar didepan kaca mereka.
Tidak menoleh sebelah matapun.
Salah seorang dari mereka yang bertubuh agak gemuk segera menjawab
“Kami tutup hari ini, pesawat terakhir sudah dipesan, kau bisa naik transportasi lain,” sementara temannya juga sama cueknya dan melanjutkan acara minum teh.

“Tidak bisa!” Pemuda itu memegangi dadanya sambil mengatur nafas. “Aku harus mendapatkan jet tercepat kesana,” Ia bangkit dan mengusap keringat didahinya, “Aku sudah terlanjur, jadi harus sampai bagaimanapun juga,” sebelum kakakku sadar aku tak ada dirumah, batinnya.

“Berapapun kau bayar, tidak akan bisa, ini peraturan, kami bisa kesulitan nantinya,”

"Tapi ini sangat penting, aku..."

"Pulanglah nak, atau kusuruh security memanggil orang tuamu kesini,"

"Tolonglah!"

Karena pemuda itu terus saja mengetuk ngetuk kaca, gayanya anak anak sekali, si pegawai loket yang semula sedang asyik memperhatikan layar komputernya melirik dengan enggan,


Lalu ia menjatuhkan Pocky dimulutnya, terpaku.



“Kumohon?”








Tapi kau juga belum tahu kan, Tasuku,
Aku bertemu bidadari disini.

Saat aku mengatakan padamu ‘bidadari’, itu bukan seperti dalam buku cerita yang kubacakan untukmu saat kanak kanak, kurasa… ehm, bagaimana menjelaskannya yah.
Yang jelas dia benar benar polos, matanya, kau harus melihat matanya, kalau kau sudah lihat kau pasti akan mengerti maksudku.
Karena ada dia, hari hariku jadi lebih berwarna, dia jujur sekali, dia juga nekat dan agak telmi, pokoknya dia lucu!
Dia datang setiap hari padaku membawa serta kecerobohannya, kurasa dia lebih muda darimu, aku hanya berpikir betapa berbahayanya terkadang situasi antara aku dan dia,

Dia seksi, benar, seksi sekali,
Mungil, tapi seksi…
beda dengan wajahnya yang sepolos malaikat, badannya badan wanita dewasa,
Ah, aku tidak sedang membicarakan wanita cacat mental, kau tahu maksudku.
Tapi, ketika kau berhadapan dengannya, alih alih ingin berbuat aneh, kau malah merasa ingin melindunginya, ajaib kan?
Mungkin saat menerima E-mail ini, sebagai adikku, kau akan merasa sangat aneh, lebih anehnya lagi, kau orang pertama yang ingin kuberitahu, sangat tidak sabar untuk bertemu denganmu dan menceritakan segalanya.
Aku jarang membicarakan seorang perempuan bukan?
Jangan tertawa, bahkan meskipun kau ingin.

Kurasa, yah,
Kurasa aku jatuh cinta.








Wajah yang berada didepan loket adalah seorang pemuda, mungkin yang paling tampan yang pernah dilihat kedua petugas wanita itu seumur hidup mereka,
Ia mengenakan T-shirt santai warna putih yang dilapisi Hoodie abu abu, dan aksesoris kalung panjang dengan liontin berbentuk biola yang terlihat jatuh begitu saja didadanya yang bidang,
Terlihat modis khas anak muda namun demikian, raut wajahnya, entah mengapa kharismatik, pun ia terlihat masih berusia sangat muda, ia ceria, ramah dan sopan,

Apakah ia anak pejabat yang sedang pergi berlibur?
Ia kelihatan terpelajar serta dididik dengan amat baik, dinilai dari rautnya, ia nampak tidak memiliki kesulitan berkomunikasi dengan orang lain baik yang sebaya dengannya maupun lebih tua.
Orang yang melihatnya untuk pertama kali mungkin akan menyangka bahwa ia adalah model, aktor, atau pangeran entah darimana, karena tubuhnya yang ramping bersiluet namun tidak kurus,
Ia indah, sampai sampai tidak hanya perempuan, laki lakipun mungkin akan memandang terpesona kearahnya.
Yang paling mencolok darinya adalah, Rambut emas yang bersinar keperakan itu, serta matanya yang sebiru laut.


“Tidak bisakah diusahakan untukku?” Katanya lagi dengan tampang memelas.


-
-
-
-


Pemuda itu memasuki hanggar pesawat dengan wajah puas,
Dihadapannya, pesawat model kecil dengan kecepatan yang diinginkannya sudah tersedia dalam kondisi siap pakai,

“Pak Chang,” si wanita gemuk penjaga loket mengingatkan pada pilotnya, “Tolong jangan sampai malam yah, kalau ketahuan bisa kena masalah,”

Si pilot, lelaki paruh baya berkulit sawo matang yang dipanggil Chang, hanya menjawab enggan, “Siapa suruh, seenaknya menggunakan sesuatu yang sudah dipesan orang lain,”

“Ahh, Diamlah pak,” wanita yang agak kurus menyela, “Kau mana ngerti perasaan perempuan,” Lalu kedua wanita itu bersikutan satu sama lain,

Pemuda yang tak tahu menahu nasibnya hanya memandangi pesawat yang akan mengantarnya ketujuan dengan terpesona, ia tidak menyangka akan begitu mudah mendapatkan apa yang ia perlukan, bahkan tanpa membayar sepeserpun,
Meskipun kekagumannya sekejap kemudian digantikan oleh rasa terkejut karena kedua wanita dibelakangnya menariknya dengan sigap,

“Eh, eh, ini benar Alamat E-mail mu kan?”

“Namamu siapa? Beritahu kami namamu!”

Sang pilot hanya tersenyum melihat tingkah kedua rekannya mengerubuti bocah tampan yang sama sekali tak sadar bahwa dirinya sedang jadi bahan perebutan antara dua orang wanita berusia jauh diatasnya, sementara itu, si pemuda hanya memasang tampang kebingungan, merasa agak aneh tapi memutuskan untuk menjawab.
“Yap, itu E-mail pribadiku,” Charming, ia menunjukkan Tab tergenggam ditangannya, tersenyum amat manis hingga membuat wanita wanita dihadapannya meleleh, rela melakukan apapun untuk menyenangkan hatinya,


“Dan namaku…”
Ia berhenti sejenak, seperti ingin memberitahu namanya, tapi mengurungkan niat,
“Tsar,” katanya setelah berpikir sesaat , membatalkan untuk memberitahu nama panggilan pemberian kakaknya tersayang,





TsaraniaKova Gabriel, itu namaku,”.


+++++
 
Ari.


_________________________
_____________________________



“Jangan, jangan seperti itu,” aku mengingatkan, “Tidak pakai lada!”

Tak terasa sekarang sudah 2 bulan aku berada di Thailand, Provinsi Kanchanaburi,
Tepatnya disebuah Desa di Distrik Shankalaburi, Desa kecil tempat suku mon bermukim.

Daina mengerem laju tangannya, tetapi terlambat, ia malah menjatuhkan apa yang dipegangnya, serbuk lada sedikit berhamburan,

“Yaah kakak sih tidak bilang… Hatsyyiimm!” Gadis itu bersin keras keras, saking kerasnya sampai sampai tubuh mungilnya terdorong kebelakang,
Aku cepat cepat memberinya selembar Tisu, mengusap usap punggungnya menguatkan.

“Kita akan membuat pancake, mana pakai lada,” ujarku berpaling, mengejek Daina,

“Aku kan tidak tahu!” teriak Daina, “Aku tidak pernah makan pan… pan…”

“Pancake,” aku membetulkan.

“Iya! Itu!” Sambar Daina,

Aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak menyunggingkan senyuman, adonan ditanganku telah selesai, aku mencelupkan telunjukku untuk mencobanya, Daina mendekat penasaran,

“Enak?” Ia bertanya padaku,

Kubiarkan rasa manis tepung melumer dilidah, menimbang nimbang, “Tergantung,” aku menghela nafas, “Kau lebih suka yang mana, sangat manis atau biasa saja atau cenderung hambar,”

“Aku suka manis…!” Daina segera menyahut,

Aku melirik kearahnya, diam sebentar, terdorong oleh rasa penasaranku, aku mencelupkan lagi telunjukku secara sembarangan kedalam mangkuk berisi adonan, menyodorkannya pada Daina.

“Cobalah sendiri?” Aku memasang ekspresi tak peduli,

Mata besar Daina terbelalak,
Namun tanpa berpikir lagi, ia segera saja memasukkan jariku kedalam mulutnya, mencicipi rasa adonan itu sendiri,
Aku menelan ludah, sial, sial, sial,

Kurasakan hangat mulutnya diujung telunjukku, begitu basah dan lembut,
Aku bisa melihat wajahnya dengan jelas sekali, Daina menutup matanya, menikmati apapun itu rasa yang menyebar pada indera pencecapnya,
Ia memasukkan lebih dalam, seakan tidak ingin menyisakan apapun,
Perasaan seperti tergelitik melandaku amat hebat.


Terdengar bunyi ‘plop’ pelan lalu ia melepaskan jariku,

“Sempurna!” Serunya lugu, “Ini enak sekali!”

Aku terdiam, kakiku jadi dingin sendiri.

“M-menurutmu begitu?” Kubereskan tepung tepung didepanku, “Baiklah, kita pakai yang ini saja,” aku berusaha keras menyembunyikan rasa panas yang seakan membakar wajahku.

Daina tampak tidak masalah, ia memunguti piring piring kotor dimeja makan, mencucinya seperti biasa,
Lalu membereskan rantang milik ibunya untuk dibawa pulang.

“Pakaian kotormu?” Katanya meminta, Aku hanya mengangguk membiarkan ia berlari menuju kekamarku, mengambil baju baju kotor untuk diserahkan pada ibunya kemudian dicuci,

Drakk!


Aku menahan lututku yang melemas karena tidak dapat mengontrol debaran dalam dadaku. Bertumpu pada kursi didekatku, aku menarik nafas lega.

Nyaris!

Aku tidak dapat menahan diriku untuk tidak memeluknya atau mengucapkan ‘Aku mencintaimu’ ratusan kali yang aku sanggup.
Tidak tahu mengapa, perasaanku semakin menjadi jadi,
Mungkin ia akan lari.
Mungkin ia akan membenciku sebagai lelaki asing kurang ajar yang seenaknya menyatakan cinta.
Bahkan ia baru saja mengenalku.
Jika aku mengucapkan ‘Cinta pandangan pertama’ sebagai alasan, mungkin aku akan dikira bedebah mesum yang berupaya merusak anak gadis orang…

‘Cinta itu reaksi ilmiah yang tidak bisa dijelaskan,
Bahkan melanda orang sepertimu, aku tidak heran, pastilah ia gadis luar biasa.’


“Diam, Tasuku!”

Nice, Lagi lagi, entah sejak kapan aku mulai berbicara sendiri begini setiap kali berpisah dengan Tasuku. Aku berhalusinasi mendengar adikku bicara padaku, padahal ia sedang berada jauh dariku terpisah oleh Negara yang berbeda.
Kurasa mungkin bawaan kebiasaan saja, karena Tasuku pendengar yang lebih baik dari siapapun didunia ini.
Karena ia teman curhat paling sempurna –seandainya ia ada disini sekarang- yang bisa kupercaya.
Kurasa aku benar benar jadi gila sekarang.

Bodoh bodoh bodoh,
Aku hanya harus membiarkannya mengenalku sedikit lagi,
Benar, itu benar sekali… Jangan sampai ia ketakutan karena mengira aku orang mesum.

Sungguh aneh perasaan bernama cinta,
Kalau aku bicara dengannya, seakan naluri untuk mencuri curi pandang wajahnya yang tampak begitu sempurna dimataku tak tertahankan.
Bahkan mencari topik pembicaraanpun sangat sulit,
Dan sekalinya aku menemukan sesuatu yang tepat untuk menjadi bahan omongan,
Aku pasti ingin selalu berlama lama bicara.
Atau kalau bisa, tidak usah selesai bicara, ngomong saja terus jangan berhenti-berhenti lebih bagus

Baru pertama kali seumur hidupku, seperti ini…

Daina menyuap Pancakenya bersemangat, ia menambahkan caramel yang banyak, Aku hanya memperhatikannya dari seberang meja,
Ia membuatku merasa nyaman, aku tidak tahu alasannya.
Ia makan tanpa menahan diri seperti kebanyakan gadis yang selalu lebih mengutamakan makan sesuatu seperti salad karena takut gemuk.

Aku merasa dihargai, tidak terbebani, dan terhibur melihat tingkah lucunya.

“Kakak lihat apa?” Tanyanya dengan remah remah dibibirnya, Aku nyaris tersedak, cepat cepat membuang muka.

“Tidak, hanya aneh saja, kau makan seakan tidak ada hari esok, ”

Daina menggembungkan pipinya.

“Jahat…”

Tapi ia tetap makan, hanya saja lebih cepat, karena saat ini ia sedang kesal, aku tersenyum.

“Aku harus makan banyak, aku mengisi energiku,”

“Memangnya kau baterai charger?”

“Kakak bodoh,” Daina cemberut lagi, “Aku kerja sambilan mengemudikan motor boat,” Ia menjelaskan, “Karena… ayahku sudah sakit sakitan sekarang, Transportasi air kan’ salah satu mata pencaharian keluarga kami, sayang kalau tidak ada yang melanjutkan,”

“Kau suka mengemudi?” Tanyaku iseng, Mata Daina mendadak berkilat bersemangat,

“Suka! Suka sekali! Aku senang mengendarai berbagai macam kendaraan! Mobil, motor, boat, kapal,” Ceritanya, “Tapi aku belum pernah mengendarai pesawat! Atau heli! Aku ingin sekali! Lalu…”

“Ya ya ya,”

“Kau ingin mendengar lanjutannya? Lanjutannya? Lanjutannya!” Serunya semakin kencang,

“Tidak, tidak, cukup, aku tidak bermaksud demikian,” jawabku pura pura kebosanan.

“Kakak, ayolaaah, dengar, sewaktu aku kecil ayahku mengajariku…”

Oh no, Not again…” Keluhku, padahal sejujurnya aku senang sekali melihatnya bicara.
Bocah, Wajahnya bahagia dan aku sama sekali tidak menemukan satupun titik cela.

Jatuh cinta pada anak kecil begini, Tasuku, kau akan menertawakanku.
Pasti.


+++++
 
Tasuku.

___________________________________
______________________________




Dengan mantap aku menginjakkan kakiku kedalam boat yang telah terisi penuh dengan beberapa orang penumpang selain diriku sendiri.
Tali ransel dipunggungku kupegang erat, senyum mengembang diwajahku penuh kepuasan,
Akhirnya aku tiba juga di Thailand, negeri Gajah putih yang tersohor itu,
Kukeluarkan novel kegemaranku, memasang kacamata baca, bersandar pada tempat duduk, aku mulai menyerap huruf demi huruf seraya menikmati angin.

Kakak tidak tahu,
Kalau dia tahu, dia akan sangat ribut mengoceh tentang betapa tidak siapnya aku bepergian tanpa dana yang cukup.
Aku bisa hidup dimana saja kalau itu yang ingin kakak tahu,
Tapi ia takkan mempercayaiku, kakak cerewet dan ingin selalu membuatku merasa nyaman.

Kubaca baca lagi secarik kertas yang terselip diantara lembaran buku ditanganku,

Kondisi keuangan keluargaku memang sedang genting, karenanya aku merasa beruntung, Aku baru saja mendapatkan biaya perjalanan dari temanku.
Lebih tepatnya, aku menang t4ruhan.
Mr. Andrew, temanku di fakultas kedokteran itu sudah tahu ia takkan bisa mengalahkanku dalam soal nilai, dan masih saja ia menantangku.
Ia jauh… jauh lebih tua dariku, umurnya sekitar 50 tahun, tapi kami cocok, kurasa ia lebih sesuai sebagai dosenku daripada hanya sekedar teman minum.

Berawal dari perdebatan kecil tentang penelitian, kami berakhir adu argumen dan saling berkata akan mengungguli satu sama lain.

Sebenarnya bukanlah sifat yang baik, mempecundangi orang yang selalu merasa dirinya lebih ahli darimu walau kenyataannya mereka memang tidak.

Orang lain bilang yang seperti ini harus disadarkan sekali sekali,
'Biar ngaca,' Mereka bilang..., 'Takkan sulit kok,' Mereka bilang...,


Memang kelihatannya tidak sulit.
tapi jika orang tersebut lebih tua darimu, dimana seharusnya kau amat menjunjung tinggi etika serta sopan santun kepadanya,
Kau tentu mengerti maksudku...

Kemudian, Bisa ditebak bahwa aku memenangkan tiketku.
Bahkan, Karena kelewat semangat memikirkan hadiah dari permainan untung untungan bodoh kami, aku jadi menyelesaikan Disertasiku lebih cepat dari yang kukira.
Menyeringai, kuperiksa pasport serta kartu keterangan identitas yang lain.

Kesempatan langka, bepergian sendiri…

Kakakku tidak boleh tahu, Aku tidak ingin merepotkannya,
Aku sangat menyayanginya dan tidak ingin dia lebih susah lagi karena aku.
Sejak kecil kakak selalu bekerja keras untuk hidup kami berdua,
Lagipula kami ada di Negara yang sama, kalau beruntung, mungkin aku bisa bertemu dengannya,
Aku tersenyum, membayangkan betapa kaget kakak dan akan seperti apa wajahnya jika ia melihatku dihadapannya, mungkin ia akan kaget karena aku bisa bepergian seorang diri tanpa menunggunya.



Jika menyangka hanya kakakku yang Brother Complex, salah besar.
Karena aku juga



Aku cengengesan sendiri, tanpa sadar sehingga pak tua yang duduk disampingku memandangiku aneh, sadar akan dianggap sinting, aku cepat cepat kembali memasang wajah serius sambil menyembunyikan tawa dibalik buku.

“Perhatian semuanya! Kita akan sampai sebentar lagi!” Suara empuk seorang gadis menyadarkanku dari lamunan, aku menoleh untuk melihat siapa yang berbicara,
Ia seorang gadis biasa, Melihat badannya yang sintal tapi berlawanan dengan wajahnya yang polos, aku hanya terpikir kalau dia pastilah tipe kak Ari, walau kakak tidak pernah secara khusus membicarakannya padaku tapi aku sering memergokinya memandangi perempuan dengan perawakan montok dan rambut panjang bergelombang model wavy,

“Jangan lupakan barang barang kalian, ya, awas ada yang ketinggalan,” Gadis itu mengingatkan, aku tidak menggunakan lensa kontakku hari ini makanya diawal tadi aku tidak begitu memperhatikan,
Harusnya aku foto saja ya, kenang kenangan untuk kakak… Aku tertawa dalam hati,

Buku bacaanku terlupakan,
Terus memperhatikannya beberapa lama sampai akhirnya boat yang membawa kami berhenti ditepian sungai Kwai,

Aku memunguti bungkus makanan ringan dan bukuku segera, karena barangku banyak jadi butuh waktu,

“Aku bantu,” Tangan mungil membantu memunguti dan menyodorkan buku buku milikku, aku menerimanya sambil mengucapkan ‘Terima kasih’,

Aku melirik, gadis Wavy itu lagi, senyumanku mengembang jadi cengiran ringan, ia ikut tersenyum ramah sambil lalu, perlakuan istimewa kepada Turis.

“Daina! Kemarilah!” Beberapa orang ditepi sungai memanggilnya, Gadis itu bergegas hendak keluar dari Kapal boat, sialnya, kakinya malah tersandung tas besar milikku.

Aku menangkap tubuh ringan itu,

Ya, aku tidak bercanda, ia begitu ringan seperti mau tertiup angin.
Mengeluh, wajahnya membentur dadaku,

“Maaf,” Terburu buru aku menyibak rambutnya yang meriap menutupi wajah, ia masih kaget, spontan memandang kearahku.

“Terima kasih…” Kata kata itu hampir tak terdengar, ia sepertinya sibuk memandangi wajahku, seperti terhipnotis, aku sudah terbiasa dengan reaksi semacam itu, pasti sebentar lagi ia akan…

“Maaf?” Tanyaku memintanya melepaskanku, aku sudah menyiapkan alamat E-mail,
Dan Gadis itu seperti tersengat listrik, mendorongku menjauh, aku masih bisa melihat semburat merah muda dipipinya yang putih.


Dan ekpresi ketakutannya,


Huh?


Apa aku menyakitinya?


Tanpa bicara lagi, ia berlari, menjauh dariku, padahal aku belum sempat minta maaf.
Tunggu, tunggu, hampir semua yang melihatku biasanya luluh dalam satu tatapan, tapi baru sekarang ada yang lari terbirit birit begitu,
Aku jadi melongo seperti orang bodoh, kebingungan.


+++++
 
Daina.


________________________________________
___________________________________



Apa itu tadi? Apa itu tadiiii?
Keringat dingin membasahi tubuhku, Aaaaa!
Aku baru kali ini bertemu orang setampan itu!

Aku memegangi dadaku, tertekan, malu sekali rasanya,
Kukira hanya ada didalam buku cerita....

“Ada apa, Daina?” Ibuku yang sedari tadi memanggilku hanya geleng geleng kepala, “Beberapa orang Turis yang datang sudah kau tawarkan penginapan kita?”

Aku tersentak, “Aaaa!” Pekikku, “A… aku lupa!”

Ibu menghela nafas, “Kau sedang tidak enak badan?” Dengan penuh kasih sayang ibu menekan telapak tangannya pada dahiku, mengukur tingkat kehangatan disana, “Tidak panas, sih, kalau kau sedang tidak bagus, biar ibu saja yang gantikan…”

“Jangan!” Potongku, “Ibu sedang capek!” Tidak perlu kujelaskan betapa aku menyayangi kedua orang tuaku, ayahku sakit sakitan sejak beberapa waktu yang lalu, Ibuku menjalankan usaha penginapan kecil kami seorang diri, aku tidak boleh menambah bebannya dengan malas bekerja,
Aku harus menemukan tamu yang banyak, supaya kami tidak kesulitan.

“Aku akan pergi, tak apa, aku hanya terlalu bersemangat berlari…” Aku memeluk ibuku dari belakang dengan penuh kasih sayang, aku dibesarkan dengan cara dimanja dan dilimpahi rasa cinta tak terbatas dari kedua orang tuaku.
Walaupun ceroboh, aku ingin bekerja keras,
Aku tidak boleh egois dan merepotkan mereka…
Beginilah jika kau menyayangi seseorang bukan? Kau selalu menginginkan yang terbaik untuk mereka.

Sudah tugasku sebagai anak, penuh terima kasih kuciumi tangan Ibu yang membelaiku hangat.
Ibu mengelus tanganku, hendak menyuruhku untuk berhenti berpura pura, tapi aku segera bangkit dan berlari menjauh.

“Jangan lupa makan siangmu, bu!” Teriakku, melihat kearah wanita yang melahirkanku, ia tersenyum lembut.

Celinguk celinguk, tampak olehku beberapa orang yang juga sepertinya sedang kebingungan mencari cari tempat menginap.
Mereka kelihatannya satu keluarga, aku menyelusup masuk diantara kerumunan, menawarkan bantuan pada mereka, yang dengan senang hati menerimanya, kurogoh tas kecil yang menggantung dibahuku, memberikan peta dan brosur.

Selesai satu, syukurlah, kaki telanjangku melangkah melihat kesekitar,
Kemudian kuhampiri sekumpulan laki laki yang tengah mengobrol, mereka tinggi besar, berkacamata hitam dan sepertinya bukan orang Thai, mereka kelihatannya juga orang asing, terlihat dari cara bicara mereka yang tidak menggunakan bahasa setempat,
Tapi kebanyakan Turis yang datang kemari memang begitu,
Kami mungkin tidak menawarkan pariwisata naik gajah atau semacamnya disini, tapi banyak hasil bumi seperti rempah dan karya seni kerajinan tangan terbaik seperti pahatan maupun tenunan yang bisa kau beli dengan harga murah lalu kau jual kembali dengan harga tinggi diluar sana.

Makanya pedagang pedagang sangat suka main kemari.
Dan usaha kecil keluargaku hidup dari orang orang yang datang kemari untuk berdagang.

“Gagal? Apa maksudmu gagal? Apa Gustavo tidak bisa membawa barangnya kemari segera?!” Salah satu dari mereka berteriak, “Harus berapa lama lagi kita terkurung ditempat tengik seperti ini!”

“Bersabarlah, Hendrix, kudengar Gustavo tertangkap di bandara Don Mueang, Orang yang menangkapnya kudengar seorang bocah, nasib kita memang sedang sial, tapi berikutnya tak akan lagi,”

“Pastikan pengiriman barangnya sampai tepat waktu.”

Mereka bicara apa? aku tidak tahu...
Haruskah aku mencoba?
“Permisi…” Aku menyela, “Apakah Tuan tuan sekalian sedang membutuhkan tempat untuk bermalam? Karena aku…”

Tetapi sebuah dorongan keras menyentakkan tubuhku,

“Apa kau tidak lihat kami sedang bicara?! Pelayan tidak tahu adat!” Mereka memaki dan memaki, belum habis kekagetanku, salah satu dari mereka menarik tas yang kubawa serta melemparkannya kearahku, kertas brosur penginapan kami bertebaran diatas tanah.
Kelihatan sekali kalau saat ini aku sedang menjadi bahan pelampiasan kemarahan.

“Tunggu, Hendrix,” salah satu dari mereka menghentikan lelaki yang bernama Hendrix itu, kemudian ia mencekal pergelangan tanganku. “Kau tidak sadar? Dia ini cantik sekali…”

Hendrix terdiam, Matanya memandangiku nanar, “Kau benar…” Katanya pada si teman, lalu Ia mendekat, menyentuh daguku dengan wajah bernafsu, “Apa penginapanmu juga melayani bantuan ditempat tidur?” dalam sepersedetik, melakukan tepukan dibagian bokong,



Aku tersentak, merasa terhina sekali.




“Dia bukan wanita seperti itu,” Yang aku tahu berikutnya, cekalan keras yang menahan sebagian tubuhku tiba tiba terlepas, kekuatan aneh seakan merenggutku, Aku menoleh kebelakang,

Penyelamatku ternyata seorang laki laki berambut emas,
Orang yang baru saja kuhindari…

“Bisa tolong lebih hormat lagi? Dia memang bertugas membantu, tapi ia bukan pembantu,” katanya sopan.

“Bocah cantik kurang ajar, kau berani beraninya menasehati kami?!”

Tapi pemuda yang saat ini sedang berada dibelakang sama sekali tidak menampakkan sorot mata ketakutan,
Sebaliknya malah, ia tersenyum semakin menantang,
Entah mengapa, aku merasa aman berada didekatnya,

“Sudahlah, Hendrix,” Tegur Jorge lagi , “Sebaiknya kita cari saja tempat bermalam, jangan buat masalah sekarang,”

Kelima orang lelaki tinggi besar itu berlalu dengan wajah kesal,




“Beraninya sama perempuan,” Pemudia disampingku berkacak pinggang, senyumannya membakar dibawah cahaya matahari.

“Oh, maaf,” katanya melepaskan tanganku yang tanpa sadar ia genggam sangat serat ketika ia membelaku barusan.
Aku sudah terbiasa direndahkan sebenarnya, apalagi aku hidup disebuah desa kecil yang jauh dari kota besar, orang tentu memandang rendah, menganggap aku bodoh, lagipula aku juga tidak memiliki pendidikan khusus kecuali ilmu baca tulis yang diajarkan kedua orang tuaku,

Memang ada ‘sekolah’ disini, hanya saja, semacam sekolah lepas, kami hanya masuk seminggu sekali pada hari sabtu, belajar bahasa lain selain bahasa ibu, itupun hanya dari keterbatasan pengajar yang rata rata adalah relawan.

Pemuda itu tampak salah tingkah, ia tersenyum lembut menutupi malu, “Aku takkan melakukannya lagi, sungguh,” Katanya padaku, “Maaf sudah membuatmu ketakutan, aku akan pergi sekarang,” Ia mengusap kepalaku sambil berlalu, membiarkan aku berdiri mematung tanpa suara.

Ia menolongmu, Daina, Ia membelamu, Membelamu dari orang yang melecehkanmu.

Aku segera saja berbalik,
Menarik bajunya dan menangis.


+++++
 
Tasuku.


____________________________________
______________________________




Perlahan aku mengulurkan sekaleng soda kepada Gadis didepanku,
Ia mengusap air matanya, suaranya nyaris tersedak saat mengucapkan terima kasih.
Aku tahu ini bukan saat tepat untuk tertawa, jadi aku hanya bisa duduk disampingnya, menungguinya selesai menumpahkan kekesalannya,
Ia seperti anak anak, kupikir wajar ia marah, lelaki tadi melecehkan sekali…

Kubawa ia duduk diatas rerumputan dipinggiran Desa, ia masih saja sesengukan menangis, meminum soda yang kuberikan, kemudian menyemburkannya.
Sigap, aku memberikannya beberapa helai Tisu.

“Apa ini? Menyengat!” Katanya disela sela tangis, aku terkikik geli, Menyuruhnya minum lagi, pelan pelan, tak berapa lama ia kelihatan sudah menyukai rasanya dan menghabiskan tegukan keempat.

“Sebentar, apalagi yah,” Aku mengobrak abrik isi ranselku, mencari cari sesuatu yang bagus, Gadis didepanku kelihatan menunggu dengan penasaran, masih ada satu dua tetes air mata jatuh membasahi pipinya,

Aku menarik keluar sebuah boneka keramik kecil,

“Lucunya! Apa ini Kucing?”

“Iya, lucu kan! Itu namanya ManekiNeko” Aku bersemangat,

“Tapi kok dia bawa uang?” Gadis itu menyentuh bagian lengan boneka keramik itu yang bergerak gerak, kelihatan terkagum kagum,

“Asalnya dari Jepang, Dia kucing pembawa keberuntungan, disebut juga pemanggil berkah, dan semacamnya,”

“Keberuntungan…”

“Aku tidak percaya sih” kataku cepat cepat..

“Kenapa?”

Ah, ternyata ia memiliki wajah penasaran yang lucu sekali, setidaknya sekarang ia lupa tentang hal hal menyebalkan tadi,
Aku senang,

“Karena tidak ilmiah,” Aku mengangguk angguk, “Tapi orang Jepang percaya sekali, loh, mereka percaya kalau diletakkan didepan toko, bisa mengundang uang dan pembeli, Hey, yang satu ini agak spesial”

“Mengapa spesial?”

“Warnanya merah jambu…” Aku berkata lirih, “Semua percaya kalau warnanya merah jambu, ia juga mendatangkan keberuntungan dalam soal percintaan,”


Wajah gadis didepanku menjadi merona, tapi matanya mengerjap ngerjap lugu,
Benar kan, wanita selalu suka cerita seperti ini…

“Kau pernah ke Jepang…?” Ia bertanya lagi, aku menggeleng,

“Hanya sebentar, bahasanya mudah dipelajari, budayanya keren, dan mitologinya menarik, lebih menarik dari Yunani kurasa, kakakku yang mengajakku kemana mana, kami sering bepergian, ah tapi kali ini aku sendirian” sambungku karena melihat Gadis dihadapanku celinguk celinguk mencari cari kalau kalau aku sedang bersama seseorang,

“Hebaaaatt…” Ia mengerjap lagi, “Aku ingin juga bepergian ketempat tempat yang jauh, aku tidak pernah kemanapun selain desaku, mungkin…” ia menghentikan laju bicaranya sesaat, “Kalau bisa aku ingin keliling dunia juga sepertimu,”

Aku tersenyum menyemangati, “Ambilah, kucing itu untukmu,” kataku lagi tanpa bermaksud apa apa, “Suatu saat aku akan mengajakmu, kalau kau mau, kan’ kita sudah jadi teman,”

“Teman....? Benar? Tidak apa apa? Wah!” Gadis itu berhenti menangis sekarang, seperti membujuk anak kecil, mudah sekali, aku tidak pernah membayangkan akan bertemu seseorang dengan pikiran paling lurus yang pernah kutemui.


Ia bahkan tidak minta alamat E-mail segala.


“Aku Daina…” Ia mengulurkan tangannya, boneka keramik bulat itu ia dekap erat didadanya, “Kau siapa?”

Aku memandangi jari jari lentik itu sesaat, Tidak ada salahnya, kan....

“TsaraniaKova Gabriel,” Ujarku memberitahu, “Tapi panggil saja Tasuku,”

“Tasuku yaaa!” Daina menangkupkan kedua tangannya, “Khob kun mak krab… ”

Aku nyengir, walaupun aku paham ia sedag mengucapkan terima kasih banyak dalam bahasa ibu Thai, tetap saja melihatnya bicara sangat lucu.

“Eh,” aku menegur, “Kau bilang tadi… keluargamu punya penginapan, masih ada kamar, kah?”

Daina mengangguk, “Tentu! Kau sedang cari tempat menginap?”

“Itu sih tak perlu ditanya lagi…” Aku terkekeh, “Selain itu aku juga kelaparan…”

“Tenang!” Daina menepuk bahuku, “Ibuku masakannya sangat lezat, kau takkan pernah melupakan pernah berkunjung kemari,” Dari caranya membanggakan keluarganya, aku tahu ia anak yang bahagia,
Membuatku nyaman.


+++++
 
Oharoooo<3
Ketemu lagi sama Dai di cerita2 malam jumat *Apadah

Tasuku manis banget yah, tapi caranya mengucapkan "Bahasa jepang itu mudah dipelajari" membuatku ingin melemparkan piring ke wajahnya....

*Woy

*Tasuku : "Wajahku aset..."

*BatalNgelempar

Omong2 soal maneki neko, itu sungguhan ada, loh, *IyaTau
Ini yang kira2 diberikan Tasuku untuk Daina :

solar-powered-maneki-neko-pink.jpg


Lucu yah?

zzz inspirasi 'Mengumpulkan benda2 aneh' ini datang dari ayahku,
Beliau jika bepergian ke tempat2 -tidak peduli jauh ataupun dekat- selalu membawakan oleh2 yang unik, mulai dari jepitan kuku yg punya mata(?) sampai payung yg punya kaki(?) *LOLdai

Katanya maneki neko yang pink benar2 untuk percintaan,
Entahlah, apakah benar atau tidak,
Tapi karena neko yang ini sangat imut aku mau satuuuu!!! Waaaa!!!
 
Oharoooo<3
Ketemu lagi sama Dai di cerita2 malam jumat *Apadah

Tasuku manis banget yah, tapi caranya mengucapkan "Bahasa jepang itu mudah dipelajari" membuatku ingin melemparkan piring ke wajahnya....

*Woy

*Tasuku : "Wajahku aset..."

*BatalNgelempar

Omong2 soal maneki neko, itu sungguhan ada, loh, *IyaTau
Ini yang kira2 diberikan Tasuku untuk Daina :

solar-powered-maneki-neko-pink.jpg


Lucu yah?

zzz inspirasi 'Mengumpulkan benda2 aneh' ini datang dari ayahku,
Beliau jika bepergian ke tempat2 -tidak peduli jauh ataupun dekat- selalu membawakan oleh2 yang unik, mulai dari jepitan kuku yg punya mata(?) sampai payung yg punya kaki(?) *LOLdai

Katanya maneki neko yang pink benar2 untuk percintaan,
Entahlah, apakah benar atau tidak,
Tapi karena neko yang ini sangat imut aku mau satuuuu!!! Waaaa!!!
huaaa...!!!! Neko >///< aku jga mau 1 dai!!! wkwkwk pink imut bgt bener dah,,,,

itu kak ari beenr2 berotak mesum yah wakakakkaa
dasar aki-aki 1 itu... kenapa ga kau terkam saja Daina saat ber2 dikamarmu wkwkwkw

tasuku ternyata emang awalnya ga suka sama daina yah, malah kakaknya yg suka pada pandangan pertama wkkwkwkw
 
huaaa...!!!! Neko >///< aku jga mau 1 dai!!! wkwkwk pink imut bgt bener dah,,,,

itu kak ari beenr2 berotak mesum yah wakakakkaa
dasar aki-aki 1 itu... kenapa ga kau terkam saja Daina saat ber2 dikamarmu wkwkwkw

tasuku ternyata emang awalnya ga suka sama daina yah, malah kakaknya yg suka pada pandangan pertama wkkwkwkw

Tia kerja di toko boneka kan?
Senangnya kau pasti akrab dengan kucing2an gitu -////-


Nyakakakkaka iya kak Ari cinta pandangan pertama :vvv
Sebenarnya Kak Ari itu seru orang na tapi dia tak pandai mengekspresikan diri =////=
Dan di bab ini dia belum kenal Ryo,
Kurasa dia jadi agak tak terlalu suram lagi sejak kenal Ryo deh(?)

Omong2 soal Tasuku, yah, kepribadiannya memang membuatnya mudah dicintai siapa saja, tapi jangan salah, sebenarnya jauh didalam hatinya dia merasa hampa loh....
Dia itu tipe brother complex sih, apa apa maunya kakak saja, Setidaknya sebelum ketemu Daina. -////-
 
Back
Top