YUmee_miru
Well-known member
Flashback (Lanjutan)
_________________________________
____________________________
Aku terbangun dalam keadaan shock, tertekan, keringat dingin menetes dari dahiku,
Mengigau, Gemetar dan marah, berbagai macam perasaan bercampur aduk dikepalaku.
“Kau demam,” Sentuhan lembut membelai kulitku, menyadarkanku bahwa aku sudah berada ditempat yang aman, lelaki itu, si mata Hazel, menepuk nepuk pipiku dengan handuk basah.
Aku melihat kesekitar, antara bingung dan letih.
Tak ada apapun yang sekiranya mengancam jiwaku, hanya ada air terjun, juga kabin tak jauh dari tempat kami berada.
“Maaf tidak langsung membawamu kedalam sana, udara terbuka sepertinya akan lebih baik untukmu,” Katanya sambil mencelupkan handuk kedalam baskom berisi air hangat, aku terhenyak.
Memperhatikannya dari belakang,
Oh baiklah, Mikia, ini memang menyebalkan, tapi dia sudah merawatmu...
Kau tidak mungkin menendang orang yang sudah merawatmu kan?
Kalau mau, tendanglah temannya...
“Kau… dipanggil Ryo, kan?” Tanyaku ragu ragu, “Aku… terima kasih sudah menyelamatkanku,”
Gerakan tangan yang tengah memeras handuk basah itu terhenti, Mata Hazel itu berpaling menatapku,
“Kau seperti yang kubayangkan,” Ia tersenyum.
“Seperti yang kau bayangkan?” Aku tidak mengerti.
“Kau manis,”
Mendadak saja wajahku terasa sangat panas dibuatnya.
Sesaat aku tidak tahu harus memasang ekspresi seperti apa.
“Daerah sekitar sini sudah disterilkan, aku juga sudah memasang ranjau, jika ada yang mencoba masuk kita pasti tahu.” Itu dia, si suram tiba tiba datang,
Aku langsung berdiri, tidak mempedulikan kakiku yang masih belum dapat berpijak dengan benar tanpa berhenti gemetar, Meninjunya sekuat yang aku bisa.
“Kau itu manusia atau bukan…?!” Bentakku.
“Hei, Hei,” Ryo menyela,
“Kalau dengan memukulku masalahmu bisa tuntas, lakukanlah,” Pemilik bola mata onyx itu malah pasang wajah menantangku.
Dengan berurai air mata, aku menamparnya lagi, lagi dan lagi, sampai semua tenagaku habis rasanya,
Sayang sekali keadaanku tak begitu bagus, seandainya aku sebagus biasanya,
Pasti lehernya sudah patah.
“Ar…”
“Biarkan, Ryo,”
Tapi lelaki suram itu tidak membalas sedikitpun.
Ia menerima saja semua sumpah serapah dan caci makiku, sampai akhirnya aku kelelahan sendiri,
“Sudah puas…?”
Aku terduduk lemas, mencari cari sesuatu untuk disalahkan, Ryo dengan sabar menyelimutiku dengan handuk kering,
“Kau brengsek,” Makiku terus saja, “Orang lemah tidak pantas jadi Paladin, katamu? Kalau begitu orang tak punya hati lebih tidak pantas lagi!”
“Lalu apa masalahmu selesai, sekarang?”
“Ar, pergilah,” Pinta Ryo pelan, “Kumohon,”
Orang itu, Aryanov Gabriel, bergumam entah apa, sama tidak puasnya denganku,
ia membalikkan punggungnya tanpa pertanyaan, melangkah menuju kabin dibelakang kami.
Benci, aku benci sekali.
Menahan tangis, aku memeluk lutut, dia benar benar menyebalkan, aku tidak pernah bertemu orang semenyebalkan itu.
Tanganku masih gatal ingin memukulnya sampai hancur.
“Kau lapar…?” Tawar Ryo padaku, menyodorkan sepotong roti,
“Kenapa kau tahan sekali,” Aku menunduk,
“Hah…?”
“Kenapa kau tahan sekali bersama orang seperti dia,”
Tanpa kuduga, Ryo tertawa terbahak bahak sambil memegangi perutnya.
“Ari, maksudmu?” Ia masih sibuk menahan tawanya, usahanya sia sia, Aku mendelik tidak senang dan ia masih berusaha melakukannya.
“Ia cuma kelihatannya saja begitu,” Ujarnya santai, ia mengacak rambutku, “Ari itu Tsundere, Dari luar dia kelihatan seperti orang tidak berperasaan dan kejam, tapi sebenarnya ia baik hati,”
Omong kosong, aku membuang muka.
“Hey,” Tegur Ryo, Aku segera mengalihkan perhatian dengan mengunyah rotiku, lapar sekali rasanya…
Ini sudah hampir subuh, lagipula…
“Cobalah berteman dengannya, kau akan tahu kebaikannya,”
“Sampai matipun aku takkan mau,” Kali ini aku menenggak air mineral pemberian Ryo dengan rakus.
Membayangkannya saja aku muak, apalagi berteman dengan orang macam itu.
“Kau terlalu baik,” Entah darimana datangnya keberanianku, mengucapkan kata semanis itu kepada lelaki bermata Hazel dihadapanku, yang tersenyum menenangkan. “Aku heran mengapa orang sepertimu dan dia bisa berteman baik,”
“Aku tidak sebaik yang kau kira,”
Aku berani bersumpah aku mendengarnya membisikkan hal itu,
Mengerutkan alis, kupandangi ia tanpa berkedip.
“Hanya Ari temanku satu satunya,” ia tertawa, “Justru kata kata itu harusnya kau tujukan padanya, Aku ini suka seenaknya, bahkan ayahku pun tidak pernah cocok denganku,”
“Tapi kepadaku, kau…”
“Itu beda, kau wanita,” Jawabnya terkekeh, membuatku cemberut sekali lagi.
“Kenapa kau selalu membeda bedakan gender, sih?”
“Hmm?”
“Tidak semua wanita itu lemah,” Ujarku membusungkan dada. “Aku juga takkan kalah dari kalian laki laki,”
Ryo diam sebentar, berpikir, “Kau benar,” akhirnya ia berkata sambil tersenyum, “Wanita itu kuat, karena itulah kami para laki laki harus menghormati dan selalu mengutamakan kalian.”
Kata kata klise, anehnya, aku sama sekali tidak merasa terhina atau direndahkan.
Ia menyampaikannya dengan halus, Prinsipnya.
“Kurasa sebaiknya kita kembali ke kabin,” Ryo mengulurkan tangan padaku, “Beristirahatlah, persetan dengan kamera pengintai itu, jika situasi seperti ini dihitung juga, celakalah mereka.”
Oh yah!
Aku baru saja ingat, aku ingin menanyai Monroe mengenai apa yang terjadi.
Tapi keberadaan Ryo dan si suram disekitar membuatku mengurungkan niatku.
Tak apa, aku akan cari kesempatan itu,
Sekarang memang sebaiknya aku memikirkan untuk beristirahat.
-
-
-
-
Aryanov Gabriel yang bermata menyebalkan sudah menunggu kami saat kami tiba didalam kabin,
Ia melemparkan dua buah selimut kepada Ryo –kurasa sebaiknya aku sedikit berterima kasih dengan memanggil nama depannya- lalu kembali cuek melanjutkan kegiatannya membersihkan pedang.
“Kau tidurlah, ini pos kita, tidak banyak yang kesini, tapi lumayan lengkap kok,” Ia menunjuk lemari yang penuh berisi makanan kaleng. “Ada senjata juga, walaupun aku ragu apakah ada persediaan peluru untuk bazooka,”
“Siapa sebenarnya kalian…?” Tanyaku menyelidik, “Kalian tampak terbiasa sekali dengan tempat ini,”
Ryo tertawa, “Cuma orang orang yang pernah gagal ujian masuk sebagai prajurit,” jawabnya enteng. “Sekarang apa kau mau berhenti mempermasalahkan peringkat?”
Aku tercenung.
Betapa bodohnya aku,
Tidak menyangka, kukira mereka anak pintar entah darimana, ternyata…
“Aku sudah tidur tadi,” elakku, “Lagipula memang harus ada seorang yang berjaga, kan,”
“Kalian istirahatlah duluan,” si suram menyarungkan kembali pedangnya, bangkit dan berdiri, “Biar aku yang jaga.” Lalu tanpa menunggu persetujuanku, ia sudah lenyap dari pandangan.
Baik aku ataupun Ryo sama sama diam sampai langkah kaki yang berat itu tidak terdengar lagi.
Ryo kembali membuka percakapan.
“Sudah kubilang, Ari itu Tsundere,” Pemuda disampingku terbatuk menahan tawa, “Dia selalu bilang tidak peduli, marah marah, mulutnya kasar, tapi dia yang sebenarnya jauh lebih baik dari itu.
Dia tidak pandai memberikan alasan atau mendeskripsikan sesuatu dengan kata kata, apa yang ia katakan juga seringkali berlawanan dengan apa yang ia rasakan, orang lain yang tidak tahu dia hanya akan menyangkanya sebagai orang yang dingin, tapi percayalah, ketika orang lain sedang kesusahan, Ari adalah tipe yang pertama kali mengulurkan tangan,”
“Darimana kau tahu…?”
“Aku sangat memahami Ari,”
Saat ia mengucapkan bahwa ia mengerti tentang temannya, nada suaranya benar benar menyiratkan kebanggaan.
Menunjukkan betapa ia menyayangi dan menghargai pria itu setinggi tingginya.
Dalam hati aku iri pada Ar… maksudku si suram, beruntungnya ia punya teman sebaik Ryo.
Ia memintaku memaklumi, bukannya berbaikan dengan si suram.
“Tapi dia suram sekali.” Cemoohku, Ryo tertawa.
“Dan tampangnya juga jelek sekali,” sambungnya,
“Oh, kau juga sama sih,”
Ryo membuatku tertawa lagi, ia tidak mudah tersinggung dan easy going, Entah mengapa aku merasa hangat, mungkin karena karakternya, ia begitu mudah mencairkan suasana, berada didekatnya membuatku merasa terlindungi...
“Aku sangat ingin menjadi Guardian,” Aku bergelung diatas sofa sementara Ryo menggelar selimutnya dilantai. “Tapi kakekku tidak setuju, aku tidak bisa menyalahkannya, ayah dan ibuku juga Guardian, mereka gugur saat menjalankan tugas,
Meski demikian aku berpikir, semua orang juga pasti mati pada akhirnya, kan? Tidak peduli bagaimana caranya… Dan mumpung aku masih hidup aku ingin melakukan sesuatu, aku tidak ingin menjadi anak bahagia yang hidup didalam istana palsu sementara banyak orang diluar sana membutuhkan bantuan…”
Naif, bodohnya aku.
Pasti akan ditertawakan lagi,
Prajurit Paladin hidup dengan membawa luka menganga dalam hati mereka, kehilangan orang orang yang mereka cintai,
Sedangkan aku, orang tuaku meninggal saat aku masih sangat kecil, aku tidak pernah menangisi orang tuaku, aku tidak ingat wajah mereka, hanya melihat dari foto, bahkan meski melihat foto merekapun hatiku masih tidak tergerak untuk menangis.
Hanya aku orang lemah yang tidak tahu rasanya kehilangan, tapi masih tetap tidak mau kalah dengan tidak tahu dirinya ingin mengubah dunia…
Mati matian membuktikan diri padahal dari alasan saja aku sudah kalah.
“Heee… benarkah,” sahut Ryo tanpa memandangku. “Aku juga sama,”
“Apa?”
“Ayahku juga tidak pernah suka aku bergabung dengan militer, apalagi menjadi Guardian Paladin,”
Aku menggerakkan tubuhku menyamping, memperhatikan lelaki itu dari jauh, garis matanya, juga hidungnya yang mancung, dan iris berwarna hazel itu…
Ia tampaknya sadar bahwa aku senang mencuri curi pandang kearahnya, aku bergegas mengalihkan pandanganku kearah langit langit.
“Bedanya ibuku bukan tewas ditangan Undead,” ia bercerita, tampak tidak peduli apakah aku memperhatikannya atau tidak, “Ibu sudah tidak ada saat aku lahir, Aku juga tidak pernah menangisinya karena aku memang merasa tidak pernah memilikinya,
Katanya ayahku sampai saat terakhir tidak bisa menjenguknya karena sibuk ‘menolong orang lain’…
Hanya kebutuhan hidupku yang dicukupi tapi ayah tidak pernah merawatku dengan tangannya sendiri sedikitpun,Lucu kan?
Aku punya orang tua tapi seperti tidak punya, orang lain bilang 'Kasihan' tapi bagiku keadaan tanpa ada pengawasan dimana aku bebas melakukan apa saja yang kusuka seperti mukjizat.
Ayahku bilang, Paladin adalah orang yang siap membuang segalanya demi tugas mereka, Aku tak boleh jadi sepertinya,
Anehnya walau sudah nyata sekali ayahku tidak ada disampingku ataupun ibu saat kami sekarat, aku sama sekali tidak membenci ayahku ataupun pekerjaannya, “
“Ayahmu juga prajurit? Katamu tadi hubunganmu dengan ayahmu tidak begitu baik…?”
Ryo memutar bola matanya “Dibilang buruk juga tidak sih, tapi entah sudah berapa tahun kami tidak saling menatap mata saat bicara.”
Wow, aku tidak bisa membayangkannya,
Aku saja kalau tidak bertemu kakekku sehari pasti akan gelisah, apalagi tidak bertatap mata selama bertahun tahun?
Namun, sama sepertiku, orang ini juga tidak punya alasan berat untuk menjadi Paladin.
Ia tidak menertawaiku juga…
Seperti di nina bobokan, kantuk hebat mulai menjalariku.
“Lalu… kenapa kau… begitu ingin jadi Prajurit?”
“Aku ikut ikutan Ari saja,” katanya enteng, “Sekalian aku sedang mencari puteri duyungku, tapi…” Ia terhenti sebentar, melihatku.
Aku sudah tertidur pulas.
++++
_________________________________
____________________________
Aku terbangun dalam keadaan shock, tertekan, keringat dingin menetes dari dahiku,
Mengigau, Gemetar dan marah, berbagai macam perasaan bercampur aduk dikepalaku.
“Kau demam,” Sentuhan lembut membelai kulitku, menyadarkanku bahwa aku sudah berada ditempat yang aman, lelaki itu, si mata Hazel, menepuk nepuk pipiku dengan handuk basah.
Aku melihat kesekitar, antara bingung dan letih.
Tak ada apapun yang sekiranya mengancam jiwaku, hanya ada air terjun, juga kabin tak jauh dari tempat kami berada.
“Maaf tidak langsung membawamu kedalam sana, udara terbuka sepertinya akan lebih baik untukmu,” Katanya sambil mencelupkan handuk kedalam baskom berisi air hangat, aku terhenyak.
Memperhatikannya dari belakang,
Oh baiklah, Mikia, ini memang menyebalkan, tapi dia sudah merawatmu...
Kau tidak mungkin menendang orang yang sudah merawatmu kan?
Kalau mau, tendanglah temannya...
“Kau… dipanggil Ryo, kan?” Tanyaku ragu ragu, “Aku… terima kasih sudah menyelamatkanku,”
Gerakan tangan yang tengah memeras handuk basah itu terhenti, Mata Hazel itu berpaling menatapku,
“Kau seperti yang kubayangkan,” Ia tersenyum.
“Seperti yang kau bayangkan?” Aku tidak mengerti.
“Kau manis,”
Mendadak saja wajahku terasa sangat panas dibuatnya.
Sesaat aku tidak tahu harus memasang ekspresi seperti apa.
“Daerah sekitar sini sudah disterilkan, aku juga sudah memasang ranjau, jika ada yang mencoba masuk kita pasti tahu.” Itu dia, si suram tiba tiba datang,
Aku langsung berdiri, tidak mempedulikan kakiku yang masih belum dapat berpijak dengan benar tanpa berhenti gemetar, Meninjunya sekuat yang aku bisa.
“Kau itu manusia atau bukan…?!” Bentakku.
“Hei, Hei,” Ryo menyela,
“Kalau dengan memukulku masalahmu bisa tuntas, lakukanlah,” Pemilik bola mata onyx itu malah pasang wajah menantangku.
Dengan berurai air mata, aku menamparnya lagi, lagi dan lagi, sampai semua tenagaku habis rasanya,
Sayang sekali keadaanku tak begitu bagus, seandainya aku sebagus biasanya,
Pasti lehernya sudah patah.
“Ar…”
“Biarkan, Ryo,”
Tapi lelaki suram itu tidak membalas sedikitpun.
Ia menerima saja semua sumpah serapah dan caci makiku, sampai akhirnya aku kelelahan sendiri,
“Sudah puas…?”
Aku terduduk lemas, mencari cari sesuatu untuk disalahkan, Ryo dengan sabar menyelimutiku dengan handuk kering,
“Kau brengsek,” Makiku terus saja, “Orang lemah tidak pantas jadi Paladin, katamu? Kalau begitu orang tak punya hati lebih tidak pantas lagi!”
“Lalu apa masalahmu selesai, sekarang?”
“Ar, pergilah,” Pinta Ryo pelan, “Kumohon,”
Orang itu, Aryanov Gabriel, bergumam entah apa, sama tidak puasnya denganku,
ia membalikkan punggungnya tanpa pertanyaan, melangkah menuju kabin dibelakang kami.
Benci, aku benci sekali.
Menahan tangis, aku memeluk lutut, dia benar benar menyebalkan, aku tidak pernah bertemu orang semenyebalkan itu.
Tanganku masih gatal ingin memukulnya sampai hancur.
“Kau lapar…?” Tawar Ryo padaku, menyodorkan sepotong roti,
“Kenapa kau tahan sekali,” Aku menunduk,
“Hah…?”
“Kenapa kau tahan sekali bersama orang seperti dia,”
Tanpa kuduga, Ryo tertawa terbahak bahak sambil memegangi perutnya.
“Ari, maksudmu?” Ia masih sibuk menahan tawanya, usahanya sia sia, Aku mendelik tidak senang dan ia masih berusaha melakukannya.
“Ia cuma kelihatannya saja begitu,” Ujarnya santai, ia mengacak rambutku, “Ari itu Tsundere, Dari luar dia kelihatan seperti orang tidak berperasaan dan kejam, tapi sebenarnya ia baik hati,”
Omong kosong, aku membuang muka.
“Hey,” Tegur Ryo, Aku segera mengalihkan perhatian dengan mengunyah rotiku, lapar sekali rasanya…
Ini sudah hampir subuh, lagipula…
“Cobalah berteman dengannya, kau akan tahu kebaikannya,”
“Sampai matipun aku takkan mau,” Kali ini aku menenggak air mineral pemberian Ryo dengan rakus.
Membayangkannya saja aku muak, apalagi berteman dengan orang macam itu.
“Kau terlalu baik,” Entah darimana datangnya keberanianku, mengucapkan kata semanis itu kepada lelaki bermata Hazel dihadapanku, yang tersenyum menenangkan. “Aku heran mengapa orang sepertimu dan dia bisa berteman baik,”
“Aku tidak sebaik yang kau kira,”
Aku berani bersumpah aku mendengarnya membisikkan hal itu,
Mengerutkan alis, kupandangi ia tanpa berkedip.
“Hanya Ari temanku satu satunya,” ia tertawa, “Justru kata kata itu harusnya kau tujukan padanya, Aku ini suka seenaknya, bahkan ayahku pun tidak pernah cocok denganku,”
“Tapi kepadaku, kau…”
“Itu beda, kau wanita,” Jawabnya terkekeh, membuatku cemberut sekali lagi.
“Kenapa kau selalu membeda bedakan gender, sih?”
“Hmm?”
“Tidak semua wanita itu lemah,” Ujarku membusungkan dada. “Aku juga takkan kalah dari kalian laki laki,”
Ryo diam sebentar, berpikir, “Kau benar,” akhirnya ia berkata sambil tersenyum, “Wanita itu kuat, karena itulah kami para laki laki harus menghormati dan selalu mengutamakan kalian.”
Kata kata klise, anehnya, aku sama sekali tidak merasa terhina atau direndahkan.
Ia menyampaikannya dengan halus, Prinsipnya.
“Kurasa sebaiknya kita kembali ke kabin,” Ryo mengulurkan tangan padaku, “Beristirahatlah, persetan dengan kamera pengintai itu, jika situasi seperti ini dihitung juga, celakalah mereka.”
Oh yah!
Aku baru saja ingat, aku ingin menanyai Monroe mengenai apa yang terjadi.
Tapi keberadaan Ryo dan si suram disekitar membuatku mengurungkan niatku.
Tak apa, aku akan cari kesempatan itu,
Sekarang memang sebaiknya aku memikirkan untuk beristirahat.
-
-
-
-
Aryanov Gabriel yang bermata menyebalkan sudah menunggu kami saat kami tiba didalam kabin,
Ia melemparkan dua buah selimut kepada Ryo –kurasa sebaiknya aku sedikit berterima kasih dengan memanggil nama depannya- lalu kembali cuek melanjutkan kegiatannya membersihkan pedang.
“Kau tidurlah, ini pos kita, tidak banyak yang kesini, tapi lumayan lengkap kok,” Ia menunjuk lemari yang penuh berisi makanan kaleng. “Ada senjata juga, walaupun aku ragu apakah ada persediaan peluru untuk bazooka,”
“Siapa sebenarnya kalian…?” Tanyaku menyelidik, “Kalian tampak terbiasa sekali dengan tempat ini,”
Ryo tertawa, “Cuma orang orang yang pernah gagal ujian masuk sebagai prajurit,” jawabnya enteng. “Sekarang apa kau mau berhenti mempermasalahkan peringkat?”
Aku tercenung.
Betapa bodohnya aku,
Tidak menyangka, kukira mereka anak pintar entah darimana, ternyata…
“Aku sudah tidur tadi,” elakku, “Lagipula memang harus ada seorang yang berjaga, kan,”
“Kalian istirahatlah duluan,” si suram menyarungkan kembali pedangnya, bangkit dan berdiri, “Biar aku yang jaga.” Lalu tanpa menunggu persetujuanku, ia sudah lenyap dari pandangan.
Baik aku ataupun Ryo sama sama diam sampai langkah kaki yang berat itu tidak terdengar lagi.
Ryo kembali membuka percakapan.
“Sudah kubilang, Ari itu Tsundere,” Pemuda disampingku terbatuk menahan tawa, “Dia selalu bilang tidak peduli, marah marah, mulutnya kasar, tapi dia yang sebenarnya jauh lebih baik dari itu.
Dia tidak pandai memberikan alasan atau mendeskripsikan sesuatu dengan kata kata, apa yang ia katakan juga seringkali berlawanan dengan apa yang ia rasakan, orang lain yang tidak tahu dia hanya akan menyangkanya sebagai orang yang dingin, tapi percayalah, ketika orang lain sedang kesusahan, Ari adalah tipe yang pertama kali mengulurkan tangan,”
“Darimana kau tahu…?”
“Aku sangat memahami Ari,”
Saat ia mengucapkan bahwa ia mengerti tentang temannya, nada suaranya benar benar menyiratkan kebanggaan.
Menunjukkan betapa ia menyayangi dan menghargai pria itu setinggi tingginya.
Dalam hati aku iri pada Ar… maksudku si suram, beruntungnya ia punya teman sebaik Ryo.
Ia memintaku memaklumi, bukannya berbaikan dengan si suram.
“Tapi dia suram sekali.” Cemoohku, Ryo tertawa.
“Dan tampangnya juga jelek sekali,” sambungnya,
“Oh, kau juga sama sih,”
Ryo membuatku tertawa lagi, ia tidak mudah tersinggung dan easy going, Entah mengapa aku merasa hangat, mungkin karena karakternya, ia begitu mudah mencairkan suasana, berada didekatnya membuatku merasa terlindungi...
“Aku sangat ingin menjadi Guardian,” Aku bergelung diatas sofa sementara Ryo menggelar selimutnya dilantai. “Tapi kakekku tidak setuju, aku tidak bisa menyalahkannya, ayah dan ibuku juga Guardian, mereka gugur saat menjalankan tugas,
Meski demikian aku berpikir, semua orang juga pasti mati pada akhirnya, kan? Tidak peduli bagaimana caranya… Dan mumpung aku masih hidup aku ingin melakukan sesuatu, aku tidak ingin menjadi anak bahagia yang hidup didalam istana palsu sementara banyak orang diluar sana membutuhkan bantuan…”
Naif, bodohnya aku.
Pasti akan ditertawakan lagi,
Prajurit Paladin hidup dengan membawa luka menganga dalam hati mereka, kehilangan orang orang yang mereka cintai,
Sedangkan aku, orang tuaku meninggal saat aku masih sangat kecil, aku tidak pernah menangisi orang tuaku, aku tidak ingat wajah mereka, hanya melihat dari foto, bahkan meski melihat foto merekapun hatiku masih tidak tergerak untuk menangis.
Hanya aku orang lemah yang tidak tahu rasanya kehilangan, tapi masih tetap tidak mau kalah dengan tidak tahu dirinya ingin mengubah dunia…
Mati matian membuktikan diri padahal dari alasan saja aku sudah kalah.
“Heee… benarkah,” sahut Ryo tanpa memandangku. “Aku juga sama,”
“Apa?”
“Ayahku juga tidak pernah suka aku bergabung dengan militer, apalagi menjadi Guardian Paladin,”
Aku menggerakkan tubuhku menyamping, memperhatikan lelaki itu dari jauh, garis matanya, juga hidungnya yang mancung, dan iris berwarna hazel itu…
Ia tampaknya sadar bahwa aku senang mencuri curi pandang kearahnya, aku bergegas mengalihkan pandanganku kearah langit langit.
“Bedanya ibuku bukan tewas ditangan Undead,” ia bercerita, tampak tidak peduli apakah aku memperhatikannya atau tidak, “Ibu sudah tidak ada saat aku lahir, Aku juga tidak pernah menangisinya karena aku memang merasa tidak pernah memilikinya,
Katanya ayahku sampai saat terakhir tidak bisa menjenguknya karena sibuk ‘menolong orang lain’…
Hanya kebutuhan hidupku yang dicukupi tapi ayah tidak pernah merawatku dengan tangannya sendiri sedikitpun,Lucu kan?
Aku punya orang tua tapi seperti tidak punya, orang lain bilang 'Kasihan' tapi bagiku keadaan tanpa ada pengawasan dimana aku bebas melakukan apa saja yang kusuka seperti mukjizat.
Ayahku bilang, Paladin adalah orang yang siap membuang segalanya demi tugas mereka, Aku tak boleh jadi sepertinya,
Anehnya walau sudah nyata sekali ayahku tidak ada disampingku ataupun ibu saat kami sekarat, aku sama sekali tidak membenci ayahku ataupun pekerjaannya, “
“Ayahmu juga prajurit? Katamu tadi hubunganmu dengan ayahmu tidak begitu baik…?”
Ryo memutar bola matanya “Dibilang buruk juga tidak sih, tapi entah sudah berapa tahun kami tidak saling menatap mata saat bicara.”
Wow, aku tidak bisa membayangkannya,
Aku saja kalau tidak bertemu kakekku sehari pasti akan gelisah, apalagi tidak bertatap mata selama bertahun tahun?
Namun, sama sepertiku, orang ini juga tidak punya alasan berat untuk menjadi Paladin.
Ia tidak menertawaiku juga…
Seperti di nina bobokan, kantuk hebat mulai menjalariku.
“Lalu… kenapa kau… begitu ingin jadi Prajurit?”
“Aku ikut ikutan Ari saja,” katanya enteng, “Sekalian aku sedang mencari puteri duyungku, tapi…” Ia terhenti sebentar, melihatku.
Aku sudah tertidur pulas.
++++
Last edited: