~DESCENDANT OF THE DEATHMASTER~ by:DYNA

bagaimana menurut kalian novel pertama Dyna (daina) ini?


  • Total voters
    35
Tasuku.


__________________________
_____________________





Tiga hari berlalu sejak kejadian itu.

Aku memutuskan untuk bersikap tegas pada Daina siang ini,
Aku telah melarangnya berkeliling tempat ini,hanya mengurungnya dalam kamar,
membayangkan ia tersesat ditempat berbahaya macam ini,atau terperangkap dalam laboratorium penelitian Stast seperti kemarin…Lab milik Stast!
Bagaimana aku tidak shock mengingat setiap makhluk berbahaya hasil kreasi Stast didalam sana!

Aku sungguh sungguh dipusingkan masalah ini,
Semakin lama Daina menjadi semakin tergantung padaku, ia selalu tampak gelisah ketika menungguku mengunjunginya,
Melihat wajahnya yang memelas membuat teriris.

Semakin lama kami semakin sulit memisahkan diri satu sama lain.
Ingin sekali kukatakan padanya,betapa ia gadis yang sangat berarti bagiku, betapa hidupku hampa tanpanya.
Tapi semua kata-kata itu tertahan dalam dadaku,
begitu sulit diungkapkan,
jika kuungkapkan,pasti akan semakin sulit baginya untuk bangkit,
Sebenarnya untuk apa aku menahannya disini…? Tidak bisa membunuhnya, tidak mau melihatnya mati, bahkan tidak sanggup terpisah darinya.
Sementara hidup bersama dengannya juga sesuatu yang mustahil…

Aku semakin jarang menemuinya,hanya berkunjung sebentar untuk mengantarkan makanan,
aku tahu, aku telah sangat melukainya.

-
-
-
-
-

Pukul 03:20 pagi,
Kamar Daina.


Aku tidak mengaku perbuatanku, ketika malam hari aku menyelinap ke kamarnya, setiap malam, seperti malam ini, hanya untuk memandanginya tertidur,
Bisa kulihat bekas air mata dipipinya, ia hanya mengandalkanku,seperti
biasa, dan aku lagi-lagi bersikap kasar padanya,
aku sangat menyesal.

“Tasuku…” aku mendengarnya membisikkan namaku dalam mimpi,ia meneteskan air mata lagi,
Aku yang paling tahu seberapa parah luka hatinya, karena aku.
Bukankah ia wanita yang paling ingin kubahagiakan didunia ini?
Namun ia harus sadar posisinya, ia manusia, dan aku hanya makhluk abnormal hasil rekayasa genetik yang menyedihkan, Kakak benar…
Aku tidak pantas untuknya… aku tidak pantas bagi siapapun…

Aku juga sakit.
Aku ingin mengulurkan tangan,bermaksud menyeka butiran halus sebening berlian itu, jika aku tidak bisa melakukan sesuatu demi dirinya,berarti hanya hal sesepele inilah yang mampu kulakukan,

Tidak, aku terhenti ditengah jalan,
Tepat disaat jemariku akan menyentuh lapisan kulit yang lemah dan lembut itu,
Aku terlalu kotor,bahkan untuk menyentuhnya,
Siapa yang bisa menjamin tangan ini tidak akan mencabiknya?! Siapa yang tahu beberapa saat lagi,makhluk kotor berlumuran darah dan dosa ini tidak akan menyakitinya?!

Aku harus pergi sekarang,
Rasa sakit teramat sangat mengganjal dalam dadaku,
Aku tahu,ketika aku memutuskan untuk memilih jalan ini,aku tahu bahwa aku akan terluka seperti ini,
Namun,aku tidak pernah menyangka,bahwa ia juga…
Sama terlukanya sepertiku, kukira jika kakakku menggantikan posisiku dihatinya, seperti dugaanku,aku akan mudah menemukan alasan untuk melenyapkan mereka dari hati ini,

Tidak kusangka,
Mereka yang ingin kubenci,malah tertanam semakin kuat dihatiku,
Bayangan kakak muncul dimataku,
Dia yang paling kulukai…dia yang telah kukorbankan, dia yang selalu berdoa akan hal yang terbaik untukku…,dia yang selalu rela menyerahkan apapun miliknya yang paling berharga sekalipun demi aku!
Betapa aku telah melukai semua orang yang mencintaiku, aku yang selama ini di lindungi olehnya,
Betapa mereka semua telah menderita demiku,
Dan demi mendapatkan mereka kembali, aku tidak peduli apa yang akan kulakukan dengan dunia ini.

Dunia tanpa mereka sama saja tidak ada dunia.
Aku akan merubahnya, membuatnya menerimaku, mendapatkan kembali cinta kasih keluargaku.
Terserah apapun yang terjadi pada manusia lainnya…

Tapi kenapa justru sekarang?
Keberadaannya, keberadaan Daina lah yang membuatku memikirkan kembali alasan alasan yang telah kutinggalkan, membangkitkan lagi perasaan manusiaku.
Anehnya, semakin aku berusaha menghapus, setitik demi setitik penyesalan mengejarku.
Bahwa ini tidaklah benar, bahwa ini harus dihentikan.



Kakak!


Aku memanggil manggil, seperti ingin ditolong, disaat seperti ini harapan benar benar adalah hal paling menyesakkan, karena kau tahu kau tidak memilikinya,
Baru saja sakitnya terasa lagi,mengingat kami yang saling bunuh…
Namun,aku harus bisa melupakannya dan menganggap segalanya sebagai ‘korban’ untuk ritual busukku demi mewujudkan impian untuk bisa bersatu lagi bersama mereka yang kucintai yang membelengguku selama ini!
Aku tidak bisa melawan nuraniku sendiri,
Nurani, Tash? Hal yang sekarang terlalu tabu untuk kumiliki!
Sambil menatap Daina yang tertidur pulas untuk terakhir kalinya,aku membuka tirai jendela,
Menuju balkon dan kembali menutupnya,

Kelelawar raksasa yang menungguku segera bergerak cepat begitu aku melompat, menyambutku, Raja mereka.
Debur ombak ditengah malam seperti nyanyian tanpa nada, aku ingin sekali lenyap dilaut ini,
Entahlah, sejak Daina tiba disini, pikiranku kacau,
Aku semakin memikirkan masa laluku…

-
-
-
-
-

Aku terduduk diruanganku,
semalaman, begitu terus hingga pagi menjelang, lalu tak terasa malam lagi,
aku hanya datang untuk mengantarkan makanan Daina,meletakkannya di sofanya, Sengaja membubuhkan obat tidur didalam makanan Daina, membuatnya bangun hanya untuk kehilangan waktu, agar ia tidak menungguiku lagi,

Jika kami tanpa sengaja bertemu, Aku tidak bicara padanya,
mengacuhkan tatapan penuh kerinduan yang ditunjukkannya terang-terangan padaku, lalu segera pergi,

Aku seperti orang idiot yang mendambakan kekasih yang jelas-jelas ada didepan mataku,
Aku semakin tersiksa karena tak memilikinya,

Aku tahu ia menungguku,aku tahu ia gelisah,
Sialnya aku lebih memilih menjadi kejam, daripada menjadi bodoh.


“Sampai kapan kau mau dia ada disini?” Stast membuyarkan lamunanku.
Aku tidak bisa menjawabnya, sebaliknya, aku malah mengalihkan pembicaraan.

“Ada sesuatu yang terjadi?” tanyaku, karena aku tahu Stast tidak mungkin mengganggu ‘waktu istirahat’ku tanpa ada sesuatu yang penting yang harus dilaporkannya.

“Penyusup.” Jawab Stast enteng, “Ada lebih dari 20 orang, Paladin pastilah sudah mengendus wilayah kosong ini untuk melacak keberadaan kita,
Kurasa ada baiknya kita pindah tempat untuk sementara... no?
tenanglah, sudah kulumpuhkan sebagian, tapi beberapa diantaranya berhasil melarikan diri kedalam hutan.”

Alisku mengerinyit, “Kau biarkan mereka lolos?” Bukan masalah besar, biasa saja jika ada yang mengejar kami, akan selalu ada yang mengejar kami dimanapun kami berada, tapi pindah tempat dan membawa Daina bepergian... tidakkah itu terlalu beresiko?

Dengan santai Stast bersandar pada dinding berdekatan dengan jendela.
“Mangsa yang bermain kabur kaburan akan lebih menarik, My Lord,” desisnya memberikanku alasan
Rambut hitamnya yang acak acakan tertiup angin berhembus dari celah jendela yang terbuka.

Aku berhenti menanyainya,
Bagaimanapun mempermainkan mangsaku seperti tikus bukan gayaku.
Aku sendiri lebih suka membunuh dengan cepat tanpa menimbulkan banyak penderitaan maupun rasa sakit.
Mereka bahkan tidak akan sadar nyawa mereka telah terpisah dari badannya.

“Stast…” Panggilku sesaat kemudian, “Aku butuh darahmu, segera, ada sesuatu yang ingin kuteliti.”

Bola mata hitam Stast menunjukkan bahwa ia penasaran dengan apa yang kurencanakan, tetapi ia memutuskan untuk diam saja, namun aku yakin, jauh didalam lubuk hatinya, ia sudah tahu apa yang akan kuperbuat.

Alih-alih bertanya mengenai keperluanku, ia malah membisikkan sesuatu tanpa menatapku. “Apa kau mengerti…? Kau masih memiliki pilihan pilihan itu.
Penderitaanmu, atau penderitaannya.
Kenangan akan selalu indah, tidak peduli seberapapun usahamu untuk menghapusnya, akan selalu terkunci didalam hatimu.
Karena itulah ekspektasiku padamu teramat tinggi.
Kau sudah tahu, Jika kau berharap untuk melanjutkan ini.
Kau akan menjadi yang paling menderita, sebab kau pernah mencicipi dan tahu betul bagaimana rasanya dicintai sekaligus mencintai dengan teramat dalam…”

Kuremas kepalanku sekuatnya.
“Aku… hanya bertaruh.”

“Taruhan,” Stast menyeringai, “Stast ini sudah tahu hasilnya akan seperti apa… Percayalah.”

“Itu sangat beresiko,My Lord…bukankah kau pernah bertekad membuang segalanya?!” Luciferina masuk secara tiba tiba, menyela percakapanku dengan Stast.

“Mau menjadikannya cemilan terakhir untuk merayakan kemenangan kita?” canda Stast lagi, “atau kau mau raja kita berbagi sedikit?”

Aku tersentak kaget.

“Diam kalian semua!” bentakku kalap, melemparkan tempat lilin antik yang bertengger di dekatku ke dinding.
Hancur berkeping keping.

Luciferina mengkerut ketakutan dibelakang Stast,
Menggeram memperlihatkan deretan gigi gigi setajam siletnya pertanda ketidaksetujuan.
Stast, sebaliknya,tetap bersikap tenang seperti tidak ada apa apa.

“Tentu,kami akan mematuhimu,raja kami…” desahnya lembut,

“Aku akan menyelesaikan masalah ini, kuharap sementara aku bertindak,jangan pernah melakukan apa apa,dan kalian tidak perlu berbuat yang tidak perlu,kecuali aku yang memerintahkan”Setelah agak tenang,aku berkata,

“Baik,yang mulia,aku paham,” tanpa banyak membantah, seperti biasa, Stast mengiyakan dengan segera.

“Dan,satu lagi” aku menambahkan, “Tolong,buat kunci pengaman yang memiliki kode jauh lebih rumit daripada kode yang kau buat untuk laboratoriummu itu, Kalau Daina-ku masuk sembarangan ketempat tempat berbahaya lagi, aku tidak akan memaafkan kalian,”

Stast tampak mengerutkan kening mendengar permintaanku,
Tapi toh lagi lagi ia memutuskan untuk diam dan melaksanakannya.

“Sampai kapan ia disini?!”
Stast sampai harus menyeringai tidak senang pada Luciferina karena pertanyaannya,
Tapi aku tahu aku harus memberikan jawaban,

“Kupikir…mungkin tidak akan lama lagi, Ia hanya umpan untuk memancing kakakku kemari, ia kelemahan kakakku, aku bisa melenyapkannya jika semua sudah selesai,”



Dan kelemahanku juga.



Aku tahu ucapanku sangat berlawanan dengan kata hatiku,namun,aku harus sadar posisi dan siapa aku sekarang, mustahil… “Tidak ada yang perlu dicemaskan,”
Aku adalah raja Undead,dan itu kenyataan,
Bisa saja kukatakan akan melenyapkan Daina... mudah sekali, tapi tidak bisa semudah itu melaksanakannya,

Gratakk!!

Sebuah suara mengejutkanku,
Baik aku maupun dua vampir di depanku langsung memasang wajah beringas,
Tapi kecemasanku semakin menjadi jadi saat aku tahu siapa yang sedang menguping dari balik tirai,
Gaun panjang Daina menyapu lantai keramik,
Ya,ampun,dia berjalan jalan sembarangan lagi…!

“Ma…af…” pintanya terbata bata, “A-Aku hanya mencoba berputar putar,dan aku menemukan ruangan ini,kelihatannya aku beruntung, syukurlah ada orang,”
Ia tersenyum dan berjalan mundur,

Daina…,yang didepanmu sekarang ini bukan ‘orang’, kau tahu…

Aku sama sekali tidak bisa menyembunyikan kegelisahanku,mencoba menyuruh Daina agar cepat cepat pergi dari ruangan ini,
Aku menyadari aura berbahaya ini lebih dari siapapun,
Dan karena pengendalian diriku amat kuat,aku rasa hanya aku yang masih memiliki lebih dari separuh akal sehat disini.
Daina tampaknya mengerti ia terlihat dalam situasi yang salah,
“Ah…silahkan diteruskan,permisi…” katanya memohon diri,

Hanya saja,kesabaranku sudah habis saat melihat mata Luciferina berkilat lapar,
Apalagi saat ia menghirup aroma harum tubuh Daina,
Dan aroma cairan hangat yang terpompa mulai dari jantung hingga seluruh tubuhnya itu,

Kusambar istriku dengan agak kasar, menggendongnya dengan satu tangan,disertai gerakan sangat cepat,
Membawanya menjauh,
Daina kaget sekali,ia berpegangan pada bahuku agar tidak tergelincir,
Aku tidak peduli,aku marah sekali kali ini,
Ia sama sekali tidak penurut dan nekat…!

“Ini karena Tasuku hampir tidak menemuiku!” jeritnya membela diri saat ku bopong kembali ke kamarnya. “Aku hanya mencarimu…aku hanya ingin bertemu denganmu…”
Aku mendengarnya terisak, ia sendiripun sadar, bahwa aku tengah memarahinya walau tanpa suara.
Ya,Tuhan…
Apa lagi ini? Salahku lagi?

Bagaimana caraku agar dapat menjauhinya…?


++++
 
@Tia

Iya kan! Nyahahhahah,
Nyosh, makasih shortfanficnya *w*
Quotenya Dai print trus dai jadiin jimat tuh *Lebe*
Nanti bikinin lagi yak *nguik2
Sebagai balesannya hari ini Dai apdet agi, nyohohohhoho~
 
Stast.

____________________________
____________________





Luciferina tertegun sama kaku nya dengan aku sekarang.
“Apa-apaan yang tadi…?!” bentaknya,

“Cinta…” sahutku hambar.
Luciferina tertawa mencemooh,

“Jangan membuatku tertawa,Stast…, singa yang jatuh cinta pada menjangan? begitukah?!”
Aku masih terdiam,sama seperti Luciferina,aku sendiri juga tidak dapat mengartikan arti semua ini,
Otakku buntu, dilain pihak, aku juga kebingungan,
Raja kami, seorang pemangsa,dan gadis itu harusnya adalah mangsa…!
Kami hidup tanpa cinta,
selamanya akan seperti itu, karena kami tidak perlu perasaan remeh seorang manusia agar bisa bertahan hidup…
Dalam hati aku mengkhawatirkan perilaku yang menyimpang itu.

“ ‘Daina-ku’ katanya…kau dengar kan’?” Ferina kembali berkicau, “Huh, aku berani bertaruh ia tidak akan memakannya malam ini…”

Aku mengangguk, “Biarlah,toh’ ia hanya butuh bersenang senang, tidak apa kan kalau dia menyimpan mangsanya sebagai mainan…,
Percayalah padaku, Dia yang terkuat diantara kita, Diia raja kita semua,ia tidak mungkin mengingkari semua itu…”

Ferina hanya mengangguk,
“Kali ini aku akan diam,” jawabnya lancar, “tapi,kalau perasaan cinta atau apalah yang merepotkan itu menggagalkan cita-cita kita selama ini,”
Jari jari halus Luciferina membelai kerah baju kemeja longgar yang kukenakan, ketika ia bicara bibirnya amat dekat dengan bibirku,

“Aku bersumpah,akan melakukan apa saja untuk kemenangan kita semua, termasuk melenyapkan perasaan cinta tidak perlu seperti cinta yang ia rasakan seperti saat ini”
Aku tahu ia sungguh sungguh dengan kata katanya, “Sang raja milik kita, hanya milik kita, ia akan melindungi kita, kita menggenggamnya, kita bersama sama akan mewujudkan dunia baru…” Rengeknya padaku,

“Dunia akan jadi milik kita, Stast, milik kaum abadi, mereka hanya ternak, aku tidak akan mati sebelum cita cita itu terwujud”
Tekad yang sama denganku,

“Tunggu saja,saatnya akan tiba,” aku menerima pelukan Ferina yang bermanja di dadaku,mengelus rambutnya yang lurus panjang,
Dan memandang tubuh indahnya yang terbalut busana ketat terbuat dari bahan kulit,
Aku selalu mengagumi ciptaanku, selalu.
Kami,undead adalah makhluk paling indah didunia.

"Saatnya akan tiba, Aryanov Gabriel akan mencari kita selama kita punya gadis itu, aku berjanji," Kutempelkan tangan berjari lentik itu dipipiku, "Aryanov dan Tsarania, Memiliki mereka berdua, kita memiliki seisi dunia..."


++++
 
“Stast…” Panggilku sesaat kemudian, “Aku butuh darahmu, segera, ada sesuatu yang ingin kuteliti.”

nyahahaha aku tau apa yang akan dilakukan Tasuku :v


@Tia

Iya kan! Nyahahhahah,
Nyosh, makasih shortfanficnya *w*
Quotenya Dai print trus dai jadiin jimat tuh *Lebe*
Nanti bikinin lagi yak *nguik2
Sebagai balesannya hari ini Dai apdet agi, nyohohohhoho~

wkwkwkwk
baiklah.. kau mau aku buatkan plesetannya? tia coba buat yg singkat" yah, apa namanya dah yg bagian plesetan namanya, lupa :v

“Aku bersumpah,akan melakukan apa saja untuk kemenangan kita semua, termasuk melenyapkan perasaan cinta tidak perlu seperti cinta yang ia rasakan seperti saat ini”
Aku tahu ia sungguh sungguh dengan kata katanya, “Sang raja milik kita, hanya milik kita, ia akan melindungi kita, kita menggenggamnya, kita bersama sama akan mewujudkan dunia baru…” Rengeknya padaku,

“Dunia akan jadi milik kita, Stast, milik kaum abadi, mereka hanya ternak, aku tidak akan mati sebelum cita cita itu terwujud”
Tekad yang sama denganku,

mau melakukan Kudeta yah :v lawan kalian nanti Paladin Lho.. Ka Ari Ka ari wkwkwkw
 
nyahahaha aku tau apa yang akan dilakukan Tasuku :v




wkwkwkwk
baiklah.. kau mau aku buatkan plesetannya? tia coba buat yg singkat" yah, apa namanya dah yg bagian plesetan namanya, lupa :v



mau melakukan Kudeta yah :v lawan kalian nanti Paladin Lho.. Ka Ari Ka ari wkwkwkw

Apa hayoooo *wink wink*
Ini cerita udah mau tamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaattttt *Jduarrr*
apayah, paling 30% lagi >w<

Gaaahhh dibikinin penpik lagiiii~~~ *Loncat2Kesenengan*
Muahahahahahah~

Kalo kudeta lawannya gak hanya Kak Ari, Tasuku juga :vv
 
Apa hayoooo *wink wink*
Ini cerita udah mau tamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaattttt *Jduarrr*
apayah, paling 30% lagi >w<

Gaaahhh dibikinin penpik lagiiii~~~ *Loncat2Kesenengan*
Muahahahahahah~

Kalo kudeta lawannya gak hanya Kak Ari, Tasuku juga :vv
huaaah asiik mat Tamaat!!!! nyahahahah ditunggu lho :v

penpik namanya nyo? -_-

iya, Tasuku kan bakalan bela Ka Ari secara sedarah walaupun tasuku darahnya tercemar tapi kalau tes DNA tetep aja mereka sedarah :v


BTW, BBM ku blm aktip --a paket abis.... nanti sore baru aku aktipin >.< ol JS aja nyo
 
Tasuku.

__________________________
________________________




Kutarik Daina yang mengikutiku dengan terpaksa, membuka pintu berukuran besar itu hanya dengan satu tendangan ringan dan mudah,
Bahkan Daina yang mungil tentu amat bersusah payah menggesernya ketika akan lewat.

“Bagaimanapun aku sudah melarangmu keluar! Apalagi dihadapan vampir lain!” aku membentak, menurunkannya keatas tempat tidurnya,
Air mata Daina bercucuran.

“Jangan marah lagi padaku… Jangan berteriak teriak begitu... Aku tidak tuli,” ia menutup telinganya dengan kedua telapak tangan, air matanya mengalir semakin deras,
Aku merasa iba menyaksikannya yang terluka.
Aku telah menyakiti hati wanita yang sangat lembut ini,
Dan lagi-lagi aku sangat menyesal.

“Itu salahmu,” aku tetap bertahan, “Apa kau sama sekali cacat mental hingga tidak dapat mencerna apa yang sering kukatakan?!”

Daina menggeleng kuat kuat, “Aku dengar,kok” katanya padaku, “Tapi Tasuku tidak datang…kau jarang ada disini…,jarang menengokku…, Kau juga membuatku tidur seharian, kau memasukkan obat penenang dalam minumanku, itu curang!
kau pikir ini tempat apa hingga aku merasa betah disini?”

“Mereka berbeda denganku,” aku meruntuk,”Mereka akan memangsamu tanpa sempat kau sadari,mereka kejam, dan mereka akan membunuhmu tanpa ragu!”
Sesaat aku menyadari bahwa ucapanku terlalu bernada kekhawatiran yang nyata,
Mata Daina berkilat.

“Dengar,aku tidak peduli lagi padamu,aku tidak peduli lagi pada apapun yang kau lakukan,terserah kau saja,” elakku
Daina merengut, masih menangis tanpa suara, tapi matanya menatapku terang terangan, protes, penuh ketidak setujuan, marah, tidak terima…
Sejak aku menjadi raja Undead,baru kali ini ada yang berani menatapku langsung dengan tatapan seperti itu,

“Apa benar setelah ini kau akan membunuh aku?”
Aku tidak langsung menjawab pertanyaannya,

“Jawab aku! apa kau akan membunuhku?” ia bertanya sekali lagi,kali ini bernada gusar,menarik jas putihku, “Apa aku hanyalah umpan bagimu?”

Aku kehabisan akal,

“Bukankah itu yang kau inginkan? Itu yang terbaik bagimu,kan? Atau kau mau pulang ketempat Paladin dan berkumpul lagi dengan sesama manusia? Mengharapkan Kak Ari menjemputmu? Ya, tentu saja, kau mengharapkannya menjemputmu, Romantis sekali, Pangeran berkuda putih datang menyelamatkanmu dari tangan monster sepertiku…” Aku tertawa, “Itu juga tergantung siapa yang masih berdiri dengan utuh saat pertempuran ini selesai.”

Wajah Daina memucat dengan pandangan mata tidak percaya.
Aku tahu kalau aku sok membuat semua keputusan, tentu saja Daina terlihat keberatan,
ia mendengar semuanya,pembicaraanku dengan Stast, ia mendengarnya…

“Bisa bisanya kau bicara seperti itu…” Mata Daina berkaca kaca, “Aku tidak setuju…!” katanya lantang, “Yang aku mau hanya disini,bersamamu, dan soal kak Ari juga! Aku tidak mau lagi kalian berdua berkelahi! Kita bertiga, seperti dulu, itu adalah impianku, hidup bersamamu seperti dulu, disampingmu adalah tempatku!”

“Kau sebaiknya pahami posisimu sendiri saat berbicara,”

“Aku tidak mau!” lagi-lagi ia membantah,mata cokelat muda didepanku menyiratkan gundah, tapi aku tidak kehabisan akal.

“Kalau kau tidak mau mematuhi peraturanku …” aku mencari cara lainnya, “Stast dan yang lainnya akan menjadikanmu makanan mereka,kau tahu?”
tampaknya usaha menggelikanku menakut nakutinya sedikit berpengaruh,
Daina bergidik, hanya sesaat,
meski demikian aku tahu ia sedang merasa takut.

“Kalau... begitu lakukan sesuatu, Tasuku…” mohonnya, aku tercengang,
Apa apaan dia?! Meminta tolong pada Undead!
Daina bersedekap ketakutan, aku tahu lagi-lagi ia berusaha merayuku,

“Dengar…,kau bisa melindungiku…kau bisa melakukan sesuatu agar aku tidak disentuh mereka,seperti selama ini?” Daina meraih helaian rambut yang jatuh menutupi kedua mataku, menyibaknya agar aku bisa melihatnya lebih jelas lagi,
Walau tanpa ia melakukan itu sekalipun,aku telah melihatnya dengan begitu jelas,
Pandanganku terhadap Daina tidak terhalang oleh apapun.

“Kau lebih kuat dari mereka semua, kan? Kalau kau dan kak Ari bersama sama…”

“kau pasti sudah sinting!” ujarku, ada nada mengancam dalam suaraku, “Ya Tuhan…”
Berapa lama aku melupakan Tuhanku? Aku bahkan tidak tahu,ber-Tuhan pada siapakah aku sekarang,
Rasanya sangat terlambat aku mengucapkan kata ‘Tuhan’…
Aku sangat malu pada diriku sendiri…

“Tidak akan ada seorangpun yang menerimaku didunia ini, keberadaanku tidak dibutuhkan didunia yang lama, karena itu…” Aku menghela nafas, “Aku akan membuat dunia baru, dimana semua orang bisa bersama sama…”

“Aku…tidak pernah memikirkan itu…” Daina memelukku, erat dan hangat,
Suhu badannya membuat sel-sel beku dalam darahku kembali bergolak,
Manusia sehangat ini, aku juga sudah lama melupakannya,
Ia menekankan tubuhnya, membuat 'aset' yang menjadi kebanggaan setiap wanita itu menempel dengan ketat didadaku,
Detik berikutnya hanya suara bergetar Daina terdengar,bergema pelan hingga ke sudut sudut ruang dalam hatiku, aku mengerang lemah.
Betapa tidak berdayanya, Sialan...

“Aku tidak akan mengganggumu lagi, Tasuku, aku tidak peduli kau itu kaisar Undead atau bukan…aku berjanji akan selalu mematuhimu meski aku harus terus terkurung dalam ruangan ini…” ia bersimpuh mencium tanganku,air matanya mengalir semakin deras membasahi pipi. “Hanya, Hentikan semua ini… Kumohon, jangan berperang lagi, kembalilah kepada dirimu yang dulu… Tasuku dulu sangat penyayang, aku… aku…”

“Lepaskan aku” ujarku dingin,sama dinginnya dengan hatiku saat ini.
Setengah menyesal karena begitu keras kepala melepaskan kesempatan yang selama ini hanya bisa hadir dalam angan,
Bukannya melepaskanku,Daina malah memeluk lututku,menyembunyikan dirinya diantara mantel panjangku dengan sayangnya,

“kumohon…aku akan menurutimu,akan kulakukan apapun…tapi berhentilah! Jangan lakukan hal hal kejam lagi...!”

“Cintai aku…Tasuku…, seperti aku mencintaimu! kumohon jangan buang aku, jangan tinggalkan aku…”

Jangan menyakiti lagi-cintai dia-jangan berperang-dan jangan meninggalkannya.
Betapa banyak permintaannya yang tidak dapat kukabulkan.
Setiap permohonannya begitu menyayat perasaanku…

Untuk beberapa saat, keadaan semacam ini terus berlanjut, “kita bisa memulainya lagi,Tasuku…dari awal…,berjanjilah,kita tidak akan terpisahkan lagi…berjanjilah…”
Sejak awal akulah yang telah meninggalkannya,
gadisku yang senantiasa menungguku dengan begitu setia, walau aku terus menyakitinya, walau aku terus melukainya,
walau aku membuatnya tersiksa dalam penantian penuh tanda tanya...

Harum darah Daina yang menyeruak mengusik panca inderaku,menunjukkan padaku betapa berbedanya kami sekarang.
Refleks aku mendorongnya, dan menjauh.

"Tidak bisa,kita tidak bisa seperti dulu lagi,ini adalah penyimpangan”
aku tidak menatap matanya,dan hal itu sepertinya telah membuat perasaan istriku sangat terluka,
betapapun aku melaknat diriku sendiri karena telah membuatnya begitu sedih,
toh aku tetap harus bertahan pada pendirianku,
hanya itu satu satunya cara melindungi Daina.

Aku masih disini,menunggunya bicara,menunggu kata kata makian macam apa yang akan ia lontarkan selanjutnya.

Tetapi Daina hanya bersembunyi, ia melemparkan dirinya diatas tempat tidurnya, terisak.
Ia sejak dulu seperti itu, begitu cengeng dan keras kepala, ia tidak mudah menyerah, begitu takut hidup tanpaku,
Bukankah ia yang seperti itu yang membuatku jatuh cinta padanya?
Karena ia menyerahkan segalanya tidak hanya cinta tapi juga hidupnya untukku.
Pengabdiannya, pengorbanannya, kesetiaannya,
Hal-hal yang lelaki lain hanya bisa memimpikan untuk dimiliki...

Ia menjadikanku dunianya, aku merasa berkuasa, ia membuatku merasa bisa melakukan segalanya...
Betapa sempurna cinta yang ia miliki terhadapku sehingga memikirkan tidak bisa bersamanya lagi membuatku gila...

Aku berjalan mendekati ujung tempat tidur,
Daina mengubur dirinya diantara selimut dan bantal, sesekali berguncang menahan isak, semua kata kata penghiburan tertelan begitu saja dalam tenggorokanku.
Meninggalkanku sendirian dengan dipenuhi rasa bersalah.


++++
 
Daina.


________________________________
____________________________



Aku terbangun keesokan harinya,
Kuusap bekas bekas air mata yang mengering diantara pipiku.
“Tasuku bodoh…” Ujarku dengan mata masih mengantuk.

“Maaf kalau aku bodoh.”

Aku tersentak.
Tasuku sudah berada disebelahku.
Tunggu, apa dia tidak pergi semalaman? Wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya.
Ia mengenakan setelan jubah putih dengan ornamen keemasan dan aksen bulu bulu seputih kapas, semegah dirinya yang biasa, tidak mengurangi suatu apapun estetika serta kecantikan yang ia miliki,
Kendati wajahnya menampakkan ekspresi bosan.
Terpukau sejenak akan pesonanya, lalu kupaksakan diri membuang muka,
Berat sekali rasanya, karena ia selalu semakin tampan entah wajah seperti apa yang tengah dipasangnya.

“Apa yang membuatmu…” Belum selesai aku menanyakan keperluannya yang diluar kebiasaan berada sangat denganku seperti sekarang,
Ia telah bergerak cepat sekali, hanya seperkedipan mataku, ia sudah berada didekat jendela kamarku, menarik tirainya sehingga sinar matahari menyeruak masuk menerangi seluruh ruangan.
Aku menarik selimutku menutupi kepala karena silau.

“Cuacanya bagus,” Tasuku mengangguk padaku. “Ayo jalan jalan.”


++++
 
Ari.


_____________________________
_____________________




“Jadi begitu,” Aku menarik nafas, membiarkan udara pagi memenuhi paru-paruku,
Ryo disampingku kembali menenggak isi dari kaleng bir ditangannya.

“Aku turut menyesal dengan nasib pak tua,” ujarnya, menuangkan bir yang tersisa diatas makam Yudas. “Cuacanya panas sekali, kawan” senyumnya jail.

Aku mendelik, mengisyaratkan bahwa apa yang dilakukannya itu tidak sopan, Ryo cuek saja.

“Lenganmu bagaimana…?” Tanyaku lagi, berusaha keras agar tidak kelihatan khawatir, celakalah, si brengsek ini bisa besar kepala kalau tahu ada orang mencemaskannya...

Ryo mengangkat bahunya, “Yah, sudah diperbaiki, seperti yang kau lihat,” Ia mengangkat lengannya, menunjukkannya padaku, “Monroe marah padaku, kurasa akan berakibat fatal pada gajiku bulan ini, lagi lagi gagal nikah deh, nasib” Candanya.

Aku hanya tersenyum mendengarnya.
Jika mendengar Ryo yang bercanda seperti ini, rasa khawatirku pun lenyap.
“Mikia melakukannya dengan baik,” Senyumku.

Ryo agak terkejut mendengar kata kataku, “Tunggu, kau tahu…?”

Aku tidak meresponnya.

“Kau-tahu-Mikia-selama ini---Padaku…?” Ulangnya.

“Apa peduliku,” Jawabku sekenanya, dan Ryo sukses melemparku dengan kaleng kosong bir, Aku mengelak menghindari lemparannya.

“Kau pasti tidak ingin aku menikah lebih dulu daripadamu ya… ” Kata kata Ryo langsung terhenti saat tendanganku nyaris saja bersarang dikepalanya.

“Jangan samakan pola pikirku denganmu, super bodoh.” Aku memaki.

“Aaaah, Bedebah,” Umpat Ryo terengah. “Teman macam apa kau?”

“Teman macam apa yang meninggalkan temannya untuk mati hanya demi seorang wanita masa lalu…?” Balasku, aku sudah dengar ceritanya dari Mikia.
Aku setuju dengannya, Ryo bodoh sekali…

Sahabatku hanya nyengir senang didepanku, “Yah, tapi kan… Tidak jadi,” ujarnya mencoba membela diri.
Pembelaan yang ia tahu tidak akan pernah kuterima.

“Jangan pernah lakukan itu lagi,” Aku berkata tajam, “Kukira hanya aku,”

Ryo diam mendengarkan.

“Kukira hanya aku, tapi jangan kau juga,”

“Aku juga hanya manusia,” Ryo terkekeh. “Aku senang kau mengkhawatirkanku,”

“Aku tidak peduli kalau kau mati dimakan Chimera sekalipun, tapi tidak dengan cara bunuh diri, itu…”

“Iya, iya, Aku bodoh,” Ryo mengangkat tangan tanda menyerah, “Bisa kita hentikan acara ceramah akbar ini…? Kau jadi seperti Alexander tua itu.” Setelah memastikan bahwa Mikia tidak ada untuk mendengar mulut lancangnya, ia kembali melanjutkan acara duduk santainya diatas nisan nisan tua.

“Sekali ini, hanya sekali ini, Lagipula kau tahu apa yang kucari selama ini sudah kutemukan,” Ryo mengerling kearah nisan baru yang masih basah oleh embun pagi,
"R'lyeh seperti keluargaku... Setidaknya sebelum aku bertemu denganmu,"

"Itu bukan alasan."

“Ya, ya, siap, Jendral.”

Aku membuang muka, betapa menyebalkannya.

“Tapi berkat itu, aku jadi tahu,” Ujarku lagi. “Dunia seperti apa yang kiranya ingin dibuat Tasuku.”

Hening.
Bahkan Ryo pun tidak menyela kata kataku saat ini.

“Tidak apa apa, Aku sedikit lebih memahami pemikirannya,
Didunia ini, ada beberapa hal yang, walaupun kau pahami, tidak akan dapat kau terima… betapapun kau berusaha keras memikirkannya.”

“Diluar logika, yah,” Balas Ryo, menanggapi ucapanku. “Undead yang dapat menunjukkan perasaannya, jika saja manusia yang sekarang bisa semudah itu menyatakan maksud mereka, semudah itu saling memahami, pasti tidak akan pernah ada peperangan karena orang bisa lebih mengerti antara satu sama lain seperti itu,
Segalanya sebaik kita mengenal diri kita sendiri, bahkan matipun takkan menyesal.”

Kami sama sama terdiam.
Tasuku… Ia memikirkan banyak hal.
Dalam hati aku kagum padanya.
Ia melakukannya dengan caranya sendiri.
Ditangannya, mungkin, mungkin saja Virus ini adalah anugrah tersendiri…

Tidak,
Betapa bodohnya,
Bodohnya aku yang memiliki harapan itu padanya.

Yang tidak dapat diterima adalah bagaimana ia menyakiti untuk mencapai hasil tersebut.
Berapa banyak yang harus ia renggut.

“Ternyata kalian disini!”

Seruan Mikia membuat aku dan Ryo menghentikan percakapan kami sejenak.

“Ah, selamat pagi, kakek,” Mikia tersenyum dan menyapa nisan besar ditengah tengah pemakaman."Dan selamat pagi R'lyeh,"

Pasangan bodoh...

“Darimana saja kau,” Ryo menyela,

“Belanja,” Mikia mengangkat kantong plastik besar yang penuh berisi belanjaannya, “Sedang tidak ada kerjaan? Mau sarapan bersama?” tanyanya padaku.

“ Yakin aku tidak mengganggu pasangan yang sedang kencan?” Aku merobek bungkus keripik yang disodorkan Mikia,

“Jangan tolol,” Umpat Mikia, “Tidak ada yang seperti itu disini.”

“Mengganggu! Jelas mengganggu! Kau juga ada keperluan lain, kan, Ar?” Teriak Ryo, Yang langsung dibalas dengan sikutan Mikia.
Aku tergelak mendengar kata ‘mengganggu’ dari Ryo.

“Kalau tahu aku begitu mengganggu dengan senang hati aku akan ikut,” Ujarku yang langsung menerima ajakan Mikia.

Mengganggu pasangan bodoh,
Ini akan sangat menyenangkan.

Diiringi tawa Mikia dan protes bertubi tubi dari sahabatku yang berisik,
Kami meninggalkan area pemakaman.


++++
 
Daina.


____________________________
_______________________




Aku duduk diantara bunga bunga matahari besar disekelilingku, sepertinya Tasuku membawaku kesebuah taman disudut lain kastil besar ini.
Tasuku benar, harinya cerah sekali, angin hangat bertiup menerbangkan helaian helaian rambutku, gugup, aku membetulkannya dengan jari jariku.

Tasuku duduk diatas sebuah hiasan terbuat dari batu besar berbentuk singa tak jauh dari tempatku berada, mengawasi.
Rambut keemasannya begitu sempurna dibawah cahaya matahari.

Aku membuang muka.
Berpura pura masih marah padanya.
Walau hal itu rasanya sangat sulit sekali.

“Kau pucat,” seru Tasuku, membuka pembicaraan, “Sudah lama sekali kau tidak keluar kemana mana kan? Ini baik untukmu.”

“Kau juga pucat,” Jawabku asal, merasa lucu dengan kata kataku sendiri, “Apa pedulimu tentang aku? Aku kan’ hanya menunggu pangeran berkuda putih.”

Tampaknya aku memancing kemarahan Tasuku lagi,
Ya Ampun, lihat betapa mudahnya ia terpancing emosi sekarang,
Aku tidak tahu aku mendapat keberanian dari mana.

Lancang, kupandangi Tasuku, bahunya tertarik kedepan, tapi sebentar kemudian tampaknya ia sudah tenang lagi.
Tentu, itu hal yang paling mereka semua bangga banggakan, ya? Kemampuan mengendalikan diri atau apalah.
Mereka kan’ hanya menganggap diri mereka sebagai pemangsa,
Seperti bunga pemakan serangga.
Semakin mirip tampilannya dengan mangsa mereka, semakin sempurna.
Aku meremas gaunku, membayangkan sudah menjadi apa suamiku dalam dua tahun terakhir.

“Bermainlah,” Ia berkata, nadanya seperti memerintah. “Tidak ada banyak waktu seperti ini kecuali sekarang.”

Aku mencabuti serumpunan bunga Blue Daisy dan melemparkan kearahnya.
Sejauh mungkin yang aku bisa, walau aku tahu takkan mungkin menjangkau tempatnya berada.
Setidaknya aku bisa menunjukkan padanya bahwa aku benar benar marah.

Tasuku –aku tidak tahu apa itu perlu tapi aku bersumpah melihatnya- menghela nafas.
Ia berjalan santai kearahku, jubah putihnya melambai dengan sangat anggun, memunguti tangkai bunga bunga yang kurenggut begitu saja.
Aku merasa bersalah akan bunganya, tentu saja.
Kadang aku begitu tidak bagusnya dalam mengendalikan emosiku, kuakui.
Tasuku memberikannya padaku.

“Lihat, Apa kau tidak kasihan pada bunganya?” Tasuku membelai Daisy ditangannya.
Memisahkan setangkai dengan yang lain, menunjukkan padaku.



Bagaimana setangkai keindahan yang ia angsurkan padaku itu kemudian layu sekejap mata dalam digenggamannya.



“Aku tidak punya lagi kemampuan untuk menolong bunga bunga ini,” Tasuku berujar, “Mereka yang terakhir lahir disekitar sini, kalau kau tidak mau tidak apa apa, kita tidak akan melihatnya lagi setelah ini.”

Aku terkejut mendengar kata katanya.
Dengan kasar kurenggut sisa bunga dalam dekapannya.

“Pergi…!” Bentakku seraya membalikkan badan. Kejam, Tasuku kejam sekali…!
Aku sama sekali tidak mengerti apa yang dipikirkannya.
Ia begitu dingin.
Ia yang dulu, Tasuku yang dulu… Tidak akan pernah berbuat begini…
Tasuku yang lembut, Tasuku yang baik hati,
Rasa sakit menyeruak dalam dadaku. Meskipun demikian… Aku selalu mengharapkannya, entah darimana keyakinan ini berasal.
Aku sendiri tidak tahu.

Cinta selalu memberikan kekuatan aneh kepadaku, aku mengerti itu saat aku mulai memilih untuk hidup dengan mencintai Tasuku.
Saat semua malapetaka ini terjadi.

Sedetik, dua detik, detik ketiga aku menolehkan kepalaku, melihat kebelakang.

Dia sudah tak ada disana.
Pergi dari pandanganku.
Aku yakin ia masih mengawasiku dari suatu tempat yang tidak tertangkap oleh mata manusiaku yang terbatas,
Kesal sekali rasanya, kenapa Tasuku menyebalkan begini?
Tidak minta maaf… juga tidak merasa bersalah sedikitpun.

Aku memeluk bunga Blue Daisy didadaku, merunduk, dengan sebelah tanganku aku menggali lubang diatas tanah, bermaksud menanam ulang kehidupan kecil tak bersalah yang harus menjadi korban karena ketidakmampuanku mengendalikan perasaan yang berkecamuk ini.

“Maafkan aku…” Bisikku,

Jika Dia tidak bisa mengucapkannya, Aku masih bisa.



++++
 
Tasuku.


____________________________
_______________________




Munafik,
Kenyataannya tidak bisa kuhentikan diriku sendiri, tersenyum melihat tingkah Daina barusan.
Terus mengawasi Daina dari balik jendela,
Istriku berjongkok memperbaiki tatanan bunga bunga disekelilingnya,
Gaunnya melambai dan rambutnya yang tergerai nampak begitu cantik.
Ia takkan tahu betapa aku memujanya.
Ratuku yang paling kucintai diseluruh dunia…

“Dia lembut,”

Aku menoleh, Stast sudah berada disampingku.
Sebisa mungkin aku menyembunyikan ekspresi senang dan banggaku atas pujiannya.

Ya, Ia suka bunga dan kupu kupu.
Hobinya berkebun dan mengawasi makhluk hidup.
Daina luar biasa, kan?
Dia cepat belajar, juga selalu bersungguh sungguh.

Ia wanita paling lembut dan keibuan yang pernah kukenal,
Ia juga lucu, patuh, jujur dan lurus.
Ia gadis ajaib yang bisa menjadi apa saja sesuai harapanku, tidak pernah sekalipun membuatku kecewa, ia keajaiban bagiku.

Lebih dari itu.
Ia hidupku.


Tapi diluar, kata kata sarat makna pemujaan itu tertahan hanya sampai dihati.
Aku tahu takkan bisa menyuarakannya.
Tidak lagi.

“Bagaimana dengan para penyusup itu?” Tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Stast tidak menyindir apapun lagi tentang Daina,
Sebaliknya ia malah menunjukkan antusiasmenya terhadap pertanyaanku.

“Yah, My Lord…” Ia mendesah bahagia. “Aku belum menemukan mereka, sebagian mungkin lari kedalam hutan, tapi jika ada yang sampai mencapai kastil ini, aku pasti sudah tahu…”

“Belum…?” Tanyaku tajam. “Harus berapa lama lagi aku melihatmu bermain main?”

Stast menyeringai sarkatis.

“Kau harus memastikan jangan sampai ada seorangpun yang mendekati tempat ini.”
Putusku akhirnya.

“Aaah, Aku mengerti,” Jawabnya, mengerling kearah Daina.
Tampaknya ia menyadari reaksiku yang berpura pura tidak terpengaruh.
Stast memancingku, aku tahu.
Kelihatan sekali ia ingin mendengarku bicara lebih banyak tentang Daina, ingin mengetahui isi hatiku sebenarnya.
Entah dia sedang mengobservasi atau apa,
Kentara sekali dari bahasa tubuh yang menampakkan rasa penasaran yang tidak bersusah payah disembunyikan itu.
Aku takkan membiarkannya tentu saja.
Aku sendiri bahkan belum tahu apa yang kuinginkan.
Tidak paham apa yang kulakukan.

Tanpa kusuruh bayangan Stast lenyap dalam sekejap,
Aku mendengar suara petir menggelegar.

Sebentar lagi akan hujan.
Kupandangi tuan puteriku yang tengah menengadah menatap langit, sebelum ia kehujanan aku harus menyuruhnya masuk.

Disamping kaki Daina aku bisa melihat dengan jelas bunga bunga itu telah ditanam kembali ditempatnya.



Mungkinkah sesuatu sepertiku bisa ditolong dengan kekuatan yang sama?



++++
 
Stast.


_________________________________
_________________________




Dari kejauhan aku melihatnya, bersamaan dengan hujan mulai turun, Raja kami menghampiri Pengantinnya, mendekapnya dari belakang.
Di awal saja gadis itu terkejut, tapi begitu mengetahui bahwa sosok yang berada sangat dekat dengannya adalah suaminya, ia membiarkan.
Wajahnya begitu sedih.
Tenang, tapi begitu sedih.
Raja kami membisikinya sesuatu, memperingatkannya agar tidak bermain main dibawah hujan.

Gadis itu agak ragu sejenak, raut wajah merajuk seperti anak anak marah akan sesuatu, hingga kemudian akhirnya mengangguk menyetujui, balas menggenggam tangan sang Raja yang membimbingnya masuk kedalam.

Cairan kehidupan jatuh dari langit membasahi rambutku, mengaburkan seluruh panca inderaku,
Aku menyipitkan mata mencari cari, membiarkan air hujan membasuh seluruh tubuh pendosaku, teringat kembali akan pertanyaan kuno yang selama ini terlupakan.

Undead hidup bersama manusia…?
Tidak… Pertanyaan lama itu adalah…


Manusia, bisakah hidup bersama Undead…?



Untuk pertama kalinya setelah puluhan tahun tanpa cahaya yang kulalui,
Aku kembali mempertanyakan eksistensiku.
Bagaimanapun pertanyaan menyakitkan itu lebih baik lenyap saja, musnah bersama impian tak berarti,
Tuhan hanya tercatat menciptakan mereka, bukan kami.
Hanya ada satu ras yang boleh berkuasa, seharusnya itu adalah mereka.
Dan ada hal hal yang tidak boleh ada, itulah kami.

Betapa tidak adilnya…

Aliran lembut air hujan bergerak meluncur diatas lapisan kulitku, aku bersandar pada pohon ek didekatku.
Menggenggam butiran air yang menetes netes ditangan ini.
Penuh kehidupan.
Sama seperti gadis itu, dipenuhi daya hidup.
Begitu kuatnya hingga sang Raja saat ini mungkin saja tidak lagi merasa mati…

Aku mempererat kepalan tanganku.
Mungkinkah ada sesuatu… yang lebih kuat didunia ini dari luka dihati kami?
Sesuatu yang lebih kuat bahkan dari perasaan absolut bernama dendam sehingga makhluk terkutuk yang keberadaannya lebih baik dimusnahkan seperti kami, bisa diterima…?



"Dia Undead, dan dia Dicintai."


Tidak pernah ada Undead yang dicintai, omong kosong,
Kalaupun ada, itu hanya kenangan sesaat, mereka akan melupakanmu,
Setelah mereka menyadari bahwa kau bukan lagi orang yang sama dengan yang dulu mereka inginkan.

Gerimis terhenti, hanya sesaat kemudian, bau setelah hujan, Stast ini selalu mencintainya…
Membuat segalanya terang melebihi apapun, memberikan kunci akan hal hal yang kau cari, hal hal sepele sekalipun, seperti gairah masa depan untuk 60 menit kedepan, kau seakan bisa bepergian jauh kemanapun kau suka tanpa terhalang masa maupun waktu.
Aku menghirup penuh kerinduan.
Stast membaui sesuatu yang lain.

“Ferina…” Bisikku dengan mata tertutup.

Seorang gadis berambut lurus panjang keluar dari rerimbunan,
Melihatnya seperti itu, kisah lama akan ibu hawa membuatku tertawa.
Karena aku tidak mungkin adalah sang Adam.

Ia mencekal pohon terdekat dengannya, bekas cakarnya menimbulkan lubang menganga pada sisi pohon, bibirnya penuh bagaikan mawar merekah semerah darah mengatup angkuh dalam kemarahan.

Aku hanya berkomentar “Aneh… Aku tidak membaui apapun didekat sini, kau tidak sedang menyembunyikan sesuatu, kan?”

Ferina diam saja, “Jika,” ia mengibaskan helaian keemasan rambutnya, “Ada yang menyembunyikan sesuatu disini,”

Sunyi, ia seperti mengumpulkan keberanian untuk mengatakan kelanjutannya.

“Itu adalah kau, Stast.”

Perlahan Stast ini membuka matanya,

“Dan apa kiranya yang bisa kusembunyikan darimu…?”

Ferina tersenyum sinis. “Macam macam, misalnya saja, Hasrat.”
Aku ikut tersenyum,

“Jika, sesuatu sudah diketahui orang lain dengan amat baik seperti itu, tidak ada gunanya lagi menggunakan istilah ‘sembunyi’ untuk menggambarkannya…”

Senyum diwajah Ferina memudar.

“Aku tahu apa yang sedang menjadi ketertarikanmu saat ini,” Ia mendesis lembut tetapi kejam, “Tidak ada gunanya impian bodoh sekarang, untuk kita, tidak ada jalan kembali, dan perempuan itu,” Ia mundur dariku, namun tetap mempertahankan nada bicaranya, “Aku tidak akan membiarkannya mengubah apapun, entah apa yang harus terjadi pada diriku.”

Dalam seperkedipan mata, Aku merengkuh tubuh maha indah dengan kulit bagaikan pualam itu kedalam dekapanku.
Membuatnya paham dengan siapa sebenarnya ia bicara sekarang.
Ferina tidak sempat mengelak, tenggorokannya tercekat.

“Aku tidak mengerti perasaan macam apa yang tengah kau rasakan saat ini, Aku yakin tidak akan ada yang berubah…,
jangan melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan perintah, kau mengerti?” Bisikku. “Aku tidak tahu apa yang kau rencanakan, tapi Raja kita adalah Raja kita, jika kau sedikit saja memperlihatkan gelagat akan mengkhianatinya,”

Aku meraih pergelangan tangannya, menekannya lembut, mematahkan dengan begitu mudah.
Ferina menjerit tertahan.

“Kau akan musnah menjadi debu…”

“Aku menger…ti… Lepaskan aku,” Pinta ciptaanku lemah, seiring dengan kemampuan regenerasinya membetulkan letak tulangnya yang retak.

Aku mencium bagian samping lehernya sebelum melepaskan.

Ferina menjauh, lebih hati hati dan waspada seakan aku adalah ancaman lain baginya.
Aku membiarkan saja ia berpikir begitu,

“Ada sesuatu yang seharusnya tidak disini, bersembunyi,” kataku cepat sebelum Ferina sempat lari dariku, “Tidak ada satupun yang mampu bersembunyi dari hyena macam kita, kecuali memang sengaja disembunyikan,”

“Mana aku tahu!”Dengus Ferina kesal.
Masih memperlihatkan kemarahan yang sama, hanya saja kali ini ada sebagian rasa takut mewarnai bola mata ruby-nya yang indah.

“Begitu…” Aku mengalihkan pandangan, “Tapi kuharap kau mengingat dengan baik kata kataku barusan.”

“Aku akan mengingatnya!” Jerit Ferina kesal, “Aku akan membantumu melakukan pencarian, agar kau puas dan tidak sembarangan mencurigaiku lagi,”

Aku tersenyum menanggapi tawaran menyenangkan itu, “Betapa baiknya kau.”

Luciferina berdecak kesal sebelum akhirnya melesat dengan cepat, hilang tak berbekas dikedalaman hutan.


Aku kembali meneruskan lamunanku.
Memikirkan cerita cerita lama seribu satu malam, Grimm, apa saja,
Pada akhirnya semua hanya terfokus pada satu hal,
Keajaiban...



+++++
 
Stast. (Lanjutan)


______________________________________

______________________________



“Kenapa kau agak pucat?”
“Tidak apa-apa,kok,aku…mungkin aku terlalu banyak berendam…”
“Kalau begitu jangan terlalu memaksakan diri,kau harus segera bilang padaku kalau ada sesuatu yang mengusikmu,” bisikannya terdengar demikian lembut ditelinga.

Lengan sang raja tak henti-hentinya melingkar mesra diantara pinggang gadis mungil dipangkuannya, sangat khawatir melihat rona merah jambu dipipi sang pengantin semakin memudar karena gugup.
Menggunakan jari, Ia menyisiri rambutnya dengan lembut,


Terus memesrai sang pengantin tanpa peduli walau Stast ini berada didepan mereka.


Jika bukan karena kepentingan sesuatu yang harus dilaporkan secara mendadak, mustahil ia mau diganggu disaat begini,

Ia tidak memarahi pengantinnya dan mengusirnya seperti dulu, sebagai gantinya, ia tidak sekalipun menyembunyikan kewaspadaannya.
Aku agak geli, siapa yang ingin mencuri dan memakannya jika tahu ia adalah properti pribadi milik yang mulia?

Gadis itu terlihat jengah,sepertinya ia sendiri agak tidak nyaman diperlakukan seperti bayi begitu,
tapi kenyataannya ia sendiri tidak dapat menahan dirinya untuk tidak membelai helaian anak rambut sang raja yang jatuh dari samping wajahnya hingga ke pipi dengan semburat warna keemasan,

ah,ya…,benar juga…, meskipun sang raja tidak mengakuinya, siapakah yang peduli jika mereka sedang dimabuk cinta demikian kuat?
tidak peduli pada aturan, moral, atau apapun. Hubungan yang terlarang.
Dan pasangan suami-istri sinting.

“Hm,kau tidak ingin bicara apapun padaku,Stast?” setelah sepuluh menit berlalu barulah pria dengan aura rembulan dan wangi mawar yang pekat memabukkan itu memalingkan wajahnya menghadapiku.

Aku seakan tidak dapat menahan rasa penasaranku,melihatnya yang begitu bahagia,


Kenapa bisa? Mengapa sebahagia itu?!


Mereka bukan pasangan serasi! Manusia dan Undead, hubungan yang membahayakan, penyimpangan yang mempertaruhkan nyawa…
Kuperhatikan rona bahagia gadis itu,ia bahagia…begitu bahagia…
Apa ia tidak menyadari ia bisa saja mati tiga detik lagi?! Apa tidak sadar pada akibat yang akan mereka timbulkan dari hubungan mereka?! Sebenarnya atas dasar apa mereka bisa bertahan?!

Kulihat wajah lega-nya bersandar pada pangeran.
Pangeran kami, penguasa kematian…
sambil menyimpan perasaan aneh dalam dadaku,kuteruskan kalimat

“Kulaporkan, bahwa tiga dari wilayah jajahan kita direbut,”
Wajah pangeran berdarah berubah muram seketika.

“Mengapa bisa?” ia bertanya parau.

Aku menunduk.
menimbang-nimbang,apakah harus kujelaskan sekarang.
Melihat situasi dan kondisi yang sepertinya tidak tepat saat ini, namun aku tidak pernah sekalipun meragukan kemampuan rajaku, aku telah pantang mundur sekarang, maka akhirnya kuputuskan untuk melanjutkan.

“Karena kakakmu, My Dear Descendant…” tidak hanya sang raja yang terlihat amat terkejut mendengar kata-kataku, tuan puteri berambut sama gelapnya dengan kayu mahogani itupun terlihat pucat pasi,
Aku tahu instingnya memerintahkan agar lebih baik ia tidak mendengar lebih jauh hal hal yang mungkin akan menyakitkan hati,
Karena ia melakukan gerakan seperti akan beranjak dari pangkuan suaminya, namun Tuhannya didunia itu malah menahan pinggulnya disertai sikap protektif agar tetap ditempat, duduk dengan nyaman diatas sofa berwarna magenta dengan aksen keemasan bersamanya.

“Teruskan,” perintah sang raja ingin mendengar lebih jauh.
Aku tahu inilah yang kunantikan sedari tadi, ‘perhatian yang terlambat’ ia berikan pada laporan yang sangat-sangat penting,
Ia tidak biasanya begini, seperti mabuk akan sesuatu.
Aku penasaran, ketika ia masih menjadi manusia, apakah ia juga seperti ini?
akupun menghela nafas bersiap.

“Kakakmu saat ini memimpin Paladin,musuh kuat yang sekarang memiliki posisi sebagai Kaisar yang sama kuatnya denganmu…”



++++
 
Daina.



____________________________
_____________________




Kak Ari.
Yang ia maksud pastilah kakak…

Aku terhenyak mendengar nama itu disebut,
Apalagi ia telah menjabat sebagai Jendral besar yang memimpin Paladin.

Tasuku tidak banyak membicarakan kakaknya sekarang, tapi aku yakin kakak masih melihatnya dengan cara yang sama, melihat kemungkinan dan harapan yang sama denganku,
Jika aku bisa bersama dengannya, jika kami telah menemukan sebagian cara untuk menangkal malapetaka ini,
Apakah terlalu serakah jika kami mendamba keluarga kami, keluarga yang utuh, sama seperti dulu?!
Apa ini terlalu serakah, Tuhan?!

Aku memegang tangan Tasuku yang semakin dingin,
Itu tidak mungkin,Daina…
Tidak mungkin ada keajaiban…sebanyak apapun kau memintanya,keajaiban itu tidak akan terjadi…sulit…

Jangan. Jangan kakak.
Apakah mereka berdua akan saling bunuh lagi? Terus seperti ini sampai salah satu dari mereka mati konyol di arena maut?

Kepalaku pening lagi,belakangan makin sering,
“Jika terus begini tidak ada pilihan lain bagiku selain aku sendiri yang harus pergi meraih kembali apa yang telah direbut dari kita” ujar Tasuku tenang.

Pergi lagi?! Berperang lagi?!
Itu artinya akan ada pertumpahan darah lagi antara kakak beradik itu,
Apa yang bisa kulakukan untuk mereka?
Aku punya banyak sekali pertanyaan, selain itu…akh….
Buram lagi,aku menyenderkan kepalaku dibahu Tasuku, mencari pegangan,
Aku ingin sekali.
Ingin.
Ingin sekali menyela percakapan itu, mengatakan dengan tegas bahwa ‘Ia-dan-kakaknya-tidak-akan-berkelahi-lagi.’
Aura menakutkan Vampir berambut hitam dihadapanku begitu menekan, sehingga sepatah katapun tidak bisa kuucapkan.
Menyakitkan, melihatnya saja sudah menyakitkan.
Aku tidak bisa berbuat apa apa untuk mereka, Tasuku dan Kak Ari, dan itu rasanya sangat sakit…

“Kapan waktu tepatnya,My Lord?”

“Paling lambat tiga hari dari sekarang…,Invasi baru akan dimulai,aku yang akan ada disana memimpin kalian,”

“Segera kusiapkan pasukan kita,”

“Senjata virus yang kita kembangkan, saatnya membuat ujicoba,Stast!”

Suara-suara berputar disekelilingku,aku tidak dapat lagi membedakan…yang mana…bicara pada siapa…
pandanganku akan sekeliling kabur.

“Daina…?!” sapuan tangan halus Tasuku di pipiku membuatku tersadar,aku menatapnya,saat itu apa yang kulihat bercampur aduk.

“Kau kurang sehat? Mau istrirahat?” ah…,rasanya nyaman sekali mendengar nada sehalus beledu itu bergaung mesra penuh rasa cinta dan rasa kasih sayang terhadapku…

“Maaf,Tasuku…” sahutku sambil menyentuh kepalaku yang rasanya berputar,aku tidak ingin merepotkannya…harusnya aku tidak memikirkan apa-apa…

“Aku…mu…mungkin aku hanya agak ngantuk…mungkin aku kurang tidur?” ujarku lagi dengan senyum yang dipaksakan, aku terpukau menyaksikan mata topaz berkabut agak jingga itu menatapku tidak percaya,

Ia menghentikan pembicaraan penting hanya untukku,karena itu saja aku sudah merasa sangat tidak enak,

“Aku akan mengantarmu,” ia berdiri akan menggendongku, aku menepis tangannya,dan mata itu melempar sorot kecewa karena penolakan yang kulakukan.

“Aku bisa sendiri” aku tertawa hambar,berusaha menetralisir rasa mual di perutku yang tiba-tiba datang,

Dia dan kakak… keluargaku akan saling bunuh lagi, membayangkannya saja sudah… ugh…

Agak tertatih aku bangkit,aku melihat si vampir berambut hitam menatapku dengan tatapan aneh melalui bola mata onyx-nya, matanya hitam sama seperti kakak, tapi tidak ada kehangatan didalam sana, kosong, hampa,
Jika kau berharap Vampir ini akan meanatapmu dengan sorot lapar mengerikan, Kau akan kaget karena kau tidak bisa menemukan emosi apa apa saat kau melihat matanya, bahkan kilatan cahaya yang biasanya terdapat pada bola mata makhluk hidup.
Ia dingin, bahkan aura yang berada disekitarnyapun membeku.
kucoba untuk tidak mempedulikan bulu kudukku yang meremang dan berjalan terus.

Seisi ruangan serasa berputar ketika aku melangkahkan kaki-kaki lemahku diatas karpet tebal,aku sempoyongan,berusaha meraih gagang pintu,
Tapi aku terhenti tepat didepan pintu kayu ek besar itu…,mencari perasaanku yang hilang, denyut nadiku melemah…,

lalu gelap,

Detik berikutnya aku merasa tubuhku oleng,
teriakan kekasihku yang memanggil namaku, adalah musik terakhir yang bergema ditelingaku…

++++
 
Tasuku.


______________________________
_________________________



Aku menyentuh pipi Daina dengan kalut, istriku masih tergolek tanpa daya, badannya panas.

Stast masuk kedalam kamar, berdiri disampingku begitu saja,
ia ikut menyentuh dahi kekasihku, Entah mengapa aku tidak bisa menghentikannya.
Aku merasakan percaya diri yang aneh…

“Kelihatannya hanya anemia, Dan kelelahan akibat stress ringan,”
Tentu, tak usah diberitahupun aku sudah tahu, aku seorang dokter.
Tapi kata kata Stast seperti menamparku.
Stress, tentu saja,
Berada disini memberikannya tekanan batin lebih daripada yang sanggup ia tahan.
Aku mengutuki diriku sendiri mengapa aku harus membicarakan tentang rencana pembunuhan tepat dihadapannya.
Terlebih lagi, pembunuhan itu ditujukan kepada satu satunya keluarga kami didunia…


Apa yang harus kulakukan untuk menolongnya?!

“Tasuku…” lagi-lagi ia mengigau,badannya panas sekali, kucoba memberikannya obat, dan sepertinya itu sedikit membantu,
Tak kupedulikan lagi Stast sedang melihatku dalam jarak teramat dekat.
Kugenggam tangan Daina erat erat, menempelkannya didahiku, perasaan kami terhubung dengan cara yang aneh.

“Jangan…membunuh lagi…”
Air mataku jatuh, ia menyebutku dalam mimpinya, menyuarakan harapan yang selama ini ia sembunyikan dariku.
Emosiku seharusnya mati, kenapa aku merasakan kesedihan?

“Jika terlalu berat, kau bisa menariknya ke sisi kita, dengan kemampuanmu sekarang itu mungkin,”
Aku diam saja, Kata kata Stast memang keterlaluan, saran yang kejam, tapi ia benar,
Harusnya kulakukan saja.
Tidak akan ada yang berubah.
Jika hanya untuk menariknya kesisi kami dan mengubahnya, mungkin akan lebih sempurna, bisa saling melihat kedalam hati satu sama lain, betapa menggiurkannya.
Dan kabar yang lebih baik lagi, aku masih tetap bisa menyimpan cinta milik Daina untukku sampai akhir zaman.
Aku yang sekarang sanggup.

Aku bisa melakukan apa saja, membunuh sebanyak apapun, menghidupkan orang mati, membuat surga ataupun neraka, semua untuk mendapatkan kalian yang kucintai, kembali ke tangan ini.
Aku sanggup menghancurkan dunia, meruntuhkan hidup siapa saja yang menghalangiku.
Duniaku adalah orang orang yang kucintai, kalau orang orang itu tidak ada, sama saja dunia tidak ada.
Tapi,
melukainya lebih dari ini…



Aku tidak sanggup.



Aku tidak ingin ia mati, Apapun akan kulakukan…apapun!
Betapa aku menyadari sekarang, Daina berharga karena ia hidup, aku takut ia terluka justru karena ia mampu merasakan sakit.
Tuhan, aku sangat menyesal…
Melihatnya sekarat didepan mata begini…
Aku bersedia mengorbankan jiwa raga ini,asalkan aku dapat melihatnya hidup dan tersenyum seperti sedia kala,
Bersamaku, Meminjamkan kekuatannya.
Genangan air mata dipipiku semakin menganak sungai, aku tahu aku bersalah,tapi mengapa hukuman ini diberikan kepada orang orang yang kucintai?!

“Jangan membunuh…lagi…”

Suara igauan Daina membuatku tersadar,aku tidak boleh menjadi lemah seperti ini,aku harus berpikir…
Masa bodohlah, aku sanggup melakukan apa saja sekarang.
Tuhanku, jika ini cinta, maka apapun menjadi mungkin.


“Aku tidak akan membiarkanmu terluka, aku akan melindungimu, aku berjanji.” Bisikku lembut disamping telinga Daina.
Kugenggam erat tangan Daina, mengelus jemari rampingnya,
merasakan kehidupan lain mengisi jiwa ragaku yang kosong.
Vampir tua yang menjadi guru besarku tidak mengatakan apapun lagi, aneh…
Ia tidak pernah sekalipun menentang apa apa yang kulakukan.
Lalu kurasakan keberadaannya lenyap begitu saja, bersamaan dengan suara desau angin yang menerpa tirai panjang melewati balkon kamar pengantinku.

Kuusap lembut pipi istriku, hatiku mengumandangkan berbagai macam doa yang kutahu.
Berharap Tuhan memberkati kami.


++++
 
Mikia.


____________________________
________________________




“Ari bisa melakukannya dengan sangat mudah, kenapa aku susah sekali yah,” kucoba sekali lagi memasukkan minyak kedalam pasta, Ryo menahan tanganku tanpa mengatakan ‘cukup’,

"Harusnya langsung ditiriskan saja, tidak usah ditambahkan minyak juga tidak apa, kan' mau langsung dimakan,"

"Tapi nanti lengkeeet,"

kalau tidak lengket ya kebanyakan minyak, itulah hasil pekerjaanku, yah, aku sudah terbiasa sih…

"Menyebalkan," Gerutuku, "Masa' soal beginian aku harus tanya pada Ari?"

“Kalau perbandingannya adalah Ari, susah itu,” timpalnya, menggulung pasta dengan garpu lalu serta merta memasukkan kedalam mulut, “Yak! Sempurna! Ini enak kok!”
Ia membantuku menata makanan diatas meja tamu, aku cukup senang ia meluangkan waktu untuk menemaniku begini, Tidak aneh memang, karena semenjak kakekku meninggal ia sering mampir,
Rasa persahabatan Ryo yang dalam kadang kadang membuatku merasa tidak enak menolaknya,
Namun mengingat aku yang baru baru ini menyatakan perasaan pada orang ini,
Ingin rasanya menenggelamkan diri jika bertemu dia.

Ryo santai sekali, tidak pernah mengusik sedikitpun tentang pengakuanku malam itu,
Dihatiku terbersit sedikit rasa penasaran memang,
Ingin tahu apa saja yang dipikirkannya, ingin ia berinisiatif membuka pembicaraan tentang kami, agar segalanya menjadi jelas, agar aku tidak harus menderita digantung begini.
Kurang ajar, kalau begini aku dan Ari tidak ada bedanya dong?

“Ada sesuatu diwajahku?” Tanya Ryo sambil menyuap, aku terkesiap, Sudah berapa menit aku tidak menyentuh makananku sama sekali dan berhenti memandanginya?

“Tidak ada,” Berpura pura melihat kearah jendela, aku membuang muka, bergaya judes seperti biasa, “Oh yah, kau hari ini akan menemani Ari rapat kan? Itu hebat sekali, aku sering diajak kakekku dulu, berat tapi,”

“Yeah, nanti sore” Ryo, seperti dugaanku, terlihat agak tertekan, ia muram sekali, lucu memikirkan orang yang seharusnya paling tertekan adalah Ari, ia mengkhawatirkan sahabatnya itu dengan cara yang unik.

“Kenapa tidak Syeikh saja yang menemani?” tanyaku, “Urusan seperti ini memang sebaiknya didampingi oleh yang berpengalaman saja,”

“Aku mau begitu,” Ryo menyentuh telinganya, agak bingung, “Tapi Ari menginginkanku…”

Ari menginginkanku… Oh ya ya ya…

Stop, Mikia, Jaga otak Fujoushi-mu disaat seperti ini.
Jangan Fangirling tidak jelas begitu.
Tidak bisakah kau jadi manis sedikit seperti Daina?
Aku mendesah tidak karuan, setiap kali aku melatih senyum polos seperti milik Dai, entah mengapa yang kulihat didepan cermin adalah wajah cewek idiot lega habis kentut setelah tiga tahun sembelit.

“Itu fotomu yah?” Ryo menunjuk kearah pigura berbingkai warna hijau lumut disebelah tempat dudukku, aku menoleh untuk melihat apa yang menarik perhatiannya.

“Oh, yah, benar,” Senyumku, “Aku lucu yah?” Didalam foto itu aku menggenggam bunga lily, mengenakan terusan putih dan topi, sedang digendong oleh kakekku,

“Itu umur berapa?” Ryo ikut tertawa kagum,
Membuatku berpikir keras mengingat ingat.

“Hmmm… berapa ya? Mungkin sekitar 7-8 tahun? Kau tahu, saat kecil aku hiperaktif, aku sering menyelinap ketempat pelatihan, membuat repot semua orang, aku menarik pelatuk pertama kali saat usiaku 5 tahun, bisa kau bayangkan reaksi kakek saat itu?”

“Dan masih saja, dia ingin menjauhkanmu dari pekerjaan ini,” sambung Ryo.

Aku mengangguk bersemangat, “Yap! Walau akhirnya dia harus mengalah, hehe,” Tiba tiba senyuman diwajahku mengendur, “Seandainya saja dia ada disini sekarang…”

Ryo kali ini tidak tertawa lagi,

“Dia dan ayahku adalah sahabat dekat, sejak Alexander Boracnitchov wafat, bisa dibilang ayahku-maksudku Syeikh- jadi agak pemuram,” Gumamnya, “Aku kadang berpikir,”
Sambil menyendok saus daging banyak banyak, aku mendengarkan, “Aku tidak ingin kehilangan Ari seperti itu.”

“Ryo…”

“Kadang membayangkannya saja sangat sedih,”

“Seandainya saja adiknya bisa menyayanginya sepertimu,” aku berkata pahit, tak kusangka Ryo malah menyanggahnya,

“Tidak, ia lebih,” bantahnya halus, “Jika tidak sesayang itu, dia tidak mungkin jadi gila karena kehilangan…”

Aku tertegun.
Ryo adalah Ryo… Dia mengerti orang lain lebih baik dari siapapun.
Cukup mengagumkan bahwa ia masih bisa melihat Dr.Gabriel dari sudut pandang manusiawi seperti itu, padahal orang tersebut adalah musuh…
Ryo baik hati, dia tidak sadar kalau dia baik hati.
Itulah yang paling menarik darinya,
Kelakuannya juga tidak mencerminkan seseorang yang baik hati.
Tapi ia bisa mengerti hal hal yang sulit dipahami orang lain.
Tidak aneh, ia bisa bersahabat dengan Ari yang ‘Seperti itu’, Tahulah, Ari mudah dibenci karena sikap dinginnya, dan sekalinya ia bicara, yang keluar dari mulut sialan itu malah kata kata pedas tidak layak yang membuatmu semakin ingin menendang wajah tampan nan stoic itu.
Aku sendiri jika sudah membenci orang, tidak bisa lagi berpikir sehat tentangnya.

“Aku selalu berharap aku bisa melihat dari sudut pandangmu,” ucapku sungguh sungguh, “Kau pastilah selalu memandang sesuatu dari segi baiknya saja, hm?”

“Aku apa?” Tukas Ryo bodoh.

“Oh sudahlah, lupakan saja,” Sial, sudah bersusah payah memuji. “Dan terima kasih sudah mengunjungiku, rumahku sepi sekali sejak kakek tidak ada,”

Ryo kelihatan sudah menghabiskan makanannya, laki laki makannya cepat, aku saja masih banyak sisa dipiring, hah,
“Pasti sepi sekali yah,” komentarnya sesaat, Ia kelihatan diam, termenung memikirkan sesuatu yang tak kumengerti, aku menelan makananku, bertanya tanya hal apa kira kira yang ada diotaknya saat ini.

Tak berapa lama ponsel lelaki itu bordering, “Ini pasti Ari,” Ia memberitahuku, membaca sms yang dikirimkan Ari untuknya, Aku tak kalah antusiasnya dengan Ryo,

“Aku harus pergi sekarang,” katanya lembut,

Agak kecewa sebenarnya karena waktu cepat sekali berlalu, walau begitu, ini tidak seperti aku bisa melakukan apapun kan?
Aku toh bukan siapa siapa,
Menahannya sedikit lebih lama lagi juga memalukan, dan hari inipun sampai akhir dia tidak membahas tentang pernyataan cintaku.



Aku ditolak.
Jelas saja.




“Oh yah, Mikia,” Sapa Ryo tepat didepan pintu, lamunanku terhenti, masih mengunyah karena makanku lambat, garpu berada didekat mulutku, sedang berpikir berapa banyak persediaan tisu yang tersisa dirumahku, apakah cukup, karena mungkin setelah ini aku bakal nangis Bombay gara gara patah hati,
Atau haruskah kulampiaskan kekesalanku dengan makan banyak banyak saja? “satu hal lagi,”

“Yaaa?” Sahutku dipanjang panjangkan, Ada apa lagi sih?

Cring! Aku menangkap sesuatu berkilauan yang ia lemparkan keatas pahaku, sial, nyaris masuk kedalam piring, kalau tertelan bagaimana? Eh, memangnya aku anjing laut yang menelan apa saja begitu? Azz konyol Mikia,
aku memungut benda tersebut untuk melihat lebih jelas, mataku membulat penuh ketidak mengertian.

Kunci… kamar?

“Mulai sekarang, pindahlah ketempatku,” Ryo tersenyum santai sambil memasang sepatunya, “Ayo tinggal bersama,”

Cepat sekali ia menghilang dibalik pintu, bahkan tanpa menunggu persetujuanku,
seakan yakin gagasan mendadaknya pasti tidak akan ditolak,



Bahkan tidak mengindahkan reaksiku yang membatu bak tersambar petir disiang bolong.


++++
 
Back
Top