~DESCENDANT OF THE DEATHMASTER~ by:DYNA

bagaimana menurut kalian novel pertama Dyna (daina) ini?


  • Total voters
    35
Flashback (Lanjutan)


_________________________________
____________________________


Aku terbangun dalam keadaan shock, tertekan, keringat dingin menetes dari dahiku,
Mengigau, Gemetar dan marah, berbagai macam perasaan bercampur aduk dikepalaku.

“Kau demam,” Sentuhan lembut membelai kulitku, menyadarkanku bahwa aku sudah berada ditempat yang aman, lelaki itu, si mata Hazel, menepuk nepuk pipiku dengan handuk basah.
Aku melihat kesekitar, antara bingung dan letih.
Tak ada apapun yang sekiranya mengancam jiwaku, hanya ada air terjun, juga kabin tak jauh dari tempat kami berada.

“Maaf tidak langsung membawamu kedalam sana, udara terbuka sepertinya akan lebih baik untukmu,” Katanya sambil mencelupkan handuk kedalam baskom berisi air hangat, aku terhenyak.
Memperhatikannya dari belakang,
Oh baiklah, Mikia, ini memang menyebalkan, tapi dia sudah merawatmu...
Kau tidak mungkin menendang orang yang sudah merawatmu kan?
Kalau mau, tendanglah temannya...

“Kau… dipanggil Ryo, kan?” Tanyaku ragu ragu, “Aku… terima kasih sudah menyelamatkanku,”

Gerakan tangan yang tengah memeras handuk basah itu terhenti, Mata Hazel itu berpaling menatapku,
“Kau seperti yang kubayangkan,” Ia tersenyum.

“Seperti yang kau bayangkan?” Aku tidak mengerti.

“Kau manis,”

Mendadak saja wajahku terasa sangat panas dibuatnya.
Sesaat aku tidak tahu harus memasang ekspresi seperti apa.

“Daerah sekitar sini sudah disterilkan, aku juga sudah memasang ranjau, jika ada yang mencoba masuk kita pasti tahu.” Itu dia, si suram tiba tiba datang,
Aku langsung berdiri, tidak mempedulikan kakiku yang masih belum dapat berpijak dengan benar tanpa berhenti gemetar, Meninjunya sekuat yang aku bisa.

“Kau itu manusia atau bukan…?!” Bentakku.

“Hei, Hei,” Ryo menyela,

“Kalau dengan memukulku masalahmu bisa tuntas, lakukanlah,” Pemilik bola mata onyx itu malah pasang wajah menantangku.

Dengan berurai air mata, aku menamparnya lagi, lagi dan lagi, sampai semua tenagaku habis rasanya,
Sayang sekali keadaanku tak begitu bagus, seandainya aku sebagus biasanya,
Pasti lehernya sudah patah.

“Ar…”

“Biarkan, Ryo,”

Tapi lelaki suram itu tidak membalas sedikitpun.
Ia menerima saja semua sumpah serapah dan caci makiku, sampai akhirnya aku kelelahan sendiri,

“Sudah puas…?”

Aku terduduk lemas, mencari cari sesuatu untuk disalahkan, Ryo dengan sabar menyelimutiku dengan handuk kering,

“Kau brengsek,” Makiku terus saja, “Orang lemah tidak pantas jadi Paladin, katamu? Kalau begitu orang tak punya hati lebih tidak pantas lagi!”

“Lalu apa masalahmu selesai, sekarang?”

“Ar, pergilah,” Pinta Ryo pelan, “Kumohon,”

Orang itu, Aryanov Gabriel, bergumam entah apa, sama tidak puasnya denganku,
ia membalikkan punggungnya tanpa pertanyaan, melangkah menuju kabin dibelakang kami.

Benci, aku benci sekali.
Menahan tangis, aku memeluk lutut, dia benar benar menyebalkan, aku tidak pernah bertemu orang semenyebalkan itu.
Tanganku masih gatal ingin memukulnya sampai hancur.

“Kau lapar…?” Tawar Ryo padaku, menyodorkan sepotong roti,

“Kenapa kau tahan sekali,” Aku menunduk,

“Hah…?”

“Kenapa kau tahan sekali bersama orang seperti dia,”

Tanpa kuduga, Ryo tertawa terbahak bahak sambil memegangi perutnya.

“Ari, maksudmu?” Ia masih sibuk menahan tawanya, usahanya sia sia, Aku mendelik tidak senang dan ia masih berusaha melakukannya.

“Ia cuma kelihatannya saja begitu,” Ujarnya santai, ia mengacak rambutku, “Ari itu Tsundere, Dari luar dia kelihatan seperti orang tidak berperasaan dan kejam, tapi sebenarnya ia baik hati,”

Omong kosong, aku membuang muka.

“Hey,” Tegur Ryo, Aku segera mengalihkan perhatian dengan mengunyah rotiku, lapar sekali rasanya…
Ini sudah hampir subuh, lagipula…

“Cobalah berteman dengannya, kau akan tahu kebaikannya,”

“Sampai matipun aku takkan mau,” Kali ini aku menenggak air mineral pemberian Ryo dengan rakus.
Membayangkannya saja aku muak, apalagi berteman dengan orang macam itu.

“Kau terlalu baik,” Entah darimana datangnya keberanianku, mengucapkan kata semanis itu kepada lelaki bermata Hazel dihadapanku, yang tersenyum menenangkan. “Aku heran mengapa orang sepertimu dan dia bisa berteman baik,”

“Aku tidak sebaik yang kau kira,”

Aku berani bersumpah aku mendengarnya membisikkan hal itu,
Mengerutkan alis, kupandangi ia tanpa berkedip.
“Hanya Ari temanku satu satunya,” ia tertawa, “Justru kata kata itu harusnya kau tujukan padanya, Aku ini suka seenaknya, bahkan ayahku pun tidak pernah cocok denganku,”

“Tapi kepadaku, kau…”

“Itu beda, kau wanita,” Jawabnya terkekeh, membuatku cemberut sekali lagi.

“Kenapa kau selalu membeda bedakan gender, sih?”

“Hmm?”

“Tidak semua wanita itu lemah,” Ujarku membusungkan dada. “Aku juga takkan kalah dari kalian laki laki,”

Ryo diam sebentar, berpikir, “Kau benar,” akhirnya ia berkata sambil tersenyum, “Wanita itu kuat, karena itulah kami para laki laki harus menghormati dan selalu mengutamakan kalian.”

Kata kata klise, anehnya, aku sama sekali tidak merasa terhina atau direndahkan.
Ia menyampaikannya dengan halus, Prinsipnya.

“Kurasa sebaiknya kita kembali ke kabin,” Ryo mengulurkan tangan padaku, “Beristirahatlah, persetan dengan kamera pengintai itu, jika situasi seperti ini dihitung juga, celakalah mereka.”

Oh yah!
Aku baru saja ingat, aku ingin menanyai Monroe mengenai apa yang terjadi.
Tapi keberadaan Ryo dan si suram disekitar membuatku mengurungkan niatku.
Tak apa, aku akan cari kesempatan itu,
Sekarang memang sebaiknya aku memikirkan untuk beristirahat.

-
-
-
-

Aryanov Gabriel yang bermata menyebalkan sudah menunggu kami saat kami tiba didalam kabin,
Ia melemparkan dua buah selimut kepada Ryo –kurasa sebaiknya aku sedikit berterima kasih dengan memanggil nama depannya- lalu kembali cuek melanjutkan kegiatannya membersihkan pedang.

“Kau tidurlah, ini pos kita, tidak banyak yang kesini, tapi lumayan lengkap kok,” Ia menunjuk lemari yang penuh berisi makanan kaleng. “Ada senjata juga, walaupun aku ragu apakah ada persediaan peluru untuk bazooka,”

“Siapa sebenarnya kalian…?” Tanyaku menyelidik, “Kalian tampak terbiasa sekali dengan tempat ini,”

Ryo tertawa, “Cuma orang orang yang pernah gagal ujian masuk sebagai prajurit,” jawabnya enteng. “Sekarang apa kau mau berhenti mempermasalahkan peringkat?”

Aku tercenung.
Betapa bodohnya aku,
Tidak menyangka, kukira mereka anak pintar entah darimana, ternyata…

“Aku sudah tidur tadi,” elakku, “Lagipula memang harus ada seorang yang berjaga, kan,”

“Kalian istirahatlah duluan,” si suram menyarungkan kembali pedangnya, bangkit dan berdiri, “Biar aku yang jaga.” Lalu tanpa menunggu persetujuanku, ia sudah lenyap dari pandangan.

Baik aku ataupun Ryo sama sama diam sampai langkah kaki yang berat itu tidak terdengar lagi.
Ryo kembali membuka percakapan.

“Sudah kubilang, Ari itu Tsundere,” Pemuda disampingku terbatuk menahan tawa, “Dia selalu bilang tidak peduli, marah marah, mulutnya kasar, tapi dia yang sebenarnya jauh lebih baik dari itu.
Dia tidak pandai memberikan alasan atau mendeskripsikan sesuatu dengan kata kata, apa yang ia katakan juga seringkali berlawanan dengan apa yang ia rasakan, orang lain yang tidak tahu dia hanya akan menyangkanya sebagai orang yang dingin, tapi percayalah, ketika orang lain sedang kesusahan, Ari adalah tipe yang pertama kali mengulurkan tangan,”

“Darimana kau tahu…?”

“Aku sangat memahami Ari,”

Saat ia mengucapkan bahwa ia mengerti tentang temannya, nada suaranya benar benar menyiratkan kebanggaan.
Menunjukkan betapa ia menyayangi dan menghargai pria itu setinggi tingginya.
Dalam hati aku iri pada Ar… maksudku si suram, beruntungnya ia punya teman sebaik Ryo.
Ia memintaku memaklumi, bukannya berbaikan dengan si suram.

“Tapi dia suram sekali.” Cemoohku, Ryo tertawa.

“Dan tampangnya juga jelek sekali,” sambungnya,

“Oh, kau juga sama sih,”

Ryo membuatku tertawa lagi, ia tidak mudah tersinggung dan easy going, Entah mengapa aku merasa hangat, mungkin karena karakternya, ia begitu mudah mencairkan suasana, berada didekatnya membuatku merasa terlindungi...

“Aku sangat ingin menjadi Guardian,” Aku bergelung diatas sofa sementara Ryo menggelar selimutnya dilantai. “Tapi kakekku tidak setuju, aku tidak bisa menyalahkannya, ayah dan ibuku juga Guardian, mereka gugur saat menjalankan tugas,
Meski demikian aku berpikir, semua orang juga pasti mati pada akhirnya, kan? Tidak peduli bagaimana caranya… Dan mumpung aku masih hidup aku ingin melakukan sesuatu, aku tidak ingin menjadi anak bahagia yang hidup didalam istana palsu sementara banyak orang diluar sana membutuhkan bantuan…”

Naif, bodohnya aku.
Pasti akan ditertawakan lagi,
Prajurit Paladin hidup dengan membawa luka menganga dalam hati mereka, kehilangan orang orang yang mereka cintai,
Sedangkan aku, orang tuaku meninggal saat aku masih sangat kecil, aku tidak pernah menangisi orang tuaku, aku tidak ingat wajah mereka, hanya melihat dari foto, bahkan meski melihat foto merekapun hatiku masih tidak tergerak untuk menangis.
Hanya aku orang lemah yang tidak tahu rasanya kehilangan, tapi masih tetap tidak mau kalah dengan tidak tahu dirinya ingin mengubah dunia…
Mati matian membuktikan diri padahal dari alasan saja aku sudah kalah.

“Heee… benarkah,” sahut Ryo tanpa memandangku. “Aku juga sama,”

“Apa?”

“Ayahku juga tidak pernah suka aku bergabung dengan militer, apalagi menjadi Guardian Paladin,”

Aku menggerakkan tubuhku menyamping, memperhatikan lelaki itu dari jauh, garis matanya, juga hidungnya yang mancung, dan iris berwarna hazel itu…
Ia tampaknya sadar bahwa aku senang mencuri curi pandang kearahnya, aku bergegas mengalihkan pandanganku kearah langit langit.

“Bedanya ibuku bukan tewas ditangan Undead,” ia bercerita, tampak tidak peduli apakah aku memperhatikannya atau tidak, “Ibu sudah tidak ada saat aku lahir, Aku juga tidak pernah menangisinya karena aku memang merasa tidak pernah memilikinya,
Katanya ayahku sampai saat terakhir tidak bisa menjenguknya karena sibuk ‘menolong orang lain’…
Hanya kebutuhan hidupku yang dicukupi tapi ayah tidak pernah merawatku dengan tangannya sendiri sedikitpun,Lucu kan?
Aku punya orang tua tapi seperti tidak punya, orang lain bilang 'Kasihan' tapi bagiku keadaan tanpa ada pengawasan dimana aku bebas melakukan apa saja yang kusuka seperti mukjizat.
Ayahku bilang, Paladin adalah orang yang siap membuang segalanya demi tugas mereka, Aku tak boleh jadi sepertinya,
Anehnya walau sudah nyata sekali ayahku tidak ada disampingku ataupun ibu saat kami sekarat, aku sama sekali tidak membenci ayahku ataupun pekerjaannya, “

“Ayahmu juga prajurit? Katamu tadi hubunganmu dengan ayahmu tidak begitu baik…?”

Ryo memutar bola matanya “Dibilang buruk juga tidak sih, tapi entah sudah berapa tahun kami tidak saling menatap mata saat bicara.”

Wow, aku tidak bisa membayangkannya,
Aku saja kalau tidak bertemu kakekku sehari pasti akan gelisah, apalagi tidak bertatap mata selama bertahun tahun?
Namun, sama sepertiku, orang ini juga tidak punya alasan berat untuk menjadi Paladin.
Ia tidak menertawaiku juga…

Seperti di nina bobokan, kantuk hebat mulai menjalariku.

“Lalu… kenapa kau… begitu ingin jadi Prajurit?”

“Aku ikut ikutan Ari saja,” katanya enteng, “Sekalian aku sedang mencari puteri duyungku, tapi…” Ia terhenti sebentar, melihatku.

Aku sudah tertidur pulas.


++++
 
Last edited:
Flashback (Lanjutan)


____________________________________
_____________________________


“Kebocoran level tiga?!”
Aku menahan suaraku agar tidak terlalu keras dan membangunkan semua orang.

“Y-ya… begitulah… kata mereka…” Monroe tampak gugup menjawab setiap pertanyaanku, “Kau tidak apa apa, kan, Mikia…”

“Tidak apa apa gundulmu! Aku hampir mati kemarin,”

“Aaa… bertahanlah sebentar lagi disana, sementara aku memperbaiki ini,” Monroe mengelap keringatnya, “Jangan beritahu ini pada kakekmu, jika ia tahu kau ada disana mengikuti ujian, Dia pasti akan membunuhku, tidak, dia benar benar akan membunuhku, Dan satu lagi, aku memang gundul,” Ia mencoba berkelakar meskipun aku tidak memberikan respon.

“Sebaiknya cepat kau perbaiki, atau aku juga akan membunuhmu kalau aku sudah keluar dari sini,”
Monroe tersenyum kecut menanggapi ancamanku, merasa sangat bersalah,

“Oh yah, satu hal lagi,
Mengenai perintah pembuangan korban terinfeksi kedalam arena latihan… Tidakkah kau pikir itu berlebihan?” Protesku.

“Aku juga berpikiran sama,” Monroe menggelengkan kepala, “Tapi bukan aku yang berwenang dalam hal ini,”

“Kalau begitu siapa?!” cecarku,

“Berikan teleponnya padaku,” Monroe bergeser, merasa sangat tidak enak padaku, memberikan ponselnya pada sosok bongkok yang kukenali sebagai

“Caesar…”

“Halo, nona Boranitchov.” Sapanya menyenangkan, tapi malah membuatku frustasi setengah mati.
“Sudah jera dan membatalkan niatmu untuk masuk kedalam pasukan elit?” Ia bicara seakan berkelakar, darahku naik sampai ke ubun ubun rasanya.

“Kau kan? Kau yang berwenang? Kau kaptennya” Sambarku langsung saja. “Kau membuang orang orang malang itu kesini bahkan sejak mereka masih menjadi manusia…”

“Apa bedanya, toh sebentar lagi mereka juga akan berubah menjadi mayat hidup,”

Aku menggertakkan gigiku, kesal!

“Itu tidak berprikemanusiaan!” Bentakku, tak tahan lagi,

“Kau pikir dengan kau mengasihani mereka sampai akhir mereka bisa sembuh? Nak, kau tidak realistis, sesuatu seperti rasa perikemanusiaan maupun hak asasi, tidak berlaku untuk mereka, ” Caesar tertawa menyebalkan, “Dunia ini tidak cocok untukmu, ada banyak kenyataan pahit yang belum kau tahu, sesuatu yang terlalu berat untuk gadis kecil,” ia memejamkan mata. “Kau boleh saja keberatan, tapi ada realita yang tidak akan dapat diubah, ini demi keselamatanmu sendiri, kalau kenyataan seperti ini saja tidak bisa kau terima, bagaimana saat kau menjadi Guardian nanti? Perlu kau ketahui, berbeda dengan dunia impianmu, kami justru bergulat dengan kematian orang lain setiap harinya, jadi kalau kau sudah puas bermain kembalilah ke istanamu serta serahkan saja ini pada orang dewasa.”

“Pak tua,” Sahutku, “Kau bicara seakan tidak ada pergantian generasi saja, kau tahu, kau sebentar lagi akan pensiun,” aku meludah. “Lihat saja nanti, saat aku sudah duduk disana sebagai Guardian, akan kuubah Realitamu.”

Armando Caesar tidak menjawabku, ia hanya diam saja, menyerahkan ponsel pada Monroe yang segera menjawab dengan cemas.
“Aaa… Mikia, akan kuusahakan secepatnya, kau bisa bertahan kan’ disana?”

Aku hanya menjawab dengan anggukan, menutup pembicaraan.

Mungkin bagi Caesar tidak ada harapan lagi, tapi aku percaya, pasti masih ada.
Orang itu selalu saja membuatku merasa bodoh dan merendahkan,
Ia juga sama tak setujunya dengan kakekku, tentang niatku menjadi anggota Guardian.
Dia salah kalau segalanya bisa diselesaikan dengan kekuatan dan perasaan adalah hal yang tak berlaku.

Betapa terkejutnya aku, saat aku kembali, ternyata Ryo dan Ari sudah duduk bersama memeriksa persedian senjata.
Dalam hati aku berdoa semoga mereka tidak mendengar pembicaraanku dengan Monroe barusan.
Kalau tidak, pasti akan merepotkan seandainya mereka tahu aku cucu pemimpin Paladin.
Aku tidak suka membangga banggakan garis keturunan,
Jika aku masuk kesini dan berhasil, itu semua harus dari hasil usahaku sendiri, bukan warisan.
“K-kalian sedang apa?” Tanyaku, agak gugup.

“Kebetulan kau ada,” Ryo melambaikan tangannya padaku. “Kita sedang merancang rencana untuk menghabisi Chief, Kami tidak akan bisa melakukannya tanpamu, duduklah,”

“Menghabisi Chief…? Kenapa?” tanyaku sambil berjongkok disamping Ryo yang sedang menggeledah isi kotak berisi berbagai macam senjata.

“Untuk mempermudah jalan kita, kita tidak tahu sampai kapan kita disini, Jadi lebih baik cari aman dengan menyingkirkan ancaman terbesar lebih dahulu,”

“Tapi… Mereka pasti sedang memperbaiki Nano Systemnya, sebentar lagi pasti akan beres, aku rasa sebaiknya kita diam dan menunggu saja.” Sahutku pada Ryo,

Ari berdehem, “Tidak aman,” katanya lagi, “Lagipula kita tidak akan pergi begitu saja sebelum…”
Ia membuang muka, tidak melanjutkan kalimatnya lagi.

Aku melempar pandangan kebingungan kearah Ryo yang kelihatan geli dengan senyum dikulum,
“Ya, ya, aku paham, Kita akan membalaskan dendam anak anak itu, kita akan memberikan pelajaran pada Chief,” Ryo berujar sambil tersenyum sumringah.

Ada semburat warna merah dipipi si suram saat Ryo menangkap dengan jelas maksudnya serta menjelaskan padaku.
Maksudnya…?
Oh yah, Ryo bilang… berlawanan kan? Apa yang dikatakannya dan apa yang dirasakannya?
Kalau begitu saat ia berkata untuk meninggalkan anak anak itu… Dia sebenarnya berpikiran sama denganku?

“Aku akan memeriksa stok peluru,” katanya seraya berbalik menghindar.

Wow…


…Ryo benar.

Ryo mendekatkan wajahnya kewajahku, membuat ekspresi –benar-kan-apa-kataku- yang sangat meyakinkan,
membisikkan kata “T-s-u-n-d-e-r-e” tanpa suara, Aku tertawa spontan.

Dan Cowok suram itu melemparkan pisau belati kearah sahabatnya.

“Apa aku dengar sesuatu?” Ari bertanya tanpa membalikkan badan,

“Hanya perasaanmu,” Tukas Ryo, melirik ngeri kearah belati besar yang menancap pada dinding kayu, tepat disebelah telinganya.

-
-
-
-
-

“Dari pengalamanku dan Ari, Harusnya hanya ada satu Chief disini,” Ryo mengangguk, “Mikia, berapa peluru bazooka mu yang tersisa?”

“Dua,” jawabku muram, “Aku habis habisan selama 4 hari ini, Andaikan aku tahu keadaan seperti ini akan terjadi, aku pasti bawa lebih banyak.” Yeah, aku tahu ini menyakitkan, Kami tidak menemukan peluru bazooka didalam kotak senjata, tentu saja sebab peluruku buatan khusus,
Aku menyumpah dalam hati.

“Itu cukup,” Si suram menyahut, “Kita hanya perlu satu kali ledakan, dan kau, maukah kau mendengarkan saranku?” katanya hati hati.
Pandanganku tertumbuk pada mata Hazel diseberangku, seakan memintaku untuk mempercayai teman tersayangnya,
aku menghela nafas, Baik, baik,
Tapi kalau si suram keterlaluan kali ini, aku akan membunuhnya, aku serius.


“Apa?”

“Kau lebih baik berada dalam jarak yang telah ditentukan, Kau memang kuat dan destruktif, tapi kau lemah pada pertahanan atas, Gerakanmu cepat tapi senjatamu membuatmu cepat lelah,
karenanya kami harus benar benar memastikan keamananmu sebelum bertindak, Kau akan menunggu dan begitu kami beri sinyal, kau harus menembak apapun yang terjadi, kau dengar? apapun yang terjadi.”

Aku kembali membuang nafas, “Yeah, Whatever, Serahkan saja padaku. Ngomong ngomong, apa yang tadi itu termasuk kritik?”

“Sekalian,” Ari membuang muka lagi, astaga, apa dia susah sekali bicara dengan menatap mata orang?

“Dan kau, Ryo, kau backup, kau petarung jarak menengah, provokasi, gunakan bowgun dan shotgunmu untuk menghalaunya supaya tidak kabur, juga jaga agar jangan sampai ada Undead lain yang ikut ikutan mengganggu,”

“Yes, sir.” Ryo menaruh tangan diatas dahinya sebagai tanda hormat, Ari mengeluh pelan, agak jengah dengan tingkah berlebihan sahabatnya.

“Dan aku, aku petarung jarak dekat, Aku akan menggiring Chief ke tanah terbuka dimana kita bisa mengeksekusinya dengan mudah, jangan lengah, terutama kau, Ryo, Lindungi aku karena aku mungkin akan kewalahan menghadapi empat tangan sekaligus serta sempitnya celah serangan.”

“Seperti main RPG,” Ryo mengeluarkan helm dari dalam kotak senjata, “Masing masing bawalah granat ini, kalau kalau ada interupsi dari gerombolan lain, kita bisa segera mengatasinya sebelum mereka mendekat,” Ia menyerahkan beberapa buah granat ketanganku, “Oh yah, kami akan pakai ini, Mikia,” katanya padaku, “Chief pemakan otak, akan lebih baik untuk kami jika melindungi bagian kepala lebih daripada anggota tubuh yang lain, serangannya pasti bakal lebih banyak kesitu,”

Aku mengangguk angguk bodoh.
Baru pertama kali aku membuat strategi dalam sebuah pertempuran, biasanya aku hanya tahu menembak dan memecahkan sesuatu,

“Sudah siap?” Ari berdiri, diikuti Ryo dan terakhir, aku.

“Kita akan berikan bedebah itu kematian yang sakit.”


++++
 
(Lanjutan)


________________________________
_________________________




“Posisi siap,” Ujarku memberitahu, Sekitar 15 meter dihadapanku, Ryo berdiri ditengah tengah sebuah tanah lapang.
Aku menunggu diatas pohon beringin besar, menanti waktu yang tepat untuk menembak.

Ari pasti sedang mencari Chief sekarang, yang bisa kami lakukan sekarang hanya menunggu, dan berharap lelaki beraura kelam itu tidak tertangkap duluan.

“Baik, tunggu sampai target terkunci kalau begitu,” Ryo menjawabku melalui alat penghubung yang terpasang ditelinga kami masing masing, “Ar?” Panggilnya, “Bicaralah padaku, Ar,”

“Aku tahu, brengsek,” Ari mengumpat dari kedalaman hutan, “Aku sedang konsentrasi kesegala arah sekarang, tolong jangan memintaku menyusuimu dulu,”

“Takutnya kau sudah jadi makanan kaleng didalam sana,” suara tawa Ryo berderai,

“Kau sudah menemukan Chief?” tanyaku.

“Belum, aku sudah memutar tiga kali, entah dimana makhluk itu sekarang,”

“Jangan bilang dia sudah pergi jauh,” Ryo mencelos, “Tadi malam masih disekitar sini, pastinya dia tidak mungkin jauh jauh dong,”

“Entahlah,” Ari menyahut malas malasan, “Aku bertemu beberapa Zombie dan Chimera, tapi tidak ada tanda tanda keberadaan Chief,”

Kami semua sama sama terdiam, sampai suara baritone Ari memecah keheningan.

“Aku akan kembali kesana,” Terdengar seperti ia sedang menghembuskan nafas, gusar. “Bagaimana rencana selanjutnya kita pikirkan bersama,”

Aku ikut ikutan menghela nafas, capek sekali rasanya, sudah satu jam lebih aku diatas pohon besar ini,
Dan Ari tidak menemukan makhluk itu sama sekali, pekerjaan yang sia sia.

“Posisimu dimana sekarang?”

“Arah barat,” Ari menjawab pertanyaan Ryo, “Sebentar lagi aku sampai kesa…”

Berikutnya suara hantaman benda berat seakan memecahkan gendang telinga kami.
Begitu keras, besar, mengerikan,

“Ar? Ar!” Teriak Ryo panik, “Ari?! Ada apa?”



Tidak ada jawaban.



Aku sama terkejutnya dengan Ryo, mencari tanda tanda keberadaan Ari, Ryo sudah akan membalikkan badan bersiap memasuki hutan untuk mengejar Ari , ketika sosok yang kami tunggu melompat keluar dari rerimbunan, Diiringi suara menggelegar bak guntur.

Ari, dengan kecepatan dewa, berlari dan menghadang makhluk mengerikan dihadapannya, menariknya ketengah tengah tempat terbuka.
Pedangnya sudah terhunus, senyuman angkuh menghiasi bibirnya.

“Hah!”Ryo terbahak bangga sekaligus menarik nafas lega, Ia memutar bowgunnya, “Itadakimasu,” serunya menekan tombol disamping helmnya, membuat bagian wajahnya yang semula terbuka seketika ditutupi kaca hitam.
Ia mulai membidik.

-
-
-
-
-

“Tolong jangan ragu untuk menembak, jika tiba saatnya kami akan beritahukan padamu,”

“Aku tahu, lagipula kau sudah lihat ukuran senjataku, aku tidak perlu susah payah mengekormu segala,”

Ari menghindari tebasan mematikan yang nyaris memisahkan pinggang dan kakinya, sementara kedua tangannya menangkis lengan lengan makhluk itu,
Empat tangan, bagus sekali, sebuah tangan yang bebas mengayunkan parang besar itu kearah kepala Ari, yang terlambat menyadarinya.

Tembakan beruntun melemparkan benda tajam tersebut keatas rumput basah,
Ryo tersenyum memegang shotgun dan bowgun pada kedua tangannya.

“Jangan terburu nafsu, Ari,” tegurnya,

“Kau yakin tadi itu pertolongan?” Ari menyeringai,
Chief berteriak dan –mungkin insting- mendadak mundur, bergulung meraih parangnya yang terjatuh, berniat melarikan diri.

Ryo menembakkan panahnya tepat didepan mata kaki makhluk itu,

“Yuuhuu, Disini, Bonnie,” Provokasinya sambil melambaikan tangan, makhluk itu mengeram sesaat, mulai menyerang kearah Ryo.
Cowok itu tertawa saat Chief nyaris mendapatkan kepalanya, ia menangkis kedua pedang itu dengan shotgunnya,
Wajahnya sangat dekat dengan wajah si monster.

“Nafasmu, bau,” komentarnya.

Tentu saja ia tersenyum, karena ia tahu partnernya yang superkuat sedang mendapat angin segar atas posisi yang saat ini sekilas terlihat seperti sedang menjepitnya,
Detik yang sama, Ari yang hanya terlihat bayangannya menebas kearah Chief,

Suara logam dan logam beradu.

“Menyangka hanya kau yang punya teman…?” Ari, menahan tubuh bagian belakang Chief dengan pedangnya, Tubuh kedua Chief yang dapat melihat datangnya serangan Ari memang bisa menangkis tepat waktu, tapi sekarang situasi berimbang dan monster itu terkurung ditengah.

“Wow kau mau kembar siam denganku?” Celutuk Ryo bangga,

“Jangan harap, aku sudah punya seorang adik paling hebat didunia,” Sahut Ari.

Chief, yang marah memutar tubuhnya,
Membuat Ryo dan Ari tersapu mundur seketika.

“Belum saatnya bercukur, tahu,”

“Apa aku sudah boleh menembak?” Tanyaku tak sabar.

“Tadinya,” Ari berkata, “Tapi tak apa, kesempatan akan datang lagi,”

Kenyataannya saat ini ia dan Ryo sedang sibuk menghadapi serangan Undead yang memutar dengan cepat seperti gasing itu,
Seandainya mereka ada waktu untuk menjauh mungkin saja aku bisa menembak Chief, tapi Undead itu sepertinya sadar tiga lawan satu akan sangat tidak memungkinkan,
Ia terus menarik Ryo atau Ari, menyadari mereka tidak mungkin meninggalkan satu sama lain karena dengan pengalaman kami yang seminim sekarang, tidak akan ada kemungkinan salah satu dari kami bertahan menghadapi empat tangan sekaligus tanpa dibantu oleh yang lainnya.

“Aku capek,” Ryo mengeluh, terus menangkis tanpa ada kesempatan untuk menyerang.

“Kau kira aku tidak,” Sahut Ari menanggapi.

“Mari kita akhiri saja ini,”

Aku memegang erat bazooka ku, membidik, ini sudah tandanya.

Ari menahan serangan dengan satu tangannya, sengaja menekan sekuat tenaga agar benda tajam itu mendekati sedekat mungkin pada kepala Undead dihadapannya, sekejap saja pedangnya terselimuti api yang menyala merah.
Chief terkejut dan selama beberapa detik, hanya beberapa detik…

“Kau membuka celahnya,”

Ia meraih kebalik coat nya, melemparkan sesuatu keudara, dalam sekejap, disekeliling mereka dipenuhi asap tebal.
Chief mendadak menarik tubuhnya, Instingnya mempengaruhi untuk mundur,


Tapi terlambat,


“Target terkunci!” Ari berteriak, “Tembak!”


-
-
-
-
-

Satu setengah jam sebelumnya…

“Dengar” Ari menyusun batu batu kecil dihadapannya, “Kami akan membuat gerakan yang sekilas nampaknya acak, tapi sebenarnya kita akan menggiringnya kearah sini, disinilah, hanya disini kau boleh menembakkan bazookamu,”

“Aku dan Ari akan mengalihkan perhatiannya,” Sambung Ryo, “Dengan granat asap, panahku, atau apa saja,”

“Tapi bagaimana kalau aku mengenai kalian? Aku tidak bisa menembak karena aku tidak melihatmu didalam asap.” Protesku.

“Ingat saja ini,” Ari memberikan penekanan pada nada bicaranya, “Aku dan Ryo tidak akan memisahkan diri satu sama lain, itu akan mengacaukan formasi kita, jadi apabila aku sudah memberikan aba aba padamu, tandanya aku dan Ryo sudah berada dalam titik aman.”

-
-
-
-
-

Perlahan lahan kepulan asap menyingkir digantikan sosok yang berbalut kobaran api,

“Wow,” Terdengar suara Ryo, ia dan Ari terpental beberapa meter, tapi mereka selamat, “Sulit kupercaya dia tidak mati karena hal itu,”

Ryo benar, makhluk itu terbakar, benar benar terbakar sepenuhnya, tapi dengan tubuh yang menghitam terjilat api itu ia masih saja bertahan.
Chief tegak berdiri, ia mengeluarkan bunyi aneh seperti gi-gi-gi-gik atau apalah.

Ia melihat kearahku.

“Posisiku ketahuan!” Ujarku panik.
Lagi lagi mengikuti insting pemburunya untuk mengejar apa saja yang sekiranya berbahaya, seranganku merupakan provokasi yang lebih dari cukup untuk membuat makhluk itu berlari kearahku, yah, berlari, ia chimera dan tentu saja ia cepat,

“Terlalu cepat seratus tahun.”

Gerakan Chief terhenti.
Sama dengan detak jantungku yang juga seakan terhenti.

Pedang Ari menusuk dada monster itu, tepat dijantung, memutuskan sirkulasi darah yang merupakan sumber kehidupannya, sementara Ryo didepan mengarahkan shotgunnya tepat kebagian kepala.

Suara tembakan disertai jeritan mengerikan mengakhiri hidup Undead itu seketika.

“Berhasil…” Aku berbisik lirih, sebelum akhirnya berteriak penuh rasa syukur, “Kita berhasil…!” Aku tersandar, setengah menangis,

“Sepertinya begitu,” Ryo menimpali, Aku mengusap air mataku, melihat kedua laki laki itu dari kejauhan, “Benar, kan, Ar…?” Katanya sembari menghampiri si suram yang sedang berdiri diatas bangkai Chief.

Ari tidak memberikan tanggapan, ia membungkuk kearah bangkai itu tanpa suara, memasukkan tangannya kedalam mulut menyeramkan itu, sekilas ia tampak melakukannya tanpa emosi tapi aku bisa merasakan rasa sakitnya, entah kenapa.

“Oy, oy, itu tidak perlu, kan, kau kurang kerjaan yah,” Ryo menegur, tapi tidak mencoba menghentikan,
Terdengar bunyi krak krak dan bagian dalam mulut makhluk itu yang robek karena lengan Ari melesak masuk dalam sekali hingga kedalam bagian pencernaannya, seperti mencari cari sesuatu.

Ryo memalingkan wajahnya.
Ari berhenti, ia menarik keluar lengannya yang berlumuran darah bersama sesuatu, terlihat seperti serpihan kecil rambut, rambut anak anak. Serta liontin plastik merah muda berbentuk hati.

“Aku tidak bisa,” Ia berbisik sendu, “Menyelamatkan walau hanya anak anak…”

Temannya tidak berkata apapun, ia menepuk bahu Ari pelan, hanya tepukan, dan menguatkan.
Bukan sifat asli si suram yang membuatku seperti melihat cahaya saat ini,
Melainkan kemampuan Ryo dalam menilai orang lain, ia mengerti, pada saat ia bilang ia memahami, ia benar benar memahami,
Bahkan si suram yang seperti itu, ia tahu.
Kebaikannya, senyumannya, aku merasa malu pada diriku sendiri.
Siapa bilang alasannya sepele, Mikia?
Temannya sangat penting baginya, dan itu saja sudah cukup.
Cukup untukku merasakan debaran aneh dalam dadaku, pertama kalinya.

“Apa aku boleh kesana?” Ujarku, “Aku juga ingin merobek sampah itu sampai kebagian terkecil,”

“Kalian mirip sekali,” Ryo tertawa,

Aku akan turun dari dahan besar yang sedari tadi menopang tubuh kecilku, saat aku mendengar Ari memberitahu keras keras, “Jangan kesini!”

Aku tercengang, begitu pula mereka berdua,
Chief lagi, jumlahnya ada banyak sekali mungkin 50 ekor.

“Wuaaaaaaaaaaaaaaa!”



+++++
 
Last edited:


Bukannya narsis yah, tapi bab diatas itu keren sekali! *Digeplak * *EmangNarsisDai

Aaaaahhhh itu hasil 50x edit bahkan posting di forumpun masih edit2 ajah *Ngakak
Aku sangat menikmati sampai sampai otakku OveRGASM karena bab ini setiap malam!
Pada bagian kali ini, Kelihatan payah yah Ari dkk, tapi itu karena mereka saat itu memang kurang pengalaman LOL
Bahkan mereka yang sekilas terlihat tiada tanding pun pernah mengalami masa masa seperti ini,
JADI BUKAN BERARTI KARENA MEREKA KUAT MAKANYA MEREKA LANGSUNG HEBAT YAH! *gAje

Kak Ari serius gitu? hah kalian tahu kan' kak Ari itu Tsundere *PenjelasanYangSamaGakLogisnyaDenganRyo* Makanya dia itu dianggap kejem dan kuat padahal sebenarnya dia itu juga cowok care yang 'sedikit' rapuh =x="
Tekanan batin dan faktor hiduplah yang mengharuskan dia jadi 'berlagak' kuat demi orang orang disekitar na,
Yah seperti yang sering Daina sebutkan diatas, dunia tempat mereka hidup adalah zaman dimana hidup atau mati sama buruknya =x="

Banyak yg bilang Aku sangat kurang dalam soal pendalaman karakterku,
Aku akui memang aku penuh kekurangan =w=;
Jadi aku mencoba lebih menampilkan orang seperti apa mereka, dan mengajak pembacaku mengenal mereka, Seperti aku sangat mengenal mereka,
Aduh sumpah deh ini char2 kayak sahabatku sendiri =x=" Atau mungkin memang sahabatku karena mereka terhitung sebagai 'sesuatu' yang menemaniku menjalani kehidupan membosankan ini *Ceilah* Karena ada mereka makanya hidupku jadi lebih berwarna(?)

kalau masih ada kekurangan mohon aku diberitahu yah, hehe,

Ngomong2 mengenai hubungan Ari dan Ryo, mereka potensial dijadikan target para pecinta Yaoi yah,
Pas membuat bab ini aku berkali kali meyakinkan pada diriku sendiri

AkuBukanFujoushiAkuBukanFujoushiAkuBukanFujoushiAkuBukanFujoushiAkuBukanFujoushiAkuBukanFujoushiAkuBukanFujoushiAkuBukanFujoushi AkuBukanFujoushiAkuBukanFujoushiAkuBukanFujoushiAkuBukanFujoushiAkuBukanFujoushiAkuBukanFujoushiAkuBukanFujoushiAkuBukanFujoushiAkuBukanFujoushiAkuBukanFujoushiAkuBukanFujoushiAkuBukanFujoushiAkuBukanFujoushi

*Shiver*

Kalau Stast merupakan char cowok favoritku, Mikia adalah char cewek favoritku,
Kalau diandaikan dia itu seperti apa yah...? Mungkin Yuzuriha Nekoi nya CLAMP,
Atau Yuffie final fantasy...? idk,
Live actionnya mungkin aya ueto yah, hwhwhwh

Orang ini :
tumblr_lct36wRIpA1qbryfto1_500.jpg


Tidak tahu kenapa, kalau memikirkan Mikia, muka dia nggak mau lepas dari kepala =w="

Terakhir, lagu yang kudengarkan belakangan apa lagi yah?
Tidak tahu apa ini cocok atau tidak, yang jelas aku suka mendengarkannya saat mengedit bagian kali ini,
seru loh, kalau ada waktu, donlot lah *promosiBanget

[ame="http://www.youtube.com/watch?v=gipVBzBZjjw"]Fortissimmo: From Insanity Affection[/ame]

Sampai jumpa dalam apdet berikutnya yah! CIAO! ^o^/



Daina Amarea Winata


 
Last edited:
(Lanjutan)


______________________________
_______________________

20 menit kemudian,





Bercucuran air mata, aku berlari kearah ladang pembantaian dihadapanku, Mencari cari,

“Ari…!” Teriakku, “Ryoo…!”

Sunyi.

Tanah lapang ini menjadi lebih luas dari sebelumnya karena efek ledakan besar yang kubuat menggunakan peluru terakhirku serta beberapa buah granat,
Yang mengakibatkan kerusakan parah pada Bazookaku,
Separuhnya lagi karena pertarungan dahsyat mereka berdua melawan puluhan Undead level tinggi,

Aku berlari agak terseok karena kakiku yang sepertinya terkilir karena bertarung melawan beberapa Undead lain saat menuju kemari, aku tak dapat menyalahkan, tanpa senjata, aku yang sekarang memang tidak berguna sama sekali…

Hatiku sudah berteriak kegirangan saat aku melihat siluet sosok dengan coat hitam, Ia masih mengenakan helm pelindungnya, bergegas, aku berusaha secepat mungkin meraihnya.

Ia disana, terjepit diantara pepohonan besar yang rubuh, air mataku menggenang,
“Ryo…” panggilku, ia tidak menjawab,

“Aku akan menolongmu,” sekuat tenaga, aku mendorong batang pohon raksasa itu, “Bertahanlah, kumohon, bertahanlah,” Aku mencoba lagi, dan lagi, tapi tenagaku tidak cukup untuk menggeser barang sesentipun.
“Bertahanlah…” Mulai kesal, aku terus mencoba tanpa menyerah sedikitpun, Dengan pandangan nyaris kabur karena air mata.



“Sedang apa kau disitu?”



Serta merta aku membalikkan badan kearah suara yang sangat kukenali itu,
Ryo dan Ari, berdiri dengan tampang acak acakan dan wajah yang –meskipun terlihat luar biasa kepayahan- tetap bersemangat.

“Kau benar benar berpikir kami akan mati ditangan makhluk kacangan seperti itu?” Celutuknya tak percaya.

“Kalian…”

“Oh, ini,” Ryo mendekati sosok disampingku yang semula kukira sebagai dirinya itu, “Kami sudah mempersiapkannya sejak semalam, saat kau tidur, memasukkan chip kedalam tubuh makhluk itu, kelihatannya benar berguna,” ia melepaskan helm itu dan terlihatlah olehku seraut wajah buruk rupa, “Tidak berperikemanusiaan huh, menggunakan tubuh orang mati seenaknya, mendandaninya semirip mungkin dengan kami untuk mengecoh sesamanya kemudian memakainya sebagai umpan menggunakan radio kontrol,” ia tertawa, menunjuk Ari, “Tapi ini idenya, bukan ideku,”

Yang ditunjuk hanya membuang muka seperti tak tahu menahu,
“Dia memang begitu kalau baru kenal,” Ryo mengedipkan mata kearahku, “Kau menangisiku yah tadi?” ia merentangkan tangan seperti meminta dipeluk, tapi aku yang sudah kesal sekali malah mendaratkan bogem mentah diwajahnya,

“Mati kau!” Teriakku, bersyukur dan bahagia pada saat bersamaan, “Kau tidak akan mati ditangan Zombie, kau akan mati ditanganku!”
Ryo yang semula kebingungan menangkap tanganku, sambil memegangi pipinya ia tertawa lagi keras keras, sementara aku hanya bisa cemberut menekuk muka.

“Katanya kalau mau mengecoh lawan harus mengecoh teman terlebih dahulu,” suaranya melembut, ia menepuk nepuk kepalaku pelan.

“Klise,” Komentar Ari.

“Dia terlalu manis untuk menjadi cucu Jendral besar Paladin,” Ryo menoleh kearah sahabatnya, “Tidakkah kau pikir demikian?”
Yang ditanya tidak memberikan jawaban.
Sebaliknya, aku malah menengadah membelalakkan mata kearahnya.

“Kau… tahu…?” Tanyaku linglung.

Ryo tergelak, “Ari mendengarmu bicara ditelepon semalam,” Ungkapnya, “Ia yang memberitahuku,” lagi lagi ia melirik kearah sahabatnya dengan pandangan –Ini-salahmu-kan?- yang jelas terlihat.

“Kita impas kalau begitu,” Ari kali ini buka suara, bahkan ia memasang raut wajah merengut yang dibuat buat kearahku, “Jangan marahi kami lagi seperti kemarin kemarin,” Cowok berambut hitam itu mengangkat bahu, dibawah cahaya matahari terbenam disore hari, aku dapat melihat dengan jelas seringaian jahil diwajahnya, aku sampai pangling.

“kau itu punya berapa wajah, sih,” Aku melempar kerikil kearahnya, Ari menghindarinya dengan mudah.

“Aku sudah bilang kan, dia tidak seperti kelihatannya” Ryo menimpali, memegangiku dengan erat.
Karena sebelah kakiku mulai berdenyut lagi.

Percakapan kami terhenti, serangan tak terduga datang dari arah belakangku.

Lalu suara tembakan berkali kali, dan seekor Chief jatuh dengan lubang menganga memenuhi bagian bagian tubuhnya.
Hanya dengan sekali serang, dan aku tahu siapa pelakunya,

“Kakek…” Desisku tak percaya,
Tak jauh dari tempat kami berada, kakekku dengan ditemani Monroe dan Caesar yang mengikuti dibelakangnya, Mendadak aku kehilangan semua penjelasan yang sudah susah payah kurancang dari awal, antara cemas, kagum, takut.

“Medis,” Ia memanggil,

“Tidak perlu,” Tolak Ari segera, “Kami tidak terluka, sedikitpun,”

Aku menunduk lesu, ketahuan, habislah sudah.

“Ia melakukannya dengan baik, maukah kau memikirkannya?”
Aku terlonjak kaget, meskipun ini tampaknya pertemuan pertama mereka, tapi bagaimana bisa, Ryo bicara demikian kepada kakekku?
“Aku tahu perasaannya, tapi pertimbangkanlah alasannya,”

“Darimana kau bisa menjamin perkataanmu?” Kakekku berkata tajam, Ryo terdiam sesaat, ia menatap Ari dengan pandangan –aku-tidak-suka-ini- yang sangat kentara, temannya hanya mengangguk, menyemangatinya untuk meneruskan bicara,

“Kau tahu, biasanya aku benci tanggung jawab dan komitmen” ia mendesah, “Tak apa, aku yang akan menjaganya, dengan nyawaku, jadi bisakah kau kabulkan saja impiannya, pak tua?”

Aku dapat melihat kedua alis mata kakekku mengerut.
Kurang ajar benar…

“Sebentar,” Ari menyela, “Kau benar benar berpikir kita lulus… setelah yang barusan itu..?” Ia menunjuk kepada Chimera terakhir yang menyerang dan nyaris meremukkan tengkorak kami semua.
Ryo menepuk keningnya,
“Oh iya!” Serunya seperti orang berlagak amnesia, “Ditunda sampai ujian berikutnya, yah?” Ia menangkupkan kedua tangannya didepan dada seperti memohon,
Aku tidak dapat menahan diriku untuk tidak tersenyum.

“Tapi jangan banyak berharap, kami sudah gagal 4 kali…” Ari berkata muram, Ryo menggodanya lagi,

“Ayolah, Ar, kau yang bilang gagal sepuluh kalipun kita takkan menyerah,”

“Itusih aku, kalau kau besok berubah pikiran siapa yang tahu,” Ari menatap dengan wajah bosan.

“Haha! Kau tahu aku suka tantangan kan! Bersamamu selalu asyik, mana mungkin aku berubah pikiran.”

"Cukup!" Caesar membentak, “Tidak akan ada ujian lagi, untuk kalian,” Ia berdehem, “Anak anak mau sok jagoan, Kalian tidak hanya melibatkan Cucu dari Alexander Boracnitchov dalam bahaya, kalian juga sudah berani bicara demikian lancang seperti itu, Dan kau, Nona Mikia, Kau tidak akan kemana mana setelah ini,”

“Kau bukan kakekku,” Bantahku keras, “Atas dasar apa kau mengatakan hal semacam itu? Mereka menyelamatkanku! Kau tahu kalau mereka berbakat melebihi siapapun yang berada disini!”

“Nona Mikia…”

“Armando, hentikan,” suara menggelegar kakekku menghentikan argument kami seketika, Caesar mundur dengan wajah kesal, “Dan kau Monroe, kau sudah tahu cucuku mengikuti ujian ini, mengapa tidak kau hentikan dia?”
Monroe hanya menunduk, tidak memiliki jawaban sepatah katapun atas pertanyaan kakekku.
Sekilas aku melihat senyum kemenangan tersungging dibibir Caesar, Oh jadi dia yang mengadukan tentang hal ini pada kakekku…?

“Lalu kenapa kalau tidak boleh ikut ujian?” Ryo tertawa, “Kami tidak akan terhenti hanya karena itu, ya kan’ Ar?” Ia bertanya pada temannya, meminta persetujuan,

Ari mencelos, “Sembarangan bicara kau,” Tapi kemudian aku melihatnya memantapkan wajahnya, “Tapi karena kau sudah kesal, aku jadi ikut kesal juga,” Ia menghunuskan pedangnya kearah wajah angkuh Armando Caesar, “Aku akan menduduki posisimu nanti,” aku melihat kilatan pada matanya yang hitam, “Dan akan kuubah Realitamu,”

Itu kata kataku, Itu kata kataku saat bicara dengan Caesar dan monroe ditelepon kemarin!
Ternyata Ari memang stalker, eh, salah, Ternyata Ari memang mendengarkan pembicaraanku kemarin!
Ekspresi penuh kebanggaan milik Caesar seketika berubah menjadi pucat pasi.
Alih-alih kesal, aku malah menyunggingkan senyuman, melihat mereka berdua menyeringai sekali lagi dengan tampang super jail sepasang trouble maker sejati,

Mereka keren.
Kau tidak akan mungkin menemukan teman teman yang lebih keren lagi,

“Kita akan bertemu lagi,” Suara Ari selancar air mengalir mengucapkan salam, “Ayo kita pergi, Ryo, kelihatannya sudah selesai,” Ryo sejenak tampak ragu mengikutinya, ia sempat berbalik untuk melihatku, sebilah pisau dingin seakan menyayat didalam dadaku.

-
-
-
-
-

“Mikia,” Suara kakekku menghentikanku yang sudah berniat menyusul mereka,

“Kakek…” Pintaku dengan suara memelas, Kakekku hanya menggelengkan kepalanya, lalu iapun beranjak dari tempat itu, Aku hanya bisa menunduk sedih,
Menyebalkan sekali,
Padahal aku baru punya teman, seorang teman, dan, kurasa…
Entahlah, aku tidak tahu apa makna debaran dalam dadaku ini.

"Aku bahkan belum mengucapkan terima kasih."

"Kau masih berpikir kau pantas berterima kasih pada mereka?"

"Kakek, mereka mengajariku banyak hal, kerja sama tim, timing yang tepat dalam menyerang, tipuan tipuan sederhana, hal yang tidak kudapat dalam latihan bertarung yang biasanya..."

Kakekku berwajah datar sambil terus berjalan memasuki Aula besar, "Aku mengajarimu teknik bertarung agar kau bisa menjaga dirimu, bukan menjerumuskanmu dalam duniaku,"

"Duniamu duniaku juga," Ujarku meluruskan, aku menghentikan langkahku yang semula mengekor dibelakang, "Aku berhak menyelamatkannya, berjuang untuknya,"

Kakekku yang menyadari aku tidak lagi beriringan dengannya, berbalik kearahku,
Ia memandangiku, tampak berpikir sebentar.

“Monroe, kumpulkan semua rekaman dalam ujian tahap keempat, segera,”

“Alexander, tidakkah itu terlalu…” Tegur Caesar.

“Aku yang akan memeriksa sendiri,” jawab kakekku, melirik kepadaku yang masih saja melongo setengah tidak percaya, “Apa aku perlu mengulangi kata kataku, Monroe?” Tanyanya lagi.

“S-siap, Sir!” Sahut Monroe terbata,

“Bakat, ya…” Kakekku bergumam sambil mengusap ubun ubunku, “Kita lihat saja apa kau juga memiliki bakat untuk menilai kemampuan orang lain sama baiknya denganku,”

++++
 
(Lanjutan)


2 minggu setelahnya, Veliky Novgorod, Rusia.

____________________________________________________
_________________________________________




“Apa… kau?”

“Tempat tinggal laki laki itu… kotor sekali yah,” komentarku,
Ryo membelalakkan matanya saat melihatku berada didepan pintu apartemennya, Aku memandang sekeliling, tidak pernah aku menyaksikan tempat yang lebih kotor dari ini, dindingnya yang sudah berwarna hijau lumut tertutupi oleh lumut betulan, penerangannya sama suramnya dengan Ari, hanya lampu berwarna kekuningan yang redup pada jarak jarak berjauhan yang menerangi sepanjang lorong, dan bau lembab yang menyengat menusuk indera penciumanku sehingga rasanya hanya ada satu tempat yang lebih buruk, gorong gorong.
Dan mereka tinggal di lantai tiga tempat mengenaskan ini,
Untungnya aku datang kesini mengenakan setelan jaket dan hotpants yang santai bukannya rok terusan atau apalah, kalau tidak mungkin akan terinjak rendaku sendiri dan terjatuh dilantai lorong yang kotor ini, Ah aku tak ingin membayangkannya.

“Suruh dia masuk,” Terdengar suara si tukang perintah-perintah Ari dari dalam, ah, aku jadi ingin tahu bagaimana mereka hidup selama ini.
Aku mendorong Ryo dan segera masuk kedalam tanpa perlu disuruh lagi, Ryo terbahak melihat tingkahku.

Diluar dugaan, dalamnya cukup bersih.
Perabotnya memang seadanya, tapi tempat ini memiliki ranjang tingkat, lemari baju dan dapur diruangan yang sama, tidak ada kamar, hiburanpun hanya televisi kecil diujung ruangan dekat pintu yang sepertinya terhubung dengan kamar mandi, tepat ditengah ruangan hanya ada meja lesehan bulat kecil, diatasnya, bungkus bungkus rokok, asbak, kertas kertas, koran serta laptop berserakan,

Disanalah makhluk suram berwajah –Kuakui- maha tampan itu duduk.
Sayang sikapnya tidak setampan wajahnya.
Rasanya lucu juga melihat mereka berdua dalam penampilan rumahan seperti T-shirt dan celana jeans,

“Darimana kau tahu alamat kami?” Ya! Si maha tampan sebenarnya bicara padaku, tetap membiarkan pintu terbuka sebagai bentuk penghormatannya padaku, Ryo berjalan kearah kulkas, mengambil beberapa kaleng softdrink dingin dan melemparkannya padaku,
Aku menangkap satu, Ryo memberikan isyarat padaku untuk melemparkan satu kaleng tepat ke kepala Ari, tapi cowok menyebalkan itu sangat mawas diri dan memberikan temannya death glare seketika.

“Bagian Administrasi memberitahu,” Aku membuka kaleng soda itu dan langsung menghirupnya, aku sangat haus, tempat ini jauh sekali menurutku, 5 jam naik kereta dari Moskow, Itupun sudah kereta tercepat, kalau tidak ada urusan aku sangat jarang bepergian, apalagi ke kota kecil pinggiran seperti ini.

“Kau mau kue apa? Stroberi? Coklat? Coklat stroberi? Kau harus coba buatan Ari, dia pandai sekali memasak dan membuat kue kue,” Tawar Ryo yang langsung disambut tatapan tidak senang dari rekannya.

“Jangan memberikan makanan kita padanya, atau besok kau terpaksa harus menahan lapar karena tidak tahu mau makan apa,” Cetus Ari sambil memasang tampang sok cool, tidak mengalihkan pandangan sedikitpun dari layar laptop nya,

“Hoo, Aku suka kue!” Seruku tiba tiba, merebut sepotong cake dari piring ditangan Ryo, “Aku pasti akan menghabiskan seeemuanyaaa,” lanjutku dengan nada sengaja diberi irama, langsung menyuap sepotong besar cake Stroberi yang tak kuduga, rasanya ternyata memang sangat enak.

“Wow, kau berbakat, pak suram,” komentarku lagi seraya menjilati krim dijariku, “Ini enak sekali,”

Ari melirik kearah entah mana, tapi dari cekikikan geli Ryo, aku paham bahwa ia sedang senang karena pujianku.
Aku duduk dilantai dekat kipas angin, bersandar pada dinding, “Tempat ini juga, tidak seperti tampak diluarnya, kamar kalian sangat rapih,” pujiku sungguh sungguh,

“Kalau kau hidup bersama Ari kau akan enak sekali, dia bapak rumah tangga sejati,” Ryo menyahut, “Sebutir debupun dia sudah siap dengan alat perangnya, vacuum cleaner,
dan sebanyak apapun kau menumpuk cucianmu dia tidak pernah mengeluh saat mencucinya, Dia tidak banyak bicara juga dan tidak mengatakan apapun saat mengerjakan pekerjaan rumah,”

wow, Ari mengerjakan semuanya? Aku membelalakkan mata, ternyata dia tidak se-bossy kelihatannya.
Aku jadi terkesan, mereka berdua lebih seperti melengkapi kekurangan masing masing.
Dan segalanya, selalu tidak seperti yang terlihat.

“Kebetulan aku sedang butuh pembantu rumah tangga,”

“Kau tahu, aku seperti punya ibu lagi,” Ryo menambahkan,

Ari berdehem tidak penting,

“Tapi… kebetulan sekali kau kesini,” Ryo semakin asyik berceloteh, aku berpura pura biasa saja padahal melihatnya seceria itu, jantungku sudah…

“Kebetulan?” Tanyaku kurang jelas.

“Ya, karena dua hari lagi kami sudah tidak disini lagi,” Ryo tertawa, “Biaya hidup di Rusia sangat tinggi, kami tidak punya keluarga juga, dan sewa tempat inipun hanya sampai tiga hari lagi, kami akan pergi sehari sebelum jatuh tempo,” jelasnya.

“Ah,” cetusku tersadar, segera ingat untuk apa sebenarnya aku kemari, “Jadi selama ini apa yang kalian kerjakan?”

“Kami prajurit bayaran,” Cerita Ryo sambil menguap, “Tidak banyak yang bisa diharapkan, lagipula kami juga tidak memasang tarif, kami berkelana dari satu tempat ketempat lainnya diseluruh dunia,
Setiap 3 bulan sekali kami kemari mengikuti seleksi, sayangnya sampai sekarang belum beruntung untuk sampai ke tahap akhir Guardian.
Kami tidak tertarik menjadi prajurit biasa tentunya,
Tapi karena sekarang malah dapat rumah sewaan disini, jarak tempat ini dan markas besar di Moskow sangat jauh juga butuh banyak biaya, mau tidak mau, soalnya ini yang paling murah,
Yah bisa dibilang kali ini habis habisan,”

“Jadi kalian berniat bekerja lagi setelah ini?” ujarku mulai mengerti, Ryo mengangguk.

“Yep, kami harus mengumpulkan uang untuk mulai ikut seleksi lagi, memang orang tua menyebalkan kemarin itu mem-banned kami dari ujian begitu saja tanpa alasan yang jelas, tapi kami bisa menyamar –Ari jago menyamar- dan pakai nama palsu atau apalah, kurasa itu bukan masalah sekarang,
Lagipula Ari butuh uang, dia perlu untuk biaya kuliah adiknya dan banyak lagi,”

Ari melempar bantal kearah Ryo, mengingatkan bahwa ia sudah terlalu banyak bicara, Ryo tertawa santai menanggapinya. “Kau sendiri bagaimana? Berhasilkah sampai ke tahap akhir?”

Aku terbatuk, “Well, aku Guardian sekarang.”

“Selamat!” sambut Ryo antusias, “Kudengar sudah hampir 7 tahun tidak ada yang lolos dari ujian ketiga menuju ujian keempat, kau hebat sekali, Kita akan segera bertemu tahun depan, paling tidak,” katanya lagi,

“Sayangnya,” ujarku berpura pura tidak tahu, “Mereka memberikanku lebih dari satu lencana,” Aku mengeluarkan tiga buah lencana berwarna keperakan itu, dimana ukiran pedang dan bintang yang diukir sedemikian rupa menghiasi permukaannya,

Baik Ryo maupun Ari sama sama menatapku penuh pertanyaan sekarang,

“Bagus, kan?” Aku menyerahkannya ketangan Ryo, “Dengan ini kalian tidak akan kesusahan lagi, tempat tinggal disediakan asrama khusus, dan gaji sebagai Guardian juga tidak sedikit,”

Ryo menimang penghargaan tertinggi itu ditangannya, Perak murni, ringan dan pas sekali dalam genggaman, tampak memikirkannya dengan serius, ia tersenyum manis sebelum mengembalikannya padaku,
“Err… bukannya mau sok keren, tapi kami tidak bisa menerima ini,” katanya sopan, Ari sama diamnya pertanda ia setuju dengan apa yang dikatakan sahabatnya.

“Hee? Kenapa?” Tanyaku tidak mengerti, “Bukannya kalian sangat menginginkan ini? Guardian, loh, prajurit kelas satu dengan misi level S…”

“Tapi bukan dengan cara seperti ini,” Ryo garuk garuk kepala seperti bingung bagaimana cara menjelaskan, sesaat aku kebingungan mencerna perkataannya,

“Kalian… menyangka aku melakukan nepotisme?” Seruku dengan suara lantang, tak percaya,

Baik Ari dan Ryo sama sama diam, mata mereka menunjukkan protes –Kalau-Bukan-Itu-Lalu-Apa padaku.
Aku terbelalak, jadi aku melukai harga diri mereka? Tunggu, tunggu, tunggu, tapi bukan ini yang ingin aku…

“Semua tahu kami bahkan belum masuk ujian keempat sama sekali,” Ryo mendesah, “Kalau kami menerima itu darimu,” Ia menunjuk lencana ditanganku, “Ini akan jadi kegagalan paling sempurna dalam sejarah hidup kami,”

“Tapi kita sudah melewati ujian keempat,” Ujarku putus asa, “Kita bertiga, All of us.”

Kali ini baik Ari maupun Ryo sama sama tidak tahu harus berkata apa, “Yang mana?” Tanya mereka bersamaan,

“Dengarkan aku dulu,” kataku, “Aku juga baru mengetahui ini dari Monroe, temanku,”


-
-
-
-
-


Tiga hari sebelumnya, Moskow, Rusia, markas besar Paladin.





“Jadi maksudmu, kami semua sudah masuk tahapan terakhir?!” Aku berteriak lantang, “Kenapa kau tidak bilang padaku sejak awal…?!”

“Tahapan terakhir itu untuk membuatmu jera, bukannya lulus,” Monroe mengacak kepala botaknya sendiri, membuat kacamata hitam yang menyampir diatas dahinya miring.
“Caesar menyuruh menambahkan horror level ke level 8 tertinggi untuk menakutimu supaya kau tahu betapa berbahayanya dunia yang kau pilih,”

“Bullshit! Aku bisa saja mati!”

“Caesar bilang dia akan menyiapkan pengaman disekitarmu dan memantaumu dengan kamera 24 jam, jadi dia bisa segera bertindak sebelum terlambat, dia memperhatikanmu karena kau keluarga sahabatnya, selain itu dia cukup percaya diri karena dia kaptennya, ia tidak ingin kakekmu bersedih untuk kesekian kalinya karena kehilangan orang yang dikasihi, dia orang yang kadang bisa jadi kejam untuk alasan yang baik, kau sudah tahu,”

“Tapi diluar dugaan ada peserta lain yang juga sedang mengikuti ujian keempat,” aku membaca maksud dari kata kata Monroe,

“Tidak peduli berapa orang,” Monroe mengelap keringat didahinya dengan tissue, “Yang paling mengagetkan adalah, kalian bisa berteman, kau, yang selama ini nyaris tak pernah bersikap ramah kecuali pada kakekmu, bisa membuka hati dan bekerja sama dengan orang lain, itu diluar perhitungan Caesar, dan bukannya membuatmu takut, kau malah semakin bersemangat dan tidak terhentikan, jadi akhirnya dia terpaksa melaporkanmu pada Sir Alexander sendiri…” Monroe tidak meneruskan kata katanya,

“Kalau kau bilang padaku, aku bisa bersiap siap lebih banyak untuk menghadapinya,”

“Kalau ada persiapan terlebih dahulu, bukan ujian keempat namanya,” Suara berwibawa kakekku terdengar saat ia memasuki ruang operasional Monroe, Aku mendadak terdiam seperti batu,

Ia mengambil bangku dan duduk disebelahku. “Ujian keempat atau yang terakhir berbeda dengan test kemampuan berpikir, kekuatan fisik, atau ujicoba pertarungan seperti yang kalian lewati pada level sebelumnya,” Ia berbicara dengan menangkupkan kedua tangannya, “Ujian keempat adalah pertarungan nyata dalam keadaan terpaksa dan serba terbatas, baik tenaga maupun otak kalian diperas habis habisan, dimulai satu detik setelah ujian ketiga selesai tanpa jeda, tidak ada pemberitahuan, situasi dibuat seakan akan sedang darurat, monster yang dilepas berkekuatan diatas rata rata, tak jarang peserta kehilangan nyawa dan mereka sudah mengerti konsekuensi itu, karenanya tidak semua orang dapat memasuki tahap ini,
ini adalah pertarungan nyata yang berbahaya, hanya orang terpilih yang bisa keluar hidup hidup dari sana tanpa tergores,
Dan orang terpilih inilah yang kita cari.”

Kakekku mengulurkan tangannya padaku, “Milikmu,” dalam genggaman tangannya yang besar, aku bisa melihat lencana keperakan,

“Tiga buah?” Tanyaku keheranan bercampur terpesona, kakekku mengangguk,

“Aku sudah melihat rekaman pertarungan itu sendiri, sekarang carilah dan berikan itu pada mereka,”

Aku hampir menangis tidak percaya dengan perkataan kakekku, aku memeluknya dengan sayang, “Terima kasih, kau sudah mengizinkanku,” bisikku, “Aku akan jadi benar benar kuat dan tidak akan mengecewakanmu, kakek,”

Kakekku hanya menghela nafas, aku tahu ia masih kelihatan berat, dengan suara parau ia mengalihkan pembicaraan dan berkata “Monroe, kudengar kau punya sesuatu untuk Mikia,”

Monroe, yang sedari tadi hanya tersenyum senyum melihatku gembira, mengambil sesuatu dari pojok ruangan dan menyerahkannya padaku,
Aku menerimanya dengan senang hati, sepasang sepatu model angkle boots, berornamen sayap kupu kupu pada bagian sampingnya, sedikit lebih berat dari sepatu biasa tapi masih bisa kupakai dengan nyaman,

“Air tracker model F-8675,” Monroe menjelaskan pada saat aku mencobanya, aku sedang mematut matutkannya dikakiku saat ia berkata “Anti gravitasi, model terbaru ciptaanku untuk menambah kecepatanmu, kau tidak akan merasakan cepat lelah yang menjadi titik lemahmu selama ini,” saat ia selesai bicara, aku melayang beberapa senti diatas tanah.

“Keren!” Pekikku, “Apa aku bisa terbang juga?”

“Wah… itu…” Monroe lagi lagi mengelap keringatnya, “Hanya bisa menambah daya lompatmu, membuatmu selincah kupu kupu dan seperti berjalan dibulan,” ia menambahkan dengan menirukan gerakan gerakan a la astronot, “Kau bisa bersalto melindungi bagian atas yang juga menjadi titik lemahmu,” Dia pastinya mendengar kata kata Ari dengan cermat melalui rekaman itu… “kalau kau menginjak sudut vertikal seperti dinding atau tebing… kau bisa berjalan dengan sempurna tanpa terjatuh setinggi apapun medannya,”

Aku tercengang,
Ini, sempurna.

“Aku juga membuat sesuatu untuk anak anak yang lainnya,” Monroe menepuk dada, “Tapi kita harus menjemput mereka terlebih dahulu.”



++++++
 
Last edited:
(Lanjutan)

________________________________________
________________________




“Maksudmu, kami sudah… tanpa sadar melewati ujian terakhir dan lulus?”

Aku mengangkat bahu, “Apa kalian tidak heran kenapa pada saat saat terakhir tidak ada seorangpun selain kita bertiga yang berada disana?
Itu karena peserta lain yang tidak memenuhi syarat sudah diperintahkan untuk keluar dengan hanya menyisakan orang yang dirasa paling memiliki peluang.
Yang spesial kali ini adalah, Kakekku sendiri yang menilai, biasanya yang menyeleksi peserta itu Caesar, tapi untuk kasus yang satu ini, dia sangat tertarik karena tahu Caesar mengeluarkan hampir semua monster level S untuk mengintimidasiku sampai akhir dan semuanya habis ditangan kalian…hanya berdua,” Aku pasang muka sok serius,

"Lalu apakah kakekmu sudah menendang bokong orang bernama Caesar itu?" Ari bertanya acuh tak acuh.

Aku tertawa, "Aku berharap ia menendangnya, kalau ia keberatan aku wakilkan juga tidak apa," Sahutku, "Tapi kakekku bukan tipe orang macam itu, ia tenang dan bijak, hmmm... kurasa dia takkan bertegur sapa dengan Caesar sementara waktu, Yah, Dia malah lebih tertarik pada kemampuan kalian, aku sama sekali tidak dibicarakan, Sebenarnya aku kesal sih, tapi, kuakui kalian gila,”

Tidak ada sahutan, tidak ada argumen, tidak ada sanggahan apapun.

“Baik, siapa yang gila disini?” Aku angkat tangan, “Seriously, apa kalian benar benar lebih percaya cerita bahwa kakekku akan menelan mentah mentah saranku untuk memasukkan kalian kedalam pasukan elit begitu saja? Kalau aku bisa semudah itu membuatnya berubah pikiran aku pasti sudah jadi anggota Guardian sejak usiaku 5 tahun, Dia bahkan tidak pernah mendengarkan apapun dariku jika itu menyangkut pekerjaannya!” Aku menggebrak meja didepan hidung Ari dengan kesal.

“Bukannya tidak percaya…” Ryo menunduk, bingung, “Tapi ini memang tiba tiba sekali…”

“Yo! Anak anak, apa sudah selesai bicaranya?” Dari pintu yang terbuka, Monroe mendesak masuk diikuti pemuda pucat berambut keperakan yang memakai mantel tebal yang nyata sekali, diseret olehnya agar mau ikut.

“Kau tanya sendiri pada mereka,” Ujarku pasrah,

“Hai, rekanku,” Monroe tanpa malu malu lagi langsung menggeledah kulkas dan menemukan sisa kue coklat serta beberapa botol bir, "Sebagai calon rekanan kita harus akrab ya, Oooh! kau punya es krim juga!"

Ari menatapku seakan ingin menenggelamkanku kedalam sumur, bertanya tanya kenapa aku membawa orang rakus begini kemari,
aku hanya cengar cengir, setengah kikuk dan sebagiannya lagi senang setengah mati karena berhasil membuat kesal Ari.

“Oh yah,” cetus Monroe sambil menenggak beberapa botol bir sekaligus, “Aku sudah menyangka kalian tidak akan percaya pada kata kata nona muda ini, jadi aku mengikutinya untuk datang kemari sebagai perwakilan resmi dari Paladin.” Ia berdehem, “Aku Michael Monroe, kepala teknologi dan teknisi no 1 Unit Guardian Paladin, Panggil saja Monroe, Aku datang kesini juga sekalian ingin melihat siapa dari kalian yang sudah jadi Zombie sekarang, tapi kelihatannya kalian benar benar tidak terluka sama sekali”
Ia menertawakan sendiri lelucon garingnya.

“Dengarkan,” katanya lagi, “Seperti yang kalian ketahui, Lulus ujian ketiga berarti kalian sudah sah untuk menjadi seorang prajurit Paladin, tentunya untuk prajurit biasa yang bekerja dibawah divisi divisi rendahan untuk menjadi tentara garis depan yang baru menjalankan misi saat menerima perintah.
Hanya yang bisa maju dan melewati ujian tahap akhirlah, yang akan lulus menjadi salah satu anggota Divisi utama kami, Guardian Unit, sayangnya tidak banyak yang bisa lulus dengan selamat sampai batas waktu yang ditentukan dalam ujian dadakan ini,”

“Tujuh tahun lalu, terakhir kali ada seorang yang dapat melewati tahap akhir dengan sempurna, dan hanya ia yang selamat,” Monroe menoleh kebelakangnya, “Oi, Yudas, kemarilah!”

Lelaki jangkung rambut perak yang berdiri didekat pintu mendelik tidak senang, tapi pada akhirnya ia mendekat juga,

“Ini Yudas, perkenalkan dirimu, hey,” Monroe menyenggol Yudas yang terhuyung tidak dapat menahan berat tubuh rekannya yang besar itu, Monroe memang memiliki postur raksasa berlawanan dengan kepribadiannya yang humoris dan ceria, “Mereka calon rekan kita juga!” Ia nyengir kearah Ari dan Ryo yang terkagum kagum –Atau mungkin bingung- melihat senior mereka nan ajaib ini.

“Yudas, Ignatius,” Pemuda itu memandang Ari dan Ryo sekilas, “Divisi satu Guardian, Paladin,”

“Nah, begitu, nak!” Monroe menepuk nepuk bahu Yudas tanpa perikemanusiaan sampai badannya miring, “Kalian tahu, Dia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak ikut kemari, dia sangat kesepian karena selama ini hanya dia yang muda dalam Divisi kami, selain dia tidak ada yang seumurannya disana,” Monroe mengelus kepala Yudas yang matanya seakan bicara ‘Kubunuh-kau-negro’ sangat jelas.

“Kau lulus hanya seorang diri?” Ryo yang pertama kali berinisiatif mengajak Yudas bicara,

“Ya, yang lain tidak ada yang bertahan, sore harinya Paladin datang untuk membersihkan potongan tubuh mereka,”

“Persis seperti kita ya,” Ryo melihat kearah Ari, “Itu tujuh tahun lalu? Kau datang darimana?”

“Vatikan, Roma, Aku wakil resmi dari sri paus yang dikirim untuk menjalankan tugas sebagai Pembasmi yang terkutuk,”

“Kau pastor,” tebak Ryo, memperhatikan penampilan Yudas yang membawa bawa kitab suci, “Tapi namamu aneh sekali,” Aku hampir tertawa lepas saat Ryo mengatakan hal seperti itu dengan santai sekali,

“Karena ini nama seorang pengkhianat dan tidak ada seorangpun dimuka bumi yang membawa sejarah seburuk pemilik nama ini,” akhirnya sama seperti Ari, Yudas mulai jengah dan menganggap Ryo annoying, tapi anehnya cowok itu tetap saja meladeni semua celotehan tidak jelas Ryo. “Aku juga akan membawa sejarah buruk bagi makhluk makhluk terkutuk itu.”

Nah, sekarang ia sama muramnya.

“Baik, anak anak, perkenalannya selesai,” Monroe mengeluarkan kertas kertas tidak jelas dari dalam mantel tebalnya, “Surat ini adalah bukti keseluruhan nilai kalian sejak pertama mengikuti ujian, sangat sempurna, jadi jangan buru buru kagum dengan satu orang Ignatius, karena hari ini kita dapat tiga, ya, tiga orang Guardian baru.” Ari tampak antusias membaca nilai nilai yang tertera diatas kertas itu.

“Mereka mencatat bahkan detil terkecil,” katanya datar, tapi nada suaranya kedengaran sangat menghargai,

“Dengan kata lain,” Monroe nyengir, merampas lencana lencana kecil itu dari tanganku, lalu melemparkannya masing masing kearah Ryo dan Ari, “Kalian direkrut.”
Lalu tanpa persetujuan ia mulai mengoceh tentang alat alat ajaib buatannya, serta desain yang ia pikirkan untuk kedepannya.
Bahkan ia membawa beberapa hasil percobaannya untuk melihat adakah yang perlu diperbaiki,

“Ini beda dengan yang kupikirkan,” desah Ari, pasrah.

“Tapi ini keren, kan,” komentar Ryo, sama sok pentingnya dengan Monroe,

Aku menghela nafas, lega.
Mereka terpilih karena mereka memang layak, syukurlah kesalahpahaman ini akhirnya teratasi,
Perlahan aku berjalan menuju balkon, membuka jendela.

“Wah,” seruku,

Salju mulai turun.

“Bagus yah,” kata Ryo mendekatiku, kelihatannya berhasil kabur, Kasihan sekali Ari, dia pasti dipaksa fashion show dengan alat alat entah apa oleh Monroe sendirian didalam dengan ditonton tatapan tanpa emosi Yudas. “Setiap kali kami kesini tidak pernah turun salju, loh, mungkin karena ini akhir tahun,”

“M-mungkin juga,” sahutku, sial kenapa pas berdua saja terasa gugup? Dia kan’ manusia juga sama denganku…

“Hmm? Kenapa wajahmu merah? Apa cuacanya Sudah mulai mendingin?” Ryo menilik diantara celah rambutku, padahal sudah kuatur agar menutupi muka.
Kelihatannya tidak begitu banyak menolong,

“Aku masih ingat kok,”

“Ha?”

“Janjiku waktu itu,” Ia tertawa renyah, “Tapi aku ini belum pernah jadi tempat bergantung siapapun kecuali diriku sendiri, jadi harap maklum kalau aku sedikit lemot yah.”

“Maksudnya…” Ujarku terputus, Ryo mengangguk,

“Yep, menjagamu, selalu,”

“J-jangan terlalu dipermasalahkan, itu hanya perkataan sepele, ” tangkisku segera, “Aku juga bukan tipe yang menangis minta bantuan orang lain, kau tahu aku,”

“Tapi janji adalah janji,” Ryo melipat tangannya kedada, bergaya ngotot, “Seorang laki laki harus menepati janjinya apalagi kepada seorang perempuan,”

“Lagi lagi meributkan gender,” cemoohku, “Aku masih senior tiga hari diatasmu, tahu, jadi akulah yang akan menjagamu, itu sudah sepantasnya!”

“Siap, boss!” Ryo lagi lagi menghormat secara berlebihan, sekarang aku bisa melihat Hazel itu mendekat,
Kuning seperti mentega, Jantungku berdebar kencang.
Sedetik, dua detik, aku terpesona seolah tersedot kedalamnya.

“Eww, Aku benci itu,” Aku mendorongnya, langsung memasang wajah jijik, kendati demikian hatiku benar benar hangat.
Sekarang aku sadar darimana kehangatan itu berasal.

"Aaaa, Aku tidak memikirkanmu seperti itu, tenang saja," Ryo menepuk nepuk bahuku seperti ia menepuk nepuk bahu Ari,
Tidak memikirkanku seperti apa? Maksudnya... Tidak melihatku sebagai perempuan...?
Aku bersiap siap kecewa, meskipun demikian rasa kecewa yang kutunggu tunggu itu nyaris nyaris tidak kurasakan,
Ah, bukankah itu lebih bagus? Aku bisa bersamanya dengan cara ini, mengapa tidak...?
Dalam hati aku memikirkan seratus langkah kedepan yang belum tentu akan kuambil,

"Mana mungkin, mikir saja kau tidak becus," ejekku padanya, berlagak tidak suka dan tidak peduli.
Aku tahu, Aku tahu ini artinya apa.
Kami berpandangan sesaat sebelum tertawa bersamaan,



Salju terus saja turun.


Hey, Aku sedang jatuh cinta, kan?

++++++

(End of Flashback)
 
Last edited:
Mikia.

__________________________
_____________________




“Ryo… Jangan tinggalkan… aku… bukannya kau sudah berjanji… Kau tidak akan mati sebelum aku, bukan? Kau akan menjagaku kan? Bangun, seperti waktu itu, bangunlah,"

Bangunlah, seperti waktu pertama kali kita bertarung bersama,
Katakan padaku bahwa kali inipun kau hanya bercanda, walau kau berbohong, aku takkan marah.
Kali ini aku bersumpah aku takkan marah...


Tidak ada.
Dia sudah tidak ada.

-
-
-
-

Tangisku meledak seketika, Aku tidak bisa lagi mengendalikan diriku,
Aku mencintainya… tolong jangan ambil satu satunya hal yang berharga bagiku saat ini... aku terus menerus mengucapkan doa yang sama,

“Bangunlah... bangun...” Teriakku putus asa. “Aku mencintaimu… Bodoh! Bangun…!”
Kubenamkan wajahku didalam dadanya, mendengarkan detak jantung yang semakin melemah, pelan pelan menghilang.
“Bodoh… bodoh… aku mencintaimu… bodoh… aku mencintaimu… padahal aku mencintaimu, kau tahu!”




Jangan berteriak teriak dikuping orang begitu…




Aku tersentak.
Ryo mendelik tidak senang kearahku, “Uukh…Dadaku terbakar rasanya…” Ia terbatuk karena terlalu banyak menghirup asap, kemudian ia mencoba duduk, tapi gagal.
Aku membantunya menyandarkan tubuhnya pada dinding.

“Nyaris, ya?” Ia terkekeh.

Aku menampar wajah Ryo keras keras.

“He… hei!” Ringisnya kesakitan, “Ada orang sekarat malah dipukul! Bukannya kau tadi bilang tidak akan marah meskipun aku berbohong?”

Aku tidak peduli dan memukulnya lagi.
Ia mengumpat dalam ketidakmengertian.

“Kenapa kau mengorbankan dirimu demi Undead yang seharusnya bisa kau kalahkan?!” Teriakku,
Ryo menunjukkan gelagat seperti ingin menjawab pertanyaanku, tapi ia mengurungkan niatnya,
Mendadak ia diam seribu bahasa, menunduk.
Aku baru pertama kali melihat ekspresi wajahnya seburuk itu.
Seseorang yang selama ini selalu ceria, dalam keadaan terburukpun, bahkan nyaris matipun masih tertawa dengan congkaknya,
Siapa ini? Aku tidak mengenalnya...

“Apa ia ‘mati’?” Katanya balik bertanya setelah beberapa lama kami saling terdiam.
Wajah Ryo tiba tiba saja berubah menjadi lebih lembut, aku tidak bisa mendustai penglihatanku bahwa ia sekarang terlihat sangat pencemas.

Cemas? Mencemaskan Undead itu?

“Siapa?”

“Undead…nya…”

Aku bersiap akan menamparnya lagi, tapi Ryo menatap tajam kearahku, “Jawab aku, Mikia,”

Apa apaan ini?! Aku menyelamatkannya dan ia nyaris mati karena bom bunuh diri lalu ia mengkhawatirkan Undeadnya?!

“Kau pasti sudah gila…”

Ryo hanya menatapku, mengisyaratkan bahwa ini serius, aku melotot kearahnya, mengangkat bahu, “Musnah menjadi abu…” Jawabku.
Aku berbohong, sebenarnya aku tidak tahu dan tidak ingin tahu,
Tapi sepertinya... Dia sangat menginginkan jawaban demi apa saja.

Ryo terhenyak, Belum pernah aku melihatnya seperti ini.
Untuk beberapa lama kami sama sama terdiam.

“Dia kekasihku dulu…” Suara Ryo memecah kebisuan diantara kami.

Dalam sekejap, jarum es seperti menusuk nusuk ulu hatiku, aku memegangi perutku, menggigit bibir bawahku menahan perih,
Kekasih, kekasih, kekasih…
Butuh beberapa menit bagiku untuk mencerna informasi yang baru saja masuk ke otakku.
Jadi Ryo ternyata memiliki gadis lain yang dicintainya...?

“Maaf…”

++++++
 
Ryo.

______________________
___________________



Mikia tidak mendengarkan apa yang kukatakan, Aku, sebaliknya, terkejut sekali melihat air mata Mikia kembali mengalir deras sekali.
“He..Hei, Mikia…” Tegurku, Aaah, Aku paling tidak bisa menghadapi wanita yang sedang menangis,
“Aku minta maaf… Aku…” Apa aku salah ngomong?

“Harusnya kubiarkan saja kau mati!” Isaknya, “Aku benci kau! Dasar sialan! Mati saja kau bersama Undeadmu itu! Mati sana!”

Aku terdiam, Mikia… Dia ini… Dia ini…

Manis.

Apa ini… Melihat air mata itu, muncul perasaan rindu didalam dadaku, perasaan yang sama seperti yang mengikatku didunia ini, perasaan yang mengukir sedikit ragu dalam benakku.
Sesuatu yang tidak ingin kutinggalkan…
Dalam benakku, terbayang Mikia datang, Mikia melompat kedalam ledakan untuk menarikku, Dimana ia juga beresiko kehilangan nyawanya juga,
Ia yang selalu bersikap tidak mau tahu, egois, tidak peduli, sedikit impulsif dan kekanakan, hah…

Betapa lembut sesungguhnya hatinya.

Lalu memoriku memutar kata kata ajaibnya yang menyadarkanku,
Mengembalikan segala keberuntungan yang semula meninggalkan orang sepertiku yang bahkan tidak pantas… untuk diperjuangkan.

Aku tidak tahan lagi,
Menggunakan sedikit tenagaku yang tersisa, aku menarik Mikia kedalam pelukanku.
“Bukankah kakekmu sudah mengajarkanmu bahwa menjadi orang munafik itu tidak baik?”

++++
 
Mikia.


______________________________
________________________




I-itu bukan urusanku, kan?
Siapapun yang ia cintai, tidak ada hubungannya denganku,
Benar, karena perasaanku adalah perasaanku,
T-tapi kenapa rasanya marah sekali? Aku ingin menghiburnya, normalnya begitu,
Sebaliknya, yang kulakukan malah memarahinya, berkata aku membencinya,
Sialnya, Tubuhku tidak mau bekerja sama, bergetar dalam pelukannya, Aku memejamkan mata menikmati sensasi itu,
Dadanya yang bidang, rahangnya , dan otot ototnya yang kuat, ia seperti membungkusku, Betapa selama ini aku mendambakan semua itu…
Aku pasti kelihatan rendah sekali…
Sudah menyumpahinya seperti itu, aku masih tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa aku senang dipeluk olehnya,

“Aku memikirkanmu,”

Aku nyaris kehilangan kesadaranku, membiarkan ia menyelesaikan kalimat demi kalimat yang kutahu ditujukannya padaku,

“Tadinya aku berpikir, Akan mudah sekali, Lepas sesaat, setelah itu selesai, dan aku sudah memenuhi janjiku pada seorang gadis yang tidak mampu kulindungi…
Tapi kau tahu apa yang kulihat disaat saat terakhir aku menutup mata?”

Aku tahu Ryo sedang tersenyum, aku bersikeras menahan diriku untuk tidak mendesaknya,
Rasa penasaranku memuncak seperti akan meledak, tetapi kutahan tahan,
Aku ingin tahu, ingin tahu, ingin tahu,
Aku ingin mendengar kalimat selanjutnya darinya…

“Aku memikirkanmu…”

Dan rasa penasaran itu menguap begitu saja seperti cairan.

“Aku memikirkan tentangmu, aku tidak tahu kenapa,
Aku hanya… memikirkanmu…”

“Bohong, Kau hanya ingin membujukku… Itu karena kau sudah terbiasa berkata basa basi dengan wajah palsumu, aku tidak bisa diperlakukan seperti itu.”
Ah, kenapa aku bersikap seakan tidak yakin, padahal 100% hatiku mempercayai setiap kata katanya melebihi apapun didunia ini?!

Bodohnya kamu, Mikia…

“Saat aku terlempar, kukira aku sudah mati, aku pikir, sudahlah, tidak ada gunanya berjuang lagi, tujuanku menemukan putri duyungku yang hilang sudah tercapai bukan,”

Tolong, Bicaranya jangan diputus putus… Aku sudah penasaran sekali ingin tahu kelanjutannya…

“Dan aku mendengar seorang gadis berteriak teriak dan menangis, mengatakan bahwa ia mencintaiku,”

Aku menengadah, mata kami bertemu.

Ryo cengengesan seperti biasanya, “Perasaan tidak ingin melepaskanmu, aku jadi takut mati, mendadak kepengecutanku muncul, memalukan sekali.” Wajahnya menunduk, “Ikatannya lebih kuat menjeratku, melebihi rasa bersalahku akan masa lalu…”
Aku sudah akan menangis lagi, setengah malu, setengah lega,
“Maaf aku bodoh, aku tidak menyadarinya sama sekali, tidak, sampai hari ini,”

“Aku bohong,” Sahutku mengelak, “Siapa yang cinta pada orang sepertimu… Aku membencimu, aku tidak mencintaimu dan tidak akan pernah mencintaimu!” Apa apaan aku, padahal aku sendirilah yang paling tahu bahwa itu tidak benar…

“Bukankah sudah kukatakan, Jangan jadi munafik.”

Ia menyentuhkan bibirnya didahiku,

Aku agak terkesiap, tetapi aku tidak mampu menolaknya, mataku tidak bisa menutup, sedekat ini dengannya baru kali ini,
Jadi aku untuk pertama kalinya bisa melihat bahwa Ryo memiliki bulu mata yang panjang sekali.
Cukup, aku tidak bisa menahannya,
Kutarik tubuh Ryo, memeluknya erat erat, Menikmati setiap sentuhannya.

Dan saat ia kembali menunduk untuk mengecek wajahku yang sudah semerah tomat,
Ia terlihat puas sekali.
Ia terkekeh sambil memasang ekspresi –Benar-Kan-Apa-Kataku- yang menyebalkan,
Aku menunduk, mukaku pastilah merah padam sekarang.

“Kita harus keluar dari sini,” serunya mengulurkan tangan padaku, “Keberatan membantuku? Atau kau ingin terus terkurung disini berdua aku selamanya?”

“Aku tidak pernah bilang aku mau begitu!” Teriakku tiba tiba, malu sekali rasanya…
Orang ini brengsek sekali…! Kenapa aku menyukainya, sih?

“Makanya bantu aku,” Ryo memasang tampang sok inosen itu lagi.
Aku mengutuk pelan, bertanya tanya lagi apa ada yang salah dengan kepalaku,
Lihat, Mikia, seperti itulah dia, laki laki yang kau sukai, Dia bahkan tidak mengatakan bahwa ia mencintaiku, sama sekali, Memberi jawaban sepatah katapun tidak.
Dalam mimpipun aku tidak pernah membayangkan akan menyatakan cinta ditempat angker, tidak ditanggapi pula.
Hanya mendengarnya mengapresiasi bahwa aku yang telah menyelamatkannya.
Oh yah! Jika aku tidak menyelamatkannya, siapa yang kucintai kalau begitu?!
Romantisme yang kuinginkan di komik komik rasanya tidak seperti ini, deh!
Biasanya setelah si cewek menyatakan cinta akan ada adegan kiss kiss atau apalah kan?! Tapi ciuman didahi?! What the hell...
Kenapa yah aku bisa suka sama orang ke-pede-an dan kurang ajar ini?!
Pastilah ada yang salah dengan otakku…

Dia mencium dahimu...Mikia...

Dan kenapa aku sesenang ini?
Sial, kenapa aku senang, sih?!
Menyeka air mataku, aku membuang muka, tapi tetap membantunya.
Sambil membopong Ryo keluar, aku berusaha menyembunyikan detak jantungku.

Kupikir ia pastilah mengetahuinya.


++++
 
Ryo.

___________________________
_____________________




Mikia membantuku berdiri, ia menyumpah nyumpah tetapi ia melakukannya dengan penuh kelembutan dan pengabdian.
Sambil menyembunyikan pipinya yang sudah merona.
Aku ingin sekali tertawa, tapi ia pastilah akan sangat tersinggung.
Awalnya ada sedikit penyesalan dihatiku ketika aku mendengar suara seseorang, aku tahu segalanya tidak berjalan lancar,
Anehnya saat aku tahu Mikia lah yang menggagalkan rencana bodohku.
Aku justru lega sekali.
Bayangan itu, Bayangan Mikia dan Mikia, terus menerus datang menyerangku pada saat aku berada diujung kematian.
Kini aku tahu apa gerangan penyebabnya.
Telah kupastikan dengan menyentuhnya secara langsung tadi, tidak salah lagi, perasaan ini…

Kuperhatikan wajah Mikia saat ia memegangiku perlahan agar tidak terjatuh.
Kami sudah berhasil keluar dari gedung, dengan sinar terang dari fajar yang mulai menyingsing, aku bisa melihat jelas wajahnya,
Ia berusaha keras tidak menatapku, aku tahu ia malu, dan keadaan ini membuatku semakin ingin menggodanya.

“Kau lihat apa?” Protesnya, Kami berjalan pelan pelan, Mikia tetap bersiaga dengan pistolnya,
Tidak bisa kukendalikan seringaian lebarku, Mikia semakin tidak kelihatan senang.

“Bukan apa apa, Ngomong ngomong, kau menerima panggilan darurat dariku kemudian langsung menuju kesini?”

Mikia terbelalak.
“Panggilan moyangmu?! Aku punya firasat tidak enak, makanya aku langsung berlari mencarimu keseluruh penjuru kota…”

Kali ini giliran aku yang melongo.

“Bagaimana kau tahu kalau aku bukan berada di Stephansdom tetapi ditempat lain?”

Mikia menggeleng, "Yah… Firasat, sudah kukatakan sebelumnya,”

Aku benar benar speechless dibuatnya.
Ia berkeliling kota tua ini, mempertaruhkan nyawanya hanya demi mencariku…
Pikiran lemotku ingin berkata 'Wow, Kalau punya pacar sepertinya pasti akan keren sekali...' tapi segera saja aku teringat kejadian barusan.

Mikia tampak seperti membaca pikiranku, ia segera berkata cepat cepat.

“Harusnya yang seperti ini dilakukan oleh pihak laki laki,” Gerutunya, “Maunya sih begitu!”

Aku tertawa seraya mengatakan bahwa yang ia katakan itu sama sekali tidak logis,
Namun aku tidak bisa berlagak tidak senang, ini keren sekali, kami seperti punya ikatan batin saja!
Mikia yang menangkap dengan jelas cengiranku sepertinya ingin membahas lebih jauh lalu mengeluarkan umpatan umpatan sadisnya seperti biasa, tetapi tidak jadi.

Bunyi sesuatu yang diseret berirama diruang pendengaranku.
Mikia menatap cemas kedepan.

“… Itu…” Katanya.

Aku terdiam, mataku mengikuti kemana arah yang ditunjuk Mikia.

R’lyeh.

Ia kembali dengan separuh tubuh tercabik karena ledakan.
Menggunakan sisa tenaganya yang terakhir, memanggil manggil namaku.

Mikia bimbang sejenak, tetapi akhirnya ia memutuskan untuk tidak berbuat apa apa.
Aku menunduk, memejamkan mata.
Perasaanku kembali dirundung kedukaan teramat dalam.
Tetapi aku bisa berpikir dengan benar sekarang.

“Pinjamkan padaku,” Pintaku pada Mikia, menarik pistol dari tangannya, Mikia terlihat ragu ragu.

“Tapi…”

“Harus aku yang melakukannya,” Ujarku pelan. “Lagipula dia bukan lagi gadis yang pernah kucintai dulu, Itu hanya monster haus darah yang menggunakan tubuhnya demi kepentingan yang menyalahi aturan manusia.”

“Penderitaannya harus diakhiri…”

Mikia cemas sesaat, kemudian meneguhkan hati, ia menahan tubuhku agar aku bisa berdiri dengan stabil.

Aku mengarahkan pistol itu kearah kepala makhluk dihadapanku.


++++
 
Mikia.


______________________________
________________________




Hari ini aku banyak sekali melihat sisi lain Ryo yang tak pernah kulihat sebelumnya,
Tangannya yang memegang senjata terlihat bergetar.
Padahal tadi... aku sangat marah padanya,
Tapi sekarang, aku mengerti betul perasaannya...
Aku yang sekarang, perasaan kehilangan tak terperikan saat kakekku tiada... Rasanya sakit sekali,
Jika saja aku harus berhadapan dengan orang yang kucintai sebagai musuh dan harus membunuh mereka...
Aku tidak akan bisa mempertahankan kewarasanku lagi...

“Tidak sekarang, R’lyeh…” Aku mendengarnya berbicara. “Suatu saat nanti aku akan ikut denganmu, tetapi tidak sekarang,”

Ryo menatapku dan tersenyum, “Masih banyak yang harus kulindungi,”

Ia seperti ingin menangis tetapi tersenyum pada saat bersamaan,
Menunjukkan betapa dalam cintanya pada perempuan yang sudah meninggal itu.
Hatiku sakit, Bukan karena kecemburuan melainkan karena aku juga bisa merasakan kepedihannya .

Berikutnya hanya terdengar suara letusan.
Ryo menembaknya.
Perempuan itu terjatuh dan tidak bergerak lagi.
Mati dan kali ini untuk selamanya.

Tangisku pecah lagi, Ryo menyerahkan pistolnya padaku, sejenak ia diam saja kemudian ia mengelus kepalaku,

“Tolol, mengapa malah kau yang menangis,”

Aku meninju dadanya, Ia meringis kesakitan.

“Aku menangis untukmu…!”

“Untukku…?”

Aku memeluknya erat erat, “Aku menangis menggantikanmu, supaya kau tidak usah menangis! Mulai sekarang aku menggantikanmu merasakan semua penderitaanmu…, Ryo… kau tidak sendirian lagi…”

Ryo menghapus bulir bulir air mataku, ia tersenyum, menatapku dengan mata nakalnya,
“Apa?!” Aku melotot kearahnya,

“Tidak kusangka… Mikia cengeng sekali…” Komentarnya.

Aku sudah bersiap ingin meninjunya lagi.

“Tapi aku senang, kau melakukan hampir segalanya untukku..., Baru kali ini aku bisa melihat maksud hatimu dengan jelas sekali,”

Aku membatu seperti patung mendengar kata katanya,

“Mikia jangan santai dulu,” Ryo menyambung, “Lihat sekelilingmu,”

Aku melempar pandangan kesekitar,
Oh tidak… Banyak sekali Zombie mengepung kami dari segala penjuru.
Aku menghela nafas.
Tapi Ryo malah terlihat santai santai saja.

“Tolong ya, Nona Guardian?” Ia tersenyum penuh arti,

“Separuh gajimu nanti adalah milikku, Tuan Guardian bermulut pintar,” Balasku.

“Ooow, Aku orang sakit,” Balasnya, “Berbaik baiklah pada rekanmu yang cidera ini.”

Aku melampiaskan kekesalanku dengan menarik lengan Zombie yang paling dekat denganku, Membanting kemudian menginjak kepalanya sampai otaknya berhamburan keluar.

Aku mendengar Ryo berdecak kagum tetapi aku tidak peduli,
"Aku tidak akan bercanda lagi denganmu, bisa mati!" Teriaknya membuat telingaku panas.
Sekelebat bayangan mendekat, Aku menghentikan laju lariku, Aku mengenalnya,

Scimitar kembar yang menebas Undead disekelilingnya dengan sangat cepat.
Pedang itu besar dan berat, tetapi pemiliknya mampu menggerakkannya menggunakan kecepatan yang luar biasa tersebut.
Dalam sekejap saja mayat mayat hidup berubah menjadi potongan potongan daging mati.
Aku mengerutkan hidung.

Syeikh Ibrahim menyarungkan Scimitar kembar itu dipinggangnya sesaat setelah menghabisi Zombie terakhir.
Kenapa aku tidak pernah menyadarinya?
Warna mata mereka mirip sekali...
Ia menghampiri aku dan Ryo.

“Sejak kapan anda disini?” Tanya Ryo berlagak sok-formal pada sang ayah.

“Sejak kau berniat meledakkan dirimu,”

Ryo langsung diam seribu bahasa, sementara aku dengan segera saja naik darah. “Jadi anda melihat anak anda akan mati dan membiarkannya saja?”

Ryo garuk garuk kepala tidak gatal.
Tampang bego itu lagi...

“Salah satu prinsip dasar dari kemanusiaan adalah membiarkan manusia itu memilih jalan hidupnya sendiri,”

“Maaf,” Ujarku, “Anak anda tolol, masa’ anda mau membiarkannya menempuh pilihannya sendiri padahal dia idiot seperti itu?!”

“Hei! Hei! Hei!” Ryo seperti akan menelanku hidup hidup, Tersinggung sekali. “Kau ini sedang belain aku atau tidak sih?!”

“Mikia,” Kata Syeikh Ibrahim memutuskan argumentasiku dengan Ryo.
“Kalau kau dihadapkan pada keadaan seperti itu… Bagaimana reaksimu?”

Aku dan Ryo berpandangan, Ryo tiba tiba saja membuang muka kearah lain.
Aku menunduk dan memikirkan.
Ya, tadi sudah jelas sekali terpikirkan... Aku bahkan mengucapkannya didalam hati.


Kalau aku, mungkin tidak akan bisa mempertahankan kewarasanku...


Didunia ini banyak sekali orang yang kehilangan sesuatu yang berarti bagi mereka…
Tapi tidak ada yang benar benar bisa menyakiti hal yang penting bagi kita… Tidak selama orang itu waras… Sesuatu yang… Jangankan menyakiti,
Melihatnya terluka didepan mata saja rasanya sudah sangat sakit…
Aku hanya memiliki Ryo sekarang, dan, jika saja… jika saja…
Suatu saat aku… Dihadapkan pada situasi dimana orang yang paling kusayangi berubah menjadi sesuatu yang sudah seharusnya kuperangi… kuhancurkan… kubunuh…
Aku bergidik ngeri membayangkannya.

“Normalnya,” Syeikh Ibrahim menyela lamunan mengerikanku, “Orang yang mengalaminya akan bertindak sama seperti Kisaragi, itu reaksi psikologis yang normal, tidak ada yang benar benar mampu menahan tekanan batin semacam itu.”

Aku menggigit bibir bawahku.
Syeikh… Benar…
Tapi ini tidak seperti aku bisa menahannya… Jika aku sendiripun…
Aku tidak tahu…

“Jika kau dihadapkan pada situasi yang sama, kuharap kau tidak begitu mengecewakan,”

Aku tersentak mendengar kalimat terakhir Syeikh Ibrahim, seakan sesuatu yang panas menohokku hingga kedalam dada.

“Aku kenal orang yang mampu bertahan sampai sejauh ini, tapi dia jadi sinting sendiri,” Sambil garuk garuk kepala, Ryo tiba tiba menginterupsi pembicaraanku dan Syeikh.
Aku hendak bertanya ‘siapa’ ketika sedetik kemudian aku teringat.

Ari…” Desisku sambil menutup mulutku dengan kedua tangan.

“Tidak heran, Undead pertama yang dibunuhnya adalah kedua orang tuanya sendiri,” Ryo melanjutkan ceritanya,
Untuk kesekian kalinya aku terkaget kaget mendengar apa yang dikatakan Ryo padaku,
Begitu banyak kejutan hari ini,
Rasanya jarang sekali Ryo berbicara sebanyak ini kepadaku, meskipun ia memang banyak bicara.
Maksudku, orang sepertinya sangat memahami kapan ia harus serius serta kapan ia harus bercanda.

“Begitupun dia tidak pernah terpikir untuk mati bersama Tasuku, Ia tidak menyerah dan merasa bisa membawa adiknya kembali padanya, walaupun kita tahu, itu mustahil, dan ketika ia menyadari bahwa itu adalah hal yang tidak mungkin, penderitaan yang hebat mulai menderanya…”

Aku, kakekku meninggal karena melawan Undead…
Aku tidak pernah tahu rasanya punya orang tua, Juga tidak punya saudara tempatku berbagi rasa,
Kalau dibandingkan dengan mereka berdua…
Pastilah aku hanya anak kecoak yang hidup didunia aman damai…
Bahkan Daina memiliki lebih banyak pengalaman hidup dari aku ini,
Dan bagi Ryo, Ari sudah seperti saudaranya… ia mengerti perasaan Ari melebihi siapapun…

“Aku tidak akan pernah bisa menang darinya,” Ryo mengangguk, ada berbagai ungkapan penyesalan dalam nada nada suaranya, “Aku berusaha menghiburnya dan meyakinkannya, tapi ternyata aku sendiri tidak lebih kuat darinya ketika kami berada diposisi yang sama…”

“Kalau begitu percayalah padanya,” Syeikh Ibrahim berjalan mendahului kami, Jubahnya melambai tertiup angin pagi,
Untuk sesaat mataku terpaku pada bekas luka bakar yang masih mengilat ditangan Syeikh Ibrahim.
Dalam sekejap kilasan kilasan ingatan samar samar tangan yang menarik aku dan Ryo, menyelamatkan kami dari ledakan, muncul dalam memoriku.

Aku tersenyum.

“Kenapa kau tertawa?” Ryo berbisik ditelingaku ketika aku membantunya berjalan.
Aku menggeleng pelan.

“Ayahmu sayang padamu,” Ujarku lembut.

Ryo hanya tersenyum kecut.

"Ayo kita pergi," Ajaknya, "Ketempat Ari...!"


+++
 
Ari.

_________________________
___________________



Kejadiannya begitu cepat sampai sampai aku butuh beberapa detik tambahan untuk menyadari apa yang terjadi.
Sepuluh raksasa besar mengepungku dari segala penjuru, sementara Undead lainnya dari jenis yang bisa terbang menangkapi helikopter pasukan Paladin bagaikan menepuk nyamuk.
Bangkai bertubuh super besar itu berlari kearahku, mungkin ingin segera menginjakku dan Pak tua yang terkulai didekatku menjadi bubur kertas.

“Apa kau ingin mati, bodoh?” Sabetan tajam dan kilatan mematikan beradu.
Tubuh makhluk raksasa itu terbelah menjadi empat bagian.
Aku tersentak saat kepala makhluk itu terlempar dikakiku.

Robot jangkung yang sengaja didesain menyerupai struktur tubuh seorang wanita itu membentangkan kedua lengannya,
Caesar segera muncul.
“Cukup, Fyerina,” Ia mendelik tajam kearahku, mengisyaratkan pada ‘Putrinya’ agar berhenti menolongku, Tatapannya dingin.

“Hanya sekali ini, Mantan kapten.” Ujarnya sembari berlalu, menghajar makhuk kematian yang tersisa.

Aku terhuyung mundur, Membalikkan badanku, terduduk didekat Father Joseph yang berlumuran darah.
Menarik jubahnya hingga terbuka dan memperlihatkan pemandangan yang membuatku mual… walaupun aku bekerja didalam Paladin sekian tahun, Kesekaratan senantiasa menyiksaku.
Dengan panik aku mencoba menghentikan pendarahannya, Menambal lukanya dengan carikan jubahnya atau apa saja yang kutemukan.

“Bertahanlah, pak tua…” Bujukku gelisah karena darahnya tidak mau berhenti mengalir.
“Tidak kena… Jantung, Kami memiliki vaksinnya, walau obatnya… tidak sempurna… pasti masih sempat…”Jari jariku gemetar, “Pasti… Pasti masih sempat… Sialan kenapa tidak mau berhenti!” Aku menutupi lukanya dengan tanganku tetapi kelihatannya sia sia saja.
Darah mengalir deras pada sela sela jariku,

Father Joseph terbatuk dan memuntahkan cairan pekat kehitaman dari mulutnya.
Darah bercampur virus…

“Sudah terlambat, anak muda…” Ia terkekeh, Aku mengingat Alexander… Benakku dipenuhi detik detik kematian Guruku, Dan kepergian Daina…
Apa apa… Apa apa yang gagal kulindungi…

Dengan sisa tenaganya yang mulai melemah, Father Joseph menyodorkan pedang titipan Ryo ditanganku, Aku terkejut.
“Lakukan saja,” Ia memandangiku dengan mata tuanya. “Maukah kau membiarkanku pergi seperti aku apa adanya?”

Ah, Dadaku sesak…
Kenapa,
Kenapa harus selalu seperti ini?
Kenapa harus selalu orang lain yang menjadi korban?
Apa aku saja tidak cukup untuk mencegah terjadinya pengorbanan itu?
Apa kekuatanku saja masih belum cukup?

“Kenapa…”

Paladin mulai menjatuhkan bom bom berskala kecil dari udara, Langit bagaikan dipenuhi percikan bunga api, Suara suara ledakan bersahutan seperti musik, Dengan bau kematian.
Teriakan teriakan membahana.
Apa penyelamatannya akan gagal? Apa sudah tidak ada yang bisa diselamatkan lagi disini?

Apa benar benar sudah tidak ada harapan lagi?

“Kenapa kau melakukan ini untukku, Pak tua…” Aku menggenggam gagang pedang ditanganku kuat kuat.
Sakit sekali rasanya.
Melihat pemandangan seperti ini sekali lagi.
Aku seperti mau gila.
Atau mungkin sudah gila.
Sudah, cukup, Tidak ada gunanya mempertahankan kewarasan didunia tanpa harapan ini…

“Karena kita manusia…”

Aku melihat kedalam mata tua itu sekali lagi.
Betapa terkejutnya aku menemukan harapan disana yang seperti tidak akan pernah padam.

“Ada orang lain yang menderita sepertimu, yang kehilangan adik, kehilangan semuanya, Aku tidak bisa membiarkanmu kehilangan lebih banyak lagi…”

“Apa…”

Selama ini dunia bagiku adalah Tasuku dan Daina.. Ketika Tasuku dan Daina tidak ada, aku…
Itulah ketika aku mulai belajar untuk membenci segalanya…
Ideologi ini juga sama… sama seperti Tasuku…
Ini salah… Alasan untukku berjuang… Alasanku…

‘Tidak akan membiarkan orang lain mengalami sakit yang sama’…



"Mungkin saja alasanmu hidup sampai detik ini adalah untuk melihat dirimu sendiri menciptakan perubahan,"

Tangan tua itu menggenggam tanganku yang berlumuran darahnya.

"Mungkin...?"

"Kau tidak akan pernah tahu kalau kau menyerah..."


Menciptakan surga.
Mengubah dunia.
Melindungi semuanya.




“Aku masih…




...belum mau menyerah…”

Father Joseph tersenyum, Tepat pada saat ia tersenyum suara raungan mengerikan terdengar dibelakangku.
Mereka sudah datang.

Lelaki tua dihadapanku kelihatan sudah siap, ia masih tersenyum,
Aku berdiri, Kulihat Father Joseph menaruh bom ukuran kecil kedalam genggamannya.
Ia mengedip.
Bibirnya yang dipenuhi darah yang ia muntahkan banyak sekali karena luka parah pada paru parunya tersenyum penuh kemenangan.

Kusadari ketika aku berbalik, ada banyak sekali makhluk itu, Anak anak kecil dinaikkan dengan paksa, kelihatannya mereka tidak ingin berpisah dengan pastor baik hati yang menyelamatkan nyawa banyak orang itu.
Jaraknya cukup jauh dari katedral.
Bagus, Tidak apa apa, Hanya berikan saja aku sedikit waktu… Sedikit saja waktu…






Aku meraih pistol dipinggangku, Menembakkannya keudara.
Bunyi ledakan memekakkan telinga itu cukup untuk mengalihkan perhatian para pesuruh kematian itu, mereka meraung keras keras dengan suara yang memekakkan telinga.
Lalu mulai mengejarku kedalam reruntuhan katedral.

Dengan gesit aku menyelinap diantara kerumunan Undead raksasa itu.
Mereka kuat dan cepat, tetapi refleksnya lamban dengan hanya sedikit kecerdasan.
Aku masih sempat melirik kearah Father Joseph yang terbaring dilantai batu dengan alat pemicu ledakan didalam genggamannya.

“Semuanya, Merunduk!” Perintahku kepada pasukanku.

Ledakan besar terjadi beberapa detik kemudian.


Cukup untuk membumihanguskan Stephansdom seluruhnya dalam sebuah bola api raksasa.
Bersama Undead Undead yang terkurung didalamnya.

Aku terpental cukup jauh.
Tetapi Helikopternya aman.
Berlindung dibawah Coat anti-api, Aku menutupi kepalaku dengan tangan.
Menghindari pecahan pecahan debu dan dinding batu yang beterbangan kesana kemari.

Aku mencoba untuk berdiri meskipun masih terasa pening. “Father…” Aku memanggil,


Tidak ada apapun dihadapanku selain Stephansdom yang luluh lantak tanpa bentuk…


Pada saat aku mengira segalanya telah berakhir, pasukan mayat hidup bergerak super cepat dari segala penjuru, bau mayat dalam sekejap menyeruak lagi disekitarku,

Tidak, aku tidak boleh menyia nyiakan ini semua…

“Berangkat!” Teriakku, “Terbangkan Heli nya sekarang! Bawa para Survivor ketempat yang aman! Aku akan menahan mereka!”

“Tuan Aryanov! Kami akan tinggal disini membantu anda sementara yang lain membawa survivor keluar!”

Aku membentak prajurit itu, “Apa kau tidak dengar?! Semua orang-meninggalkan-tempat ini- sekarang juga!”

“Tetapi…”

“Ini perintah,” Aku menarik nafasku, sebelum kembali berteriak“Dari Jendral Paladin yang baru!”

Saat aku mengucapkan kalimat tersebut, bagian tengkukku terasa dingin.
Ada sebuah makna sakral tertentu ketika mengucapkannya… Dan itu tertancap dalam dihatiku.
Entah mengapa.

Prajurit muda dihadapanku ragu sejenak, tetapi kemudian mengangguk mantap.
Memberitahu rekan rekannya yang lain untuk mundur.
Bunyi berisik itu menghantam ruang pendengaranku lagi, sebanyak 12 unit heli milik Paladin bergerak meninggalkan tempat yang telah jatuh kedalam jajahan para Undead ini…

Kubentangkan pedang milik Alexander Boraknitchov kearah monster monster dihadapanku.
“Belum lelah?” tanyaku, Pesuruh setan itu menjerit satu sama lain, kelaparan. “Baiklah, akan kutemani kalian bermain.”

Kehangatan menjalar saat nyala api membasuh lenganku.
Kali ini diikuti dengan munculnya bunga api yang lebih besar.

Didalam dadaku.

++++
 
Last edited:
Caesar.


________________________
________________



Sudah menjadi rahasia umum aku tak pernah menyukai anak anak muda seperti Kisaragai dan Gabriel.
Aku tidak menyukai pribadi mereka yang lemah.
Bertarung demi mencari-atau menyelamatkan orang yang dicintai dari virus mematikan ini.
Padahal siapapun tahu, sekali kau terkena virus itu, dan berubah menjadi Undead.
Tidak ada jalan kembali.

Fyerina bergerak mantap menyayat setiap daging mati yang mencoba menyerangku.
Ia gesit dan lincah seperti biasanya,
Tidak memberikan kesempatan kepada siapapun.

Akupun juga demikian,

Aku terpaksa membunuh putriku sendiri bertahun tahun lalu.
Walau Alexander membantu menghidupkannya kembali dalam bentuk menyedihkan…
Itulah awal hutang budiku pada Organisasi yang telah menjadi kiblatku selama ini.

Ia hanya robot sekarang, ia tidak bisa bicara, ia mengerti perintah perintah yang diucapkan kepadanya, tetapi ia tidak mampu merespon.
Sebagai Deus Machina luar biasa.

Suara ledakan mengejutkanku,
Asalnya dari arah Katedral tua Vienna.
Bom bunuh diri Gabriel muda kah?
Aku tertawa, sudah kubayangkan hanya begini saja, Ia seorang bocah yang tidak tahu apa apa.
Baru kehilangan begitu saja,
Dan ia sudah kehilangan makna hidupnya serta,
Orang yang telah kehilangan tujuan hidupnya sama saja dengan Undead, Daging mati tidak berguna.
Sebaiknya memang dunia akan lebih tenteram jika keberadaan makhluk makhluk semacam ini,
Undead, Maupun manusia lemah, dihilangkan.
Sejak awal semua bencana ini juga terjadi karena ulah Manusia yang terlalu lemah dalam menolak godaan ‘Ingin menjadi Tuhan’.

Aku menyeret kakiku yang agak pincang, Dari atas bangunan tak jauh dari Stephansdom, memicingkan mata untuk melihat lebih jelas.
Katedral tua itu menjadi lautan api sekarang.
Aku tersenyum dari kejauhan.
Bermaksud membalikkan badanku,

“Aku akan menahan mereka! Berangkat sekarang!”

Kata kata itu tidak begitu jelas terdengar ditelingaku dari kejauhan seperti ini.
Tapi suara itu…

Aku tersentak merasakan keterkejutan luar biasa saat aku melihat kebelakang sekali lagi.
Saat ia keluar dari dalam api yang membara.

Aryanov Gabriel.

Dia belum mati…?

Dadaku berdebar memperhatikan,
Ia menerobos kerumunan Undead, mendekati pasukannya yang tengah bertempur untuk membuka jalan bagi para Survivor yang tersisa.
Prajurit itu kelihatannya membantah permintaan Gabriel,
Hanya kata kata dan suara lantang itu yang terdengar.

“Ini perintah dari Jendral Paladin yang baru.”

Saat ia mengucapkan kata kata tersebut.
Mata itu, bukan lagi mata seekor anjing ketakutan seperti yang kulihat belakangan ini.
Suara bising Heli meninggalkan tempat itu mengiringi langkahnya,
Kemudian ia mencabut pedangnya, Pedang milik Alexander…

Lalu menerjang seorang diri.

Aku tersenyum melihat pemandangan dibawahku.

“Fyerina,” Panggilku,

Deus Machina dibelakangku telah selesai melakukan pekerjaannya, Berlumuran darah hitam keperakan yang nyaris mengering, bergerak cepat mendekatiku.

“Ayo pergi!”

Kami melompat turun kebawah.



+++
 
Last edited:
Ari.

___________________________
_____________________




Tubuhku rasanya bergerak sendiri,
Saat aku berjuang, aku merasakan kehidupan,
Dua ekor Undead raksasa mencoba meraih Heli diatasku, Aku berdecak kesal.
Apa tidak bisa mereka membiarkan kami santai sebentar saja?
Aku maju melesat, Mengangkat tanganku dalam posisi membelah, tidak berhenti hingga lengan raksasa dihadapanku terpental jauh.
Hujan darah sesaat.

Dalam sekejap mendaki tubuh yang terpenggal menjadi dua bagian dihadapanku, Menuju seekor lagi dibelakang, Ia dekat sekali, nyaris meraih benda terbang didekatnya, Pilot Paladin dengan panik melakukan manuver untuk menghindarinya,

Aku menaiki tubuhnya dalam beberapa kali lompatan.
Ia berteriak meraung, menggapai gapai seperti orang bingung ingin menepuk nyamuk mengganggu disekitarnya.
Aku bersalto diatas kepala Undead itu, Menusukkan pedangku tepat kebagian otaknya.
Dalam satu raungan menggelegar,
Aku berhasil mendarat dengan sempurna diatas tanah.
Ketika aku telah menegakkan tubuhku kembali, Raksasa itu telah jatuh berdebum.

Mati.

Satu Heli berhasil lolos, masih ada 3 lagi ya ng sepertinya kesulitan,
Aku berlari menghampiri keempat Ghoul besar yang sedang menarik badan Heli paling dekat denganku,
Berusaha mencegahnya lepas landas,
Aku menarik seekor diantaranya, melemparkannya sejauh mungkin, memenggal kepala mereka yang tersisa,

Aku memandang kesekeliling, mencari cari,
Tampak dari kejauhan kedua Heli yang tersisa sedang dikerubungi banyak sekali Ghoul,
Sialnya, Semua itu terjadi diatas langit,
Aku menembakkan pistolku dua kali, peluruku menembus dan menjatuhkan seekor Ghoul dengan kepala bocor.
Terlalu makan waktu, sial.

Lalu ada semburan api yang berhasil menjatuhkan beberapa ekor diantara mereka,
Aku menoleh,
Tampak olehku Monroe berdiri diatas Tank besar yang ia kendarai sendiri.

“Yo, Gabriel!” Teriaknya ceria. “Sedang kesulitan?”

Aku tertegun, Monroe hanya bagian medis dan mesin yang tidak pernah sampai turun kelapangan begini…
Harusnya…

Keterkejutanku menghadirkan celah bagiku untuk diserang.

“Kiiikkk!” Seekor Ghoul melintas dihadapanku, Aku sudah akan menarik pedangku untuk menebasnya,
Lalu… Bang!
Ghoul itu terjatuh, Darah mengalir diantara sepatuku.

Aku mengangkat daguku untuk mencari asal tembakan.
Diatas reruntuhan tembok tak jauh dari tempatku berdiri, Ryo duduk dengan santai, Ia terlihat lelah dan kepayahan, namun masih kuat untuk menembakkan Shotgun ditangannya.
Ia tersenyum kearahku. “Bravo, Akhirnya kau naik pangkat juga ya, Ari!” Godanya.

“Kau…” Aku terkejut, setengah tidak percaya, dan senang ia masih hidup.
Walau aku tidak tahu bagaimana, tapi… Terima kasih Tuhan.
Entah bagaimana caranya, Kau telah membawa sahabatku kembali.

Ryo mengerling kesebelahnya, secara Refleks mataku mengikuti arah gerakan Ryo.
Tampak Mikia disebelahnya, Memangku Bazookanya, Ia beranjak dalam posisi siap tembak.
Saling menatap bersama Ryo.

"Akhirnya kau mengatakannya," Gadis itu mengangguk happy.

Teriakan-teriakan membahana terdengar disekitar kami.
Para Zombie yang berhasil selamat dari ledakan.
Sekarang pasti mereka menuju kesini.
Ini menghambat sekali.

Syeikh Ibrahim tiba tiba muncul, dengan kedua Scimitar terhunus ditangannya.
“Aku akan menghentikan gerakan Zombie-zombie dibelakang, Menjadi backup kalian, Fokus pada misi, Selamatkan para Survivor.” Lalu ia menambahkan, sambil melirik Ryo dan Mikia.
“Sebaiknya kau potong gaji orang orang yang melakukan hal-hal tidak perlu ditengah misinya, Jendral.”

“Aw! Ayolah, Orang tua!” Ryo berteriak protes. “Ari, Kau takkan mendengarkan dia, bukan?”

Syeikh terus melangkah tanpa mempedulikan protes dari Ryo.
Mikia tersenyum geli, kemudian menembakkan Bazookanya ke udara, mengikuti Monroe.
Beberapa Undead berjatuhan seperti burung panggang.
Ia, Ryo, dan Monroe terus terusan menembaki Ghoul yang sedang merubung heli itu,
Aku melihat retakan di kaca depan Heli.

Useless,” Keluhku, “Kita harus memikirkannya cara yang lebih cepat.”

“Tapi bagaimana?” Teriak Mikia. “Aku seharusnya bisa naik, tapi…” Ia melihat kesekitar, dimana setiap bangunan yang tersisa disekitar kami hanya tinggal reruntuhan. “Tidak ada pijakan!”

Aku berdecak kesal.
Harus bisa.

Aku menoleh pada Monroe. “Monroe! Kau punya rantai?”

Monroe melihat padaku, terdiam sesaat, Ia masih menembakkan lidah api kemana mana.
“Ada, Ada,” Putusnya akhirnya.

“Berikan padaku.” Ujarku cepat.
Monroe menunduk untuk mencari rantai diantara barang barang yang berserakan didalam mobil tempurnya.

“Mau kau apakan ini?”

“Lihat saja.” Ujarku pelan.

Aku berdiri dibelakang tank penyembur api itu
Mengisyaratkan Monroe untuk terus melakukan pekerjaannya.
Aku memutar rantai besi ditanganku cepat cepat, berusaha menciptakan angin.

“Bagus sekali, Ari!” Teriak Ryo begitu melihat pancaran Api menjadi lebih besar.
Ketepatan semburannya meningkat hingga berkali kali lipat.
Dalam sekejap, tidak ada seekorpun Ghoul yang berani mendekat kesisi Heli yang segera mengudara dengan cepat tersebut.

Aku menghentikan gerakanku dengan nafas tidak beraturan.
Satu sudah terselamatkan, tapi,masih… belum selesai…!

“Masih ada satu lagi, ayo!” Ujarku, mulai melakukan putaran sekali lagi, kearah Heli kedua dan terakhir.

Seekor Ghoul merunduk menghindari api yang menjilat jilat.
Menembakkan suara ultrasonik yang berbenturan dengan api milik Monroe.
Ia mengembalikannya kearah kami!

Pada saat bersamaan, muncul perisai besi yang melindungiku dan Monroe Tank.
Aku terpana.
Sedetik kemudian, api telah lenyap.
Itu Deus Machina, ia kembali kebentuknya semula, kebelakang tuannya.

“Jangan melakukan serangan yang beresiko seperti tadi lagi,” Caesar muncul ditengah kami semua.

“Tapi kami harus menyelamatkan satu satunya Heli yang tersisa itu!” Mikia memotong pembicaraan dengan kesal.

“Tidak dengan mengorbankan nyawa sendiri!” Bentak Caesar.

Mikia terdiam, mengepalkan tangan.

“Aku tidak datang kemari dengan tangan kosong.” Ujarnya sembari menunjuk kearah belakang.
Aku mengikuti arah yang ditujunya,
Mataku menangkap Deus machina yang membuntut dibelakang Caesar.

“Dia petarung solo dan bukan tipe yang bisa dikendarai, tapi cukup untuk menjadi anak tanggamu.”
Aku tersentak.


Caesar? Membantuku?


Bukannya selama ini dia adalah orang yang paling menginginkan kejatuhanku serta paling membenciku?
Aku terbelalak tidak percaya untuk beberapa saat.

“Ayo cepat!” Hardiknya memecahkan banyak sekali pikiran yang beterbangan diatas kepalaku. “Kita tidak punya banyak waktu!”

“Keren sekali!” Teriak Ryo “Seumur hidup aku tidak pernah melihat Guardian saling bekerja bersama seperti ini! Ari, kau keren sekali!”

Aku terdiam sesaat sebelum akhirnya mengangguk, Benar, apalagi yang harus kupikirkan?
Aku harus menyelesaikan ini semua,
Deus machina dihadapanku berubah bentuk kedalam mode terbang, terlihat seperti cakram besar dengan banyak sekali mata pisau tajam disekelilingnya, khusus untuk mencabik.
Aku tahu pasti dia diciptakan seperti ini untuk mencabik musuh di ketinggian.

“Kenapa…?” Aku bertanya pada Caesar sebelum menjejakkan kakiku diatas mesin tempur tercanggih penemuan Paladin tersebut.
Orang tua itu membuang mukanya, masih tampak angkuh seperti biasa.
Sulit dipercaya dia kini memberikan Deus Machina kebanggaannya untuk berada dibawah kakiku.
Aku jadi merasa sedikit tidak enak.
Caesar bagaimanapun adalah senior diatasku…

“Sebaiknya kau menghentikan sikap ragu ragumu, Jika berhadapan dengan Undead saja kau tidak pernah ragu, mengapa harus panik saat menghadapi sesama manusia?” Katanya padaku. “Tidak peduli seberapapun aku membencimu,” Ia menambahkan, “Kita semua berada disini untuk satu tujuan, Dan aku tidak peduli apapun yang harus kukorbankan demi untuk mencapai tujuan tersebut, Meski itu artinya aku harus bekerja sama dengan orang sepertimu.”

Kata-katanya pedas, namun mampu membuatku tersenyum.
Aku menjejakkan kakiku keras keras diatas pijakan dibawahku yang segera membawaku melesat ke angkasa.
Namun tetap saja, Caesar benar, Dia bukan tipe yang bisa dikendarai.
Baru sekitar sepuluh meter diatas tanah, Deus Machina ini sudah goyah menahan berat badanku.
Aku harus melompat dan membiarkannya bergerak secepat kilat menghadang dibawahku seperti anak tangga, lagi dan lagi,
Semakin lama semakin tinggi.

Tidak ada yang lain menguasai pikiranku saat ini.
Semakin jauh jarak yang bisa kutempuh.
Semakin dekat aku dengan tujuanku.

Sekelebat bayangan berputar dalam kepalaku.
Wajah tegang teman temanku dibawah yang mengharapkan keberhasilanku.
Mereka adalah sedikit yang bisa bertahan hidup untuk melihatku berjuang sampai saat ini.
Lalu pemandangan kota yang hancur disekitarku… Apa yang tersisa dari duniaku sekarang…
Lalu… Lalu…



Tasuku dan Daina melambai padaku dari kejauhan.
Hartaku yang paling berharga.



Aku menutup mataku kuat kuat, Menyerahkan semuanya pada kekuatan tubuhku.
Seluruhnya.
Berharap bisa mencapai sesuatu dalam satu kali lompatan ini.

Bukan berharap.
Tapi bertekad.

Aku mendengar suara teman temanku menyerukan namaku.

Dan merasakan kakiku berpijak mulus… Pada ekor Heli yang baling balingnya tengah berputar, Nyaris saja, salah mendarat beberapa senti saja, tubuhku yang akan terpotong potong karenanya.

Aku mengisyaratkan agar heli berhenti melakukan maneuver dan terbang dengan stabil, Berikutnya mencabut pedangku.

“Terbakarlah di Neraka…” Aku mengutuk suara suara bising Undead yang beterbangan disekitarku, Jumlahnya banyak sekali, Aku menginjak mereka untuk mendapatkan tempat berpijak, memenggal kepala mereka dan berpindah melompat ke dari satu keatas yang lain setelah mereka mulai berjatuhan.

Aku mendengar Mikia berteriak, Aku menoleh kearahnya yang memberikanku peringatan, Aku tidak sempat mengelak ketika sesuatu yang besar menubrukku, menjatuhkanku dari atas punggung Ghoul yang sedang berupaya melepaskan diri dari menjadi kesetku.
Deus machina milik Caesar dengan sigap menahan kakiku dibawah, memberiku kestabilan untuk tetap berdiri,

Aku terkejut, refleks mencari pegangan disekelilingku.
Aku tahu tidak bisa berdiri diatas Deus Machina ini berlama lama, atau kami berdua akan jatuh.
Tidak, Tidak boleh! Tidak boleh gagal!

Monster raksasa yang tadi menabrakku ternyata seekor Ghoul besar, Besar sekali, hampir sebesar tungganggan yang biasa dinaiki Stast atau Tasuku.
Ia menghempaskan ekornya yang hanya tulang keras itu kearahku, Aku merunduk untuk menghindari kibasannya.
Mendadak ia terbang mendekat kearah heli, Dalam keterkejutan luar biasa aku tidak sempat lagi berpikir.

“Kau… Tidak boleh kesana!” Teriakku, Melompat dari atas Deus Machina

“Ari…!” Suara Histeris Mikia dan Ryo mengisi indera pendengaranku.


Ya, gila sekali, melompat dari ketinggian seperti ini hanya untuk menghentikan gerakan Undead raksasa yang besarnya belasan kali lipat tubuhmu sendiri.


Aku meraih sayapnya disaat saat terakhir,
Menusukkan pedangku asal asalan pada tubuh monster seukuran gajah tersebut.
Walau aku nyaris jatuh, tapi pedangku mampu menjadi penahan, Monster itu berteriak, sebelah sayapnya robek, ia berguling di udara untuk menjatuhkanku.
Susah payah aku berpegangan pada bulu bulu kasar disekujur tubuhnya, mencengkeramnya lebih kuat, lalu mencoba mendaki keatas.





Makhluk sialan hasil prakarya adikku itu akhirnya berhasil kunaiki.


++++
 
Last edited:
Mikia.

__________________________
______________________




Terpaku.

Itulah yang saat ini sedang kami alami.
Melihat Ari yang sedang bergulat dengan Ghoul raksasa diatas sana, Seperti membaca buku dongeng tentang ksatria yang bertarung melawan naga.
Mengeluarkan kekuatan yang melampaui kemampuannya.
Ari tidak mampu terbang, tidak punya kekuatan super seperti para makhluk yang telah bangkit dari kematian itu.
Tapi ia menunjukkan pada kami, bahwa manusia mampu melawan keterbatasannya.
Kemampuannya yang mengerikan sekaligus indah itu… itu…

Seperti…


“Seperti Undead…”


Aku berpaling kearah Caesar yang sedang bergumam gumam sendiri.
Aku mengepalkan tangan, hendak membalas kata kata orang tua sialan bermulut sembarangan dihadapanku,

“Bedanya hanya alasan yang kita dan mereka miliki,” Ujar Caesar sebelum aku sempat mengeluarkan kata kata sanggahan, “Alasan kita untuk bertempur, Tidak bisa kita samakan dengan mereka, Alasan yang membuat kita lebih tinggi, dan Alasan yang membuat kita lebih manusiawi…”

“Ideologi perang,” Tatapku tajam, "Selalu seperti itu, agamaku lebih baik dari agamamu, Negaraku lebih pantas berkuasa daripada Negaramu, Aku berperang bukan karena merasa lebih tinggi dari apa yang kuperangi,
Aku berperang melawan apa yang menjajahku, aku berperang untuk mempertahankan diri, aku tidak akan pernah merendahkan walau itu musuhku sekalipun, Aku berperang untuk menciptakan kedamaian,
Aku yakin, Aripun pasti demikian, kekuatannya, berasal dari tekad yang sama."


Caesar diam.


“Jangan menembak dulu!” Teriakan Ryo kepada Monroe mengakhiri argumenku dengan Caesar.

Dalam hati aku masih berpikir.
Lebih tinggi? Jika bagi Caesar pertarungan ini adalah pembuktian harga diri antara manusia melawan Undead, Pembuktian keyakinan mana yang lebih kuat.
Maka bagiku,
Pertarungan kami selama ini adalah jalan.
Untuk melindungi orang yang paling ingin kulindungi.
Hidup dengan mereka, Maka itulah hidup penuh kebanggaan bagiku.

Aku memegang tangan Ryo disebelahku, Mencoba melihat wajahnya.
Tapi ia tidak sekalipun menoleh kearahku.
Matanya mengikuti Ari kemanapun sahabatnya itu pergi.

“Ari sekarat!” Desisku. “Tembak Ghoul itu, Monroe! Kalaupun jatuh masih ada Deus Machina milik Caesar yang akan menjadi pijakannya!”
Aku merasa tidak ada harapan lagi, Tidak mungkin, Tidak mungkin Ari menang bergulat melawan makhluk pemangsa sebesar itu.
Ini terlalu mustahil…

“Tidak…!” Aku tersentak saat Ryo berteriak keras sekali padaku. “Jangan berpaling,” Bisik Ryo padaku, “Percaya padanya.”
Pandangannya menuju keatas.
Aku terbelalak.

”Mengerikan,” Desisku.


Ari, Dengan segenap kemampuannya, Melompat keatas punggung sang Ghoul dan menunggangi Undead raksasa yang terbang tinggi diangkasa, Ghoul raksasa itu memutar mutar kebingungan dan memberontak, Terjadi adu kekuatan sesaat.



Ari menang.



Dengan tenaganya yang luar biasa ia memutar tanduk besar dikepala sang Ghoul, menemukan kunci bagaimana mengatur pola terbang bangkai hidup berukuran lima kali tubuhnya sendiri itu.

“Lihat kan!” Ryo mendongakkan kepalanya keatas, seakan ia berusaha melihat bintang yang hanya beberapa senti jaraknya dari kedua bola mata. “Itu Ari yang aku tahu, Itu Ari yang sebenarnya, Ia yang tidak sedang ragu ragu lebih kuat dari siapapun, Itu adalah ia yang sedang bersungguh sungguh mengeluarkan semua potensinya.”
Senyuman lebar terukir diwajah Ryo.
Ia menyoraki Ari, menyemangati sahabatnya diatas sana.


Untuk sesaat aku merasa iri.


Ryo memang orang yang baik sekali… Ia baik hati dan sangat baik dalam memahami orang lain.
Baik hati… Sedikit lemot dan cuek tetapi pengertian…
Tapi entah bagaimana orang lain seringkali kesulitan memahami dirinya.
Akupun ingin… lebih mengenali lagi tentang dirinya.
Termasuk hal hal yang dipercayainya.

Aku tidak bisa menahan diriku untuk ikut tersenyum melihatnya tersenyum.
Lalu mengikuti kemana pancaran mata yang seperti awan sejuk itu mengarahkan pandangannya.

Disana.
Tempat pemimpin baru kami mempertaruhkan nafasnya demi semua orang.

Semburan suara supersonik di udara dan api yang membahana, terlihat seperti letusan bunga cahaya.
Indah dan membaurkan aura kematian.
Ari menjadikan musuhnya sebagai senjata sekaligus perisai.
Ia mengarahkan semburan api dimulut Ghoul raksasa serta serangan gelombang suaranya sebagai tameng akan serangan, ia berputar putar disekitar heli dan menyemburkan api besar dahsyat yang membakar Undead lain yang berada disekitarnya,
Kemampuan mata dan bakat menembaknya yang luar bisa amat membantunya untuk tidak meleset dan mengenai apa yang seharusnya ia lindungi.

Apa ini…?
Tekanan apa ini…?
Seolah yang sedang berada diatas sana bukan manusia.
Aku mengepalkan tangan, Ari memang kuat.
Kekuatannya…

Seperti Undead.

Dengan berat hati aku mengakui sebagian kata kata Caesar.
Hanya sebagian… Hatiku masih menolak untuk menyamakan manusia dengan Undead.
Walau Undead memang terlahir dari pengetahuan manusia yang menyalahi aturan.
Buah karya yang salah…

Manusia memang tidak sekuat dan sesempurna Undead, walaupun demikian ada orang orang yang dilahirkan dengan kemampuan khusus yang dinamakan bakat.

Kakekku selalu berbicara tentang Paladin yang merupakan sekelompok manusia pilihan dengan bakat untuk bertahan hidup lebih baik dari manusia lain bahkan nyaris menyamai Undead.
Paladin akan menggunakan bakatnya demi mempertahankan hidup orang lain.

Dan kelihatannya bakat mencintai Ari melebihi siapapun didunia ini.
Karena ia yang paling menyamai para makhluk terkutuk itu dalam hal kemampuan untuk bertahan hidup.
Sepertinya ia memang dirancang untuk terlahir di Zaman penuh kekacauan ini.


A Hero was born in chaos…



Aku tidak keberatan pendapatku ini dianggap sebagai pembenaran.

Aku terpana dengan hati berdebar memikirkan setiap detik yang kulewati penuh dengan ketegangan maupun pengharapan, Ari membungkus kemenangan telaknya diatas sana.
Puluhan, bahkan ratusan makhluk manusia setengah kelelawar hasil rekayasa genetik yang gagal itu terbakar, beberapa menjadi abu sebelum sempat mencapai tanah.
Bau busuk bercampur daging matang menguar.


Kakek… Kalau kau ada dan melihat ini semua, Kau akan amat bangga.
Aku tahu bahwa ia satu satunya lelaki yang pantas menggantikan perananmu didunia ini.
Orang yang meneruskan mimpimu, perjuanganmu,



Orang yang mampu bertahan hidup demi mempertahankan hidup orang lain.

++++
 
Last edited:
Mikia. (Lanjutan)


____________________________________
___________________________



Heli yang berisikan para survivor perlahan menjauh pergi.
Yang terdengar berikutnya hanyalah suara berdebum Kelelawar raksasa yang jatuh ketanah.
Sayapnya patah mengeluarkan derak menyakitkan.
Ari melompat dan segera menjauhi bangkai yang diam tak bergerak tersebut.
Ia berjalan tertatih sambil memegangi lengan kirinya, Aku segera berlari menghampirinya.
Nafasnya tidak teratur, dan keringat mengucur deras dari dahinya,
Ia kelelahan,

“Ar! Kau terluka?” Tanyaku sambil meraih lengan Ari,
Orang yang kusentuh mengerang keras keras sambil menyentakkan peganganku.

“Kau tidak bisa lembut sedikit?! Perempuan kasar!” Bentaknya, “Tulang patah, kurasa,” Ia menjelaskan sembari merobek lengan coatnya, memeriksa dengan teliti. “Syukurlah tidak ada luka gores…”

“Terkilir, pasti hanya terkilir,” Ryo menyemangati, menepuk nepuk bahu Ari yang berteriak kesakitan makin keras.

“Pasangan gila! Jangan sentuh aku lagi atau kalian akan membunuhku!”

Ini dia Ari yang biasa...
Aku ingin sekali tertawa keras keras, ia kembali! Sahabatku kembali!
Mata Ryo juga kelihatan berbinar, kurasa entah berapa lama ia merindukan sumpah serapah kawan baiknya itu membuat nyeri telinga, harusnya aku merayakan bersamanya, Tapi Aku yang sudah telanjur tersinggung meregangkan otot otot jariku dan mulai menawarkan “Mau pijatan khusus…?” pada laki laki brengsek yang pada saat ia terluka saja masih sempat membuatku naik darah ini.

Belum sempat kuberikan Ari ‘Pijatan khusus’ ia telah menjulurkan sebelah lengannya yang sehat kearahku, merenggut pistol dipinggangku,

“Hei…!” Ujarku yang menganggap candaan semacam itu terlalu kuno,

Suara tembakan terdengar, Itu berlebihan, kan...
Melihat ekspresi semuanya, Aku mendapat kesan bahwa targetnya bukan aku, jadi Aku berbalik kearah dimana Ari baru saja meletuskan senjatanya,
Sosok sosok putih yang kukenali sebagai…

“Tahan…!” Kurasakan Ryo memelukku dari belakang. “Mikia Tenanglah…!”

Aku tidak sanggup menahan luapan emosi dari dalam dadaku, Sorotku pastilah tajam penuh kebencian sekarang.
Ia orangnya, Ia yang membunuh kakekku...

“Diserangpun percuma saja,” Caesar dan Deus Machina nya mendekati kearahku, diikuti Monroe dibelakangnya, “Itu hanya hologram untuk berkomunikasi, Jangan buang tenagamu.”

Kusembunyikan wajahku didada Ryo, Memohon kenyamanan.
Masih sempat terlihat olehku sosok Ari yang berdiri tak jauh dariku,
Ari diam saja, tanpa menunjukkan perasaan, matanya sejajar dengan sosok didepannya, yang juga sedang menatap tanpa bergeming.




Dia adalah Dr.Tsaraniakova Gabriel.


++++
 
Ari.


_______________________________
________________________



“Kau menghancurkan basis pertama kami,” Adalah kata kata pertama yang terucap dari bibirnya yang pucat, seakan akan membuat kota monster seperti ini sangat sangat wajar adanya.

Matanya menatap polos kearahku dengan gaya memprotes seperti anak kecil yang mainan legonya baru saja dirubuhkan, namun memancarkan kekejaman, Ia tampak membatasi gerakannya, Kelihatannya ia juga masih dalam proses pemulihkan dirinya seusai pertempuran kemarin.
Mendadak ekspresinya berubah,
“Kebetulan sekali kalian semua sudah melihatnya, Paladin… Kalian pasti terkesan kan? Tipe baru ini tidak bisa membusuk, mereka menyerang manusia, tapi walaupun tidak memangsa, mereka akan benar benar abadi, mayat hidup sebenarnya...! Bahkan mereka juga bisa menyimpan ingatan mereka semasa hidup, Hebat bukan?”

Tentu saja hebat... Jika itu adalah hasil pekerjaanmu, tidak ada yang tidak sempurna... Sungguh,
Apa didunia ini ada sesuatu yang lebih hebat daripada kau?



Ia melanjutkan, bangga akan kegilaannya, “Aku ingin mengajukan sebuah penawaran, Negosiasi.”


“Dimana Daina…?”


Kedua Alis Tasuku saling bertaut.
Seakan akan kesal karena aku tidak menggubris komentarnya dan malah menanyakan Daina.

"Kesempatan bernegoisasi hanya satu kali, dengarkan baik baik, sebab dimasa depan aku takut kalian akan mengharapkan akan datangnya hari ini,"

"Kau dimana sekarang?! Monroe, lacak dia," Suruhku tidak peduli,

Tasuku menatapku kesal, ia paling tidak senang diabaikan dan aku tahu itu,
“Dia datang untukku, Dia telah menyerahkan dirinya padaku…” Jawabnya tenang.

“Kau yang paling tahu apa yang terjadi kalau kau berani menyakitinya walau hanya seujung jari saja…”

“Dia tidak membutuhkan pertolonganmu,” Potong Tasuku cepat, “Dia datang kepadaku atas kemauannya sendiri, itu menunjukkan betapa lemahnya dirimu, kalian.”

Aku hanya tersenyum sinis, membuat Tasuku memandangiku dengan wajah penasaran.

“Aku akan merebutnya darimu, Jika demikian.”

Tasuku terdiam mendengar kata kataku.

“Mengapa tidak, ya kan…?” Tantangku, “Aku yang sekarang jauh lebih pantas baginya daripada dirimu…”

Ada bagian dari dalam diriku yang merasa lega ketika aku mengucapkan hal hal semacam ini, karena aku seketika langsung melihat ekspresi wajah tidak senang dari adikku setelah mendengar apa yang aku katakan,
Merasakan panas api kecemburuan dan kecemasan luar biasa darinya.
Kemarahan yang memuncak.
Aku masih bisa merasakan bahwa apa yang kucari ada disana,
Cintanya pada Daina masih terpatri dalam dirinya dan mengikatnya melebihi apapun,
Dan secara tidak langsung memberikan jawaban kepadaku, bahwa sampai saat inipun, perasaan yang masih bersemayam itu akan tetap mencegahnya untuk melukai apa yang paling berarti baginya.
Berbuat lebih jauh.
Memberiku alasan untuk memaafkan.

Bola matanya berubah warna dari merah pekat menjadi kuning keemasan karena ia mati matian menahan amarah kecemburuan dalam dadanya.
Pun begitu ia masih mencoba menahan, sehingga warna keemasan yang memukau itu seakan melesak kedalam tersedot oleh warna keruh penuh kehampaan.
Bahu bahunya tertarik kearah janggal seakan akan ia ingin memuntahkan tanduk dan tentakel menjijikkan itu lagi dari seluruh tubuhnya.
Aku tidak tahu apa yang akan ia lakukan berikutnya.


Tawanya meledak.


Ia tertawa nyaring nyaring, seperti orang gila atau mungkin ia memang sudah gila.
Aku diam saja, menunggunya menyelesaikan tawanya, tidak mengerti apa yang sebenarnya lucu dari pembicaraan kami ini.
Ia angkuh, cerdas, ya, selalu angkuh…
Ia bersikap seolah ia susah payah harus menghentikan lawakan yang membingungkan ini, memandangku dengan tatapan merendahkan.
Khas makhluk tersesat yang pongah dan sudah merasa bahwa diri mereka adalah dewa.
Bayangan hologram itu mendekat kearahku, Aku menantinya tanpa merasa takut,
Ia menggerakkan tangannya seolah ingin menyentuh dadaku, bagian dimana jantungku berada.
Aku merasakan dingin dibagian dimana ia berpura pura menyentuhku.
Walau tahu tangan kami berdua takkan sampai.

Tasuku menyeringai didekat telingaku, seraya berbisik.

“Kita ini sama, separuh dari kita berdua sama sama sudah mati, kau, dan aku…”

Nyeri menyelimuti rongga kosong dalam dadaku, rongga yang dulunya diisi semua kenanganku tentangnya, kenangan masa kecil, serta mimpi mimpi kami berdua.

“Sempat,” Jawabku, “Aku berpikir untuk mati, atau menghabiskan hidupku begitu saja tanpa peduli pada apapun lagi,”

“Lalu…?” Tasuku mencari jawabanku, suaranya terdengar lembut, nyaman, seperti apa yang kukenali, kurindukan dan kucari cari selama ini, entah apakah ia sengaja menyiksaku dengan ini semua.

“Aku selalu bermimpi tentangmu, siang dan malam, didalam mimpiku segala petaka, kutukan, semua mencabik cabikmu begitu saja…
Aku… Aku berdarah dan terluka, semua terjadi persis seperti didalam mimpi mimpi burukku,
Tasuku… Aku selalu berharap bencana ini tidak pernah terjadi.
Walau aku tahu itu adalah hal yang tidak mungkin, mengatakan semua inipun, Kau tetap akan pergi.

Walau setidaknya aku menginginkanmu untuk sesekali menengok kembali masa lalu kita, kebahagiaan kita, semua mimpi mimpi masa depan kita… Tidak melihat kelain arah, Mengharapkanmu kembali padaku,” Aku mengeluh pelan, Aku tahu Mikia, Ryo, rekan rekanku mendengarkan pembicaraan ini dibelakang sana, Aku menutup mataku, mengatakan semua perasaan dan pertanyaan yang tersimpan tanpa mengenal jawaban selama ini,




“Tapi mengapa semakin tinggi harapanku padamu, justru semakin banyak orang lain yang menderita?”




Senyuman diwajah adikku pudar seketika.

Tapi ia segera menggantikannya dengan senyuman lainnya, pedih.
“Pola pikir kita selalu sama sejak kecil,” Ia terkekeh, “Aku juga tidak akan berhenti, tidak sebelum aku berhasil menciptakan dunia baru,” Ia memutar tubuhnya, anggun, memandangi kesekeliling dimana hanya ada sisa sisa peradaban yang hancur. “Atau kau berhasil membawaku mati bersamamu,”

“Dunia baru, kau bilang,” Aku tertawa, “Dunia baru penuh omong kosong?
Sadarlah, tidak ada sesuatu yang namanya ‘Hidup abadi’ didunia ini, Kau ingin membuat apa?! Taman Firdaus? Surga di bumi? Utopia?” Aku tertawa sakit, “Tidak ada yang namanya keabadian…
tapi aku…
Percayalah padaku, Aku juga ingin melihat yang namanya keajaiban, mimpi, masa depan, kemungkinan untukmu, untuk kita… Kau, aku, dan Daina…”


“Dari dulu kau hanya bisa menjanjikan sesuatu tapi tidak kenyataan,” Tasuku mencemooh, “Dunia yang kau pertahankan, yang dulu kupercayai?
Kau dan Daina?!
Jangan membuatku tertawa, kita bertiga bahkan sudah tidak bisa bersama lagi didalam lingkaran kutukan ini… yang terus menerus menolak keberadaanku, memaksaku untuk enyah, sendirian saja…
Aku menderita disini, Aku harus percaya pada apa lagi? Inilah yang kubutuhkan, Kekuatan ini, dunia ini,
Tangan ini, semua yang kalian benci ini justru yang akan membantuku mewujudkannya… Jika kau membicarakan keajaiban, kekuatan inilah jawabannya, hanya ini,
tanganku ini yang bisa menciptakan keajaiban, dunia yang baru, dimana baik kau maupun Daina akan ikut menjadi bagian didalamnya.
Tidak ada yang akan saling menyakiti disini,” Tasuku menyanggah, “Ini baru awal, tidak ada lagi yang kuat menjajah yang lemah, tidak ada lagi teman mengkhianati teman, tidak ada lagi kesewenangan dan perang, kesenjangan pangan, ketimpangan sosial, semua hidup dalam aturanku, kita akan hidup dalam sebuah sistem kemasyarakatan yang baru!
Sudah kuatur seperti itu, aku sudah menyiapkan segala galanya, dan pada akhirnya, semua bahagia, ya, semua akan bahagia,”

“Untuk mencapai semua itu, kau harus memusnahkan semua peradaban dimuka bumi ini," Aku masih tidak bisa mengikuti pola pikir gilanya…

“Tidak akan musnah, kok, karena aku bisa menghidupkan mereka berkali kali dan lagi,” Tasuku tersenyum polos, matanya berkilat kilat mengerikan. “Sistem kemasyarakatan sekarang sudah sangat bobrok, busuk, kau lihat sendiri aku jadi apa karena apa, Berjuang demi apa dan akhirnya dibuang oleh apa?” Ia menempelkan tangan kedada, menunjuk dirinya sendiri. “Aku akan memperbaiki semua itu, ini satu satunya jalan, menghancurkan untuk kemudian membangun kembali dalam keadaan yang lebih baik, tidak ada yang salah kan?
Anggap saja ini adalah puzzle yang harus kau selesaikan demi kesempurnaan.”


“Iblis…!” Mikia berkata melangkahi pembicaraanku, “Kau pikir ideologimu itu waras?! Kau pikir kami semua akan menerima begitu saja? Sakit jiwa!”
Ryo menutup mulut Mikia dengan tangannya, menyuruhnya untuk diam, Ia memang menurut, tapi Mikia terus saja memperlihatkan tatapan penuh murka dalam pelukan Ryo,

“Iblis, kau bilang?” Tasuku menyahut, melihat kearah Mikia dengan kebingungan, ia sukses bersikap seolah tidak ada yang salah dan bertanya tanya apa yang salah dari ucapannya,
“Aku hanya Iblis bagi kalian, Yah, Iblis yang kalian para manusia ciptakan sendiri, aku hanya mengalami kehilangan jauh dari apa yang orang lain mampu bayangkan, karena kalian, dan dibuang oleh kalian,disitulah aku menyadari bahwa dunia seperti ini tidak dibutuhkan lagi…,
Kalian juga sudah melihat rancangan dunia baruku, kan? Hebat kan”

Aku melihat Ryo memalingkan wajahnya, dalam hati aku penasaran, dunia macam apa yang direncanakan Tasuku?
Hal sinting macam apa lagi yang belum kulihat?
Kualihkan pandanganku pada Tasuku, mencoba mencari jawabannya.

Tasuku menepuk dahinya sendiri, “Ah! Atau begini saja? Sebelum aku lupa, aku akan beritahu apa yang ingin kusampaikan pada kalian semua sedari tadi,
Dengar, Aku akan menyisakan sebagian dari kalian, Kami akan biarkan umat manusia yang tersisa tetap hidup, didaerah yang telah ditentukan, makan, tidur, berkembang, dan menyerahkan sepertiga dari dunia ini pada kalian, tapi… dengan syarat, kalian harus mengikuti aturan kami, dan dengan suka rela...”

“Maksudmu, nyawa dari umat manusia yang tersisa, dan seluruh isi dunia…?” Seruku tak percaya, apa apaan dia?

“Ya,” Tasuku menyeringai senang, “Kalian tentu tahu kan, kisah kisah didalam kitab suci, dimana azab yang pedih diturunkan demi membersihkan dunia ini, menandai datangnya awal yang baru, tetapi bukan berarti Tuhan mengabaikan dan membenci umatNYA..." Mulai lagi, ia berkhotbah membenarkan tindakannya, betapa filosofis bahasa yang ia pilih, mungkin saja ia berhasil memperdaya banyak orang dengan kata katanya, ia begitu meyakinkan, absolut tak terpatahkan,
Salah satu hal yang paling kubanggakan darinya.

"Aku tidak akan menolak sebagian dari kalian yang ingin bergabung dengan kami, menjadi seperti kami, atau ingin mengikuti langkah kami sebagai yang tidak bisa mati,
aku tidak ingin memusnahkan semuanya, sudah kubilang, ini akan sangat brilian,” Matanya berkilat kejam, "Hidup dalam aturan kami, aku akan menjamin hidup kalian."

Melihatku diam saja, Tasuku melanjutkan.

“Tenang saja, teknologi kami sangat sempurna, sebentar lagi aku akan bisa menciptakan kehidupan yang sempurna, takkan mati, takkan membusuk, takkan ada niat jahat sama sekali, Kota ini hanya sebagian kecil contohnya, kau akan melihat, kak,” Mata Tasuku menyala dalam kesenangan, “Bagaimana kebahagiaan untuk semua umat manusia itu bukanlah hal yang mustahil.”

Lalu sesuatu diluar dugaan terjadi,
Tasuku mengulurkan tangannya padaku,

"Dunia yang sesuai untukku, kau, dan Daina," Ia menatap penuh harap, "Kau tahu, aku tidak pernah... sekalipun, tidak memikirkanmu, selama ini... " Aku mulai sadar apa yang sebenarnya ia maksud, Ujung jariku mendingin.

Selama ini dia terlihat hanya memikirkan dirinya serta perasaannya sendiri, tapi ternyata ia mencarikan solusi supaya kami bertiga bisa bersama,
Akulah yang lupa,
Lupa bahwa bagi adik kecilku, aku adalah dunianya, Daina adalah nafasnya,
Ia hanya berusaha mendapatkan kebahagiaan kami kembali,
Tidak perduli apa yang akan ia korbankan, berapa banyak yang harus ia bunuh,
berapa lama ia harus mengotori tangannya sendiri...

Tuhan, kasihanilah hambamu...
Kuhadapi kelembutan mematikan didepanku, "Ikutlah denganku, kak, kita buat dunia kita, Kebahagiaan, aku menjanjikannya padamu..."

“Kebahagiaan apa yang bisa didapatkan dengan menjadi ternak…?” Balasku sinis,

Tasuku terdiam.
Sudut bibirnya berkedut tidak senang, ia mengangguk pelan, tampaknya ia mengerti betul makna dibalik pertanyaanku,

"Kau memilih bertempur sampai akhir, kalau begitu?" Ia terlihat kecewa, mengusai diri dan mundur, "Setelah aku sudah berhasil mencapai tahap ini? Tidak ingin bersamaku? bersama Daina? Setelah hanya tinggal selangkah lagi, dan semuanya akan menjadi nyata?!"

"Itu bukan kenyataan," Aku berkata sambil menahan bebanku, "Kau mau tahu kenyataan? kenyataan adalah, disini begitu banyak orang tak bersalah menjadi korban," Alexander Boracnitchov, Yudas, Father Joshep, orang orang yang takkan kembali lagi... "aku tidak bisa hidup dalam mimpi bersamamu, menutup mataku akan apa yang telah terjadi, sementara kenyataan berkata lain, dunia yang kau buat telah mencabik cabik duniaku secara paksa..."

Tasuku menatapku, hampa.
Tidak menyangka apa yang kupilih, pandangannya menyiratkan betapa berat jalan yang harus ia lalui selama ini,
Betapa ia berusaha keras mengerahkan segala kemampuannya,

“Sepertinya, negosiasi ini mengalami jalan buntu…” Ia tersenyum kepadaku, menyadari penolakan keras yang terpancar melalui tatapan mataku.
Jelas saja, siapa yang mau hidup didunia penuh teror, setiap hari diperah seperti sapi perah, melahirkan anak cucu hanya untuk berakhir menjadi santapan para mayat berjalan…
Gila! Masa depan macam apa itu?
Mungkin ini adil bagiku tapi belum tentu adil bagi orang lain.
Aku tidak bisa hidup seperti itu.
Karena tidak mungkin bisa ada dunia yang lebih baik tercipta melalui horor berdarah yang menghantuimu setiap malam...

“Apakah kalian sendiri memiliki solusi mengatasi sesama kalian? Dunia dimana yang kuat menjajah yang lemah, dunia penuh peperangan, sama saja kan? Solusi yang kutawarkan jauh lebih baik,” Ia berkata penuh keyakinan, “Kebahagiaan, untuk semuanya…”

“Aku selalu percaya pada duniaku sendiri,” Tegasku, “Aku yang paling mengerti betul tentangnya.
Undead atau siapapun tidak berhak berbicara seakan mereka adalah hakim…
Kita lihat saja, aku atau kau, yang akan mengubah dunia.” Ujarku, mengakhiri pembicaraan.

“Mengubah dunia…”Tasuku tersenyum lagi mendengar kata kataku, Hologram dirinya sudah hampir menghilang,

“Kau dan aku, sama, separuh dari kita sama sama sudah mati,” Ia menghilang setelah mengulangi kata kata tersebut.


Aku diam saja, kubiarkan hatiku bicara sementara bibirku tetap terkunci rapat, nuraniku membeku, Ada perasaan aneh yang ingin menghentikannya, memanggilnya kembali, memohon kepadanya…
Hanya imanku yang mampu mempertahankan sifat ksatria dalam diriku, memisahkan antara benar dan salah serta menguatkanku dalam menghadapi segala penderitaan ini…



Kau benar.
Separuh diriku telah mati, Tasuku.
Dan separuh itu adalah kau.



+++++
 
Last edited:
Tasuku hebat! *NgakakGuling2*
Maap Author geje mengganggu lagi, :D
Sebulan ada nggak yah, sejak apdet terakhir? hoho,
Lagi susah bikin bab berikutnya,
Harusnya ini tuh udah lama banget di posting, Nyahahahhahah~

Pola pikir Tasuku sederhana dan polos(?) tapi luar biasa,
Kalau aku, aku ingin sekali melihat dunia impiannya itu, *BodohDai

Tapi pola pikirnya itu sama saja dengan diktaktor sih, menggeneralisasi sesuatu,
Berpikir bahwa hanya dirinya yang benar, didunia ini, tidak semua hal adalah buruk(?), mungkin kira kira begitu maksud kak Ari(?)
Au ah! Apa yang kupikirkan! Mereka membuatku bingung! *LahKanKauYangNulis?

Aku nangis pas Tasuku bilang dia masih sayang Ari, dan ketika kak Ari menolaknya meski masih sangat ingin bersama,
Sudah lama aku nggak nangis pas nulis, sekalinya bikin bagian ini malah meneteskan air mata, hueeee!!! Kasih sayang keluarga memang tidak terpatahkan!! T^T

Hoohooo~
Dengan ini, Bab 15 sudah ditutuuuuppp!!!
Berikutnya maju ke bab 16, siap2 yaaa!! siap siaaapp!! >w<d


C' u on the next chapter! *Dadah2


 
Bab 16 :



Amor Phase.

_________________________
_____________________


Ryo.

_______________
___________




“Ari…” Aku menyebut namanya, berusaha memastikan bahwa ia tidak apa apa.

“Ya.”

Tidak seperti biasanya, ia yang biasanya langsung drop ketika bersinggungan dengan adiknya, sekarang bisa menjawab panggilanku dengan mantap.
Aku ingin menghampiri Ari segera, tetapi Mikia bertumpu lemah dalam dekapanku, aku jadi tidak bisa melepaskannya begitu saja.
Kulihat Ari berjalan beberapa langkah, tanpa menoleh kebelakang.
Ia berdoa didepan reruntuhan Stepansdom,

“Orang tua itu,” Bisiknya, dan akupun memahami.
Pikiranku melayang kepada pak pendeta tua baik hati yang tidak sempat kutemui untuk kedua kalinya,
Dalam hati aku ingin sekali menanyakan sisa kejadiannya sepeninggalku, tapi kusadari pertanyaan pertanyaan semacam itu bisa menunggu.

Ari menggenggam lencana Kapten Paladin nya.
Melihatnya sebentar, kemudian meletakkannya diatas salib batu raksasa yang mencuat janggal diantara reruntuhan.
Penuh rasa terima kasih dan penghormatan.

“Mengapa semakin tinggi harapanku, semakin banyak orang tak bersalah yang menderita?” Ia mengajukan pertanyaan yang sama seperti yang barusan diajukannya pada adiknya.
Pertanyaan penuh kepedihan serta rasa tanggung jawab.
Sayang sekali aku tidak bisa memberikan jawaban, tidak ada seorangpun disini yang bisa, tidak pula kota mati ini.




Hanyalah Dr.Gabriel sendiri yang mengetahui jawabannya.


++++
 
Back
Top