~DESCENDANT OF THE DEATHMASTER~ by:DYNA

bagaimana menurut kalian novel pertama Dyna (daina) ini?


  • Total voters
    35
Ryo.


Gedung pertemuan Mercury City, Moscow.

___________________________________
_____________________________


Ari berjalan santai sekali, Sama sekali tidak kelihatan bahwa ia sebentar lagi akan mengadakan pertemuan penting dengan para kepala Negara dari seluruh penjuru dunia.
Saat ia memasuki ruang rapat dalam gedung setinggi 338 meter yang menjadi kebanggan Moskow itu,
Dihadapannya, didepan meja oval berdiri setidaknya sekitar 15 orang pemimpin Negara, pejabat penting maupun ketua organisasi besar,
Mereka semua menunggunya dengan gelisah,
Beberapa tampak berbisik bisik resah, begitu melihat Ari duduk dikursinya, keadaan menjadi senyap seketika.
Hanya ada tampang tampang penuh kecemasan bertanya tanya apa sekiranya yang hendak disampaikan oleh Sang pemimpin baru Paladin.

Ari berdehem, menyampaikan pembukaan dengan sempurna,
Sempurna menurutku, aku tidak menaruh minat pada apa yang mereka bicarakan, konsentrasiku buruk sekali soal simak-menyimak… Karena ia lancar lancar saja, baiklah, begitupun sempurna.
Sementara aku –seperti orang bodoh- duduk disampingnya sebagai perwakilan dari Guardian Paladin, Asli, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan, karena aku gugup dan biasanya kami hanya bekerja berdua saja,
Apalagi beberapa muka orang orang yang hadir disana bentuknya macam macam, aku ingin tertawa sepanjang waktu.

Tapi yang paling ingin membuatku ketawa sampai mati adalah Tampang Ari.
Sok bisnis, sial, haha
Aku tahu itu bukan wajahnya, ia mengcopy gaya bicara Boracnitchov dengan sangat sempurna.
Dan anehnya malah tidak terkesan mirip.
Ari memiliki aura berbeda, bukannya mengganggu, justru hal tersebut membuatnya unik dan disegani.
Tak heran si Tua itu memilihnya sebagai pengganti.

Ada yang berbeda dari penampilan sahabatku belakangan ini,
Ia tidak lagi mengenakan coat panjang khas prajurit Paladin.
Sebagai gantinya, kini ia mengenakan seragam militer megah yang sama seperti yang dikenakan Alexander Boracnitchov semasa hidup, disertai Cloak hitam berornamen khas kemiliteran pada bahu yang menutup bagian belakang tubuhnya, sehingga sangat tampak bahwa ia adalah seorang Jendral sekarang,
Bahkan rambut juga poninya yang biasanya agak panjang berantakan kini ia sisir kebelakang,
Sial, sial sial, aku ingin tertawa…
Belum lagi muka nge-boss itu, Bahahahah,

Bisa aku ketoilet sebentar? Aku ingin sekali tertawa!

Ya ya, Aku bangga padanya.
Melihatnya seperti ini, mau nangis rasanya, Kami sudah bersahabat lama sekali, dan melihat ia sudah mencapai tingkat seperti sekarang, yah…
Aku paham perasaanmu, Ibu…
Aku mengulum senyum berusaha agar tidak terbahak ditengah suasana serius begini.

“Jadi, apa kalian setuju?” Ari berdiri seraya mencondongkan tubuh kedepan, kedua tangannya bertumpu diatas meja, meminta kepastian.

Terdengar bisik bisik super berisik dari seluruh ruangan, bergema hingga kelangit langit.
Telingaku geli, sambil garuk garuk kuping aku melanjutkan tontonanku.

Salah seorang lelaki yang usianya kutaksir mendekati akhir 50-an berkepala botak mengangkat tangannya, “Maaf, Gabriel,”

“Silakan, Mr. Sanchez,” Jawab Ari tenang.

“Ku-kupikir… apa rencanamu itu tidak terlalu…”

“Merepotkan?” Selidik Ari tersenyum, “Aku tidak memaksa, kubilang, bagi yang ingin ikut saja, Semua yang menginginkan keselamatan, saat ini itulah prioritas terbesar kita.”

“Tapi… kau tahu.. Keadaan Negara kami sekarang…”
“Anak anak kita akan banyak mengalami masalah kelaparan,”
“Jika kita hanya fokus untuk membangun sesuatu sebesar itu, bagaimana urusan negara yang lain? Dan lagi, bagaimana mungkin bisa selesai hanya dalam waktu beberapa bulan?”

“Aku tidak bilang kita akan melakukannya dengan tangan kosong,” Ari melipat kedua tangannya didada, “Aku sudah bicara pada Sekjen PBB, semua Negara akan bekerja sama, tidak hanya satu atau dua, ini proyek yang dikerjakan secara massal,” Ia mengetukkan buku buku jarinya didepan meja, “Juga pertaruhan, kita akan menyuntikkan seluruh kekayaan kita dalam rencana ini,”

Kembali suasana ricuh.

“Tenang semuanya, tenang,” Ari mengangkat tangannya. “Semuanya tahu kita harus berkorban, kita tidak akan mendapat sesuatu tanpa merelakan sesuatu,”

“Aku menawarkan makanan, perlindungan, juga jaminan keselamatan bagi kalian mau mengikuti rencana ini, Jadi kutanya sekali lagi, siapa yang mau ikut?”

Hening, mata mata tanpa rasa percaya itu…

“Kita tidak berperang sendiri, kita berperang bersama bukan? Tidak hanya Negara kalian yang sedang terdesak dalam keadaan darurat seperti sekarang ini.”

Lalu seseorang yang duduk paling pojok dan kukenali sebagai presiden AS, Gerald Logan, pertama kali berdiri,
Menyesal sekali karena sejak Washington DC yang terkenal memiliki sistim keaman terkuat setelah Moskow berhasil ditembus dalam Invansi beberapa waktu lalu, ia harus memindahkan lokasi pusat pemerintahannya.
Dengan penuh itikad baik ia menjabat tangan sahabatku, pertanda menerima tawaran kami,

“Terima kasih banyak,”

“Kami mempercayaimu, apapun yang terjadi,” Orang nomor satu di AS itu tersenyum ramah,
Ari mengalihkan pandangan kearah kursi kursi yang lain, semula wajah mereka semua kelihatan cemas dan ragu ragu, "Tidak ada yang dipaksakan, tapi bantuan maksimal diberikan kepada negara yang bersedia melakukan aliansi,
Diluar itu, Kami tidak bertanggung jawab menjamin apapun,"

Semula muncul ekspresi keragu raguan, kemudian sunyi,
Lalu satu persatu bangkit dari kursinya, berdiri dan menyatakan dukungan mereka.

Tidak bisa kujelaskan betapa bangganya wajah sahabatku saat ini, lega, bahagia, tenang.
Pun demikian, masih dipenuhi oleh kharisma-nya.

Aku harus meminta penjelasan nanti.

-
-
-
-
-

“Tidak usah mengawalku,” Ari berpesan pada prajurit dibelakang kami, mereka memepet seperti bodyguard, Kurasa sama sepertiku, Ari sendiripun juga merasa tidak nyaman,
Kami memasuki Lift berdua saja,

Begitu pintu lift tertutup, Ari tersandar lemas didinding.
Menghancurkan Imej keren-cool-kharismatik yang baru saja ia tampilkan.
Aku sampai melongo tak percaya.

“Hoy!” Teriakku, “Kemana larinya sobatku yang keren tadi?”

“Brengsek kau,” Ari memaki, “Panas, gugup, aku ingin mati.” Tergesa gesa ia melonggarkan kancing bagian leher,

Tanpa menyia nyiakan kesempatan, aku langsung menertawainya sekuat yang aku bisa.

“Nanti kau juga terbiasa,” Sikutku, Ari meredam amarahnya sendiri, aku tahu ia sebal.

“Suatu saat aku akan membuatmu merasakannya juga,” geramnya, “Aku bersumpah.”

“Tidak terima kasih,” Tolakku, “Susah payah bilang supaya jangan dikawal seperti tadi, astaga, apa mereka juga mengelap bokongmu saat kau buang air besar?”

“Tutup mulutmu,”

Aku tertawa lagi, “Ngomong ngomong, apasih yang sedang kau bicarakan tadi?” Tanyaku penasaran, “Jelaskan padaku sekali lagi, -Ngerti kan aku tak pandai mikir- Rencana apa yang kau tawarkan pada mereka semua?”

Ari menghela nafas.

“Rencana pembangunan 57 basis dibawah tanah, tersebar keseluruh penjuru dunia, Sekaligus tempat pertahanan terakhir melawan kiamat yang akan segera terjadi.”

Aku melongo lagi.

“Ma-maksudmu yang seperti Krasnoyarsk-26 kita?!”
Tentu saja semua tahu tentang Krasnoyarsk-26 kami, kota megah yang semula digunakan sebagai pusat reaktor nuklir yang berada sekitar 200-250m dibawah tanah.
Luasnya jangan ditanya, Hahah.
Kami menggunakan 17km2 untuk produksi, cuma hal ini yang tidak berubah sementara sisanya saat pertama kali dibuka dan beroperasi pada tahun 1958 atau sekitar satu sengah abad yang lalu hanya seluas 131km2,
Guess what? dan sekarang ukurannya membengkak menjadi 1.990.34km2 hanya untuk sanitasi dan perlindungan, semua dalam system multilevel terowongan bawah tanah didalam gunung, segalanya tersedia disana meliputi persediaan air bersih maupun ventilasi udara, terbayangkan?
Yeah, gila memang, dan ia bilang ingin membuat sebanyak mungkin yang seperti itu?

“Tepat sekali,” sahut Ari muram.

Aku terperangah, “Kau gila, Boracnitchov saja belum tentu mau mengambil keputusan sebesar itu, maksudku… tak semua Negara memiliki kapasitas baik wilayah maupun dana untuk membangun yang sebesar itu,
Krasnoyarsk.. well… uhh…”

“Aku tahu,”

Kukepalkan tanganku, apa tujuan Ari?
“Realistislah, Ar, membangun peradaban baru, memfasilitasi seluruh manusia dimuka bumi ini sekaligus… astaga, kau ini baru bangun tidur atau apa?
Dan lagi.. mereka… Kau sudah lihat kan pengungsi di Ghana, Semenanjung Malaysia, lalu di China… Mereka Negara miskin sejak Invasi memblokir sebagian besar wilayah mereka, Untuk mengisi perut saja mereka sudah kesusahan, apalagi memikirkan hal seperti ini, pikirkanlah dampaknya.”

“Sudah kupikirkan,
Kenyataannya, yang memiliki Shelter atau tempat berlindung dibawah tanah bukan hanya Rusia saja, meskipun kita terkenal memiliki kota terlarang yang besarnya hampir mencapai satu buah Negara,bagaimanapun Krasnoyarsk sangat besar, tetap saja, apa yang kita bangun saat ini bahkan tidak cukup untuk menampung semua penduduk dinegara kita sendiri,
Apalagi ingin menolong mereka diluar sana?
Ini tidak adil, perang yang lebih besar akan segera meletus, kita harus menyiapkan lebih dari sekedar senjata yang cukup untuk menampung orang orang yang tidak bisa bertarung.
Mungkin rencana ini tidak sepenuhnya bagus karena hanya akan menyusahkan banyak orang, tapi ini jauh lebih baik daripada bergelut dengan kepunahan ras.”

Aku mendengarkan Ari dengan serius sekarang.

“Memang benar akibatnya juga sama besarnya, tapi aku sudah memperhitungkan itu, masalah dana, aku akan membuat mereka saling bantu, kita tidak hanya akan membuat Shelter dibawah tanah tapi juga terowongan yang bisa menjadi sambungan antar Negara, semacam jalur rahasia, tentu saja kita akan mengawasinya dengan ketat sehingga tidak ada secuil viruspun bisa lolos, sama seperti krasnoyarsk, Kita hanya akan membuat beberapa kota dibawah tanah, dalam skala banyak serta lebih besar.”

“Entah apakah kau bisa membuatnya meskipun kau mengumpulkan seluruh uang yang ada dimuka bumi ini…” Aku menggeleng, “Gila, ini sangat gila… Ar, aku tidak percaya kau melakukannya,” Tadi saja ia mendapat banyak tekanan seperti itu.
Berani sekali, aku bergidik.
Alih-alih tertekan, ia malah balik menekan mereka, menjanjikan perlindungan dan keselamatan segala, mirip taktik salesman murahan ‘Beli sekarang atau kehabisan’ tapi dengan kemasan jauh lebih mewah.
Ia menancapkan kuku besinya lebih kuat daripada yang kukira.

Ari mengangguk, “Harus bisa,”

Baru saja kami keluar dari Lift, Monroe sudah menghadang kami.
“Yo Jendral,” Sapanya ramah, ia menyerahkan beberapa lembar kertas ketangan Ari, “Aku sudah membuat Prototype seperti yang kau minta, sebentar lagi mungkin akan selesai,”

“Terima kasih Monroe,” Sahut Ari seraya membolak balik kertasnya, “Ini sempurna,”

“Apasih itu?” Aku melirik lirik penasaran, cukup kaget karena mendapati bahwa angka angka dan skema menyebar dimataku membuatku pusing.

“Ini robot,” Monroe menjelaskan, “Kita butuh banyak untuk apa yang akan segera kita lakukan,”

“Wow,” Desisku, “Kau menggunakan full-teknologi untuk pengerjaannya?”

“Valhalla,” Ari tersenyum, menyebut nama proyeknya, “Robot robot ini sangat efisien, mereka mampu melakukan pekerjaan mereka 40x lebih cepat, juga tidak beresiko karena kita hanya perlu memantau mereka dari jauh, Tidak ada gaji, upah, protes, atau apapun,”

“Dan sumber energinya?” tanyaku lagi, sial aku masih belum bisa memikirkan dengan sungguh sungguh, lemot sekali, haha…

Baik Ari maupun Monroe menatapku sumringah,


“Kita punya Nuklir, sejak dahulu kala Rusia adalah penghasil senjata serta teknologi militer tanpa tanding, saatnya energi tak terbatas pembawa kehancuran itu berguna demi kepentingan orang banyak.”

Aku mengerjap ngerjap.
Oke, oke.
Jadi dia sungguh sungguh akan melakukannya.
Nuklir, musuh umat manusia terbesar selain Undead, sebelum Virus ini menimbulkan kegemparan, perang dan penindasan hak asasi manusia terbesar seringkali terjadi karena teknologi jahanam itu.
Rusia memiliki reaktor nuklir raksasa yang tak terhitung jumlahnya, Dan dinegara ini Paladin adalah Hukum,
Tapi tetap saja, kami sendiri sangat berhati hati memanfaatkan energi berbahaya itu selama ini, keadaan sudah kacau, setolol apa ingin mengacaukan lagi?

Kacau, Dan…
Ari ingin menggunakannya demi kepentingan orang banyak?

Jika ditangan adiknya Virus itu adalah Anugrah.
Ditangannya, senjata pemusnah massal mungkin saja bisa menjadi sesuatu yang bersifat melindungi.

Diktaktor sempurna tapi orangnya sendiri tidak tahu.
Betapa miripnya pola pikir mereka.
Aku jadi merinding.


+++
 
adek kakak pemikirannya sama-sama Gila dan diluar Perkiraan wakakakaka
ruang bawah tanah ya? kaya semut yang bikin sarang dibawah tanah aja =w="
aku berharap Daina pusing karena HAMIL (?)
 
Daina.


_________________________
___________________



“Ini,” Tasuku membantu menyuapkan sesendok bubur itu kedalam mulutku, berusaha membuatku menelan makanan dan meminum obatku.
Sudah berhari hari seperti ini,
Ia menemaniku jauh lebih banyak daripada biasanya, Aku benci ia melakukan ini karena aku tiba tiba jatuh sakit, terkadang ia lembut, terkadang ia kasar...


Aku tidak bisa mengatakan bahwa aku sudah tidak marah lagi padanya,
Jika ditanya apakah aku tertekan, tentu saja aku tertekan.
Ingin berteriak, marah.
Melampiaskan rasa ketidaksetujuanku padanya.

Bisa bisanya ia, bicara tentang menghancurkan dunia ini… membunuh kakak… dengan tenang begitu…
Bodohkah jika aku bermimpi?
Aku selalu berharap ia mau mengubah sudut pandangnya.
Bukan mendukungnya melakukan hal hal diluar akal sehat.

Dia tidak minta maaf, bahkan berpura pura tidak tahu,
tapi aku sadar ia sedang mencoba berbaikan, jadi begitulah, hubungan kami sudah jadi seperti biasa lagi.
Kuremas ujung selimut tebal yang menutupi tubuhku dari batas perut hingga mata kaki,
Ia ingin berbaikan, sudah jelas.
Orang yang saling mencintai memang tidak butuh kata kata untuk saling menyampaikan maksud hati mereka,

Tasuku membetulkan letak bantal dikepalaku, aku mengucapkan terima kasih,
Dan dia hanya tersenyum tipis menyambutku.
Suamiku menyentuh pipiku bangga,
Jika dulu disentuh seperti ini, aku akan sangat senang, sentuhannya adalah hal hal yang paling kutunggu tunggu melebihi apapun,
Karena ia dokter dan selalu mengurung diri diruang penelitian, dan aku sebagai asisten sibuk mencatat hal hal yang disuruhnya, kami tidak setiap hari bisa bicara,
Tapi beginilah cara kami berkomunikasi, Dulu sekali, Tasuku selalu menghampiriku yang sedang menuliskan data penelitiannya, lalu ia menepuk pipiku tanpa bicara apapun, sehingga rasanya entah sejak kapan, tidak perlu lagi bahasa mesra untuk mengekspresikan kekaguman serta rasa cinta kami satu sama lain.

Aku tertawa, kalau membayangkan masa masa dulu, hari seperti ini serasa mimpi,
Tidak perlu kata kata cinta, tidak perlu janji janji, tidak usah memperhatikanku secara berlebihanpun tak apa, kedengarannya aku munafik sekali ya?
Tapi tanpa itu semuapun, Ia telah membuatku jadi pengantin wanita paling bahagia diseluruh dunia, kurang apa lagi?


“Daina…” Panggilnya, Aku menoleh tidak mengerti,

“Maaf…”

Heee?
Aku terkejut, melotot kearahnya,
Ia sampai saat ini tidak pernah mengatakan satu katapun tentang permintaan maaf, mengapa tiba tiba?!

Aku harus bagaimana?
Senang? Sedih?
Kebaikannya, apapun itu, pastilah hanya sementara…
Hati kecilku tidak ingin mempercayai bahwa sekecil itu saja arti keberadaanku baginya, entah keyakinan dari mana, mengingatnya tetap saja membuatku terusik.

Tasuku menunduk, “Aku belakangan ini memikirkannya,”
Ia diam sejenak, meletakkan mangkok yang isinya hanya tinggal sedikit diatas meja, seperti ragu untuk mengambil keputusan apakah ia harus bicara atau tidak.
Sejurus kemudian, tanganku yang semula kuletakkan diatas pangkuan digeser lembut.

Ia memelukku, meletakkan kepalanya didepan perutku,
Bermanja dengan sayangnya, posisinya santai, bahkan tidak pernah sesantai ini sebelumnya.
tangannya yang dingin menggenggamku erat,
Membuatku takut, tapi juga pasrah.

“Diam,” Ia menghentikanku saat aku ingin membuka mulutku, bahkan ia sama sekali tidak melihat, seakan ia punya sepasang mata tambahan diatas jidatnya.
Betapa seenaknya, ia tahu aku mencintainya seperti ini…
Jangankan hanya dipeluk, dimakanpun aku tidak akan menolak.
Dan dia menikmati bermain-main dengan perasaanku…?
Oh, sekarang ia kembali bicara, “Aku pastilah sudah menyusahkanmu selama ini, aku…” Ia terhenti sejenak, biasanya Tasuku sangat pandai bicara, meskipun demikian, kali ini nyata sekali ia kesusahan dalam memilih kata kata.
“Aku tidak berjanji apa apa… tapi… aku tidak akan membuatmu sedih lagi, mulai sekarang,”

Aku tidak bisa menipu diriku sendiri, aku bahagia.
Ia lagi lagi membuatku bahagia,
Tapi bukankah selama ini selalu begitu?

“Jangan sampai… dua menit lagi berubah ya?” Pintaku curiga, Tasuku menengok inosen kearahku , “Biasanya kau begitu, baiknya sebentar saja, lalu membentakku, lalu marah marah,” Aku mengangkat bahu, “Kau begitupun aku tidak bisa berhenti mencintaimu, padahal” tambahku,

Tasuku memandang sendu, “Aku seperti itu ya?”

“Iya! Kau tidak tahu betapa kasarnya sikapmu padaku? Kau…”

Tasuku menaikkan tubuhnya keatas ranjang, ia sudah cukup membuatku kaget hari ini bahkan sejak ia datang.
Apa dia menelan sesuatu yang salah?
Tidak hanya ikut masuk begitu saja kedalam selimut, , ia bahkan merengkuhku kedalam pelukannya,

“Aku apa?” Godanya sekali lagi, aku ingin protes sekuatnya, tapi dalam keadaan seperti ini, sepatah katapun mustahil keluar, “Apa tadi?”

Vampir bodoh…’ Aku tertawa dalam hati, aku mencintainya, jahat!

“Bisa kau ulangi sekali lagi?” Ia bertanya sambil mendekatkan wajah kearahku, nafasnya yang dingin menerpaku, aku yakin ia bisa saja tidak bernafas sama sekali, tapi sekali ini, entah mengapa ia berusaha tampil ‘sehidup’ mungkin…
Tidak bisa dipercaya, aku tetap mencintainya, tetap menggilainya setelah semua ini.

“Lupakanlah!” Seruku, “Kau sudah berjanji, itu yang penting,” Aku langsung menyembunyikan wajahku didadanya, rumahku, tempatku pulang…
Tasuku memelukku semakin erat, kurasakan ubun ubunku diciumi.
Sesaat kukira waktu berputar kembali.
Mundur ke masa masa bahagia kami...


Yang berbeda sekarang hanyalah betapa dingin sentuhan yang membelaiku…



++++
 
Last edited:
Tapi beginilah cara kami berkomunikasi, Dulu sekali, Tasuku selalu menghampiriku yang sedang menuliskan data penelitiannya, lalu ia menepuk pipiku tanpa bicara apapun, sehingga rasanya entah sejak kapan, tidak perlu lagi bahasa mesra untuk mengekspresikan kekaguman serta rasa cinta kami satu sama lain.

pakai bahasa tubuh... senangnyaaaaa
 
Mikia.



_____________________________
_________________________




“Garing, ya,” Sahut lelaki berambut hitam disampingku sambil menghembuskan asap rokoknya, Aku berpegangan erat pada susuran pagar balkon tempat kami berbincang, Menetralkan perasaanku, sesekali melihat lihat kearah belakang,

“Dia kusuruh pergi untuk misi selama 2 hari,” Ari berkata seperti menjawab semua pertanyaan dibenakku, “Sesukamu saja,”
Aku menarik nafas legas sebelum mengumpulkan emosi dalam dadaku.

“Aku tidak mengerti kenapa ia melakukannya!” Teriakku, mungkin saja kedengaran hingga 60 lantai kebawah, “Ryo bodoh!”

Ari memandangpun tidak.

“Kasihan,” Ia bergumam.

“Makanya!” Bentakku, “Harusnya aku jatuh cinta padamu saja, ya kan! Sial, kenapa aku tidak jatuh cinta padamu saja, sih?! Kurasa kau jauh lebih baik sebagai laki laki.”



Kali ini giliran Ari mendelik kearahku.

“Tidak lucu,”

Aku tertawa hambar, “Sadis, Sebegitu jeleknya kah daya tarikku sebagai perempuan?”

Ari menghela nafas, “Jangan meremehkan diri sendiri,” ia mengingatkan, “Jika kau tidak bisa berhenti meremehkan dirimu sendiri, orang lain juga tidak akan berhenti meremehkanmu.” Ia mematikan rokoknya dan melemparkan kedalam bak sampah tak jauh dari tempat kami berdiri.
Pandangannya lurus kedepan, sejajar dengan langit.

Dia jendral sekarang yah, aku lupa…
Tapi ia tidak sedikitpun menampakkan perlakuan yang berbeda, ia tetap Ari yang sama, jika kami semua merasa senang dipimpin olehnya, itu bisa dipastikan bukan karena pangkat maupun derajatnya.
Ari memiliki aura seorang pemimpin sejati,
Dan tidak hanya itu, sebagai seorang laki laki dewasa daya tariknya sempurna,
Tinggi tegap 186cm dengan tubuh terbentuk sempurna, ia memiliki tatapan mata tajam yang terasa mampu menembus.
Juga sepasang tangan kuat yang lebih dari mampu untuk melindungi.
Pembawaannya tenang, kharismatik, suaranya yang berat juga sangat seksi.
Dan yang paling menarik adalah bagaimana dari luar ia kelihatan dingin membeku padahal sebenarnya ia sangat hangat.



Sungguh beruntung wanita yang memiliki hatinya.



“Kau jadi seperti Ryo, senang bicara yang tidak perlu,” Ia menggeleng kesal, aku tertawa, Ryo juga sering bilang ‘Seandainya Ari perempuan aku akan menikahinya.’ Mendadak perutku sakit karena rasa geli yang menggelitik.

“Apa sih yang kau sukai dari Daina?” Tanyaku tiba tiba.


Wah, Ari terlihat kaget sekali.

“Potong gaji,” Candanya, mendadak aku meninju bahunya,

“Oh ayolah, Jendral!” Aku menggebuk punggungnya berkali kali, “Tidak adil, aku sering curhat padamu, tapi aku tidak pernah mendengarmu curhat,”


“… Aku tidak perlu,” Tolak Ari tegas.


“Kalau aku, ” Tanpa bisa dilarang, aku bicara sesuka hati, “Suka Daina karena dia lembut, manis, girly, juga cengeng sekali, apalagi, yah…” Kulirik Ari, kelihatannya diam saja tanpa respon.
“Juga tidak mudah menyerah! Dan… apalagi, apalagi,” Aku menarik narik ujung bibirku sambil berpikir, “Oh yah, Dan dia mungil juga, Lalu lalu… Aaaaa Lalu apalagi…”

“Ceroboh, sudah tahu lemah tapi sok kuat, cerewet super ngotot, tidak takut menderita menempuh resiko, bangga hidup melawan arus, Semakin tidak diterima semakin ia datang, semakin dilarang akan semakin dilakukannya,”

Aku terdiam, Ari tersenyum, ia tidak menatapku.

“Dia penuh rasa ingin tahu tapi tidak punya ide bagaimana cara mempertahankan diri sendiri sedikitpun, mudah sobek, mudah terjamah, kalau sudah akrab dengannya dia akan membuntutimu seperti parasit, tapi anehnya, semakin kau berpikir dia orang yang merepotkan, semakin kau ingin melindunginya…”

Lalu sebentar setelah itu, Ari seperti tersadar dari hipnotis, ia kembali diam, membuang muka.



Hening.




“…Wow…” Desisku, sungguh luar biasa, ia mengenal Daina sampai seperti itu, ah, aku jadi tidak tahu aku harus bilang apa... “Berarti aku Dan Ryo bukan kandidat utama pengantinmu yah,”


Reaksi Jendral seperti yang kuduga, salah tingkah.
Aku senyum senyum sendiri melihatnya sibuk mencari sudut yang pas supaya wajahnya yang gugup itu tidak kelihatan.
“Sudah kubilang tidak lucu, Ryo akan pulang malam ini,” Beritahunya padaku, “Selesaikan masalahmu, sudah saatnya,” Ari berkata sambil menyalakan sebatang rokok lagi,

Aku menunduk, “Bisa tidak yah?”

“Harus, Kesalahpahaman diantara kalian harus secepatnya dibicarakan,”

Aku mengerinyitkan alis mendengar kata kata Ari, kesalahpahaman?

-
-
-
-
-

Kusapukan pandanganku kesekeliling ruangan minimalis berwarna putih itu,
Ryo suka interior begini yah, tidak banyak kontras,
Tapi pasti ia jarang pulang dan lebih banyak menghabiskan waktu bersama Ari, pasangan workaholic itu…
Lamunanku terbang kemana mana saat telapak tanganku bersentuhan dengan sofa minimalis berbahan lembut itu,
Berarti ia sering berada ditempat ini.
Duduk diatas sofa ini, tidur dikamar itu, atau mungkin berguling guling dilantai sambil nonton tv?
Sudah berapa kali aku membayangkan berada diruangan milik Ryo?

Suara pintu dibuka menyadarkanku,
Aku berbalik untuk melihat bahwa Ryo baru saja masuk dan menggantung coatnya pada dinding,
Ia tersenyum, aku membuka mulutku untuk bicara tapi sebelum satu kata keluar dari mulutku, orang gila itu sudah berjalan dengan cueknya melewatiku begitu saja,
Mulutku menganga tidak percaya,


“Aku belum jadi hantu kan?” tanyaku, Ryo melangkah gontai membiarkan pintu kamarnya terbuka begitu saja, ia duduk diatas ranjangnya, melepaskan kaus kaki serta merenggangkan kancing kancing kemejanya dengan santai sekali.

Kepalaku memanas karena marah.

“Kau dengar tidak?” Cecarku mengikutinya, berkacak pinggang didepannya sambil melempar pandangan sebal, Ryo terlihat lelah memandangku dengan ekspresi tanpa dosa,

“Apanya?” Ia bertanya bego.

Aku melemparkan kunci ditanganku keatas tempat tidurnya.

“Kukembalikan,” Ketusku, “Aku tidak butuh belas kasihanmu,”

Ryo tambah semangat memasang wajah sok suci itu, “Belas kasihan apa? Kau ngomong apasih?”

Oke, sepertinya aku yang capek sekarang,
Capek sekali ngomong sama orang begini, Bilang saja kalau mengasihaniku, aku tinggal sendirian, aku masih dalam masa berkabung, menawarkan menjadi roommate segala, Apakah aku sudah se-desperate itu hidup sampai sampai ia harus memaksakan dirinya menyukaiku?

Katakan, Mikia, kalau tidak sekarang, kapan lagi.

“Sebut saja,” Ujarku tegas, “Aku mendengarkan,”

“Hah?”

“Tolak saja!” Teriakku tidak sabaran, “Jangan terus digantung seperti ini, Aku juga tahu diri, dan aku punya harga matiku sendiri,”

Ryo terdiam, tik tik tik tik tik suara jam berbunyi.
Mau mati rasanya, aku hampir meninjunya karena kesal.
Aku seperti… seperti perempuan yang rendah sekali, menggunakan kesedihan sebagai cara untuk memaksanya menerimaku, itu bukan aku.
Dan aku benci itu.

Detik demi detik berlalu, kuberanikan diri mengangkat wajahku, mendapati bahwa saat ini Ryo sedang duduk manis dengan tangan menyangga dagunya, memandangiku penuh senyum mengembang.

Panas yang asing membakarku sekali lagi.

“Sini,” Ryo menepuk nepuk sisi sebelahnya, mengisyaratkanku untuk duduk, refleks aku mundur beberapa langkah.

“Kau takut padaku?” Ia bangkit berdiri, melangkah kearahku, membuatku semakin terdesak kebelakang,

“Kau mengalihkan pembicaraan,” Aku mengingatkan,

“Ingin bertengkar yah?”

“Mau mengajakku? Boleh,”

“Mentang mentang aku diam saja, kau mengartikan seenaknya,” Ryo mendekat semakin intens,

“Aku serius, aku akan membunuhmu kalau kau maju selangkah saja,” Aku mengepalkan tinjuku kearahnya.

“Menakutkan, ayo saling bunuh,”

Crap, punggungku telah menyentuh dinding beton bercat warna krem itu.
Ryo menyeringai penuh kemenangan.

“Pertama,” Ia tidak maju lagi, berdiri dalam jarak tidak jauh dariku, bersandar pada meja tulis, “Aku senang sekali ketika aku pulang kerumah, aku mendapatimu menungguku disini,”

“Dan kedua,” Ia melanjutkan, “Kapan aku pernah bilang aku menolakmu?”

Kakiku mendingin,

“Kau tidak ramah, Mikia,” Ia memandangiku, sorot matanya menuntut.

Salah, pasti ada yang salah!
Aku mengumpulkan seluruh kekuatanku, maju kedepannya dan menggebrak meja tidak mau kalah, “Tapi kau tidak pernah sekalipun..!”

Sentuhan itu begitu cepat, Ia menempelkan bibirnya pada bibirku,
Kasar, aku tidak menikmatinya sama sekali.
Aku-tidak-menikmatinya.
Rasanya seperti tersengat listrik.

"Lepas, kau menjijikkan," Dorongku,

"Kukira kau menginginkannya," Katanya inosen,

"Yang seperti ini, aku sama sekali tidak menikmatinya, apalagi darimu,"

"Oh yaaa?" Bukannya melepaskan, si bodoh itu menciumku lagi, lagi, dan lagi.

Aku memberontak sekuat tenaga, "Sudah kubilang aku tidak bakal... mmm!"
Aku tidak suka! Jangan jatuh! Jangan jatuh!
Jangan ka...lah...

Satu, dua, tiga,

Hup, Ryo menahan tubuhku yang melemas dipelukannya.

"A…a…apa…" Aku berpegangan pada lengan Ryo, mengambil nafas.

Sementara Ryo tidak mengejekku lagi, ia malah berkeluh kesah, berbisik ditelingaku, “Kalau aku tidak suka padamu, untuk apa aku memintamu hidup bersama?”

“Tapi kau belum mengatakan kau menyukaiku, tidak satu kalipun,” Aku menarik baju bagian lengannya, “Lepaskan, aku bisa sendiri,” tegasku mencoba berjalan,
Baru saja aku ingin menggerakkan kakiku, sudah lunglai lagi seperti habis kena pukul.
Ryo memegangiku dengan sigap.
Ia mendengus seperti orang yang tidak punya pilihan lain.

“Kenapa kau tidak pernah menurut padaku? Keras kepala,”

“Aku hanya ingin kau mengatakannya.”

Kali ini aku memandangnya, protes yang nyata sekali kutujukan pada lelaki dihadapanku,

“Aku tidak bisa mengatakannya, aku bukan tipe laki laki seperti itu…” Ia memelukku, pelukan yang kuduga hanya akal akalannya untuk menyembunyikan rasa bersalahnya saat ini.

“Katakan sekarang,” Desakku, “Apa kau mencintaiku?”

Ryo menatap kesal, ia tidak bicara lagi melainkan membopongku keatas tempat tidur,
Aku menurut karena kakiku kesemutan entah karena apa.
Ryo sialan, itukan hanya ciuman…
Dan mengapa aku lemas begini... tidak, aku tidak menikmatinya!
Tidak bagus, jantungku tidak mau bekerja sama.

“Dengar,” Ia mengusap puncak kepalaku, “Kau tidak perlu memaksakan diri untuk tinggal disini jika kau tidak mau…”

Aku menegakkan kepalaku,

“Aku capek, aku mandi dulu,”

Gerakan Ryo terhenti, aku menarik kemejanya, ia berpaling melihatku dan matanya dipenuhi pertanyaan.
Tampak ragu,

Lalu ia menyerangku.


Sesaat dunia seperti berputar dalam satu gerakan lambat.
Meraihku kedalam dekapannya, mendorong dan menindihku begitu saja.
Ia menciumku lebih kasar dari yang apa yang baru saja ia lakukan,
Tapi kali ini aku malah merentangkan tanganku, balas memeluk dan menguncinya.

“Apa kau yakin? Aku tidak akan membiarkanmu keluar satu jari kakipun dari tempat ini jika kau sudah jadi milikku,” Ia terengah, menghentikan ciumannya, menatapiku gundah.
Aku tidak menjawab, bahasa tubuhku memberikan petunjuk aku menginginkannya lebih dari yang ia tahu.
Ryo mengerang, “Oh sial,” makinya membuatku ingin tertawa, dan tawa itu batal begitu ia meneruskan kalimatnya, “Aku mencintaimu,”

Tulang tulangku seperti diloloskan rasanya.
Tenggelam dalam sukacita yang aku sendiri tidak pernah tahu akan begitu menyenangkan rasanya.

Kami bertukar pandang, Ryo tersenyum pahit mengakui kekalahan, membuatku gemas ingin segera menciumnya lagi.
Tu, tunggu! Sekarang kenapa malah aku yang mau?
Memalukan sekali!

Bodoh, Aku memajukan wajahku, ia menghindarinya dan menggigit telingaku mengajak bercanda.
Kemudian kembali memelukku erat.

"Aku sudah lama sekali ingin seperti ini denganmu,"

"Kau bau," sahutku memencet hidung.

"Bisa tidak manis sedikit?" Protes Ryo mendelik, "Katanya orang yang jatuh cinta segalanya terlihat bagus, tidak ada jelek jelek sama sekali,"

"Memangnya siapa yang mencintaimu?" Tanyaku menggoda.
Lagi lagi lelaki disampingku mendelik tidak senang.

“Aku memang belum mandi… gara gara kau,” Ia tergelak mengalah, aku ikut tertawa, tanganku mendekap punggungnya semakin erat,

"Mikia, kumohon, pindahlah kesini, tinggallah bersamaku," pintanya sekali lagi.
Aku memutar bola mata berlagak seperti sedang berpikir.


"Yahhh, kalau kau memaksa..." jawabku bergaya, membuat Ryo menarik ujung hidungku gemas, dan tiba tiba aku teringat sesuatu, “Harusnya aku… Menyiapkan air mandimu, yah?”

Betapa kagetnya aku melihat Ryo terperangah.

"Ya, mulai saat ini begitu kan? Aku tidak janji akan selalu ada dirumah, tapi kalau aku kebetulan ada, aku pasti akan mengurusmu sebisaku,"

"Aku tidak pernah diurus siapa siapa," tukasnya nyengir, "Kurasa sentuhan wanita tidaklah buruk, Beritahu aku kalau air mandinya sudah,” Ia menyingkir dariku, rebahan dalam posisi tengkurap sambil menyelusupkan kepalanya diantara bantal.
Apa dia senang?
Tapi dia... tidak ngomong apa apa?
Ah, seenaknya saja.

Laki laki ini…
Aku menghela nafas kesal.
Apa apaan, tidak imut, tidak romantis, bagian mananya yang asyik,
Kemudian aku menyentuh bibirku sendiri, Aku menunggu urat pada sendi sendiku pulih sebelum memutuskan untuk berjalan.

“Terbiasa… terbiasa…” Gumamku, merebahkan kepalaku bersandar dipunggung Ryo, yang secara mengejutkan kudapati sangat empuk.
Wah, Aku tidak tahu sisi dirinya yang ini.

Inilah laki laki yang kucintai, tidak bisa berharap banyak kalau begitu,
Dia tidak imut, tidak romantis, tidak peka, kurang ajar,




Dan sebagai bantal dia sempurna.





++++
 
Last edited:
Tasuku.


__________________________
____________________




“Sampai kapan kau mau begitu, My Lord?” Ucap Stast pendek, ketika ia lagi-lagi mendapati aku sedang menusukkan selang-selang transfusi pada tubuhku, aku memilih diam sejenak, menikmati asupan energi yang mengalir dan kudapat dengan cara yang tidak seperti biasanya itu.

“Kau menyedihkan,” Stast memberikan komentar kedua-nya. “Kau pikir kau bisa bertahan berapa lama dengan cara ini?!”

“Aku hanya mencoba,” jawabku bertekad, apapun yang kulakukan, toh Stast atau siapapun tidak akan bisa menghentikanku, aku tidak akan melakukan kekejian itu lagi sementara, tidak selama Daina berada disekitarku,
Ia akan menemukannya, ia akan sadar.
Daina memiliki firasat halus yang amat tajam.
Mencoba semanusia mungkin pada saat aku berada didekatnya? Menggelikan memang…
Stast yang cerdas tentu memahami hal itu, ia hanya merasa tujuan kami sedikit tertunda, dan akupun merasakan hal yang sama, tapi siapa peduli?!

“Kau tidak harus membantuku,” Ucapku pada Stast, Undead yang selama ini menjadi sahabat bagiku itu mengerinyitkan alis, menatapiku nanar.
Stast terdiam beberapa saat, lalu ia mengeluh pelan,

“Pertaruhan yang beresiko, kau bisa terbunuh kapan saja jika Paladin atau Aryanov Gabriel menemukan kita, kau tahu…”

“Aku bisa melindungi diriku sendiri,” komentarku sekenanya.
Oh yah, benar, aku bahkan sudah tidak peduli lagi, betapa buruknya hal itu.
Aku diam saja, menunggu detik detik Stast menyerangku, seranglah, tidak apa,
Seranglah sekarang, seruku dalam hati.
Biarkan aku tahu hatimu…

“Asupan energi ini tidak benar,” Jemari ramping Stast menyentuh selang selang yang tersambung langsung kedalam pembuluhku. “Kau harus membuat formula yang sesuai supaya kesegarannya bertahan lebih lama, transfusi tidak sama dengan mengdapatkannya langsung dari tubuh yang masih hidup, darah mati tidak memberimu kekuatan seperti yang kau inginkan,”


Aku terdiam tak percaya,

“Aku akan mengurung diri didalam lab-ku,” Ia berkata pelan, “Mencari tahu apakah ada cara bertahan hidup seperti ini,” Ia melirik kearahku, tapi tidak sedikitpun terdengar nada merendahkan pada suaranya, “Berhati-hatilah, My Lord… sementara ini kau tidak sekuat kau seharusnya…”

Mengutuk, aku tersenyum lemah tanda terima kasih padanya.
Vampir tua itu… Aku tidak mengerti apa yang ada didalam pikiran Stast, tapi lagi lagi ia tidak bertanya,
Ia bahkan tidak menentangku.
Ia berlalu begitu saja, meninggalkan jejak kegelapan serta suara pintu berderit menutup.

Menggerutu, kurasakan aliran kekuatanku tidak keluar,
Stast benar, ia sendiri pastilah sudah berkali kali mencobanya,
Darah, tidak seperti cairan lainnya, kena angin saja rasa maupun khasiatnya sudah tidak sebaik memerasnya langsung dari tubuh mangsa, kau akan mendapatkan jutaan sel yang mati pada detik pertama udara menyentuh cairan yang menjadi sumber kehidupan kami itu…
Jika Zombie perlu darah sekaligus daging untuk menjadi induk virus mereka, kami hanya perlu darahnya, karena kemampuan kami bisa mempertahankan tubuh kami sendiri.
Kami tidak akan membusuk, hanya melemah dalam kondisi rigor mortis mengerikan.
Bagi manusia mungkin tidak ada bedanya, tapi bagi Undead, perbedaan sekecil apapun tetap saja perbedaan, pengaruhnya akan sangat besar…

Lagipula sangat sulit mendapatkan donor tanpa membunuhnya…
Aku menatap kosong pada tumpukan tawanan bahan percobaan yang didalam tabung kaca.
Orang orang hidup yang hanya tinggal tulang berbalut kulit setelah darahnya kuambil sebagai bahan transfusi.
Pun demikian, cara seperti ini, mengumpulkannya dalam jumlah tertentu juga tidak memberiku pilihan lebih baik...
Kupikirkan kembali kata kata Stast, Lagi, ia benar, aku sedang lemah...



Jika keluar sekarang, mungkin aku akan terbunuh…



Aku bertanya tanya berapa harga kepalaku saat ini.


++++
 
Last edited:
huaaaa Mikia sama Ryo manisnyaaaa...!!!!
jadian jadian jadiaaan!!!! cara menyatakan cinta yang berani!!! di ranjang!!! wakakakaa
 
Daina.


________________________________
________________________





“Kau Itu siapa?”

Masih Terngiang jelas pembicaraan antara aku Dan Stast The Origin tadi malam.

Suara ketukan pelan pada pintu menyadarkanku, kupikir itu Tasuku, Dan aku,
Seperti orang gila, Tidak peduli pada kondisi tubuhku, seperti mendapat suntikan tenaga tambahan.
Berlari menuju pintu serta bergegas membukanya.


Tidak ada seorangpun,


Penasaran, aku keluar, sepanjang lorong tampak sepi, hanya nyala obor samar samar yang menerangi sekitar.
Apa dia hanya sengaja melakukannya untuk mengajakku bercanda?

“Tasuku…?” Aku memanggil, suaraku bergema hingga keujung ruangan,
Tidak ada tanda tanda keberadaan darinya yang kucintai.
Lelah, akupun memutuskan untuk menutup pintu, masuk kembali kedalam kamarku,
Berjalan menuju meja rias, aku memeriksa raut wajahku yang nampak semakin pucat didepan cermin.

Aku menghela nafas, apa yang dilakukan kakak sekarang? Mikia bagaimana?
Bagaimana kabar teman teman yang lain…?

Sedangkan Daina ini masih belum bisa membawa hati Tasuku kembali kepada kita…
Kepalaku berdenyut lagi.



“Apa aku mengganggumu, Mademoiselle?”



Cepat cepat aku mencari asal suara lembut yang membuat lapisan udara berubah menjadi menyesakkan itu.
Aku ingat aku sudah mengunci pintu tadi, aku juga ingat aku menyimpan kuncinya didalam laci meja riasku…
Tapi jendela balkonku masih terbuka.
Sangat tidak mungkin seseorang bisa masuk kedalam, dalam ketinggian seperti ini,
Aku terkesiap, menangkap tanda tanda kehidupan didepan mata.


Seseorang yang bukan Tasuku.


Mataku melotot tidak senang, karena memang bukan Tasuku yang ada disana,
Melainkan vampir berambut hitam.


Stast The Origin.


Ia bergantung secara terbalik seperti kelelawar.
Atau ia memang kelelawar? Menyeringai kearahku dengan bibir pucat miliknya.
Mata hitamnya yang begitu gelap tanpa cahaya memandangku.

Secara Reflek Aku berlari hendak menutup jendela balkon, tidak peduli aku akan menjepitnya sampai hancur jika ia menolak pergi dari sana,
Meski demikian usahaku hanya mampu untuk membuat benda yang kucoba gerakkan tertutup separuh jalan, Tangannya menahan jendela besar itu, Hanya sebelah tangannya dan membuat seluruh tenaga yang kukerahkan menjadi tidak berguna,
Aku sekuat tenaga melawan tapi tidak mampu berbuat banyak dan hampir kehabisan nafas pula.

“Ada yang ingin kukatakan padamu, Perempuan.” Ujarnya lirih. “Hanya bicara.”
Suaranya terdengar tenang, sama sekali tidak terlihat bahwa ia sedang adu otot denganku.

Aku tidak percaya padanya.
Aku berjalan mundur. Menjauh Dari pintu.
Aku terus mengawasinya yang perlahan melangkah masuk kedalam kamarku,
Stast the origin berjalan terbalik, kedua kedua kakinya menempel ketat dilangit langit, ia seperti kelelawar sungguhan,
Ia melompat kebawah, berpijak pada kedua kakinya dengan mantap.
Gerakannya saat jatuh mirip seekor kucing.
Anggun dan pasti.
Seakan ia memang dianugrahi kemampuan semua jenis binatang.

Aku sengaja bergerak kesamping tempat tidur, mencoba meraih gunting yang selalu sengaja kuselipkan dibawah bantal.
Jika ia mendekat sedikit saja… sedikit saja…
Jujur aku takut, ia jauh, ratusan kali lebih kuat daripada aku.
Tidak, aku akan menikamnya jika ia berani mendekat, Meski aku masih belum berani menatap matanya yang nyaris tersembunyi diantara helaian rambut berantakan itu.

“Apa kau tahu kalau kau akan segera mati?”

Ia memberitahuku sesuatu, Tentang apa yang sedang terjadi padaku saat ini.
Aku berpikir itu lebih seperti usahanya membuatku putus asa.
Perlahan aku menyentuh bagian dimana jantungku berada.

“Kenapa baginya kau begitu berharga?” Tanya Stats. “Kenapa manusia sepertimu bisa mengubah pendiriannya?”

Aku terkejut mendengar kata kata Vampir itu.
Mengubah pendirian apa?!
Tasuku…?


Ia berjalan mendekatiku, aku semakin merapat kearah tempat tidur, tanganku menyusup kebawah bantal.

“Biar kutebak, kau sedang menderita sekarang... apa kau menyesal mengalami semua ini?” ia kembali menyeringai senang. “Menyesal karena mencintai makhluk yang tidak seharusnya dicintai?”

Aku tidak mengerti maksudnya, bahasanya terlalu tinggi untukku,
Tapi aku menangkap dengan jelas perasaan meremehkan itu…

“Kau salah.” Jawabku.
Gerakan makhluk didepanku tidak terlihat lagi.

“Aku mati dan hidup untuknya, Berubah pendirian, kau bilang? sekarang, Kau memberitahuku alasan untuk hidup.” Aku merasa nafasku terhenti ketika Stast bergerak secepat kilat, Ia menghampiriku, Aku terjatuh keatas ranjang dalam keadaan telentang, mata tanpa kehidupan itu nanar menatapi setiap jengkal tubuhku.


“Kau pikir kau siapa?” Ia bertanya lagi, “Kau tidak akan pernah tahu rasanya, dia menderita karena mencintaimu, dan dia tidak boleh mencintaimu,”

“Dia tidak!” Bantahku, entah mendapatkan kekuatan dari mana, “Bersamaku dia tidak pernah menderita! Dia bahagia!”

Kesal sekali, “Kau… Kau yang tidak tahu apa apa, perasaan kami, hubungan kami, kepercayaan diantara kami…”

Stast tersenyum mengejek, mengulurkan tangannya, “Jika memang kalian saling percaya sampai seperti itu, kau tidak akan menangis seperti ini…” detik jemari kurus yang indah itu menjamah wajahku, saat itu pula aku menancapkan gunting yang kugenggam sedalam dalamnya pada dada makhluk jahanam tersebut.
Darah merah keperakan mengalir membasahi kemeja putihnya.
Vampir didepanku tidak bereaksi, ia terlihat seperti akan jatuh dan tangannya bertumpu pada pinggiran kasurku,

Mati?

Aku menatapnya penasaran, secepat kilat menarik diri hendak pergi dari tempat berbahaya ini segera sebelum dia bangun lagi.
Aku merasakan kakiku ditarik sangat kuat sampai sampai aku kembali telentang keposisi semula,
Stast, dengan kecepatan serta tenaga luar biasa merayap naik keatas tubuhku, menindihku sehingga panikpun rasanya aku tidak sempat,
Ia mengunciku, menghalangiku untuk lari.
Aku ingin berteriak tapi tenggorokanku seakan terkunci,
Aku sangat takut padanya, tapi entah mengapa, ada suara dalam kepalaku yang mengatakan bahwa aku tidak boleh kalah.

Ia menarik tanganku, mengarahkannya pada benda tajam yang saat ini menancap didadanya, lembut, ia membimbingku untuk menarik sesuatu yang menyakitkan itu perlahan.
Aghh…” Ia mengerang seperti menahan kenikmatan, Ia tidak bisa merasakan sakit, takut, takut, aku sangat takut sampai sampai aku berpikir jantungku bisa berhenti kapan saja sekarang.

Sapuan dingin lidah basahnya menjilati sisa sisa air mata disudut pipiku, Aku menutup mata kuat kuat, tanganku basah oleh cairan perak itu, begitu licin dan banyak, seperti menyuruhku untuk melakukannya sendirian, ia melepaskan pegangan eratnya pada tanganku, mengerti bahwa yang seperti ini tidak akan membunuhnya, jadi kukerahkan seluruh tenagaku untuk mencabut benda itu keluar, Demi Tuhan aku memang berniat menyakitinya, aku tidak pernah seingin ini membuat seseorang menderita.
Suara percikan darah yang semakin banyak seperti lagu sedih yang tidak pernah kumimpikan didalam khayal paling menyakitkan sekalipun.

Sunyi, hanya tetesan yang mengalir ditanganku dan berat dari sesuatu tidak wajar menindihku mengingatkan bahwa aku tidak sendirian dikamar ini.
Akhirnya kuberanikan diri untuk melihat,
Matanya tidak lagi hitam dan mati, saat ini warnanya seperti bulan purnama.
Merah dan kejam, warna yang sama dengan milik Tasuku.
Segala macam kegairahan ada disana, lapar, bersemangat, bernafsu…


Stats tersentak dengan tatapanku yang pasti dinilainya sangat berani itu.
Padahal aku sendiri tidak berani mengedipkan mata barang sedetikpun.
Stats menatapku, juga tanpa berkedip.
Lalu ia tertawa lantang.
Aku tidak mengerti apa yang ia tertawakan. Kelihatannya ia berusaha keras menghentikan tawanya itu.
Ia menutup mulutnya dan wajah pucat itu terlihat semakin…menakutkan.

“Madamoiselle!” jemari lentiknya mengambil sejumput rambutku yang menjuntai dibahu, lalu ia menciumnya. “Menyenangkan sekali, jika denganku, kau boleh melakukannya dibagian manapun kau suka,”

Aku memalingkan muka.

“Apa yang kau pikirkan?” Vampir itu bertanya lagi, aku tidak paham ia tertarik kepada apa, tapi aku tidak pernah, satu kalipun, merasa seseorang bisa tertarik kepada isi kepala bodohku sampai seperti ini.

“Beritahu aku, Mademoiselle…” Stast menyapa lagi, kali ini sambil menggelitik perutku, membuatku ingin muntah.
Luka lukanya sepertinya sudah sembuh, karena darah tidak menetes lagi,

“Aku ingin membunuhmu, Aku ingin menyiksamu sampai mati,” Jawabku angkuh,
Aku akan mati, aku benar benar akan mati…

“Santapan yang berharga itu dinilai dari kesulitan mendapatkannya…”
Aku kaget mendengar kejujuran itu.
Merasakan ancaman, terasa jari jari Stast perlahan bergerak kearah pahaku,
Mengelusnya pelan, aku memaksakan diri untuk tidak menutup mata, Tubuhku mengejang memberitahu arti penolakan,
Bahkan -entah inisiatif darimana- aku semakin melotot padanya.
Kurasakan tangan itu bergerak semakin keatas, meraba bagian dadaku,
Aku bisa merasakan dingin suhu tubuhnya saat jari jemari itu berhenti dibagian leherku.
Ia merapatkan kedua lengannya kesekelilingku seakan mengurungku didalam dinding ini. “Aku selalu penasaran…”
Aku merasakan perasaan aneh seakan aku tersedot kedalam dimensi lain saat aku menatap matanya.

“Kenapa… kalian berusaha begitu keras mencintai sesuatu seperti kami…?” Ia berbisik ditelingaku, “Yang sudah mati tidak akan pernah kembali,”

“Aku hanya cinta… Aku hanya tahu aku cinta padanya,”

“Larilah,”

Aku tersentak, apa…?

“Larilah, selagi kau bisa, selagi kami belum berubah pikiran,”

“Kau tahu apa?” Lirihku dengan air mata menggenang, mengembalikan kata kata yang pernah ia ucapkan, “Kau tidak tahu rasanya…”

“…Percayalah aku tahu,”

Aku menangis lagi,
Aku merasa dipahami untuk pertama kalinya,
Sial, mengapa harus vampir ini?
Aku merindukan kak Ari… Aku rindu Tasuku… Aku rindu keluargaku…
Aku ingin pulang...


“Kenapa kalian harus berperang?” Suaraku putus putus, Stast membelai rambutku, aku menyadari ketulusan, sekejap, rasa takut yang menjadi jadi itu bercampur dengan perasaan aman, aneh sekali…

“Jika kami tidak berperang…” Suara lembut bernada jahat itu menjawab, “Kami akan mati… kami berperang mempertahankan hidup kami.”

“Mempertahankan hidup dengan merenggut hidup orang lain?” Tanyaku tidak mengerti,
Undead tua itu menatapku kasihan, aku terisak lagi,
membiarkan Stast menyesap aroma rambutku sesaat sebelum ia melepaskanku.
Berjalan kearah balkon.

Ia berkata sebelum menghilang, “Tidak akan ada yang berubah… sekuat apapun perasaan yang ingin kau sampaikan padanya.”

“Kenapa kau mengikutinya?” Tanyaku lagi, sembarangan menarik kain sprai, menutupi bagian tubuhku yang terbuka, “Kau tahu ia berubah… karena aku…? Dan kau tidak… menghentikannya?”

Stast menoleh padaku, senyumannya teramat samar.
“Karena jalan keluar yang ia tawarkan bukan dengan menjajah… Dengannya, Dunia akan bertransformasi kebentuk yang lebih baik, itulah ideologinya, hanya ia yang bisa mewujudkan.” ia melompat kebawah, Dari tempat yang tingginya puluhan meter,

Aku menyembunyikan diriku lagi didalam selimut,
Tidak akan ada yang berubah…? Dunia bertransformasi?
Otakku serasa dipaksa berpikir.

Jika Vampir sepertinya bisa memperingatkanku sedemikian rupa tentang apa yang harus kucintai dan apa yang harus kulupakan…
Apakah harapan benar benar menjadi sesuatu yang tidak mungkin bagi kami?
Ini benar benar memaksaku,
Memaksaku berpikir dengan cara mereka.
Dan jika kau melihat dari sudut pandang mereka, Transformasi bukanlah sesuatu yang buruk, didunia ini ada banyak orang yang membutuhkannya…

Mengerikan, mereka, manusia dan undead, saling bunuh hanya untuk merealisasikan dunia ideal menurut mereka masing masing.
Aku terkejut menemukan bahwa aku tidak tahu harus memihak siapa…

Tidak, atau, masih ada opsi ketiga, jelas, aku manusia, sudah jelas kan?
Dan aku mencintai Undead.
Pemikiranku memang lebih bodoh, lebih sederhana, orang lain barang tentu tidak usah susah payah menafsirkan maksudku, itulah opsi ketiga yang mustahil, kemustahilan yang ingin kucoba. Perlu penjelasan macam apa lagi?

-
-
-
-
-

Begitulah,
Segera setelah pertemuan sekaligus kontak pertama dengan Stast, malam itu aku memutuskan untuk mandi sebersih yang aku bisa dan mengguyur seluruh tubuhku dengan air dingin.
Membasuh jejak darah serta apa saja yang ia tinggalkan dikamarku.
Merasa jijik, tapi juga simpati yang aneh.
Aku tidak bisa tidur nyenyak malam itu, kemanapun aku berpaling, rasa takut selalu menyertaiku.

Dan siang ini, Tasuku berkunjung seperti biasa, dia akan langsung menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres, Pertama, ia tahu aku kurang tidur, dan kedua… “Apa Stast kemari?” Tasuku bertanya, nadanya ketus dan dingin, aku mengangguk lemah.
Suamiku mencengkram kedua bahuku,

“Tidak perlu kau lakukan inipun aku pasti tidak akan membohongimu,” mohonku, Tasuku mengendur sedikit.

“Bukan…” Ia menatapku dalam dalam, “Dia tidak… melakukan hal hal yang membuatmu celaka, kan? Dia tidak menyakitimu?”

Rasa khawatir yang ia tunjukkan membuatku lega, aku kejam sekali, berbahagia sementara orang lain sedang kesusahan… Tasuku memikirkanku, ia kesusahan, dan aku senang karena hal itu?

“Hanya bicara…”

Tasuku diam lagi, ia menjauhkan dirinya sedikit, duduk tenang melipat kakinya disampingku, “Dia bicara apa?” Tanyanya kemudian, mendadak dinding-dinding kosong menjadi pusat perhatian terbesarnya sekarang.
Aku kembali menunduk.

“Dia bilang… Kau berubah,”

Tidak ada tanggapan,

“Dan itu karena aku…”

Kami berdua diam, jantungku berdegup kencang,
Lalu terdengar suara desah lega suamiku,

“Dan kau senang…?”

Aku mengangkat wajahku, jadi Tasuku bisa melihat rona itu sekarang.

“Jadi itu benar?” Desakku balas bertanya.
Tasuku diam saja, wajah tampan itu terlihat menimbang nimbang apa yang akan ia katakan padaku selanjutnya,

“Baumu mirip dengan dia,” Ejeknya, membuatku mati rasa seketika.
Merusak mood…
Aku membaui diriku sendiri, astaga?
Padahal aku sudah mandi dan pakai parfum banyak banyak,
Mendadak aku ingin menjauh sejauh mungkin,

Jika orang yang kau cintai mengomentari bau badanmu, sebelum kau jadi wangi lagi kau tidak akan percaya diri untuk berada didekatnya bukan?

Jemari Tasuku terulur membelai kedua pipiku, terus hingga ke rahang, berbeda dengan semalam, padahal mereka Vampir yang sama berbahayanya,
Kenapa sekarang aku meminta lebih?

“Jangan mendekat dulu!” Protesku setengah mendorongnya, Tasuku melakukan sesuai permintaanku seperti biasa, tapi ia tidak bisa menyembunyikan sorot ketidak setujuan,

“Kau yang bilang tidak suka, aku…”

“Apa…?” Oh, sial, dia tidak menghiraukan, “Dimana dia menyentuhmu?” Tanya Tasuku lagi, aku menggeleng kuat kuat saat rajaku mendesak diatas sofa,

“Ini… bukan seperti itu…” Bantahku, ia mengecup kakiku, terus naik keatas, seperti mencari cari sesuatu,

“Disini? Bukan…” Tukasnya seraya menciumi bagian tungkai, lalu ia menyeringai ketika ia sampai dibagian paha, menyingkap gaun tidurku tidak sabaran, “Dia memulainya dari sini,” matanya berkilat marah.
Tunggu, apa Tasuku sedang… cemburu?

“Sudah kubilang tidak ada…” Aku hampir menangis, “Dia… Dia hanya menakutiku…”
Bagus sekali Daina, Didengarkanpun tidak,
Ciuman itu terus merambat naik, kearah perut, lalu semakin keatas,
“Ahh…haah…” Suaraku halus diantara bunyi gesekan ujung hidungnya dengan kulitku, kendatipun terhalang sehelai kain, sensasi tetaplah membakar,
Aku merasa ia seperti sedang menginspeksi tubuhku…
Ia berhenti saat wajahnya hanya beberapa sentimeter diatas bagian dadaku, nafasku tercekat saat ia meneruskan kegiatannya disana, refleks kedua tanganku menggapai, menyambut dan memeluknya, secara tidak langsung meminta agar ia membenamkan wajahnya lebih dalam lagi.

“Tasuku kejam… kenapa kau melakukan ini? Kau tidak percaya padaku…?”

Tubuhku bergetar aku tidak ingin dia marah… Bukan karena aku takut, tapi karena aku mencintainya, begitu tergila gila sampai sampai harga diriku pun tidak ada artinya lagi, bahkan hidupku sendiri, tidak ada artinya lagi jika ia tidak ada,
“Jangan… Tinggalkan aku…”

Ia telah sampai dibagian wajah sekarang, sengaja melewatkan bagian leher, berlama lama menciumi kedua pipi.

“…Ya…” Bisiknya serak, suaranya satu tingkat lebih berat dari biasanya, seolah memaksakan diri untuk mengalihkan perhatian. “Aku percaya…” diciumnya puncak kepalaku, memberikan waktu untuk bernafas sebelum mulai membelaiku lagi.

‘Kau itu siapa?’

Siapa aku?
Terhenyak dalam pelukannya, aku merangkul penuh sukacita, tidak mengerti apa yang ia pikirkan, yang kutahu adalah mendamba.
Begitu seterusnya hingga aku kelelahan, dan ia meninggalkan tubuh sepi ini menjerit jerit meminta agar ia memberikan hukumanku.

Dan jika seseorang bertanya aku siapa, apa yang harus kujawab?
Aku hanyalah makhluk fana yang amat diinginkan oleh sang penguasa kematian…



+++++
 
huaaaa Mikia sama Ryo manisnyaaaa...!!!!
jadian jadian jadiaaan!!!! cara menyatakan cinta yang berani!!! di ranjang!!! wakakakaa

Wkwkwkwkk Jadian apa berantem? *Ngakak*
Di bab ini mayan banyak adegan 'Dewasa' na, =w=;;
Fanservice, gara2 udah berchapter2 dibelakang pembaca disuguhi adegan pertarungan berdarah2, sekarang saatnya cooling down dulu sebelum klimaks =w=;;

*Gada yang nanya

*Ngek


videonya ga bisaaaa

Masakaaa? Disini bisa kok video na @@;;;
Langsung ke yutub aja Tia, hohohoho~
 
Wkwkwkwkk Jadian apa berantem? *Ngakak*
Di bab ini mayan banyak adegan 'Dewasa' na, =w=;;
Fanservice, gara2 udah berchapter2 dibelakang pembaca disuguhi adegan pertarungan berdarah2, sekarang saatnya cooling down dulu sebelum klimaks =w=;;

*Gada yang nanya

*Ngek




Masakaaa? Disini bisa kok video na @@;;;
Langsung ke yutub aja Tia, hohohoho~
hahahaha mikia akhirnya...


itu itu kenapa tasuku bilang "kau itu siapa" pada daina? apa maksudnya???
 
hahahaha mikia akhirnya...


itu itu kenapa tasuku bilang "kau itu siapa" pada daina? apa maksudnya???

Wha?

Itu bukan sama Tasuku kok... Itu pertanyaan Stast ke Daina.... @@;
Pertanyaan itu menganggu,,, maka na kebayang mulu dalam ingatan Daina, coz Daina masih mempertanyakan apa arti dirinya sekarang, buat Tasuku ._.
 
Back
Top