~DESCENDANT OF THE DEATHMASTER~ by:DYNA

bagaimana menurut kalian novel pertama Dyna (daina) ini?


  • Total voters
    35
Tasuku.

+++

Perlahan lahan ku poles bibir yang tadinya pucat karena kedinginan itu dengan lipstik berwarna jingga muda, pipinya mulai merona lagi,
Bidadariku,
Ia masih belum sadar dari kemarin, walau seluruh ilmu kedokteran yang kupelajari mengatakan ia baik baik saja, aku tetap sangat cemas,
Ia kelelahan sehingga sepertinya tidur sehari semalam belum cukup baginya,
Kuusap pipinya dengan lembut,
Aku mengganti bajunya, dan meletakkannya didalam ranjang besar, menyelimutinya agar ia hangat,
Aku sampai lupa diri, seakan aku kembali mendapatkan hartaku yang pernah hilang,
“Aku sayang padamu,” bisikku ditelinganya, ia menggeliat dibalik selimut,
Aku begitu ingin memeluknya lagi, tapi aku takut akan mematahkannya,
Kuraih tangannya, mencium jemari-jemari lentik yang panjang itu, indera penciumanku sampai ditempat nadinya berada, aku menghirup aroma manis menggoda yang menjadi buah terlarang bagiku itu, menempelkannya ditelingaku,
Aku mendengar darahnya berdesir,
Suara detak jantungnya, nafasnya, semua yang ia miliki, yang menjadi pertanda bahwa ia masih memiliki selembar kehidupan yang, jika aku mau, aku dapat dengan sangat mudah merenggutnya saat ini.
Lemah, rapuh. Dan mampu membangkitkan naluri pembunuhku seketika,

Aku menciumi nadinya, kalut,
Sekejap kegilaan menguasaiku, kemudian aku menjadi sangat takut.
Kepalaku berdenyut denyut dan tenggorokanku seperti habis menelan bola api,
Panas, membakar,

Haus.

Bunuh dia...
Suara didalam kepalaku berbisik.

Dia tidak lebih dari sekedar domba yang diciptakan untuk menjadi hidangan bagi kita, cecap darahnya, sayat dagingnya,

Tidak.
Aku... Aku...

Gugup, kuletakkan tangan itu diatas dadanya, kutinggalkan tuan puteri ini sendiri, membiarkannya beristirahat dengan tenang.
Aku terhuyung mundur, memegangi kepalaku, berusaha mengeyahkan warna merah yang saat ini berusaha mengambil alih kewarasanku,
Saat aku berusaha menjauhkannya dari predator ini sendiri,
Jari yang tidak pernah merasa takut ini gemetar.

Aku tidak akan pernah menyakitimu…
Betapapun aku ingin merenggut semua yang kau miliki itu.
 
Last edited:
Ari.

+++


“Ari…!”
Seketika aku menoleh kearah suara yang memanggil namaku,
Mikia menerobos masuk kedalam ruangan Syeikh Ibrahim, terlihat sangat marah.
Syeikh tetap ditempat duduknya, menunggu,

“Kau akan keluar…?” Tanya nya dengan tatapan tidak percaya.
Aku menunduk, caranya mengintimidasi orang amat mirip dengan mendiang kakeknya, karena itu…

“Ya.” Jawabku singkat tanpa berani menatap matanya.

“Kau pengecut,” ia menggeram, “Kau Pengecut, Ar…!”

“Aku minta maaf,” Hanya itu yang terucap dari mulutku, Aku mengangguk pada Syeikh Ibrahim sesaat sebelum meninggalkan ruangan.

“Misi terakhirmu,” Sela syeikh Ibrahim yang menghentikan langkahku padahal aku telah berada tepat didepan pintu.
“Ini akan menjadi hadiah perpisahan darimu, Berusahalah lebih keras agar kau bisa menikmati hari harimu yang terlepas dari tanggung jawab Organisasi nanti”

“Aku mengerti.”

Aku kembali dikejutkan oleh Ryo yang bersandar di samping pintu sekeluarnya aku dari ruangan Syeikh Ibrahim.

“Apa ini yang kau inginkan…?” Ekspresinya datar, nyaris tanpa menunjukkan perasaan.

Aku mengangguk mantap. “Ini keputusanku.”
Ryo menghela nafas berat.

“Misi terakhir, ya,” Ujarnya, “Aku tidak akan melupakannya,” Lalu ia menepuk bahuku. “Sahabat sampai mati,”
Aku tersenyum lemah, “Ya, Sahabat sampai mati,”
Dan akupun meninggalkannya dibelakangku, berdiri mematung.
Entah mengapa, aku merasakan tepukannya dibahuku tadi lain,
Pandangan Ryo menohokku, Lalu ia mengalihkan matanya kelain tempat.
Harusnya yang ia lakukan adalah meninjuku, tidak heran kalau tadi ia juga menampakkan wajah sangat menyesal karena tidak melakukannya.

Aku serasa sulit bernafas.
Mungkin sebaiknya Ryo langsung saja menembak dahiku tadi.
Jadi aku bisa terbebas sepenuhnya dari dunia yang tidak ada apa apa ini,
Bukan, Bukan dunia yang tidak ada apa apa,
Akulah, Aku, yang tidak punya apa apa lagi,

Aku tidak peduli lagi,
Salah, jika mereka ingin memberikan misi ini padaku…
Aku… Aku bahkan tidak tahu lagi, Apa tujuanku hidup didunia ini…
Kemana aku harus, atau kenapa aku berdiri disini,
Apapun, Tidak ada,

Tapi mungkin saja ini juga adalah jalan pintas terbaik bagiku untuk mati.
 
Ryo.


+++


Harusnya tadi kupatahkan kaki atau tangannya agar dia tidak bisa kemana mana! Ck!
Dan aku membiarkan saja ia melenggang keluar, bahkan sempat menyemangatinya, aku munafik juga ya, masa tidak mengaku kalau aku marah? aku menertawakan diriku sendiri. Berlagak baik disaat seperti ini, Ryo?
Aku masuk kedalam ruangan Syeikh, Mikia juga ada disana.

“Dia tidak akan kemana mana,” Hibur Syeikh kepada Mikia.

“Tapi dia sudah membuat surat pengunduran diri!” Debat Mikia. “Tidak ada yang bisa kita lakukan lagi untuk menahannya.”

“Kita akan melihat,” jawab Syeikh, “Aku tidak akan membahas tentang pengunduran dirinya didalam rapat, aku akan menyimpan masalah ini sampai misi terakhirnya selesai, kita lihat apa keputusannya saat itu.”
Mikia duduk disofa panjang disudut ruangan, mencoba menenangkan diri.
menarik narik ujung rambutnya, ia juga pusing, semua orang pusing.

Apalagi aku.

“Padahal kupikir, Kupikir dia, hanya dia yang bisa memimpin Organisasi setelah kakek wafat” ia mengurut dahi, “Aku tidak habis pikir kenapa dia begitu mudah menyerah,”

Mikia menangis lagi, oh bagus,
eh kenapa aku malah marah marah sendiri sih?
Sesakit itukah aku melihat Mikia bersedih?
Ah, aku tidak terbiasa berpikir banyak, bunuh, bunuh dan bunuh,
hanya itu yang aku bisa,
Harus kuakui, Paladin butuh seseorang yang berjiwa pemimpin,
Dan laki laki dihadapanku sudah terlalu tua untuk itu,
Mikia seorang wanita, yah, bukannya aku antipati terhadap wanita, tapi, kalian tahulah, Gentleman sepertiku selalu menempatkan para wanita sebagai sosok 'yang patut dilindungi', bukan malah sebaliknya.
Walaupun ia cucu dari Alexander sendiri, Tetap saja...

Aku mendengarnya melanjutkan,
“Dan jika aku memikirkan tempatku bergantung selain kakek, aku hanya bisa melihat bayangannya, Tidak ada yang lain, karena ada dia aku bisa percaya dan tidak berhenti berharap disaat paling mustahil sekalipun, bahwa kedamaian bukan hal yang tidak mungkin.”

Aku mengepalkan tangan mendengar kata kata Mikia,
Entah kenapa hatiku agak sakit,
Kenapa aku harus merasa sakit terhadap hal yang tidak salah?
Tapi, Aku yang saat ini, Bahkan tidak cukup kuat untuk mengalahkan takdirku sendiri…
Kenapa Ari? Orang yang dianugrahi teramat sangat kemampuan seperti itu, malah menyia nyiakannya?
Aku punya kedua tangan ini dan mereka tidak sekuat Ari.
Kenapa tidak orang tidak berguna sepertiku saja yang mengalami nasib sial?

Bayangan rambut merah dan senyum itu mengusikku entah untuk keberapa kalinya.
Ah, aku bahkan selalu lari dari masa laluku,

Kesal, Sangat marah sekali rasanya,
Dan juga sakit, saat aku mengetahui keputusan Ari.
Kami tumbuh bersama selama beberapa tahun belakangan ini,
Aku berkesempatan melihatnya berjuang, dan sekarang ia menyerah didepan mataku juga? Apa apaan ini?

“Kau tahu?” aku menyela, “Kau benar tentang satu hal,”

Mikia mengangkat wajahnya,

“Hanya dia yang bisa mewujudkannya, kedamaian…”
Aku tidak tahu darimana datangnya keyakinan ini, intinya aku masih berharap, walau kusadari bahwa aku sendiri mulai merasa muak pada Ari.
 
Ada beberapa perubahan gaya penulisan(?) Maaf yaaa, T^T
Iya, Aku tahu sering typo uga, *TidakBecus.com*
Hurup besar/kecil na uga acak acakan, Huft, Nanti revisi besar besaran setelah selesai cerita na OwO/
Nikmati saja dulu ya (Siapa kamu berani suruh2 orang??? *Ditendang masyarakat ii* )
 
Ryo (Lanjutan)


Schwechat, Niederösterreich.
Wilayah perbatasan.
Pukul 02:22 pagi.



+++


Teriakan demi teriakan membahana,
Semua anggota Paladin sedang berusaha mengevakuasi penduduk sipil yang nyaris saja terkurung di dalam kota mati ini,

Vienna telah dikosongkan, hampir dapat di pastikan tidak ada seorangpun yang tersisa di kota ini, kecuali mayat mayat hidup dan monster kelaparan yang terus berkeliaran didalamnya.
Gerbang masuk kota ditutup,

Aku tersadar diantara hiruk pikuk ini, memperhatikan sosok di dekatku,
“Ar…? Apa yang kau lakukan disini?” tanyaku, agak keheranan, Rekan yang selama ini tidak pernah kulihat diam dan berpangku tangan kini terlihat lesu,
Tanpa berbuat apa apa.
Ari menatapku sesaat sebelum ia memalingkan wajahnya kembali dan menjauh dariku.
Ada apa dengannya…?

“Semua OK?!” Teriakku memastikan.

“Ryo…!” Mikia berlari menghampiriku. “Ada yang tidak beres.”
Aku menghela nafas, disaat seperti ini…
Kuikuti Mikia menuju Kamp.

“Ini,” Mikia menghamparkan selembar peta besar dihadapan wajahku.
Dengan komputer tabletnya ia menunjukkan sebuah lokasi padaku.

“Katedral besar,” Gumamku membaca denah yang diberikan mikia padaku.

“Dia ada,” Tiba tiba saja Syeikh Ibrahim masuk, dibelakangnya, Ari, dengan sangat tenang.

“Ya Tuhan…Baguslah, kau bisa,” Mikia menghembuskan nafas lega. “Ini sangat darurat, kurasa, jika bukan kalian, mustahil mengatasinya.”

Dengan keheranan aku mengerinyitkan alis, “Ada apa sebenarnya…?”
Mikia berkacak pinggang didepan kami.
Dari raut wajahnya benar benar tergambar jelas bahwa ada yang tidak bagus.

“Sekitar 20-30 orang terkurung didalam Katedral, mereka berhasil menghubungi kita disaat saat terakhir, tapi mereka tidak bisa bergerak dari sana, tanpa bantuan, Dan komunikasi terputus begitu saja,”

“Misi darurat” Syeikh Ibrahim menimpali. “Evakuasi dan selamatkan nyawa sebanyak yang kalian mampu.”

"Kemungkinan besar waktu kalian 25 menit untuk mencapai lokasi ini," Mikia memberitahu. "Tapi usahakan lebih cepat dari itu, ya?"

Aku tertawa, Wanita, Seenaknya saja, selalu begitu...

“Baiklah,Baik, kurasa aku mengerti situasinya…?” Kulirik Ari,
Yang tetap diam mematung di tempatnya tanpa komentar sedikitpun.
Ari berbalik tanpa suara.
Lalu punggungnya menghilang begitu saja.

“Ada apa dengannya?” Mikia bertanya padaku. “Ia tampak lain…”
Aku mengangkat bahu, “Entahlah, aku tidak tahu apa yang terjadi padanya,”

Syeikh Ibrahim menyerahkan sebuah pedang besar ke tanganku,
Aku melongo melihat bentuk pedang besar yang kuanggap keren itu.

“Berikan pada Gabriel,” Perintahnya, “Milik Alexander yang telah di perbaiki.”

“Kau tahu kan’ kondisi kita saat ini dalam keadaan krisis, maaf hanya menugasi kalian berdua saja, kita tidak bisa mempertaruhkan nyawa prajurit kita begitu saja.” Syeikh menatapku dengan matanya yang dalam. “Kisaragi, hanya kau dan Ari Guardian Paladin yang tersisa, dengan kemampuannya paling ku percaya, jadi jaga nyawamu baik baik, Jika terjadi sesuatu atau kalian berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan untuk membawa mereka semua, kau tahu kemana harus menghubungi kami.
Mikia akan berjaga didepan komputer dan saluran telepon.”

“Aku tidak akan mati” elakku, “Dan aku paham, kalau dengan Ari atau Aku, kau tidak perlu bertaruh, pak tua.” Aku memberi penekanan pada kata ‘Bertaruh’.
“Karena kau sudah tahu hasilnya,”
Aku melihat senyuman tipis melengkung di balik janggut nya yang seputih salju itu.
“Tapi Ari akan keluar setelah ini…” Mikia mengalihkan pandangannya.
“Tidak akan,” timpalku “Aku tidak akan membiarkannya.”

Syeikh menepuk bahuku “Berdoalah.”
Aku mengangguk.

“Hati-hati dijalan,” Ucapnya lagi,

“Hei,” Tegurku, “Pak Tua,” Langkah Syeikh Ibrahim terhenti ketika mendengar panggilanku.
“Aku sudah mengikuti kata katamu, untuk hidup dengan cara yang aku mau,”
Aku agak ragu melanjutkan kata kataku, sejurus kemudian…
“Terima kasih sudah mempercayaiku sampai saat ini, Ayah…”

Mikia seperti zombie berwajah super pucat memandangi kami berdua,
Syeikh Ibrahim terbatuk keras dan meneruskan langkahnya,
Tapi aku bisa menduga duga rupa sebentuk senyum yang terukir di wajahnya saat ia pergi,

“Jangan bilang yang tadi itu…” Mikia menunjuk wajahku.

“Rahasiakan itu,” bisikku, “Selain Ari, hanya kau yang boleh tahu, Aku masuk kedalam Paladin atas usahaku sendiri, Ayahku tidak ada hubungannya dengan ini,”

“Ta…Tapi nama keluargamu…?!”

“Nama belakangku nama ibuku, dia meninggal ketika melahirkan aku,” jawabku enteng, “Ayah dan ibuku tidak direstui, tapi aku tetap lahir, aku hebat kan?”

“Kau…Kau tidak sedih karena itu?” Mikia masih mencecarku dengan pertanyaan ketika aku memilih senjata mana yang harus kubawa.

“Untuk apa?” tanyaku keheranan, “Hidup kan’ terus berjalan.” ujarku nyengir bangga.

“Kau anak yang bahagia,” Mikia menyerahkan sekotak peluru padaku. “Aku selalu bertanya tanya apa alasanmu menjadi seorang Paladin.”

Aku tersenyum, mengulurkan tangan untuk mengusap kepala gadis didepanku, “Kalau yang itu, aku belum bisa cerita,” jawabku sambil tertawa riang.
Mikia tidak bertanya lagi, walau ia tampak sangat penasaran.

“Ryo…” Panggilnya, “Kau tidak boleh mati, karena aku ingin mendengar ceritamu setelah kau kembali dari misi nanti...”
Aku tersenyum dan melambaikan tanganku, sebelum masuk kedalam truk besar yang didalamnya, Ari telah menungguku.
Yah, Kekurangan orang mendekatkan kami semua, adiknya Ari tahu betul caranya menyingkirkan musuh musuhnya,
I can't compare to him.
Tapi yang jelas, selama aku masih bisa bergerak, aku akan bertarung.
Aku tidak mau berubah menjadi menyedihkan karena kehilangan harapan..., Mungkin.

Aku menyerahkan pedang besar titipan Syeikh Ibrahim pada Ari,
Ari memandangi senjata yang kuberikan,

“Untuk apa ini?”

Astaga, dia itu bayi atau apa ya?
Kemana larinya sahabatku yang cepat tanggap itu?

Aku menggaruk kepalaku yang sama sekali tidak terasa gatal, Membetulkan sarung tanganku lalu mendelik kepada Ari.

“Obat anti tewas,” Beritahuku sekenanya, Mulai menghidupkan mesin mobil.

Misi telah dimulai.


++++


TO BE CONTINUED...
 
Last edited:
Ryo (Lanjutan)

+++


Asap tebal menutupi pandangan kami saat truk yang kukendarai melewati jalan raya dan terus melaju menuju pusat kota.
Anehnya, Suasana di dalam kota terlihat begitu sunyi, tak ada sesosok mayat hidup pun tampak berkeliaran.
Kota Vienna yang dikenal sebagai salah satu pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan terbaik didunia terlihat begitu menyedihkan.

Dan Katedral Stephansdom sendiri adalah simbol kota Vienna yang terletak dekat dengan jalan yang juga menjadi pusat perbelanjaan besar.
Harusnya dilokasi yang biasanya juga tempat berkumpulnya turis dari seluruh penjuru dunia ini kami mendapat banyak serangan, Minimal efek kejut dari makhluk makhluk horror atau apalah,
Yah, Bukannya mengharapkan ada hambatan sih,
Hanya bertanya tanya…

“Ini aneh, Apa sekarang mereka punya kemampuan baru, Mengendap endap dan bersembunyi ?” Tanyaku iseng pada Ari.
Yang ditanya diam saja.
Aku merasa seperti membawa seekor mayat hidup lagi bersama denganku.

Gereja yang kami datangi merupakan salah satu bangunan paling indah yang pernah kulihat. Arsitekturnya masih bergaya Gothik, Seluruh bangunan berwarna putih bak mutiara yang mewah.
Walau mungkin bentuknya sudah tidak terlalu mirip dengan seratus dua ratus tahun lalu,
Karena Gereja ini telah mengalami banyak perombakan dan perbaikan.
Walau begitu, Giant’s door, Sebutan bagi pintu legendaris yang memiliki seribu satu macam keindahan tersembunyi, tetap saja mempesona bagiku,
Sejak meletusnya perang antara manusia melawan Undead, Pintu ini sudah sangat diperkuat sehingga tidak ada satu celahpun terbuka.
Yah, bisa dibilang juga ini adalah benteng yang sangat kuat,
Dengan catatan kalau kau sempat kabur kesana,

Walau begitu, tetap saja indah, pikirku.
Harus diakui, Para survivor itu aman berada didalamnya,

Kami memarkir truk tepat didepan Stephansdom,
Aku melompat turun,
Agak tergesa gesa berusaha membuka gerbang depannya, menyentuh gagang pintu dan menyentakkan tanganku lagi saat kurasakan sesuatu menyengat ujung jariku.

Listrik.

“Sistem pengamannya korslet,” Keluhku. Shit! “Jangankan mengeluarkan mereka, Bahkan tidak seorangpun bisa hidup setelah menyentuh pintu ini,”

Perkecualian bagi yang punya lengan artifisial.

Perlindungan yang tidak terpatahkan, sekaligus penjara yang sangat sulit diruntuhkan.
Kenapa ya, yang indah indah terkadang mematikan?

Kulirik Ari, Astaga, Ada apa dengan temanku ini, Dia tampak santai dan tidak berminat dengan apa yang kulakukan, Kerjaannya hanya melamun dan melamun saja.

Sialan.
Dia akan mati bahkan sebelum dia sempat sadar Undead berada di belakangnya.

Kuingat ingat peta yang kubaca saat kami masih berada di kamp tadi, “Seharusnya ada sebuah pintu lagi menuju tangga menara selatan,Rasanya Mikia menunjukkan letak panel listriknya padaku… Kita harus mematikan sumber energinya dari sana,"

Susah payah aku melambatkan langkahku mengikuti langkah kakinya,
Ia berjalan sangat lambat sekali sedangkan semua pembuluh darah di otakku seakan mau pecah menunggunya,
Ia juga semakin larut dalam lamunannya, Tatapan matanya kosong, Tidak ada satupun kegairahan hidup ada disana,
Yang ia lakukan hanya membuntutiku seperti tikus,
Apa ini orang yang dahulu menjadi kapten kebanggaan Paladin?

Aku mengulurkan tanganku pada Ari yang hampir tidak melihat kearahku, Ia menggenggam tanganku dengan malas malasan.
Seperti kalau bisa ia tidak usah berada disini saja.

Kami hampir mencapai pintu masuk rumah kecil yang berdiri tepat dibawah katedral Stephansdom, Tempat yang aneh untuk sebuah rumah, tapi kenyataannya inilah jalan menuju menara setinggi 136,4 meter tersebut.

Perlahan lahan kutarik pegangan pintu, tidak terkunci,
pandanganku menyapu kesekitar, tidak ada seorangpun didalam.
Hanya bercak bercak bekas cipratan darah memenuhi dinding yang bercat putih bersih itu.
Mataku segera tertuju pada boks panel disudut ruangan.
Oh syukurlah aku tidak harus memanjat ratusan anak tangga sempit itu,

“Aku yang berjaga,” Perintahku pada, Ehm, Ari, “Matikan aliran listriknya supaya kita bisa masuk.” Rasanya canggung menyuruh nyuruh Ari.
Karena biasanya akulah yang berada pada posisi ini…
Ari melakukannya sesuai permintaanku, Ekspresi wajahnya datar.
Lelah, dan tidak perduli.
Mau bagaimana lagi? Apa dia yang sekarang bisa dipercaya untuk tugas berjaga jaga? Salah-salah kami bisa mati berdua…
Agak was was aku menungguinya didepan pintu.

Ari menghampiriku, “Aku sudah mematikan aliran listriknya…”

Aku menghela nafas lega, Mengajaknya kembali kedepan Giant’s door.
Ketika aku mendengar kelebatan suara sesuatu yang bergerak sangat cepat disekitarku,
Aku memasang telinga dengan posisi waspada,

Tidak ada apa apa…

Kuteruskan langkah kakiku, Ari masih mengikutiku dibelakang.
Aneh sekali memimpin orang yang biasanya memimpinku,

Baiklah, Kali ini aku bisa menyentuh gagang pintu dengan aman, Tapi sialnya,
“Dikunci dari dalam…” Marahku mengacak rambut.
Oke, Aku bukan orang yang sabaran seperti orang dibelakangku itu, setidaknya ketika dia masih waras,
Dia sabarnya luar biasa kayak Bunda Maria saja, hahaha
Kucoba mengetuk pintu raksasa yang diukir dengan ketelitian luar biasa itu, Sayang sekali karya seni bernilai tinggi begini mati dengan sia sia...
Tidak ada jawaban, Apa mereka semua sudah mati?
“Paladin.” Ujarku berdehem, Berharap suaraku terdengar sampai ke dalam.
Menggedor pintu raksasa itu,

Hening,

Kesal, Kutendang saja pintunya, Perbuatan sia sia, Karena aku tahu perbuatan seperti apapun tidak akan bisa menghancurkan pintu sebesar ini.
Ah, kalau di bom mungkin bisa rubuh.

“Ok, Kalian semua sudah mati.” Ejekku kesal. “Berarti aku tidak punya kepentingan apapun dan akan segera angkat kaki dari sini.”

“Mundurlah sejauh mungkin, Anak muda.”

Terdengar suara serak setengah berbisik dari balik pintu, Aku menghembuskan nafas lega.

“Orang tua, Siapapun kau, Bukakan kami pintu, Bagaimana kami bisa membawa kalian semua kalau begini? Mengangkat bangunan beserta kalian didalamnya lalu dimasukkan kedalam saku celana?” Tawaku.

Pintu didepanku masih tidak bergerak ataupun mengayun terbuka.
Aku mulai kehilangan semua kesabaranku.
“Buka pintunya!” Teriakku tidak sabar. “Brengsek, Buka!”
Kutendang tendang pintu berkali kali sehingga menimbulkan bunyi berisik yang mengganggu pendengaran.
Ari menatapku tidak berminat.
Ya, ya, aku memang tidak sabaran, lalu kenapa, hah? Tidak senang?

“Kami tidak tahu apa perbedaan kalian dari mahkluk makhluk diluar sana” Bisik suara serak itu sekali lagi.

“Astaga, Kalian tidak mempercayaiku? Mana ada undead yang bisa berbicara dengan waras seperti ini? Apa apaan kalian?”

Hening, Tidak ada jawaban.

“Percuma saja,” Ari mengeluh malas, Duduk diatas lantai dingin.“Mereka sendiri yang tidak ingin ditolong, Bagaimana kita bisa menolong mereka?”

Aku menyumpah nyumpah.
“Diam, Tolol.” Umpatku, Berkacak pinggang. Nyaris kehabisan akal.
Apa sih, Repot sekali, Makanya aku tidak pernah suka misi penyelamatan…

Bayangan berkelebat lagi disekitarku,
Aku tersentak kaget.
Secara spontan melihat kearah sekitarku, Memastikan.
Sebuah lecutan-entah-apa keluar dari dasar tanah, memukul mukul dan mengait kakiku hingga aku terjungkal.
Jatuh berdebam kesakitan, Kutahan rasa panas dan perih dikulitku yang dihempas semen kasar lalu segera bangun.

“Brengsek, Kau sudah membuat jambulku berantakan…”

Makhluk itu bersembunyi diantara pepohonan atau sudut sudut jalan yang sepi, tapi aku bisa melihat siluetnya yang ramping dan aku yakin ia ada disana.

Benda berlendir itu melecut lagi, Aku bersiap hendak menghindarinya,
Betapa terkejutnya aku saat aku menyadari bukan aku yang diincar,
Seperti tombak, Mencoba membolongi tengkorak kepala partnerku yang berdiri tidak-mau-tahu dibelakang,
Ari menutup matanya, benar benar tidak peduli,
Aku terkesiap, Secara reflek meraih belati dipinggangku dan melemparkannya,

Setidaknya sulur itu sekarang tidak bisa bergerak dengan mata pisauku membuatnya tertancap di dinding batu,

Sial, Hanya selisih sepersekian detik saja… Dan beberapa sentimeter…
Kalau tidak… Kalau tidak…

Kalau tidak Ari pasti sudah mati sekarang…

“Bedebah!” Kutarik Ari menjauh, “Kau pikir apa hah! Mau mati ya?!”

Ari membuang mukanya, membuatku semakin kesal.
Aku berpaling, Menangkap sulur itu dengan tanganku, Mencabut belatiku dan memotong, Cairan keunguan menyembur, Undead dibalik pohon berteriak marah.

Aku membiarkan Ari duduk mencangkung seperti pasien rumah sakit jiwa, Aku tidak bisa membahayakannya sekarang, Ya Tuhan, Betapa inginnya aku dari dulu menjadi lebih kuat daripada Ari,
Tapi masa begini keadaannya?
Aku tidak terima. Hah!

Undead itu maju mendekatiku, Bunyi berkerosak seram ranting ranting patah saat ia melangkah menyeret kakinya membuatku sinting.

“Ryo…”

Suara itu…
Aku menajamkan penglihatanku, Kurasa aku salah lihat…

“R’lyeh?”



+++


To be continued...
 
Last edited:
Maaf ya, Ari sedang stress, Jadi POV na ke Ryo dulu =////=

Ari : "Ah itukan hanya akal2an kamu yang lagi suka sama Ryo, Dai,"
Daina : *Memasukkan Ari kedalam karung*


Ah, Ya, Ini akhir bab 14, Selanjutnya bab 15 menyusul ^^d
Akan ada banyak rahasia terbongkar *Jdarr*
Akan ada yang jadian juga (Siapaaaa siapa siapaaaaaaaaa??????)
Ari membuat keputusan besar yang akan mempengaruhi hidupnya,
Dan Tasuku,,, Ah, Yah, Tahan penasaran kalian (Siapa juga yang penasaran?), Kan tidak enak kalau di spoiler sekarang =////= *Dihajar*

Jadi tetaplah bersama Daina dicerita super lebe ini yuaaa ^o^


Terima kasih banyak sudah membaca sampai sini >///</
 
Last edited:
Akan apdet begitu sudah 11400 view ==/


*DilempariSendok*

(Penting yah?)

Sekarang kan sudah 11387 view >////< *Bahagia* Ayolah, sedikit lagi, Hihihihi
Dan jangan lupa review =w=

*Bows*
 
Bab 15: Method of Inheritance

Ryo Kisaragi -FlashBack-

_ _ _ _



“Kenapa kau tidak ikut saja dengan ayahmu?”

“Apa yang akan kulakukan?” Aku tersenyum manis sekali, “Aku tidak ingin dianggap membantunya.”

Rambut merah berkilauan menyapu pandanganku.

R’lyeh memeluk punggungku lembut.

“Apakah takut kalau kalau Ryo tidak bisa melindungiku lagi?”

“Ya…”

Ia menggosokkan tangannya dipipiku, Tersenyum lagi, Gadis ini kelihatannya hobi sekali cengar cengir ya?

“Aku berpikir, Sepertinya menyenangkan hidup sebagai Undead ya?”

“Ha?” Aku terbatuk, “Maksudnya?”

“Aaah, Habisnya tidak usah merasa sedih, sakit, tidak usah menderita, tidak akan mati, tidak akan ada kata berpisah," Ia menekan tanganku kedadanya, agar aku ikut merasakan kepedihan yang ia rasakan.

"tidak berpikir akan terpisah darimu,”

Aku yang tadinya agak jengkel dengan kekonyolannya mendadak tertawa mendengar kalimat terakhirnya,

“Jangan konyol,” Kuacak acak rambutnya, pondok kecil kami agak bergoyang tertiup angin, “Tanpa begitupun kita tidak akan pernah bisa dipisahkan,”

R’lyeh mendekapku sambil menunggu kalimat selanjutnya.

“Aku mencintaimu, Aku akan selalu bersamamu dan melindungimu.”

--
 
-Ryo kisaragi-

(Lanjutan)

+++




“R’lyeh?”

Aku mengenalinya, Tidak mungkin salah…
Wanita yang 8 tahun lalu telah direnggut paksa dariku…

Yang telah gagal kulindungi.

Makhluk itu menatapiku tanpa emosi.
Dari sehelai kain tipis yang menutupi tubuhnya ia kelihatan bak manusia porselen yang setengah dari tubuhnya dijahit jahit secara sembrono setelah dibongkar pasang dengan sangat brutal.

Bidadari kegelapan ditengah malam pekat ini.
Makhluk itu mundur.

“Kau kelihatan kacau sekali…” Komentarku.

Nada suaraku terdengar biasa saja,
tapi kakiku tidak bisa kuhentikan. Aku bahkan tidak bisa menggerakkan satupun dari jari jariku untuk menembaknya.
Ia menarik diri kearah belokan jalan. Aku hendak melompat menangkapnya.

Tangan yang secara kasar memagutku dari belakang. Menarikku dan mengembalikan kesadaran ini.

“Anak muda!” Teriak seseorang padaku. “Siapapun dia, Dia bukan lagi orang yang kita semua kenal!”
Pendeta tua memegangiku serta membisikkan doa doa ketelingaku.
Aku tahu aku tidak sedang kerasukan setan, Tapi perih yang luar biasa menyengat dada ini.

Tiba tiba terdengar suara suara yang lain, Semuanya langkah kaki yang diseret seret,
Satu, dua, tiga, Ada banyak!
“Father Joseph! Cepatlah masuk!” Terdengar teriakan dari beberapa orang yang menunggu diantara celah pintu gereja yang terbuka. “Mereka sudah datang!”
“Sialan…” Aku menggertakkan gigiku, Menoleh kearah sahabatku yang sedang tolol duduk santai seakan kematian adalah hal yang paling ditunggunya didunia ini.

“Kita harus cepat masuk kedalam! Mereka akan mengepung tempat ini!”

“Aku tidak bisa meninggalkannya sendiri!” Bentakku pada pendeta tua itu yang terperangah melihatku.

Terdengar suara langkah langkah lagi, Satu demi satu kepala bermunculan dari sela sela pepohonan dan bangunan di sekeliling kami.
Si pendeta tua menunggu didepan pintu, Mengisyaratkan agar aku dan Ari cepat masuk.

“Bodoh," Kuseret Ari yang malas malasan,
Mereka toh tidak akan bisa berjalan secepat it…

Kelihatannya aku terlalu percaya diri.

Seekor Zombie berlari kearahku dengan kecepatan yang membuatku ngeri.
Secara reflek aku mengarahkan moncong bowgunku kearahnya, Ia membuka mulutnya bersiap untuk melahap otakku.

Bang!

Anak panahku melesat melewati mulut mayat itu terus hingga menembus belakang kepala.
Mayat itu terjungkal kebelakang,
Aku terbelalak seakan terkena sengatan listrik yang tidak terperikan.
Kali ini tiga ekor sekaligus meloncat dan mengincarku, Sebagian lagi naik ke atas pepohonan berteriak teriak melengking, Kutembakkan anak panahku menembus kepala mereka satu persatu sambil menghindar dari terjangan demi terjangan,

Kutarik lengan Ari, berusaha semakin dekat kearah pintu,Kurasa tidak ada pilihan lain,
Zombie yang nampak seperti anak balita berusia 3-4 tahun melompat memagutiku, Kubanting ia ketanah,
Kuinjak dadanya hingga ia tidak bisa bergerak lagi, Ia menatapku dengan bola matanya yang putih semua, mendesis desis seperti ular, darah kental menetes netes dari luka gigitan disekujur tubuhnya,

“Selamat tidur,” Ucapku sebelum akhirnya membuat isi kepalanya berhamburan kemana mana.

Aku dan Ari masuk kedalam katedral, Orang orang didalam bergegas menutup kembali pintu rapat rapat.
Terdengar suara hantaman para mayat hidup yang membentur pintu.

“Bangsat!” Aku menendang pintu. “Bagaimana bisa mereka… Sejak kapan mereka bisa bergerak secepat itu?!”

“Mereka ganas”
“Mereka tidak bisa diatasi dengan sistem keamanan biasa.”
“Bagaimana ini?”

Suara suara bergema disekitarku.
“Mereka bukan Zombie biasa,” Pastor tua yang sebelumnya membukakan pintu untuk kami memberikanku dan Ari masing masing segelas air.
Ari tidak menerima suguhan hangat tersebut jadi si pendeta meletakkan gelas disamping tempat duduknya.
“Kecepatannya, selain itu mereka juga masih memiliki sedikit ingatan dari apa apa yang mereka pelajari semasa hidupnya”

Aku mengerinyitkan kening. “Mayat hidup tidak punya ingatan,”

“Itulah kenyataannya, Kalian tidak melihat apa apa sewaktu dalam perjalanan menuju kemari tadi?”

Aku menggeleng.
Pak pendeta tua menghela nafasnya.

“Virusnya,”

Untuk pertama kalinya Ari membuka mulutnya yang tidak berguna sama sekali itu, Berbicara dengan serius
“Ia mengembangkan virusnya…” Ia tertawa mengejek. “Hebat kan? Adik kandungku…”

“Kalau ingin mati bilang saja,” Komentarku, “Tidak perlu repot repot, Aku dengan senang hati mewakili Tasuku untuk melakukannya.”

“Lakukan,” Tantang Ari. Menatap tajam kearahku. “Buktikan kalau kau itu bukan Cuma sekedar pecundang yang mengekor dibelakangku!”

Aku hendak berdiri, Berharap satu dua tinju dariku bisa menyadarkannya bahwa saat ini dia itu terlihat luar biasa sangat menyebalkan sekali.

Pendeta dan beberapa lelaki setengah baya menghentikanku, “Berhenti berkelahi,” Kata Si pendeta menengahi. “Jika ada sesuatu yang ingin diperbuat, Maka akan lebih baik kalau kita bersama sama memikirkan caranya keluar dari sini.”

Aku terdiam, Didalam hatiku membenarkan,
Kusapukan pandanganku kearah setiap sudut ruangan, dimana wanita wanita mendekap anak anak mereka, Para pria sibuk melindungi keluarga mereka…
wajah anak anak itu.
semua prihatin dan sama tidak berdayanya.
Aku tertunduk.

“Ya…” Ujarku akhirnya. “Aku harusnya memikirkan sesuatu,”

Karena entah sejak kapan Ari berubah menjadi sangat-tidak-bisa-diandalkan.


+++
 
Ryo Kisaragi (Lanjutan)

+++


Setengah jam berlalu dalam kebisuan.
Hanya terdengar suara desah nafas orang orang yang kalut.
Kami terkurung disini karena sesuatu yang sangat diluar dugaan.
Bapa pendeta penuh kasih sibuk merawat orang orang yang terluka, Beberapa wanita tua membagikan roti dan air minum.
Aku memperhatikan aktifitas itu dan bersyukur tidak ada seorangpun disini yang terlihat hanya memikirkan dirinya sendiri.
Entah mengapa pemandangan ini membuat suasana hatiku menjadi damai.
Perasaan menusuk tentang R'lyeh semula mengaburkan pikiranku, tapi sekarang sudah agak tenang,
Aku menoleh pada Ari. Menyesali sikapku yang agak kasar padanya.

“Hei, Father,”

“Ya?”
Pendeta tua itu menjawab tanpa memandang kearahku, Ia mencuci tangannya kedalam baskom air hangat, lalu kembali mengobati luka luka orang lain,

“Kenapa membukakan pintu untuk kami?” Tanyaku.

Father Joseph membetulkan letak kacamatanya, Ia terduduk letih disebelahku. “Karena Undead tidak akan menyerang Undead.”

Aku terbatuk.
Lumayan punya selera humor juga ternyata…

“Aku akan menghubungi pasukan, Kami tidak bisa membawa orang sebanyak ini sekaligus,” Aku menambahkan “Kalau keadaannya seperti diluar sana…”

Terdengar gumaman gumaman bernada kekecewaan.

“Tenang,” Pak pendeta mengangkat sebelah tangannya.

Aku bersandar, Meraih alat komunikasi didalam jaketku.
Gadis kecil dengan rambut diekor kuda sewarna emas mendekatiku, Ia menyentuh lenganku yang terbuat dari baja.

“Belinda!” Tegur pak pendeta.

“Tidak apa apa,” Ujarku sambil berusaha mengutak atik alat komunikasi, Sial, Sinyalnya kecil sekali…

“Apakah sakit saat memakai itu?” Belinda kecil mengetuk ngetukkan kuku, Membuat bunyi tuk-tuk-tuk pelan pada lenganku.

“Mmm… Tidak, Awalnya pegal sih, Tapi sekarang tidak lagi.” Jawabku. Merasa –Ehem- Keren.

“Kau membunuh Undead dengan ini?”

“Keren sekali, Seperti dibuku komik!”

Dengan segera bocah bocah entah darimana mengerubungiku.
Bergantian ingin memegang lengan artifisial ku.

“Hey anak anak, Sudahlah, Jangan ganggu dia,” Pak pendeta menepuk kepala anak anak itu satu persatu dengan penuh rasa sayang.
Aku tertawa, Masih berusaha mencari cari sinyal.

“Kelihatannya kau juga sudah kehilangan banyak hal, Ya,” Candanya, Ikut ikutan melirik dengan penuh minat kearah lenganku.

“Astaga, Jangan kau juga, Pak tua” Aku menggeleng gelengkan kepala, Merasa lucu sekali. “Aku tidak bisa menemukan sinyalnya,” Gerutuku lagi.

Ari bangkit dari duduknya, “Mereka pasti sudah memutuskannya, Jalur komunikasi disini,” ia melihat kearah jendela,

Aku mengibaskan tangan membantahnya, “Tidak mungkin, Jalur komunikasi Paladin berbeda dengan jalur komunikasi biasa… Harusnya…”

“Ada sesuatu yang menghalangi jaringan komunikasi,” Tukas Ari acuh tak acuh.

Aku menghela nafas.
“Lalu bagaimana sekarang?” Susah sekali bicara pada orang yang tidak ada niat, Bukannya Bantu bantu berpikir dia malah menambah pusing kepalaku. Tidak ada ide, tidak ada jalan keluar, bagus sekali…
Stress rasanya.
Pemuda dengan kacamata tebal berambut abu abu mengangkat tangannya yang gemetaran.
Aku menelengkan kepala kearahnya, Mengatakan padanya bahwa aku tidak akan menggigitnya meskipun ia bicara.

“Ba…Bagaimana dengan E-mail?”

Aku berpikir sejenak. “Koneksinya saja tidak ada, Bagaimana kau bisa menyarankan aku untuk melakukan hal seperti itu?”

“Lembaga Pers Internasional, Sir,” Jawabnya,

“Tidak semudah itu, Kalau jaringan yang berada dikota ini sendiri sudah tidak bisa bekerja dengan baik maka…”

“Tidak, Jalur komunikasi disana berbeda dengan jalur komunikasi pada umumnya,”

Aku terdiam.
Untuk pertama kalinya aku menatap pemuda ini secara serius.
Ia terlihat seperti pemuda yang baru lulus sekolah menengah atas, sangat muda.
Badannya kurus membuat kemeja kerja yang ia kenakan tampak longgar, Gaya bicaranya sepotong sepotong entah karena kehabisan tenaga atau gugup.
Aku mengangguk memintanya menjelaskan dengan lebih terperinci. “Siapa namamu?”

“Johann” Jawabnya, kali ini dengan mantap. Aku kembali mengangguk angguk serius.

“Baiklah, Johann, Bagaimana kau tahu kalau jalur komunikasi disana bisa dipakai? Bisa kau beritahu aku bagaimana cara kerjanya?”

“Aku bekerja disana, ka, kami memiliki dua buah jalur yang berbeda, Jadi yang satu adalah jalur yang bisa digunakan oleh semua orang,”

“Dan yang satu lagi?”

“Yang satu lagi adalah jalur komunikasi rahasia yang hanya bisa diakses oleh orang orang tertentu yang bekerja disana,”

“Bagaimana cara mengaksesnya?”

“Dengan Password, Dan harus dari komputer yang berada didalam gedung lembaga, Setiap komputer disana memiliki nomer seri unik yang telah terdaftar,”

Aku menghela nafas.
Berpikir lagi,
Bagaimana kalau aku membawa saja para survivor ini langsung kedalam truk? Ah, Tapi apa aku bisa melakukannya sendiri? Melindungi orang sebanyak ini sendirian? Disaat Ari tidak berguna sama sekali? Dan para Zombie yang kecepatan serta kemampuannya diluar dugaanku?
Tambahan lagi mereka warga sipil yang tidak mengerti cara melindungi diri mereka sendiri…
Aku mengacak rambutku sendiri, Kebingungan.
Selama beberapa menit terdiam.
Andai saja Ari tidak datang kesini dengan niatan ingin bunuh diri…

“Baiklah, Aku akan pergi kesana, Berikan passwordnya padaku…” Putusku akhirnya,

Ari membuang muka.
“Tapi kita tidak tahu apa komputer bahkan listrik disana masih berfungsi kan? Atau apakah kita bisa Konek dari situ atau tidak?”

Pak pendeta memberikan bolpen dan kertas kepada Johann muda,

“Berisik sekali!” Teriakku pada Ari. “Kalau kau tidak ingin pergi ya tinggal saja disini! Aku akan mencobanya sendiri!”

“Sia sia,” cemooh Ari, “Untuk apa sih kau mempertaruhkan nyawamu dengan pergi kesana? Untuk orang orang ini yang bahkan kau tidak tahu siapa? Bodoh, Ryo,”

Aku tidak bicara lagi, Tetapi menerjang Ari, Membenturkan kepalanya kedinding, Menarik kerah bajunya dan mencengkeramnya erat erat.
Mata sahabatku tidak berkedip sedikitpun, Aku tidak bisa menemukan hal lain disana kecuali kekecewaan dan keputusasaan,
Baik rasa takut maupun perlawanan tidak ia tunjukkan kepadaku.
Semua orang yang ada di ruangan mundur ketakutan melihat kami,

“Kenapa? Kau tidak ingin memukulku?” Ari berujar semanis madu, “Pantas saja kau tidak akan pernah bisa menang dariku, Ryo…”

Aku jujur dan tidak munafik, Aku sangat ingin meninjunya sekarang, Paling tidak satu dua pukulan yang mematahkan rahang bisa membungkam mulut sampahnya itu untuk sementara.

Tidak, Ryo, Tidak, Kau harus tahan emosimu, Bukan waktunya untuk ini…

Kututup mataku rapat rapat, Berusaha menenangkan diri,
Dan kelihatannya berhasil, Karena beberapa detik kemudian kusadari aku sudah mulai mengendurkan cengkeramanku, mendorong Ari hingga merosot kedinding, Membiarkannya menarik nafas dan terbatuk.

Aku berjalan menghampiri Johann, Mengambil secarik kertas ditangannya, Memandanginya sebentar, Lalu mengantonginya, “Aku tidak perlu alasan, Untuk melakukan kewajibanku,”

Aku tahu bahwa Ari mendengarkanku, tapi ia diam saja, tersungkur disudut seperti layaknya seorang pecundang.

Kembali aku melemparkan pertanyaan kepada Johann yang agak kebingungan menatapku dan Ari.

“Ini bisa digunakan komputer mana saja asalkan berada di lokasi yang tadi kau sebutkan?”

“Ya, Seharusnya begitu memasuki gedung lembaga akan ada komputer tersendiri dimeja sekuriti atau meja resepsionis, Jadi tidak usah masuk terlalu jauh sampai kedalam” Jelasnya,

“Baiklah,”

“Apakah tidak apa apa tanpa penunjuk jalan?” Father Joseph menatapku khawatir,

Aku mengerling, “Pak pendeta yang baik hati, Kalau aku bisa selamat dari ini aku mau jadi pendeta saja sepertimu, Dengan catatan kalau tidak ada gadis yang naksir aku lagi,” Tawaku.

Tentu saja aku yakin aku tidak akan tersesat, Kami Paladin memang diharuskan untuk menghafalkan setiap sudut kota diseluruh dunia,
Jaga jaga siapa tahu kami menghadapi keadaan seperti ini,
Lagipula, Bertarung sambil melindungi orang lain, Itu sangat-sangat merepotkan…

Father Joseph tersenyum lemah menanggapi candaanku, “Sebaiknya berhati hati, memang kelihatannya seperti tidak ada aktifitas apapun diluar. Tapi jangan lengah, Terutama ketika akan keluar dari Kärntnerstrasse, Jika kau menggunakan mobil, Tutup semua jendela dan jangan turun kecuali sudah sampai ditujuan…”

Aku membalas senyuman itu,
Memang sepertinya sepanjang jalan pusat perbelanjaan yang terbentang dari stephenplatz tepat didepan alun alun katedral besar stephansdom ini terlihat sepi saat aku dan Ari tiba disini beberapa jam lalu.
Tapi tidak ada salahnya mendengarkan,
Ketika Father membukakan pintu untukku, Aku masih sempat melirik kearah Ari,
Kau yang sekarang tidak berharga untuk dihajar, Batinku.

Aku tidak boleh terlalu memikirkan Ari,.
Sekarang giliranku mempertaruhkan segalanya, Ini jalan seorang pejuang.
Semua orang ingin hidup, Begitu pula aku,

Begitu pula R’lyeh…
Susah payah sekali aku mencoba untuk tidak membayangkan apa saja yang terjadi kepadanya selama beberapa tahun belakangan ini…
Sial... kenapa orang orang terdekatku tidak pernah berhenti membuatku stress?

Pintu dibelakangku mengayun dan tertutup
Meninggalkanku diluar seorang diri dengan beban nyawa puluhan orang lain yang saat ini kupikul dipundakku.

+++
 
Yaaayyy! Terima kasih banyak ya, Dalam beberapa jam saja sudah datang membantuku memenuhi jumlah view yang kuinginkan >///<

*Senang*

Malam inipun aku akan begadang membuat kelanjutannya,
Apdet malam ini agak banyakan kok, Tenang saja, Hihihhi,
Sebagai tanda terima kasihku kepada para pembaca yang sudah sangat membantuku selama ini sehingga cerita ini bisa tetap berlanjut, >///<

Ah iya, lagu yang kudengarkan saat aku sedang membuat bab ini,
judulnya "Joy and sorrow of life,". Itu musik melulu, Remix piano dan sedikit unsur pop alternatif, keren banget! ><
Kurasa kalian harus mendengarkannya juga,
Nah, Berhubung aku tidak bisa menemukan lagunya di youtube,
Kalian donlot albumnya sajah ya? *Plok*


http://mikudb.com/2459/emergenc/

Tenang, track lainnya juga Bagus kok ^////^
Kusarankan mendengarkan "Innocent girl" nya juga, karena lagu itu juga banyak memberikanku inspirasi, Hehe,

Nah, cukup ngobrolnya, sekarang mari kita lanjutkan saja ceritanya,^^

*Yang ngajak ngobrol dari td sapaaa?*

Hihihihi, Review tetap ditunggu loh, ^^/
 
Ari

---


Ryo sungguh mudah ditebak,
Harusnya aku tadi mengikutinya, Tetapi tubuhku tidak melakukan seperti yang kuinginkan.
Kata kata penyemangat yang seharusnya kukatakan malah berubah jadi kalimat menyebalkan yang melukainya,
Aku sungguh tidak bermaksud mengacaukan tujuan hidup orang lain,
Namun setiap kali aku melihat Ryo yang seperti itu,
Dia orang yang pikirannya terlalu gampang, Dia tidak pernah memikirkan kemungkinan kemungkinan yang sulit,
Dia pikir asalkan ia berusaha keras itu sudah cukup.
Mengingatkanku akan diriku yang dulu.
Dan aku dikhianati keyakinanku sendiri kan? Lihat… Hebat sekali.

Aku tidak tahan.
Hidup begini, Tanpa ada alasan yang jelas, Terus saja bertarung,,
Untuk apa?
Aku mencari cari alasannya, Sebagai manusia aku sudah gagal.
Orang lain mungkin lebih berhasil daripadaku.
Betapa menyedihkannya diriku ini.
Kupandangi langit langit katedral yang tinggi, berharap menghilang saja.

Memikirkan kenyataan, aku tidak bisa berpikir untuk hidup.
Aku takut, sangat takut.
Tidak mau mundur, juga tidak berani melangkah maju.
Seluruh ingatanku dipenuhi oleh kenyataan pahit bahwa orang orang yang selama ini kusayangi dan ingin kulindungi telah membuangku, sekaligus membunuh semua alasanku agar tetap berpijak diatas kakiku sendiri.
Aku sakit,
Dengan mengingat rasa sakit itu saja aku seperti ingin lari, berpaling selama lamanya dari kenyataan ini dan tidak pernah kembali lagi.

Seperti inikah perasaan Tasuku saat itu?
Dia membuatku merasakan hal yang sama, penderitaan yang sama, seperti yang pernah ia rasakan dengan baik sekali.
Tidak ingin mati, Juga tidak ingin hidup.

Tanganku gemetar.
Bahkan siapapun tidak bisa menghibur ataupun menyembuhkan luka yang fatal ini.
Keputusasaan dan semuanya…
Kupandangi kepergian rekanku dengan berbagai macam perasaan yang bercampur aduk.
Aku meringkuk disudut merasakan kesepian teramat dalam.

+++
 
Ryo Kisaragi


+++



Kudorong mayat seorang wanita yang tertelungkup didepan meja kerjanya hingga terjerembab di lantai.
Masa bodohlah, dibilang tidak menghormati yang sudah meninggal juga, peduli amat, aku butuh tempat duduk.
Tanganku gemetar ketika aku dengan panik mengetikkan huruf demi huruf kata sandi yang menjadi satu satunya tumpuan harapanku saat ini,
Sambil menunggu koneksinya tersambung, aku terdiam memandangi layar komputer dihadapanku.
Lumayan lama, disini sungguhan buruk, sekaligus memberiku cukup waktu untuk melamun.
Memikirkan pemandangan yang kulihat saat berada didalam perjalanan menuju kesini tadi,

‘Jangan keluar dari mobil.’
Aku teringat pesan bapak pastor tua yang menasehatiku, aku mengikutinya tanpa tahu apa apa,
Tapi setelah masuk jauh ke pusat kota, semuanya jelas sudah bagiku.

Mayat mayat itu bergerak.
Melakukan aktifitasnya seperti mereka belum mati saja,
Polisi lalu lintas dengan seragam tercabik cabik masih terus berusaha mengatur lalu lintas yang tidak ada seorangpun yang lewat,
Ibu dan anak bergandengan tangan, wajah keduanya dipenuhi darah.
Orang orang sibuk berlalu lalang dijalanan,

Tentu saja semuanya mayat.

Seorang suster berjalan ringkih lewat didepan mobilku, Aku menahan nafas.
Aku sendirian, Kalau ketahuan, Habislah sudah…
Ia mendorong kursi roda berisi anggota tubuh manusia tanpa tangan kaki, dan kepala,
Hidup, dan berdenyut.
Lalu dibelakangnya muncul dua tiga mayat lain dengan pakaian kerja lapangan.
Masing masing membawa troli, Kulihat sesuatu merah lunak bercampur aduk didalam troli itu yang demi kebaikan perutku sendiri, kucoba untuk tidak memikirkannya.

Aku terdiam memperhatikan,
Tubuh mereka penuh luka, Tetapi tidak ada satupun tanda tanda pembusukan seperti melelehnya daging yang melengket, atau apa,
Mereka tetap seperti mayat baru yang sekeras batu,
Normalnya mayat mayat itu tidak akan bertahan lebih dari beberapa jam, Virusnya akan menggerogoti tubuh mereka dan mempercepat proses pembusukan hingga tiga kali lebih cepat daripada pembusukan normal, Walaupun mereka bisa terus bergerak menggunakan tubuh yang seperti itu.
Aku ingat mayat mayat hidup yang kuhadapi bersama Ari selama ini,
Minimal mereka semua setengah busuk,
Mudah dihancurkan.
Aku mengingat ingat zombie yang tadi kuhabisi didepan Katedral Stephansdom,
Astaga, Keras.
Aku bisa mendengarkan panah bajaku melesak dengan suara berisik menembus tulang tulang mereka,
Tidak seperti mayat rapuh biasanya yang tangan bahkan kepalanya akan terlepas dengan mudah kalau kau tarik, Tidak akan menimbulkan suara kecuali desis halus jika senjatamu menembus daging mereka.

Yang ini lebih seperti makhluk hidup.

Mereka semua bicara dalam bahasa yang tidak kumengerti,
Kadang kedengaran seperti geraman geraman, ceracauan tidak jelas.
Yah, Aku Paladin, ini memalukan sekali aku merasa takut.
Ari mengatakan rasa takut adalah naluri alami manusia untuk bertahan hidup.
Tapi bagiku, Yah, Rasa takut, adalah aib.
Kurasa sebagai gentleman aku akan menyimpannya sendiri, tidak akan pernah menceritakannya kepada siapapun.
Mau tidak mau hati kecilku membenarkan,
Aku yang tidak pernah melihat pemandangan ganjil seram ini merasakan bulu kudukku meremang.

Mayat mayat itu menyebrangi jalan dengan tertatih tatih,
Salah satu mayat menoleh melihat kaca mobilku,
Aku berdoa entah pada apa semoga ia tidak menyadari keberadaanku,
Wajahnya yang berlepotan darah segar celinguk celinguk bodoh di kaca depan mobilku.
Aku menahan nafas, Tidak berani bergerak satu senti pun.

‘Teman temannya’ memanggilnya dengan suara berisik seperti burung,
Makhluk itu menjauh, memberikanku satu tarikan nafas sebelum stress berat ini memutuskan saluran pernafasanku.
Akhirnya aku bisa menjalankan trukku dengan perlahan.

Dan begitulah bagaimana aku bisa sampai kesini,
Ada beberapa hal yang kumengerti, Mayat jenis baru ini tidak buta,
Mereka bisa mengingat mimik muka, ekspresi, bicara pada sesamanya, geraknya cepat, bahkan kebiasaan kebiasaan kecil atau apa saja yang mereka kerjakan mereka semasa hidup.
Yang tidak berubah hanyalah mereka tampaknya masih membaui dengan hidung, Dan penciuman mereka tidak sebagus jenis lama,
Mungkin mereka sekarang lebih mirip ikan hiu daripada serigala, sebagai predator mereka cenderung menyerang hanya pada sesuatu yang mencolok mata,
Insting mereka tidak lebih kuat walau kecepatannya mengerikan.
Bisa lari, melompat, Mengejarmu,
Aku menggelengkan kepala tidak habis pikir.

Mereka memiliki rasa kebersamaan yang kuat.
Mereka tersenyum satu sama lain.
Dan mereka abadi? Hahaha…
Kelihatan seperti tujuan asli Stats The Origin ketika ia mengumandangkan bualannya tentang masyarakat yang ia idam idamkan bertahun tahun lalu.

God, Kira kira masyarakat macam apa yang akan di ciptakan dari dan oleh para Undead?
Kelompok bahagia yang kalau lapar memakan daging mentah teman temannya sendiri bergiliran?
Psycho.
Ini membuatku gila.

Lalu, Potongan potongan tubuh itu, Alih alih untuk dimakan, untuk apa mereka membawanya?
Kelihatannya ada semacam task yang harus diselesaikan dengan itu,
Yang aku tidak tahu entah apa.

Dan aku harus menemukan jawabannya.

Bip!

Saluran komunikasi tersambung,

Tergesa gesa aku mengetik kata sandi messenger ku, Mengirimkan Email kepada Mikia yang mungkin saja saat ini sedang bersiaga didepan komputernya, Menanti berita dariku yang bisa datang kapan saja.

Berpikir soal Mikia,
Terpikir kembali soal R’lyeh, padahal apa kaitannya?
Aku kadang kadang tidak nyambung.kalau soal perempuan, yeah… perempuan…
Aku mengangguk angguk setuju pada pemikiranku sendiri.
Tapi kenapa?

Mataku mencari cari disepanjang jalan tadi, tidak nampak tanda tanda keberadaan R’lyeh.
Kutekan dahiku dengan gerakan mengurut urut.
Kemana dia? Dan bagaimana bisa dia berakhir dengan… dengan bentuk Chimera menyedihkan seperti itu?

Lamunanku berakhir saat pintu otomatis tepat didepan meja tempatku duduk terbuka.
Aku mengangkat muka, menatap lurus kedepan.

Pada saat bersamaan, Dibelakangku terdengar desis halus air liur yang menetes dari mulut mayat karyawati yang tadi kusingkirkan kebelakang meja.

Aku tertawa sedih,
Ingatan orang mati yang tersisa dari R’lyeh pastilah mencari cariku, wajahnya yang berlumur darah tampak bahagia sekali.

Gerakan sesuatu dibelakangku melesat cepat.
Aku terlalu sibuk bertatapan dengan R’lyeh sehingga tidak menyadarinya,

Komputer mengeluarkan bunyi Bip sekali lagi.




Message sent.


++++
 
Mikia.

Perbatasan Schwechat,


+++

Hampir dua jam aku menunggui kalau kalau ada berita yang datang,
kelihatannya akulah yang terlalu paranoid.
Duduk memeluk lutut diatas kursi, berdoa, aktifitas apa saja yang bisa kulakukan agar hatiku tenang,
Kenapa perasaanku sangat tidak enak?
Kupegang erat liontin pemberian kakek dileherku, bermaksud menyamankan diri sendiri.

Tes!

Aku terkejut, Kalungku putus begitu saja, Liontin yang diberikan kakek jatuh diatas lututku,
Dengan perasaan tidak menentu aku memungutnya.
Jari jariku bergetar.

Ryo?

Aku menatap cemas pada layar komputerku.
Tidak ada berita apa apa, mereka juga belum kembali,
Aku seperti ingin menangis, bodoh sekali, padahal ini bukan pertama kalinya Ryo dan Ari pergi menjalankan tugasnya kan?

Air mataku menggenang sendiri.
Aku sempat kebingungan bagaimana cara menghentikannya.
Perasaanku...
Perasaanku sangat tidak enak...
Hanya Ryo. Ryo, Dan Ryo saja yang ada di kepalaku.

“Nona Mikia!”
Aku mendengar seseorang memanggilku, tersentak dari kebisuanku, Seruan itu datang lagi, kali ini dengan lebih memohon.
Aku keluar dari tenda, “Ada apa James?” tanyaku,
Ternyata orang yang memanggilku adalah salah seorang prajurit yang kukenali bernama Viktor James yang setelah menghormat kepadaku, segera melaporkan bahwa telah terjadi hal tidak diinginkan.

“Serangan sudah sampai diperbatasan, Syeikh Ibrahim, Tuan Caesar sedang berada dalam pertempuran, Beliau mengirimkan pesan bahwa bantuan nona Mikia sangat diperlukan saat ini,”

Jadi Caesar sudah bersama Syeikh? Aku mengangguk angguk,
Mencengkeram ujung Coat hitamku sendiri, gelisah
Tapi bagaimana seandainya berita dari Ryo datang?

Ah, mungkin aku yang agak paranoid, benar, mana mungkin Ryo butuh bantuan, ya kan?
Benar kan?
Benar, Mikia, Tidak ada yang perlu dicemaskan,
Ryo kuat.
Percayalah padanya.


Percaya padanya? Memangnya aku ini siapanya Ryo?
Aku cuma rekan kerjanya saja!
Gumamku lagi pada diriku sendiri, Akulah yang terlalu… ya, terlalu banyak berpikir, Mungkin.
Segera kusimpan liontinku, mengantonginya supaya tidak hilang,
Lalu bergegas meninggalkan meja komputer setelah menatap selama beberapa detik.

+++



Lima menit setelah kepergian Mikia. Bunyi pertanda pesan masuk terdengar dari komputernya.



++


TO BE CONTINUED...
 
Last edited:
Ryo kisaragi,
Flashback :


“Sudah berapa kali kukatakan, kami tidak butuh perlindungan Paladin!” Tuan Selenu berteriak keras pada pegawai pemerintahan yang terus terusan mengelap keringat di dahinya.

“Tapi, Sir,” Bantah Frederick Bellamy setengah menyatakan ketidak setujuannya dan setengah lagi takut takut,
Bellamy kurus jangkung, selalu berpakaian perlente. dahinya licin dan kulit wajahnya mengkilat karena minyak, saat ini ia bekerja di kantor pemerintah sebagai seorang ahli keuangan ,
Ia sangat dekat dengan tuanku seperti keluarga sendiri.
“Saat ini saja invasi besar besaran sudah mengambil alih kota kota besar, Bukan tidak mungkin suatu saat mereka akan sampai kesini dan…”

“Ah, omong kosong, mana mungkin Stast the origin berminat sama kota kecil seperti ini, dia orang sinting yang memiliki tujuan tersendiri macam pemberontakan terhadap pemerintahan, kota kita tidak akan dilihatnya.”

“Sir! Perlindungan untuk keluarga anda saat ini prioritas utama!”

“Octavia,” Tegas Selenu berang, “Aman disini.”
“Kami disini memiliki persenjataan yang cukup untuk diri kami sendiri, kalau hanya untuk melindungi diri kami sendiri, kami bisa.” Ia terlihat marah sekali saat disinggung mengenai putri semata wayangnya.
Dengan penuh keyakinan ia melihat kearahku, yang saat itu tengah duduk diteras sambil meminyaki senapan.
Aku tersenyum kecil padanya seperti bintang iklan pasta gigi.

“Dia Kisaragi, Bodyguard kami dengan kemampuan sebaik siapapun prajurit Paladin yang kalian sewa, aku mempercayakan nyawa puteriku padanya, jadi hentikan bualan ini dan cepatlah pergi dari sini, sekarang juga,”

Fred Bellamy kembali mengelap keringatnya, mendengus,
kentara sekali kalau ia tidak puas, “Octavia membutuhkan lebih dari sekedar anak muda tidak berpengalaman!”

Ah, aku langsung membuang muka, bukannya aku tersinggung, tapi setelah ini pasti mereka masih akan melanjutkan kembali adu argumen itu dengan suara nyaring-nyaring.
Belakangan ini selalu seperti itu, aku tahu dengan sekali lihat saja, bahwa Bellamy, yang umurnya mungkin hanya setahun dua tahun diatasku amat sangat menyukai Miss Octavia R’lyeh Selenu, puteri Edgar Jacob Selenu, sang tuan tanah pemilik perkebunan terbesar di Buford ini. Sekaligus orang yang sekarang berada dibawah perlindunganku.

Dia bahkan menyukainya lebih dari sekedar kawan masa kecil, kalau boleh kuartikan.
Itulah alasan kenapa Bellamy begitu ngotot ingin melindungi R’lyeh,
Sayangnya dia tidak bisa melakukannya sendirian.

“Ryo!”

Aku mencari cari asal suara yang memanggilku .
Kepala R’lyeh muncul dari samping rumah, melambai padaku, menyuruhku mendekat, aku meletakan senapanku, penasaran.
Mengikutinya ketempat dimana mata Selenu dan Bellamy tidak bisa mengikuti kami lagi.
R’lyeh terus berjalan cepat cepat tanpa mempedulikanku, geraknya ringan seperti terbang, ia terus saja masuk kedalam tepian hutan yang berada tepat di belakang rumahnya, sebelum akhirnya menyetop langkah kakinya, duduk diantara dedaunan kering,

“Ini,” katanya menunjukkan padaku. “Anak burung, sepertinya terjatuh dari sarangnya,” Ia meletakkan bayi burung pipit diatas pangkuannya, membelai belainya hati hati.

Aku memandang kesekitar “Kita harus mengembalikannya ke pohonnya kalau begitu,”

Wajah cantik R’lyeh memberengut,
Berbeda dengan ayahnya yang berwajah kasar, R’lyeh memiliki paras wajah lembut, rambutnya merah terurai, disekitar pipinya ada bintik bintik merah muda, khas gadis desa.

“Princess,” Bujukku, “Kita tidak bisa memeliharanya dirumah, ayahmu akan sangat marah kalau dia tahu ada binatang selucu apapun berbagi rumah dengannya,”

Masih tidak dihiraukan, aku beringsut mendekatinya,
“Hewan itu, ditakdirkan hidup bebas,” nasehatku, “Apa gunanya melindunginya kalau ternyata kita hanya merenggut hak hidupnya?”

Berhasil, R’lyeh menatapku, kelihatannya tertarik, aku melanjutkan khotbahku,
“Lebih baik mati sebagai jiwa yang bebas, daripada harus mati sebagai tawanan didalam sangkar emas, benar?”

R’lyeh memikirkannya sebentar, aku mengulurkan tangan, menunggunya, akhirnya ia menyetujui dan meletakkan anak burung itu ditelapak tanganku, aku menghadiahinya senyuman termanis seraya menepuk nepuk kepalanya, “Anak baik.” Pujiku. “Pohon yang mana?”
R’lyeh menunjuk dahan pohon pinus yang tidak terlalu tinggi dibelakangku, aku mendongak ke langit, sarang burung disalah satu dahannya tertangkap mataku.

“Mantap,” Komentarku.

R’lyeh dengan riang menepuk nepuk bahuku, ia senang sekali tahu ia merepotkanku,

“Kau juga ya,” katanya, saat aku sudah sampai diatas sana.

“Hah?”

“Menganggapku anak kecil,”

Aku bisa melihat tangan mungilnya memainkan rumput kering, menggerutu dan mengeluh.

“Ayahmu menyuruhku melindungimu,” jawabku lelah, duduk sebentar pada dahan yang besar itu. Capek juga setelah memanjat keatas,

“Ayah Cuma peduli dengan bisnisnya,” Keluh R’lyeh, “Makanya dia tidak mau pemerintah ikut campur dalam melindunginya, pun begitu, usaha pabrik dan pertanian ayah adalah denyut nadi kota kecil ini, hampir semua warga kota ini bekerja pada ayah, karena itu kecemasan Bellamy beralasan, kurasa,”
Aku menggaruk kepala mendengar kata kata R’lyeh.

“Tapi setidaknya ayahmu kan peduli padamu, Dia juga memikirkanmu, itulah arti keberadaanku saat ini, kan? Atau kau tidak puas dengan kinerja ku? Mau diganti saja?” Iseng-iseng aku menanyainya.

R’lyeh kelihatan sangat terkejut dengan kata kataku, aku sendiri tidak menyangka efeknya akan seperti ini, padahal aku cuma ceplas ceplos.

“Tidak!” ia membantah tegas,

Akupun bisa merasakan bahwa senyum di wajahku menghilang sudah.
Digantikan rasa panas yang luar biasa pada pipiku,
R’lyeh tampaknya menyadari dan salah tingkah juga, terbukti dengan ia yang sesegera mungkin mengalihkan pembicaraan.

“Apa enak duduk diatas sana?” ia bertanya,

“Bisa masuk angin,” jawabku, berpegang pada dahan dahan dengan tangan kiriku, menangkap lalu bergantung pada dahan lain yang lebih rendah, setelah selesai memperagakan sedikit akrobat kemudian dengan lincah melompat turun, “Suatu saat nanti kalau kau sudah bertambah tinggi kau akan kuajak naik kesini, Mau?”
R’lyeh menatapku penuh kekaguman.

“Mau, Tapi Ryo, harusnya kau jadi Paladin saja,” tukasnya memuji, “Manusia biasa tidak mungkin bisa melakukannya,”

“Ngomong ngomong,” aku ikut ikutan mengalihkan pembicaraan, “Kurasa Bellamy naksir kau,”

R’lyeh meninju bahuku, yang tertawa terbahak bahak.
Bukan rahasia umum lagi kurasa, para pegawai Selenu yang lain menggosipkannya, R’lyeh selalu berpura pura tidak tahu,

“Ia hanya teman!”

“Ya, ya,” Komentarku santai, aku menikmati saat saat menggodanya seperti ini,

“Lagipula aku…”

Aku terhenti, “Kau apa?” tanyaku penasaran,

R’lyeh menundukkan kepalanya dalam dalam, “Ada orang lain yang kusukai, tahu,”

Bingo!

“Oh ya?” Aku pura pura tidak tahu, “Siapa? Fred Bellamy juga?”

R’lyeh mengambil segenggam daun kering di tanah, melemparkannya padaku yang menghindar dengan gesit,

“Meleset, Baby, sekarang coba ceritakan padaku tentang perasaan cintamu pada Bellamy…”

R’lyeh semakin marah.
Aku tertawa lepas, membiarkannya berlari mengejarku, mencoba melempariku dengan daun lagi.
Kami berlari lari di sepanjang jalan pulang kerumah.


+++
 
Flashback (Lanjutan)

+++++


“Kematian itu takdir tetap semua makhluk hidup,” Hiburku, ketika pada hari berikutnya R’lyeh menemukan anak anak burungnya mati.

“Ini salahmu!” R'lyeh menangis. “Jika saja Ryo setuju untuk membawa mereka pulang kerumah!” Ia mengcongkel congkel tanah, membuat kuburan sambil marah marah.
Aku menghela nafas.

“Kalaupun aku setuju, Princess, Ayahmu tidak akan mungkin setuju,”

“Kau bukan ayahku!” Ia membentakku lagi,

Kami berdua sama sama terdiam, aku menunduk,
bagaimana rasanya dibilang seperti itu oleh anak perempuan 16 tahun yang…
yang benar benar membuatmu tertarik?

“Benar, Nona Octavia,” ujarku sekalian, entah karena dorongan apa. “Dan sekarang sudah larut, sudah waktunya anda kembali kerumah, saya akan mengantar anda.”

R’lyeh menabrakku begitu saja saat ia berlari sedetik berikutnya, ia pulang sendiri tanpa menungguiku,
Lalu R’lyeh tidak mendengarkanku, juga tidak mau bicara,
Bersikap seolah aku tidak ada.
Keadaan seperti ini tidak berubah hingga beberapa waktu lamanya.

+++
 
Back
Top