~DESCENDANT OF THE DEATHMASTER~ by:DYNA

bagaimana menurut kalian novel pertama Dyna (daina) ini?


  • Total voters
    35
Flashback (Lanjutan) :

+++



Aku berjalan ditengah tengah pepohonan rimbun, mencari cari sesuatu,
Tanganku menyentuh pohon pinus raksasa, menengadah keatasnya.

“Disitu kau rupanya, kucing kecil.”

R’lyeh tersenyum kecut dari atas. “Bagaimana kau bisa menemukanku?”

“Seorang ksatria harus tahu dimana menemukan tuan puterinya sendiri, bukan?”
Aku duduk bersandar dibawah. “Sekarang turunlah, kau tidak tahu kalau orang rumah mencemaskanmu?”

R’lyeh membuang muka enggan.

“Hei…” Tegurnya.

“Hn?”

“Aku mau minta maaf…” Bisiknya dari atas sana, pelan, nyaris tidak terdengar. “Aku sudah seenaknya menyalahkanmu padahal kau sudah berusaha melakukan yang terbaik buatku…,”
Aku hanya tersenyum mendengarnya.

“Kenapa Ryo tidak menjadi Paladin saja?”

Mulai lagi, Ia selalu berusaha mengorek keterangan yang sama sekali tidak ingin kuungkit ungkit.
Aku menggaruk kepala, agak bingung bagaimana menjawabnya.

“Kau tahu, sebenarnya aku selalu ingin tahu tentangmu, aku selalu penasaran,”

“Dan tidak bisakah rasa penasaranmu itu kau simpan saja sendiri?”

R’lyeh menggeleng,

“Tidak, Kau yang bilang kalau kata kata tuan puteri adalah mutlak.”

Ck, Wanita…
Sambil duduk dan menyender dibawah pohon, aku mendengarnya berkicau lagi.

“Aku selalu bingung, semua orang ingin menjadi Paladin, mereka juga ingin berjuang, tapi tidakkah kau berpikir, kalau sebenarnya Paladin juga bukan… maksudku… mungkin saja mereka tidak sewaras kelihatannya,”

“Ha?” Aku ternganga, “Apa sih yang kau bicarakan?”

R’lyeh menatap lurus pada matahari terbenam, “Mereka tidak takut pada hal hal yang membuat kita takut…”

Aku terdiam, “Tidak takut… pada hal hal yang seharusnya membuat kita takut?” Ujarku membetulkan.

“Ya,”

“Hmmm… Contohnya apa? Undead?” Tawaku berderai.

“Jangan tertawa!” R’lyeh menjatuhkan ranting kekepalaku.
Aku mengusap dahiku dan kembali berusaha memasang tampang serius kendati rasanya geli sekali mendengar ia bicara.
“Kau tidak takut pada Undead?” Tanya R’lyeh hati hati.

“Tidak.”

Hening beberapa saat.

“Pernah membunuh Undead?”

“Oh, Ayolah R’lyeh, makhluk ini bahkan tidak hidup, yang hidup itu Virusnya, jadi jangan gunakan kata ‘Membunuh’ seperti aku sudah pernah melakukannya pada orang hidup…”

“Jadi kau pernah?”

Aku menganguk.
Dia itu bodoh atau apa sih? Bagaimana mungkin ayahnya mempekerjakanku kalau aku tidak bisa mengatasi mayat-mayat hidup bau bangkai itu…?

“Berapa banyak?”

“Entahlah, aku tidak menghitungnya…”

R’lyeh terdiam, berusaha keras memikirkan pertanyaan selanjutnya, “Umm… Tidak pernah bermimpi buruk setelah membantai Undead? Maksudku… Dari luar bagaimanapun mereka tetap kelihatan seperti manusia… kau tahu…”

“Tidak pernah.”

“Nah kan…, Kurasa kau cocok kalau masuk Paladin…, Paladin juga pasti begitu… Perlu sisi Psikopat setidaknya, supaya bisa dilatih menjadi mesin pembunuh, menghadapi musuh berwujud para manusia itu sendiri… ”

“Psikopat huh…, turunlah sekarang,” Bujukku memotong kalimatnya, sebenarnya aku agak salah tingkah dengan semua pertanyaan tadi,
“Kalau tidak aku akan menunggumu disini sampai subuh, kita kemping di hutan, tidak buruk juga idemu, aku hanya tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan nyamuknya,”

Di atas, R’lyeh terkikik geli khas anak gadis.

“Masalahnya…” Ia tersenyum penuh arti, “A… aku tidak tahu caranya turun…”
Bahkan didalam keremangan senja aku bisa melihat kedua pipinya bersemu merah sekali.
Aku tidak dapat menyalahkan diriku jika tidak bisa tidak terpesona karenanya.

“Kemari, aku akan menyambutmu disini, loncat saja, tidak apa apa,”

“Tapi…”

“Percaya saja padaku, ayolah, tidak apa apa,”

Tapi aku belum bersiap, R’lyeh sudah terlebih dahulu melompat,
Aku gelagapan menyambutnya,

Ia jatuh begitu saja menimpa tubuhku.

“Aduh!” Keluhnya, “Kau empuk Ryo!”

Dibawahnya aku mendelik kesal, Apa apaan reaksi itu... “Aku-belum-memberimu-aba-aba-untuk-turun, Princess…”

“Oh? Belum yah?” Tawanya berhenti saat ia memandang wajahku lekat lekat, aku tidak bisa menghentikan diriku melakukan hal yang sama.

“Aku terlalu tampan yah?” Godaku dengan wajah tetap serius.
R’lyeh tersadar dan memukuli dadaku,

“Ryo!” Tegurnya parau.

Tapi kurasakan ia tidak sedikitpun beralih dari posisi kami sekarang, aku juga tidak berniat melakukannya, malah, ia menyusupkan kepalanya kedalam pelukanku.

“Aku akan katakan satu saja rahasiaku padamu,” Susah payah aku menarik nafas, aku cukup tahu kelemahan ini, bahwa seseorang yang tidak bisa bernafas dengan benar saat berdekatan dengan orang yang mereka cintai.
R’lyeh tidak menjawab melainkan mendengarkan,
Aku tahu alih alih suaraku, ia malah sedang mendengarkan degup jantungku yang seperti berlomba dengan waktu.

“Ayahku bekerja untuk Paladin…”

R’lyeh kelihatan tidak terkejut, yang dilakukannya hanya mencengkeram baju bagian dadaku kuat kuat,
“Aku tidak yakin apa posisinya disana, aku hanya bertemu dengannya dua tiga kali… aku tidak terlalu mengenalnya juga… tidak tahu banyak tentang dia…”

“Jadi dari sanalah bakatmu berasal…” Bisiknya, aku bisa merasakan nafasnya dileherku, agak geli.

“Aku tidak tahu, Princess,” Aku tersenyum menutup mata.

R’lyeh mengangkat wajahnya, “Terima kasih sudah memberitahuku…,” Katanya lembut, “Sebagai gantinya, aku akan memberitahumu mimpiku,”

Kusingkirkan helaian rambut merah yang menutupi pemandangan indah gadis belia dihadapanku,

“Kalau bisa memilih dilahirkan sebagai apa, aku ingin menjadi hutan…”

“Hutan?” Tidak tertawanya aku kurasa sudah cukup membuktikan betapa aku menghormati setiap kata yang diucapkannya saat ini,
Kupandangi bola matanya, gerakan bibirnya ketika ia bicara, nafas halusnya,
Tidak ada satupun lelucon, semuanya diucapkan dengan serius, tulus,
Khas dia.

“Iya, karena tidak akan kesepian kalau menjadi hutan… dan…”

Dan, R’lyeh sudah tidak bisa melanjutkan apa apa yang ingin disampaikannya lagi.
Karena aku sekarang telah menautkan bibirku ke bibirnya.

+++



End of flashback
 
Ryo kisaragi


+++

Tidak menutup mata sama sekali, kubiarkan sulur sulur dan tentakel itu melecut.

Menghabisi zombie dibelakangku.
Aku merasa aku sudah sadar sepenuhnya akan apa yang ia lakukan.
Entah bagaimana.

“Ada apa?” seruku seraya maju mendekatinya, “Kenapa tidak membunuhku?”

Bola bola mata R’lyeh melebar, beradu pandang dengan mataku.
“Hidup sebagai Undead…” Ia bicara padaku sepotong sepotong, susah payah, “Lebih baik…”

Aku tidak percaya apa yang baru saja kudengar, Chimera bicara padaku!
R’lyeh mundur, lari.

“R’lyeh!” Teriakku.
Cepat cepat aku menyusulnya keluar dari gedung perkantoran tersebut,
Ada sesuatu yang menyerangku,
Aku melompat kearah dua ekor monster dihadapanku, lebih cepat dari gerakan mereka, mencabut pistol dipinggangku,
Menembak tepat didahi mereka.
Terburu buru menaiki trukku sebelum makhluk yang lain mulai berdatangan dan melaju dengan kecepatan tinggi, Berkeliling mencari keberadaan seseorang.
Mikia pasti sudah menerima pesanku, mereka akan menyelamatkan Ari dan yang lain.

Sekarang waktunya aku membereskan urusanku.

+++
 
Ari.

St. Stephen's Cathedral, Vienna


+++


Suara keras terdengar dari luar pintu, mendengarnya sekilas saja aku bisa tahu kalau ada yang sedang mencoba memaksa masuk kedalam.
Orang orang mundur kebelakang, berusaha membuat jarak sejauh mungkin dari Giant’s door.

“Tidak apa apa, Tidak apa apa,” Father Joseph menenangkan, “Pintu dan jendela jendela itu sudah dibuat khusus untuk keadaan seperti ini, pasti akan bertahan sampai pasukan Paladin datang menjemput kita semua,”

Gadis kecil yang tadi dipanggil ‘Belinda’ bertanya khawatir,

“Father, mereka akan segera datang kan…?”

“Tentu,” Pastor itu membungkuk, tangan keriputnya membelai kepala si bocah, “Kakak yang tadi sudah berjanji akan menyelamatkan kita, dia tidak akan membiarkan kita menunggunya terlalu lama,” suaranya terdengar jelas meskipun itu hanya berupa bisikan.

“Dia tidak akan datang,” Cemoohku. “Jangan jangan dia malah sudah mati,”
Aku kesal sekali, kesal pada orang sebodoh Ryo, yang menyia nyiakan hidupnya demi dunia yang tidak berharga ini.
Menyelamatkan dunia yang sudah rusak ini?
Sungguh mimpi buruk dari seorang idiot paling tolol.

Father Joseph dan semua mata berpaling menatapku yang langsung membuang muka.

“Anakku…” Tegurnya, “Kau tidak percaya pada rekanmu sendiri?”

Kukepalkan tanganku mendengar kata katanya.

“Nak, kelihatannya kau sudah mengalami begitu banyak hal yang tidak menyenangkan,” hiburnya.
“Kalau ada sesuatu yang mau kau ceritakan agar hatimu bisa sedikit lebih lapang…”

“Jangan bersikap seolah kalian peduli!” Teriakku yang tidak tahan.
Rasa sakitku semakin menjadi jadi.
Didalam ingatanku terus berputar putar ingatan pada detik detik gugurnya Alexander, Tangis rekanku, Mikia,
Dan yang paling membekas didalam memoriku adalah,
Kepergian Tasuku, membawa Daina bersamanya…

Sakitnya tidak terperikan, semua alasan keberadaanku direnggut begitu saja,
Aku seperti sampah, orang gagal yang hanya berdiri tanpa memiliki kebanggaan lagi.
Ironisnya semuanya justru dilakukan oleh alasan itu sendiri!

Tasuku, Tasukulah alasanku berdiri sampai saat ini,
Karena Tasuku aku berjuang hingga titik darah penghabisan.

Tapi semua perjuanganku, jerih payahku mencari kekuatan untuk melindunginya dan Daina…

Aku gagal bukan?
Betapa menyedihkannya hidup seperti ini…

“Berjuang? apa gunanya sekarang? setelah alasanmu untuk hidup direnggut justru oleh seseorang yang menjadi alasan itu sendiri?!“
Aku mengacak acak rambutku sendiri, gelisah sambil tetap duduk memeluk lutut.
“Kalian semua cuma orang asing.” Aku menambahkan,

Ya, Tasuku,
Kepada siapa jiwa dan raga ini kuserahkan…
Adikku, tumpuan harapanku selama ini…

Father melihatku, membuatku merasa seperti binatang liar yang meraung menyedihkan, dikasihani orang lain…

Pastor itu membuka mulutnya setelah diam sesaat, menghampiriku, duduk disebelahku,
“Kau ingin tahu dimana salahnya?”

Aku diam saja, sibuk dengan pikiranku sendiri.

“Salahnya, bukan ‘Tasuku’ inilah alasanmu hidup selama ini,”

Aku tersentak.

“Apa maksudmu, Pak tua?!”

“Tetapi ambisi dan dendam,” Lanjutnya semakin berani.
“Tasuku, hanyalah keberadaan yang sengaja kau ciptakan sebagai tamengmu selama ini, tempatmu bersembunyi dari masa lalu yang selama ini selalu mengejarmu!”

Aku menatap dengan mata mengancam, tapi pancaran sinar mata orang tua ini tidak sedikitpun menunjukkan rasa takut padaku.
Aku teringat mata Ryo tadi... Dalam hati aku takut...
Aku takut dilihat sampai kedalam diriku...

“Lanjutkan kata katamu, dan aku akan…”

“Bukan kau yang sudah gagal, tapi Tasuku!”

Aku mendesaknya hingga terpelanting, beberapa wanita mundur sambil berteriak.
Father mengangkat tangan kirinya, menghentikan beberapa pria tinggi besar yang membuat gerakan seperti mau memisahkan kami.
tubuhnya yang lain nyaris mati rasa dalam tindihanku yang bersiap dalam posisi akan mencekiknya sampai mati.

“Lihat, Kau marah saat ini, nak? Marah kenapa? Tersinggung karena kata kata orang tua ini melecehkan orang yang bagaimanapun masih sangat berarti bagimu?” tantangnya berani.
“Tasuku-mu yang gagal sebagai tameng…,” ia masih susah payah bicara,

Aku... apa?

“Andai saja tasuku... bisa memenuhi ambisimu dengan tetap melakukan semuanya dijalur yang sudah kau tentukan, tetap seperti keinginanmu... tentu saja hasilnya akan lain, karena Tasuku gagal sebagai tameng, kau sekarang sampai pada titik terburukmu, tidak bisa lagi bersembunyi dari apa yang selama ini kau takuti yaitu berhadapan langsung dengan dendam masa lalumu, lalu kau mulai menyalahkan segalanya…”

Tanganku mulai melemah.
Tidak!
Itu tidak benar!
Banyak yang sudah kukorbankan, banyak penderitaan yang sudah kujalani, hingga rasanya tidak ada seorangpun yang mampu mengerti rasa sakit ini...


“Lepaskan Father!” Belinda dan teman temannya memukul mukul punggung dan lenganku,

“…Berharap Tasuku tidak pernah ada, berharap dunia tidak pernah ada, berharap dirimu sendiri tidak pernah ada, ingin ikut menghilang bersamanya!”

Aku... Aku ini...
Lalu... Lalu selama ini apa yang...


Beberapa orang membantu Father duduk, sementara aku masih agak linglung mendengar kata katanya.

Terbayang lagi ingatan ingatan lain.
Kematian orang tuaku, Hari hariku bersama Tasuku, perasaanku yang tidak terbalas pada Daina…

Hari kematian orang tuaku…
Hari dimana aku kehilangan mereka…

“Apa ayah dan ibu bisa pergi kesurga?”

“Kau selalu dibebani oleh perasaan itu,
Betapa sakitnya kehilangan sesuatu yang berharga,
Selalu berharap semua ini hanya mimpi,
Mimpi buruk yang ketika kau bangun, akan hilang dan terlupakan.
Lalu ketika kau bangun dan menyadari kalau semua ini nyata, kau segera mendendam kepada takdir, sambil berusaha mengubah kenyataan.”
Suara Father masih bergema ditelingaku…

“Tidak Tasuku, tidak akan ada surga sebelum semua kengerian ini berakhir…”

Kita akan membuat surga…


Selama ini…
Pada saat aku nyaris kalah didalam suatu pertarungan…
Ingatan akan dendam masa lalu lah yang selalu memberikanku kekuatan tak terhingga…
Yang membuatku tak terkalahkan… hidup. Sampai saat ini…
Dendam… ambisi… dendam… ambisi…

Pada akhirnya selalu…
Nama Tasuku dan janji masa kecil kami yang muncul…

Kita akan membuat surga…

Lututku lemas, kakiku seperti tidak bisa lagi menopang tubuhku.
Aku jatuh bersimpuh, nafasku tidak beraturan.

“Jadi, Selama ini…” Tenggorokanku tercekat, “Hidupku sia sia? Semua… semua tidak ada artinya kan…”

“Anakku,”
Kurasakan tangan tua Father membelai rambutku lembut, ia sedang –lagi lagi- duduk didekatku.
“Tidak ada satu manusiapun yang terlahir gagal dan hidupnya sia sia, Apapun yang kau lakukan, itu tidak sia sia, kalaupun ada sesuatu yang sia sia, itu hanyalah waktumu…” Aku mendengarnya terkekeh. “Masih belum terlambat untuk memulainya lagi…”

Aku menutup mataku kuat kuat.
Yang mana yang harus kuambil…? Keyakinan orang tua yang bicara sembarangan tentang diriku seolah ia mengenalku, orang asing yang sama sekali tidak kuketahui ini,
Ataukah keyakinanku sendiri? Bahwa hidup seperti ini sudah tidak ada artinya sama sekali?
Disaat saat terakhir, Keinginan yang tiba tiba saja melesak dasyhat memenuhi celah celah hatiku adalah kegairahan akan sesuatu yang sama sekali tidak kusangka masih ada padaku…
Aku… aku…

Aku ingin hidup…
Ingin hidup…

Tapi aku tidak yakin hidup macam apa yang bisa kujalani dalam keadaan seperti ini…

Belum selesai aku memutuskan,
Suara menggelegar dan sesuatu yang luar biasa menghantam pintu raksasa Giant’s door.
Menghancurkannya berkeping keping,
Teriakan histeris bercampur jerit kepanikan dan ketakutan bercampur aduk jadi satu terdengar dimana mana.

Aku menengadah.
Monster itu bertubuh raksasa, dipunggungnya banyak sekali tangan manusia yang dijahit jahit, jumlahnya mungkin puluhan…
Ia meninju dinding dinding stephansdom yang mulai rapuh karena serangan tadi, memperluas jalan baginya agar bisa masuk.
Air liur menetes dari wajah jelek berhidung pesek itu, yang memperlihatkan gigi memerah karena darah.

“Aryanov Gabriel!” Gelegarnya menyebutkan namaku,

Kelihatannya aku telah menjadi targetnya yang sudah ditetapkan.


+++
 
Last edited:
-Ryo kisaragi-



+++




Zombie berambut panjang yang menutupi sebagian wajahnya menempel tepat dikaca mobil disebelahku, memperlihatkan wajah seramnya, ia mengetuk ngetuk dan terus terusan mengatakan hal yang sama seperti R’lyeh katakan.

‘Hidup sebagai Undead lebih baik.’

Menggelikan.

Aku terus saja mengebut dalam kecepatan tinggi, mataku nanar menatapi jalan jalan kosong, berdoa semoga aku bisa menemukan R’lyeh diantara mereka,
Kubanting stirku berharap undead yang menempel dan mengganggu pemandanganku ini enyah.
Setelah beberapa lama akhirnya usahaku membuahkan hasil juga.
Aku berhasil menjatuhkannya kejalanan beraspal,
Sesaat aku merasa lega, perasaan lega sementara, sesaat kemudian kusadari sekitar 30-an sosok berantakan berlarian mengejarku dibelakang,

“Shit…!”

Sambil terus menghindari Undead bersayap yang membentur bentur kaca depan,
Trukku terbanting keras, menabrak begitu saja, aku tidak peduli,

Terkepung.

Kuraih Senjata tepat di jok sebelahku yang kosong,
“Baiklah, kalau itu mau kalian…”
Ketika pintu mobil menjeblak terbuka, sudah ada undead yang menyambutku duluan.
Melompat kearahku siap menerkam,
Aku agak kaget,

Cepatnya!

Detik itu juga dia terjengkang kebelakang dengan kepala hancur.
Tubuhnya kejang kejang karena aliran listrik mematikan dari submachine gun ku menyambarnya.
Membuatnya lumpuh seketika.

Secepat kilat aku melompat memanjat, naik keatas truk,
Undead yang lainnya mengerubungiku, menyerang dari segala arah.
Aku merunduk dan memutar tubuhku 360 derajat sambil menembakkan sinar laser, memisah-misahkan tubuh mayat mayat didepanku hingga tak bersisa,
Kuangkat tanganku keatas, pedang mencuat dari lengan artifisialku, menusuk ghoul yang mencoba menyerangku dari atas.
Tidak perduli percikan darahnya menetes netes mengotori wajah, aku melemparkannya kebawah.

Sesaat seperti hujan darah, aku bergulat dengan mereka sementara yang lainnya terus menerus datang dan datang.

Aku menikmati ini, merasakan serpihan Undead ditanganku jauh lebih memuaskanku daripada pengalaman ejakulasi paling hebat sekalipun...

Bukan rahasia umum kan’ bahwa didalam tubuh Paladin masing masing Guardiannya memiliki sisi Psycho mereka tersendiri,
R'lyeh pernah mengatakannya, ya...
Dulu sekali, Aku selalu mencoba tidak memikirkan tentang ini,
tapi sekarang sudah tidak bisa lagi, mau tidak mau aku harus mengakuinya,
Begitulah aku tahu betul kegilaan ini menagihku.
Maniak mengenaskan tidak ubahnya mesin tempur milik Paladin.
Aku menyukai pekerjaanku sekarang.

Apa rasanya saat berada dimedan pertempuran?

Seperti sedang bersetubuh dengan cinta sejatimu.

Tidak bisa kulukiskan kenikmatan ketika aku bertukar posisi dengan monster dan menunjukkan siapa pemangsa sebenarnya.
Karena inilah Ari selalu menyebutku gegabah kelebihan tenaga sia sia yang bertarung tidak pakai otak, Dumbass.
Tapi kenyataannya aku lebih berguna kalau dikeroyok, Atau lebih suka dikeroyok? Haha,
Tipe berbeda dengan Ari yang ahli pada pertarungan satu-lawan-satu.
Aku tertawa kecil sambil menahan serangan, melemparkan Submachine-gun ku yang sudah kehabisan energi, merobek bahu Zombie dengan pisau sampai kebagian pinggangnya.
Berlari dan menusuk perut dua ekor sekaligus, langsung menarik pisauku keatas, melakukan sayatan berantakan di dada, lalu leher, kepala,
Aku memutar mutar pisau ditanganku ketika mereka berjatuhan, tersenyum bangga.

Hal seperti ini terus berlanjut beberapa belas menit kemudian hingga kejadian mengejutkan menghentikan pertarunganku.

Ayolah, aku masih belum yakin apa aku puas…

Suara seperti bunyi terompet yang ditiup kasar membuat telingaku ikut berdengung, aku berdiri tegak diatas truk, memastikan tidak ada Undead yang merayap naik keatas lagi,
Tapi tidak ada yang menyerangku.
Mereka bahkan tidak menatap kearahku, seakan aku ini tidak ada.
Mereka hanya melihat kesatu arah, aku mengikuti arah mata mereka tapi tidak ada apapun yang terlihat kecuali jalanan kosong,
Lalu mereka berbondong bondong meninggalkanku sendirian,
Berjalan menuju arah yang kutahu adalah jalan menuju taman kota di distrik pertama Vienna, Stadtpark.

Mereka berkumpul?

“Hidup sebagai undead… lebih baik…”

Lagi lagi aku mendengar bisikan konyol mereka yang seakan memberitahuku.

Zombie zombie itu tidak lagi mempedulikanku, mereka bahkan menginjak injak begitu saja potongan tubuh jenis mereka, tidak terpengaruh oleh darah yang berceceran.
Aku menoleh keheranan ke kiri dan kananku, semua bertingkah sama anehnya.
Apa yang mereka datangi?
Oh , Tidak… Jangan bilang, satu satunya cara untuk tahu…

Yeah, Ternyata memang harus masuk kedalam kerumunan Zombie…

Aku menyumpah nyumpah dalam hati, meloncat turun dari atap truk, tetap waspada. Menyelinap diantara masyarakat aneh itu,
Semakin lama, semakin banyak saja yang bergabung, pada awalnya hanya dua puluh-tiga puluh ekor, sekarang kelihatannya hampir seluruh isi kota yang terinfeksi tumpah kesini,
Kupercepat langkahku, menyusup nyusup,
Bertahan agar tidak terganggu bau mayat dan darah menyengat saat aku menyelusup gesit diantara orang-orang mati ini,
Tapi aku tidak merasakan bahaya sama sekali, lalu kulihat semakin dekat dengan tujuannya, para Undead ini…
Aku memperhatikan sekelilingku, yang sekarang bising akan bahasa bahasa yang masih tetap tidak kumengerti sama sekali.
Aku terdiam,

Mereka semua saling berpegangan tangan, berduyun duyun.

Ini gila, Zombie?! Berpegangan tangan?!

Aku menguatkan langkahku menatap lurus kedepan, Dihadapanku ternyata sudah berdiri banyak sekali tenda tenda berwarna biru bergaris putih,
Mereka, Mayat mayat itu menari dan tertawa, bicara dalam bahasa kacau mereka.
Anak anak mereka yang sudah dipastikan tidak akan pernah tumbuh dewasa masing masing menggenggam balon berbentuk hati ditangan mereka.
Bendera berwarna warni menggantung disana sini,
Stadtpark seperti sedang ada karnaval dadakan…

Aku berputar putar, Bukannya menikmati ‘karnaval’ aku malah merasa sinting sekali.
Semuanya kelihatan senang kendatipun wajah maupun pakaian mereka bersimbah darah pekat...
Apa ini? Pesta Horror? Terlalu awal untuk Halloween...
Stast... Tasuku...
Inikah yang mereka rencanakan? Masyarakat idaman mereka?
Tiba tiba saja aku merasa mual,
Apalagi saat aku menyaksikan pemandangan yang kulihat berikutnya,

R’lyeh.
Gaun tidur birunya hanya berupa carikan carikan kain berlumut,
Walau aku masih mengenali kilau kemerahan Ruby itu dari rambutnya…
Aku hanya melihatnya dari samping, kelihatan memegangi sesuatu entah apa, ia sedang berbicara dengan Zombie lelaki tua –kedua bola matanya hancur- yang sedang membagi bagikan balon.

Pemandangan mencekam itu berlanjut saat R’lyeh bertemu mata denganku.
Ia kelihatan bergairah.
Ia membalikkan badannya,
Isi perutku kembali bergolak melihat benda apa yang tengah dipegang olehnya,
Itu seperti… Kepala orang dewasa berambut panjang, mereka menjahitnya pada tubuh kanak kanak, yang jelas benda apapun itu, kepala dan tubuhnya tidak sesuai,

“Ryo…”

Oh bagus, kelihatannya virus jenis baru berhasil mempertahankan sebagian ingatan yang katanya “Tidak akan dilupakan meskipun ajal menjemput,”.
Ternyata namaku yang paling diingat kekasihku yang sudah menjadi Undead.
Manis sekali, So sweet,

Yang benar saja, Goblok.

Seorang wanita menabrakku, aku terhuyung, Zombie itu memegang bungkusan, tidak hanya sempat terlihat, mahkluk yang semula berada didalam gulungan selimut tipis itu bahkan melompat menerkamku.

Aku menghindar hingga terguling,
Sempat menembakkan anak panahku kearah bayi setan yang menyerangku barusan.
Bayi itu berkelojot sesaat dilantai, darah menggenang, tapi tidak terjadi apapun setelah itu,
Sementara sosok sosok disekitarku bersikap seolah tidak terjadi apapun dan sibuk menikmati jalannya 'Karnaval'.

Ibu dari ‘Bayi’ itu memungut benda tergeletak bersimbah darah dikakiku, menggendongnya dengan sayang, Aku sedikit merasa bersalah sekaligus marah pada diriku sendiri yang tidak waspada.
Kembali menatap kearah dimana R’lyeh berada.

Ia sudah tidak ada disana.

Aku berputar mencari cari, urusan ini harus diselesaikan saat ini juga…
Saat itu kulihat kepala R’lyeh terselip diantara kerumunan.
Aku mengikutinya, ikut menyelip nyelip diantara kerumunan, ia berjalan setengah berdendang seperti kebiasaannya 'Semasa hidup', tapi dengan cara aneh dan itu membuatku jengah.

“Kau mau berduaan saja denganku, ya?” Ucapku asal saja setelah kami agak cukup jauh dari karnaval setan tadi.
Kami berhenti didepan gedung tua yang sepertinya sudah tidak terurus,
Ada banyak sekali mayat bergelimpangan dijalan.
Menambah seram bangunan keabu abuan berdebu itu.

R’lyeh menghampiri mayat seorang wanita ditengah jalan.
Mulai mencabuti kukunya.
Aku mendengarnya bicara, ya, bicara.

“Aku… senang bertemu dengan… Ryo…”
Ia mengeluarkan jarum dan benang, menempelkan kuku kuku itu ketangannya sendiri, mulai menjahitkan mereka.

Aku geleng geleng kepala menyaksikan aktifitas itu dari belakang.
“Gadis yang keras kepala seperti biasanya, ya?”

Perasaan Ari ketika Tasuku begini? Jangan Tanya aku.
Pantas saja Ari stress.

Karena aku juga sedang stress sekarang.

Tidak sampai lima menit kemudian ia selesai menjahit. “Aku terlihat… lebih cantik sekarang…?”

“Sangat menawan…” tawaku putus asa, bisa merasakan getar aneh dalam suaraku.

R’lyeh menatapku senang, aku tahu itu bukan dia… itu bukan dia lagi, tapi…
Tatapan itu, wajah itu, semuanya sama…
Lalu ia menyuarakan harapannya.
“Sekarang kita… bisa… bersama sama lagi… kan?” Ucapnya terputus putus.

“R’lyeh…” Potongku mendekatinya, “Aku akan menolongmu…”

“Aku akan membebaskanmu dari penderitaan ini… Aku bersumpah aku akan…”

Dan ia tidak menjawab, melainkan berdiri tegak.

“Kita bersama selamanya kan’…?” Pertanyaannya diulang seperti dialog opera yang dihafalkan,
Aku hanya bisa terperangah menyaksikan tubuhnya perlahan berubah didepan mataku.
Kedua betis ramping itu membesar dan menyatu, menancap ketanah seperti berakar.
Benar saja, tubuhnya bermutasi dengan cepat,
Sekarang ia kelihatan seperti… seperti…
Pohon raksasa.

"Aku ingin menjadi hutan..."

Itu visualisasinya,
Itulah bentuk paling mendekati keinginan sejati yang bisa dipikirkan R’lyeh sebagai Chimera…

Walau bukannya hutan... Yang kulihat sekarang hanya sebatang pohon besar, ada banyak sekali wajah manusia disana,
Aneh... Aneh sekali...

Aku tahu ini bodoh,
Pada saat kau tahu orang yang kau sayangi telah berubah menjadi apa yang seharusnya kau perangi, kau akan tahu bahwa tidak ada satu detikpun didalam hidupmu yang lebih menderita daripada saat ini.
Mencoba memanggil namanya dan hal tersebut sia sia.

Mayat mayat disekitarnya mendadak kering.
R’lyeh nampak semakin besar saja.
Dahan dahan itu menyemburkan darah seperti orang muntah kekenyangan,
Entah karena kebanyakan mengambil sari kehidupan dari mereka yang sudah mati,
Udara disekitarku mendadak berat sekali.

R’lyeh meraung.

Sulur sulur kayu memukul mukul, Secara reflek aku menggunakan lenganku untuk menangkis.

Ia telah bermetamorfosis dengan sempurna.


+++


To Be Continued
 
Last edited:
Hahahaaayyy ~
Apdet lagi >3


Ini dia lagu yang kudengarkan pada saat mengedit tulisan diatas :

[ame="http://www.youtube.com/watch?v=AGmEeT_iyGk"]http://www.youtube.com/watch?v=AGmEeT_iyGk[/ame]


Hmm,, Link donlot na agak sulit ditemukan sepertinya,
Jadi kalian yang mau MP3 nya silahkan convert sendiri disini http://www.youtube-mp3.org/ yaaa =w=/

(Jangan ngeluh, Tanpa lagu lagu 'Dewa' itu mana bisa menulis cerita sampai dua tahun lebih begini T^T) *DitendangiPembaca*

Ah iya, Bab kali ini, Aku ingin berbicara khusus mengenai Mikia, Ryo, R'lyeh,

Pertama, Kalian tentu sudah tahu bahwa garis besar tokoh2 "DeathMaster" itu punya wujud asli didunia nyata, sedikit banyaknya,
Nah ini termasuk Ryo, Nama aslinya Ryo Winata, Single, Ganteng, 27 tahun(?)
Dia sahabat baikku,
Laki laki baik yang kupercayai satu satunya selain 'Tasuku' suamiku dan 'Ari' bayiku, ^^/
Dia juga inspirasiku selain Ari dan Tasuku,
Pokoknya dia sangat berarti buatku.

Mengenai Octavia R'lyeh Selenu, (Aku mendapatkan nama ini secara Random)
Jujur aku sangat membenci orang ini dikehidupan nyata,
Makanya aku menulisnya disini sebagai sesuatu yang,,, Yeah, Nyahahahahh,
Terus kenapa aku masih menuliskannya disini?
Wah, Dulu sewaktu hubungan kami masih baik (Tidak perlu kujelaskan rusak karena apa) ia pernah memintaku memasukkannya kedalam novel dan ingin supaya posisinya berada dekat dengan Ryo.

Aku bukan pecundang pathetic yang selalu mengingkari janji sepertinya,
Walau sekarang aku membencinya, aku tetap berusaha menepati janjiku itu. :)

Dan yang terakhir, MIKIA! YA!
Mikia itu misa chan, masyarakat ii, ^^d
Sahabat pertamaku didunia maya (Kami sudah berteman hampir 3,5 tahun sekarang) dan berlanjut ke real, Kenapa?
KARENA KAMI SATU KOTA! YEAAAAYYY!!!!
Misa selalu membantuku disaat aku kesulitan, Pun saat aku terluka parah saat dikhianati temanku yang lain :D

*Curhat*

Kenapa aku menulis ini? Hanya sebagai pengingat, Sebagian jiwaku kutitipkan disini, Nyuh Nyuh Nyuh *SalahTingkah*
Nah, Aku akan menulis kelanjutan ceritanya setelah ini,
Terima kasih sudah menungguku, ^^
Dan sudah menaikkan view sejak chapt terakhir di apdet, ^^
Terima kasih sudah memilih untuk melihat mimpiku,
Terima kasih sudah menjadikan cerita 'Buatan tangan amatir' ini, 'DeathMaster', sebagai salah satu dari yang paling populer di forum tercinta kita ini,
Dengan jumlah View fantastis tentunya, T^T
Hasil yang tidak akan bisa kucapai sendirian dalam dua tahun belakangan ini.

Terima kasih banyak! ^^/
Aku akan berjuang!
 
Last edited:
Ryo. (Lanjutan)


Harus kuakui aku terkesan dengan perubahannya.
Aku mengerti betul kalau ini memang ia, bentuk itu memvisualisasikan sesuatu yang paling diingatnya.
Dengan terkagum kagum aku membiarkan aliran dedaunan berwarna merah darah berputar disekelilingku.

Angin berhembus menambah seram pemandangan disekitar, ada banyak tumpukan mayat disekelilingku, satu persatu tubuh mati yang belum sempat bangkit lagi itu menyusut perlahan.
Aku mengerutkan kening menatap pemandangan dihadapanku.
Pohon besar itu semakin membesar dan meninggi, akarnya tidak terlihat berada dibawah tanah tetapi ia mengeluarkan banyak sulur yang–tidak salah lagi- memang sedang menyedot darah mayat mayat disekitarnya,
Seperti jarum suntik mematikan yang bahkan mencabik hingga kedaging.

Aku melompat saat sulur mematikan hendak mematuk kepalaku.
Dalam sekejap saja bertebaran mayat mayat kering dimana mana.
Sambil tetap waspada kusaksikan transformasi horror ini hingga selesai.
R’lyeh sepertinya kekenyangan meminum darah karena cairan kental berwarna merah menetes netes dari pori pori kulit kayunya.

“Sudah selesai makan?” Tegurku.
Lecutan yang kejam nyaris saja mengakhiri riwayatku kalau saja aku tidak merunduk untuk menghindar.

Aku menggigit belati dimulutku dan melompat, tinggi sekali.
Bersalto diudara, Ketika serangan itu datang, aku menembakan panah panahku dan membuat sulur sulur itu tertancap kuat diatas jalanan semen yang kokoh, menggelepar gelepar tidak berdaya.
Tangan kananku yang memegang pistol menembaki benda berlendir yang berhasil lolos,
Lalu merasakan salah satu dari sulur sulur itu membelit leherku saat aku jatuh.
Aku menjatuhkan belati dimulutku agar tangan kiriku yang terbuat dari logam bisa meraihnya dengan mudah, Memotong benda aneh yang membelit leherku sampai aku sempat merasakan sesak nafas,
tidak memberikannya kesempatan untuk menikmati secuilpun dari dagingku.
R’lyeh terlihat marah sekali, suara raungan memekakkan telinga terdengar makin keras.

Aku bersalto sekali lagi dan mendarat dengan sempurna diatas tanah yang berasap karena pijakanku yang terlalu keras.
Aku menatapnya dengan tatapan hampa saat aku menodongkan senjataku kearahnya.

Aku menang.
Dia hanya Undead biasa, Bahkan bukan Vampir… Bukan tandingan prajurit kelas atas Paladin sepertiku… Tapi, tapi…

Ia kekasihku…

Sesuatu yang hangat mengalir diantara kedua mataku.
Aku menangis.


+++

Aku selalu bertanya tanya apakah Ari juga menangis saat orang orang yang disayanginya terpaksa menjadi musuhnya karena takdir yang jelek ini.
Ia tidak pernah mau memperlihatkan wajahnya kepada siapapun pada saat ia kesusahan,

Itulah Ari, ia tidak pernah menyusahkan orang lain.
Tapi hari ini, aku yakin, waktu itu ia menangis.

Karena aku juga menangis.

Aku tidak bisa menyalahkannya mengapa ia kehilangan gairah hidupnya.
Aku menyesal mengatainya pengecut.
Karena kenyataannya aku juga,

Aku juga merasakan ketakutan itu.

+++
 
Flashback :

Ketakutan,
Kau tidak akan pernah tahu apa artinya, Kecuali jika kau menghadapi kemungkinan akan hilangnya sosok sosok yang paling kau sayangi didunia ini.

“R’lyeh! Lari!”
Aku ingat saat itu aku berteriak.
Lebih keras daripada apa yang bisa kuteriakkan,
Kami terkurung didalam kobaran api saat kami berusaha menyelamatkan diri, Bersama dengan mayat mayat hidup,

“Ryo!” Ia menggenggam tanganku erat sekali, Gemetar dan ketakutan, Menyebutkan namaku berkali kali.
Aku menjaganya agar tetap dibelakangku,
Menembaki sosok sosok terbalut api yang bisa menerkam kapan saja walaupun gerakan mereka lambat.
Mereka tidak mempedulikan lidah api menjilat jilat tubuh mereka.

Aku tahu aku tidak bisa menyuruh R’lyeh melarikan diri sendirian.
Dia hanya akan dimangsa diluar sana.
Dan gudang tua tempat kami bersembunyi saat ini… Tidak akan bertahan hingga fajar menyingsing.
Bahkan sekarang tampaknya sedang ada masalah dengan arus listrik, menyebabkan seluruh bagian kota kecil ini tenggelam dalam lautan api.
Invansi terparah.

Pertanyaanku, mengapa?
Bukankah seharusnya ada sistem keamanan yang cukup untuk menjaga dari serangan Undead?

Aku menembak Zombie terdekat denganku, R'lyeh berteriak histeris, merasakan tarikan dirambutnya,
Ia meraih sekop, sebelum aku sempat menolongna, memukulkannya secara sembarangan kearah si mayat hidup dan sukses memenggal kepalanya.

"Wow..." Aku berdecak kagum.

"Aku sudah bilang padamu aku bisa melindungi diriku sendiri, kan," Jawabnya senang karena telah membuatku bangga.
Namun sekejap saja, perasaan senang itu memudar, akupun tidak menyadarinya karena terjadi sedemikian cepat.

Seekor Ghoul melompat kearah R'lyeh, membuatnya terjengkang dan sekop ditangannya terlempar.

"Sial!" Aku memaki sambil mencoba menembakkan shotgun ditanganku.
Tidak, mana mungkin aku bisa menembak jika dalam posisi begini? R'lyeh bisa kena juga!

R'lyeh mati matian menahan agar Ghoul itu tidak mencabik lehernya, "Ryo...! Sekopnya!" Teriaknya.

Aku berlari memungut benda terkutuk itu, yeah, kenapa terlemparnya harus sejauh ini sih...?

Aku menarik Ghoul itu, mencoba menjauhkannya dari R'lyeh,
Tidak bisa, terlalu berat, Kupukulkan sekop itu secara membabi buta kearah kepalanya,

"Muridku... memang hebat..." Desah R'lyeh saat akhirnya aku berhasil menyingkirkan bangkai makhluk penghisap darah itu dari atas tubuhnya.

Aku menghela nafas, begitupun, R'lyeh tidak bisa menyembunyikan shock yang melanda dirinya saat tahu bajunya basah akan cairan merah kehitaman kental yang berbau memuakkan itu, Darah Undead.

Tidak bisa begini...
Harus ada, seorang, Setidaknya, seseorang, untuk menjaganya, sementara aku bertarung disini.

"Kau tidak boleh disini...." Lirihku.

"Apa...?" Tanya R'lyeh, masih tidak bisa mencerna ucapanku.

Kemudian terdengar suara seseorang berteriak, aku menoleh kebelakang, menyaksikan Bellamy dan beberapa orang anak buahnya menerobos masuk, mereka membawa senapan.
“Berikan dia padaku,” Pintanya.

“Tidak! Aku disini saja, Aku mau bersama Ryo!”

“Ayolah, Kau tidak boleh egois,”

“Tidak mau! Aku akan selalu bersama Ryo, Apapun yang terjadi,” Ia memeluk punggungku.
Aku menepiskan pegangannya.

“Pergi,” Perintahku.
R’lyeh tampak tidak percaya dengan apa yg kuucapkan.

“Ryo…” Ucapnya memohon, dengan mata berkaca kaca, “Ryo… Apa yang kau ucapkan itu… Kau berjanji kan… Akan membawaku bersamamu… kau berjanji...”

“Realistislah,” Aku menyentuh kedua pipinya, “Harus ada yang tinggal untuk menahan mereka sekaligus membuka jalan, dan aku yang memiliki kemungkinan untuk selamat paling tinggi diantara semuanya,”

“Tidak mau!” R’lyeh menggeleng kuat kuat, “Kenapa harus kau?!”

Aku berhenti menatap matanya, “Bawa dia.”

Lalu suara suara yang terdengar berikutnya hanyalah teriakan teriakan melengking R’lyeh yang meminta agar anak buah Bellamy melepaskannya.

“Aku akan menahan mereka selama yg aku mampu, Kau tolong jaga dia…” Aku bersikap seolah tidak mendengar, berkata demikian pada Bellamy.
Lelaki itu mengangguk tanpa suara.

Apa yang terjadi setelah itu?
Dan mengapa bisa terjadi?
Aku tidak tahu, aku tidak tahu apapun, satu satunya yang kusadari adalah… Kebodohanku.

Karena itulah kali terakhir aku melihat R’lyeh…


+++
 
Ryo (Lanjutan)

Aku menangkis serangan demi serangan yang ia berikan.
Terus berusaha memperkecil jarak diantara kami,
R’lyeh meraung mengerikan, Aku tidak peduli, Kutangkap ranting terakhir, Mencegahnya melukai wajahku.

Tanpa kuduga dari sulur yang berhasil kuhentikan gerakannya beberapa saat yang lalu kini tumbuh sebuah cabang, sulur kedua yang dalam beberapa detik saja sudah membesar dan melecut sama seperti yang lain.
Ia bergerak dengan cepat membelit tanganku, aku terkejut luar biasa dan spontan menutup wajahku dengan tangan, melindungi bagian vital seperti penglihatan dan kepala.
Mengira ia akan menusuk kepalaku dengan ujung sulurnya yang seperti alat bor itu.

Tetapi ternyata ia malah menarikku kearahnya dengan tenaga luar biasa, tidak hanya itu, ia juga menancapkan akar akarnya sedalam mungkin dibawah tanah agar aku tidak bisa balas menariknya.
Tidak akan kubiarkan…
Sebelah tanganku yang bebas menarik pisau lain yang lebih besar dari pinggangku, baiklah… Aku tahu kau kangen padaku, tariklah semaumu, begitu aku sudah dekat sekali denganmu, saat itulah aku akan…

Detik itu pula ia menarikku sekaligus kearahnya, aku membentur tubuh kayunya yang keras itu.
Aku mengangkat tanganku mencoba menusuknya,

“Ryo…”
Gerakannya mendadak terhenti pada saat kami sudah dekat sekali.
Aku menatap mata yang semuanya berwarna hitam itu, membeku dalam sekejap, seolah ada kekuatan tak kasat mata yang menghentikanku.

Seperti angin tornado, sesuatu menyapu pandangan mataku.
membawaku pergi.

++++
 
Yo! Ini Daina! Apdet setahun sekali sekarang! *Digebukin*

Daina punya dua anak sekarang, It can't be helped *Nyari Alasan*
YA! YA! AKU SALAH, AKU YANG MALES APDET! TIDAK USAH MENGADUKAN AKU KE EYANG SUBUR BEGITU! *RasaBersalahYangLebay


Hwhwhwh, Gomeneeee~
Tenang ajah Daina sebenarnya sudah punya beberapa bab sekaligus yang siap posting, tapi... aku bermasalah dengan rasa percaya diri, sehingga jalan cerita beberapa kali kuganti... ><
Lalu kutambahi, kuganti, kuubah, kukembangkan, kuperbaiki, semuanya demi kalian pembacaku tersayang T^^T *Eaaa
Hasilnya adalah 'DeathMaster' yang sekarang kalian baca! ^o^
Semoga kalian suka, yah ~w~

Lalu... Tahukah kalian? Ini malam ulang tahun Tasuku loh! Yaaayyy!! Otanjoubi omedetou Tasuku saaaannn *ProkProkProk
Hihihi, Yah, aku senang sekali, apdet kali ini juga sebagai hadiah ulang tahunnya(?),
-
-
-
-
-
-
-
-
-
YAP! BENAR SEKALI SODARA SODARA! AKU EMANG GAK MODAL! *slap

Yuhh,, Tanpa berbanyak berbanyak bacot lagi (Iya, yang banyak bacot adalah sayah =_=;; ), kita lanjutkan sajah cerita ini =w=;;
Mohon repiw dan doanya supaya gak ngaret lagi apdetnya yah ><;;


Enjoy!



Daina Amarea Winata
 
Ryo (Lanjutan)

“Biarkan aku kembali...!”

Api… api berkobar dimana mana…

Ini...Dimana?

“Jangan gila!” Suara Bellamy terdengar bergaung ditelingaku. “Apa yang kau tunggu diam saja disini? Mau mati? Ayahmu tidak ada lagi sekarang ikutlah denganku!”

“Tidak mau!”

R’lyeh?
Aku berkata, memanggil manggil orang orang ini, yang anehnya, meskipun mereka berada dihadapanku, mereka seakan tidak menyadari keberadaanku.
Sudut pandangku bergerak gerak seakan aku diterbangkan kemanapun mereka pergi, begitu dekat, sangat nyata...
Aku mencoba menyentuh R'lyeh... tetapi tanganku tidak bisa menjangkaunya, seperti angin.

Membeku ditempat, kupandangi tanganku,
Ini apa? Aku dimana?

Lalu aku melihatnya, R’lyeh menampar Bellamy dengan sangat keras.
Lelaki jangkung itu nampak sangat terkejut dengan tindakan R’lyeh.
Ia memegangi pipinya, tak hanya itu, wajahnya juga terlihat sangat marah.

“Ayahmu menitipkanmu padaku untuk menjagamu,” Ia berbisik tajam, “Sekarang kau harus ikut denganku, kau paham?”

“Jangan memerintahku!” Teriak R’lyeh, “Aku tidak akan menuruti kata kata siapapun!”

Kutajamkan penglihatanku, mencoba untuk percaya, ini bukan mimpi, kan...?
Kembali ke beberapa tahun lalu...
Saat aku... Ya, benar,
Aku tersenyum pahit.
Saat aku meninggalkan R'lyeh...

Bellamy tertawa, membuang muka. “Ternyata memang dia, ya…”
Terlihat olehku R’lyeh mengerinyitkan alisnya tanda tak mengerti. “Apa…?” tanyanya.

“Si bocah pesuruh ayahmu…”

R’lyeh diam.

“Benar, bukan…?” Desaknya.

“Jangan…” R’lyeh berbisik serak. “Jangan sebut dia pesuruh…!”

Sebagian atap gudang rubuh, meninggalkan jejak api yang berkobar,
Malam itu sangat gelap, tetapi cahaya yang berasal dari kobaran panas tersebut seakan mampu menerangi segalanya.
Bahkan pertanyaan pertanyaan yang selama ini tak terjawab dibenakku.

“Boss, Sudahlah, kita tinggalkan saja dia,” Anak buah Bellamy menyarankan dengan hati hati,

R’lyeh berbalik kearah berlawanan, “Aku akan kembali pada Ryo, anak buahmu benar, lebih baik kau tinggalkan aku disini demi keselamatanmu sendiri,”

Lalu berikutnya yang kudengar hanyalah suara letusan senjata.

Dan anak buah Bellamy yang berguguran satu persatu dengan lubang pada kepala mereka.
R’lyeh tertegun.

“Kau benar… tentang apa…?”

Bellamy mendekat kearah R’lyeh, yang mulai mundur menjauhinya.

“Kau… jangan… mendekat…” R’lyeh memperingatkan.

“Aku menginginkanmu… kau tahu…? Aku sangat menginginkanmu melebihi apapun, bahkan sejak kita masih kanak kanak…” suara Bellamy berubah mengerikan, “kau tahu! Kau benar! Kau sangat mengetahuinya melebihi siapapun…!” Ia berseru, bertepuk tangan seperti orang gila, “Tapi tebak apa yang kemudian terjadi?”

“Kumohon…” R’lyeh masih mundur, menjaga jarak dari lelaki dihadapannya, “Kau kuanggap kakakku sejak kecil… aku…”

R’lyeh hendak berlari, tetapi Bellamy lebih cepat, ia menarik gadisku dan menghempaskannya keras sekali kearah dinding.
“Bajingan itu datang dan merebutmu dari jangkauanku!” Teriakan Bellamy menggaung kencang.
“Kau milikku! Selamanya akan menjadi milikku, sekarang ikutlah denganku atau aku akan membunuhmu!” Ia melingkarkan tangannya pada leher R’lyeh, mencoba memperlihatkan bahwa ia bisa mencekik dan membunuhnya kapanpun ia mau.

R’lyeh menggeleng kuat.

“Yah… benar… seperti ayahmu,”

Apa apaan ini? Apa yang kulihat sekarang?
Apa ini kejadian saat sepeninggalku…?

R’lyeh terbelalak tidak mengerti, yang keluar dari mulutnya hanya suara seperti terceguk, ia nampak seperti melihat hantu sekarang, dengan lelaki dihadapannya memberitahunya kenyataan yang sama sekali tidak pernah ia sangka sebelumnya.

“Hebat bukan…?” Bellamy tertawa, “Stast The Origin memberiku jalan untuk memilikimu… menukarnya dengan seluruh penduduk kota kecil ini…”

Gila… ini benar benar sinting…

“Atau lebih tepatnya akulah yang mencari dan menemuinya…? Ayolah Octavia… berilah aku selamat…” Ia memainkan pistolnya didekat rambut R’lyeh, “Berkat kepintaranku, sekarang aku bisa mencicipi sedikit perasaan menjadi Tuhan…” Ia tersenyum lagi, “Hidupmu berada ditanganku, aku sekarang bisa memutuskan kau akan mati, atau kau akan hidup… membuatmu melakukan segalanya untukku karena hidupmu berada ditangan ini sekarang,”

R’lyeh masih menggeleng.
Tapi sekarang ia menatap penuh kebencian.
Semua rasa bersalah maupun simpati terhadap pria dihadapannya sirna.

“Maukah kau mengatakan kau mencintaiku?”

Bellamy mendekatkan wajahnya kearah kekasihku, menunggu jawaban.
R’lyeh meludahinya, “Kau bukan Tuhan…” Desisnya, “Kau itu Iblis…!”

“Begitu…?” Bellamy tersenyum, membersihkan wajahnya dengan tangan,
Ia memukul R’lyeh. “Untuk balasan yang tadi…” Bellamy menyeringai, “Sekarang, bisa kau ulangi sekali lagi…?”

R’lyeh, tidak menampakkan gentar, bahkan didalam sorot matanya, kebencian tak berkurang sedikitpun,

“Kau Iblis…”

Aku berteriak, Bellamy mengangkat kakinya, ia menginjak jari jari tangan gadis itu,

Nafasku memburu tak karuan, menahan sesak akibat pemandangan yang kulihat, R’lyeh meringis, menahan sakitnya jemari jemarinya yang patah.

“Kau Iblis,” Ia mengulang.

“Kalau begitu kau sudah tahu apa akibatnya membuat Iblis marah.” Lelaki itu… tanpa belas kasihan ia menginjak injak gadisku, Tidak puas sampai disitu, Bellamy memungut sebatang kayu yang berserakan, memukul mukulkannya ketubuh R’lyeh,

Tidak ada satupun suara kesakitan keluar dari mulut R’lyeh,

Setiap kali Bellamy bertanya, ia menjawab dengan makian, kutukan, atau apapun yang menegaskan kebenciannya sekarang, pada orang yang telah menewaskan ayahnya dan menimpakan malapetaka terhadap tanah kelahirannya.

Begitu berulang ulang yang terjadi.
Hanya aku dan Tuhan yang tahu jeritanku saat itu,
Sampai akhirnya suara R'lyeh melemah dan ia tidak bisa mengutuk lagi.
Air mataku tumpah dalam keputusasaan.
Tidak bisa menghentikan apapun yang kulihat, Aku berteriak teriak, memohon agar Bellamy menghentikan perbuatannya,
Tapi mereka tidak menyadari keberadaanku saat ini, seakan akan aku dan mereka berada didunia berbeda dan hanya dilindungi oleh selaput tipis dimana aku bisa melihat apa yang mereka lakukan saat ini dan mereka tidak bisa mendengarku.

“Katakan!” Suara Bellamy menggelegar bak monster, aku terduduk lemas didepan pemandangan berdarah itu. “Katakan sekarang, kau mencintaiku!” dengan tangan berlumuran darah, ia membelai rambut R’lyeh, masih mencoba membujuknya,

R’lyeh tidak menjawab, matanya bergerak gerak tetapi hanya itulah dari bagian tubuhnya yang tersisa yang bisa ia gerakkan sekarang.

“Katakan!” Lalu suara pukulan pukulan benda benda keras lagi… Aku menutup kedua telingaku mencoba menyudahinya, tapi betapapun aku menolak, bayangan dan suara itu menghampiriku, memaksakan informasi untuk masuk kedalam sistem otakku, walaupun aku sendiri tak menginginkannya.

“Kau bodoh!” Teriakku, “Untuk apa kau menahan sakit seperti itu? Katakan saja kau mencintainya…! Selamatkan hidupmu… Berbohonglah…” Aku menutup mataku rapat rapat, “Berbohonglah untuk satu kali ini saja…!”
Beberapa lama aku berteriak teriak, berharap ia mendengarku, kemudian terlihat olehku, R’lyeh membuka bibirnya, terlihat ada gerakan kecil disana, Bellamy menunggu dengan sabar apa yang akan ia katakan.

“Terbakarlah… di Neraka…”

Bellamy meletuskan pistolnya, Aku menengadahkan kepalaku, putus asa.
Akulah… Aku yang menyebabkannya mengalami semua ini… Aku…
Aku yang dengan sukarela menyerahkannya ketangan orang lain, Aku memegangi kepalaku, sakitnya luar biasa, Hati dan ragaku.

“Seharusnya dari awal kau kubunuh saja, Lalu aku hidup senang dengan uang simpanan ayahmu, kaget? Aku tahu semua Rekening ayahmu diluar negeri, aku yang mengurus semuanya,” Bellamy terkekeh, memutar mutar pistol ditangannya, “Kau membuang buang waktuku,”

R’lyeh tergeletak tak berdaya, memegangi bahunya yang berdarah, ia masih hidup, ya, Dengan luka teramat parah disekujur tubuhnya.

“Berikutnya adalah kepalamu, Dengan begitu kau bisa bahagia bersama kekasihmu, pasti dia sudah jadi santapan mayat hidup sekarang,”

Ia akan menembak R’lyeh,
Aku mencoba menghalangi pemandangan itu memasuki pikiranku, Lalu…

“Bukankah kita sudah memiliki perjanjian…? Kau biarkan aku pergi dan kau memiliki kota ini…!”

“Kau bilang kau akan meninggalkan kota ini bersama dengan wanita itu, kenapa sekarang kau berbalik ingin membunuhnya…?” terdengar olehku suara yang tidak asing sama sekali, Aku kembali menengadahkan kepala, “Berarti kau sendiri yang tidak sesuai perjanjian…”

Stast, The Origin.
Tidak mungkin aku salah mengenali wajah rupawan berambut hitam berantakan dan sangat kontras dengan kulit pucatnya itu.
Ia menahan tubuh Bellamy dari belakang, memegangi tangannya, seolah mencoba menghentikan apapun yang akan dilakukan Bellamy.

“Dia milikku! Aku tidak mengingkari apapun! Aku berhak melakukan apapun padanya, kan?” Bellamy tertawa menutupi rasa takut, pun Vampir dibelakangnya ikut tersenyum tanpa terlihat mengancam, ia tetap tidak bisa menyembunyikan kengeriannya dihadapan makhluk itu.

“Hooo…” Stast tersenyum lagi, sesaat kemudian ia menyeringai, tangan sekeras marmer itu menggerakkan tangan Bellamy, pria itu tersentak, panik, menebak nebak apa yang akan dilakukan Stast berikutnya.

Jantungku berdebar kencang.

“Kalau begitu anggap saja aku yang mengingkari janji,” Stast berujar dengan nada kekasih yang mengalah, sekarang ia terlihat lebih sinting daripada siapapun yang kukenal, Aku sudah tahu ia sinting, tapi…

“He-hei! Apa ini…?! Ki-kita sudah sepakat bukan…?” Bellamy berteriak teriak sementara Stast membalikkan senjata itu kearah dirinya sendiri, “Jangan…! Kau-Kumohon… Kau… A-aaghh” Lalu segala ucapannya teredam, Stast menyurukkan moncong pistol kedalam mulut Bellamy,
Raja Undead itu memalingkan wajahnya kesamping, masih dengan posisi yang sama, terkikik geli dan nampak sangat senang sekali.

Ia menarik pemicunya.
Suara letusan senjata api kembali bergema, kemudian, sunyi.

Bellamy terjatuh diatas lantai dingin, diam tak bergerak, dari belakang kepalanya mengalir darah segar.
Stast menyeka wajahnya yang terpercik darah, warna merah mengotori kemeja putihnya.

“Kasihan sekali, anakku…” Kata katanya ditujukan kepada R’lyeh, yang menatap tak berkedip menyaksikan semua kejadian tersebut. “Kau tidak punya harapan hidup lagi… Dengan luka seperti itu… bahkan untuk sepuluh menit kedepan.” Stast mendekati R’lyeh, masih tergolek lemah dilantai, basah oleh genangan darah.
Tapi Stast-alih-alih kehilangan kontrolnya sebagai Undead- ia justru kelihatan tenang,
Seakan akan ia sama sekali tidak berselera terhadap orang sekarat serta darah penjahat terlalu kotor baginya.

Ia menghampiri kekasihku, mengangkat kepala yang terkulai itu dengan amat perlahan, meletakkan diatas pangkuannya sendiri. “Begitulah manusia,” Stast tersenyum sinis, “Mereka selalu memikirkan diri mereka sendiri, tenang saja, setelah ini kau tidak akan merasakan sakit lagi.”

R’ lyeh tidak menjawab, matanya bertemu dengan mata Stast,

“Apa aku boleh mendengar permintaanmu…? Sebelum aku mengakhiri penderitaanmu.” Tanya Stast, lembut.
Aku tahu ia kejam, meskipun ia memang selalu berbicara dengan nada selembut sutera, tetapi kali ini terdengar lain, begitu dalam, dipenuhi oleh simpati, atau mungkin empati… seakan ia dulu juga pernah merasakan bagaimana rasanya dikhianati.

“Ryo…” Pada akhirnya R’lyeh membuka suaranya, seakan ia yakin bahwa ia takkan bertahan lebih lama lagi, “Aku ingin bertemu…”

Stast terdiam, ia menutupi mata R’lyeh dengan tangan seputih salju miliknya, “Aku mengerti, terima kasih…”

Kepalaku disengat rasa sakit luar biasa seakan aku akan buta bersamaan dengan bunyi ‘Krak’ tulang dipatahkan.

Semua bayangan itu lenyap dan hanya menyisakan rasa sakit.

++++
 
Last edited:
Ryo (Lanjutan)

Bayangan itu pecah berkeping keping didepan mataku,
Semua yang kulihat kembali ke titik awal dimana aku berada sebelumnya,

Pelukan R’lyeh.

Ia Undead, dan ia harus kubunuh… Ia Undead… Tapi… Tapi…

“Bagaimana caramu melakukannya…?” Tanyaku, Aku tidak tahu bagaimana,
Ia memasuki pikiranku begitu saja.
Apakah ini salah satu kemampuan baru para Undead selain gerakan cepat mereka...? Aku tidak habis pikir.
Mereka mampu menunjukkan bagaimana mereka mati, hanya dengan menyentuhmu.
Memperkosa jiwa dan pikiranmu,
Membuatmu tersiksa oleh rasa bersalahmu bahkan kengerianmu sendiri.
Setidaknya itulah yang kurasakan, karena bagaimanapun aku dan R'lyeh pernah berbagi dunia bersama...

R’lyeh diam, tentu saja, dia tidak bisa bicara sekarang, Ia Undead! Berkali kali aku meyakinkan diriku sendiri agar tetap waras.

Undead apa yang bisa mengingat dengan jelas perasaannya?
Bahkan sebelum ia mati…

Undead apa yang masih menyimpan dengan erat ikatannya semasa hidup…?

Undead apa yang mengerti rasa cinta…?


Kurasakan Sulur sulur yang mengikatku semakin erat, tetapi tak ada satupun dari mereka yang menyakitiku,
Seakan memang tidak berniat untuk melakukannya sama sekali.

Tuhan… Permainan apa lagi ini…?
Aku menatap matanya yang sekarang berwarna hitam,
Pisau ditanganku terjatuh.

Salahku,
Andaikan aku tidak melepaskanmu apapun yang terjadi…
Andaikan hancur ditanganpun, kau tetap disampingku…
Kau tidak perlu mati, tidak perlu merasakan sakit.
Dan tidak perlu...Hidup dalam bentuk seperti ini.

“Aku mengerti… R’lyeh selama ini… sangat kesepian… kan…” Bisikku,
Sudahlah…
Jangan banyak berandai andai, Ryo… yang lalu biarlah berlalu.
Disesalipun tak akan pernah bisa kembali lagi...
Aku tersenyum, Mengaktifkan peledak dilenganku.
Jujur saja, Aku kesal, Aku tidak menyangka perjalananku akan terhenti sampai disini,
Ironisnya, Aku sendirilah yang mengakhirinya,
Alih-alih kematian yang terhormat seperti Alexander… Aku masih sempat menertawakan diriku sendiri.
“Aku tidak akan membiarkanmu mati sendiri, sekali lagi…”

Jadi inilah pilar cahaya yang dilihat Alexander, sesaat sebelum kematiannya,
Aku menutup mata menunggu saatku tiba.

‘Kembalilah dengan selamat.’

Saat aku menutup mata,
Aku cukup kaget mendapati bahwa bukan suara R’lyeh yang bergema ditelingaku.

'Jangan membuat janji yang tak bisa kau tepati, Bodoh!'

+++
 
Ari.


Suara ledakan memekakkan telinga bercampur dengan bunyi gemuruh angin ribut yang tiba tiba saja datang, Langit langit katedral hancur berantakan, Dan kini siapapun bisa melihat bintang bintang memenuhi langit malam…

Sekitar 8 ekor Chimera berkepala kambing dengan tubuh manusia dan lengan panjang yang diseret mendobrak masuk.
Makhluk ini besar berotot, tingginya sekitar 5 meter, kulit mereka mengilat berminyak dengan rambut panjang menutupi sebagian wajah mereka.
Aku bisa melihat dengan jelas sayap kelelawar dipunggung mereka mengepak kejam.
Mereka membawa kapak besar dipenuhi noda darah mengering yang menimbulkan bunyi mengerikan saat mereka menyeretnya diatas tanah.

“Aryanov… Gabriel…” Aku mendengar namaku disebut.

Apa ini? Undead bisa bicara? Tidak mungkin…
Sampai sejauh apa Tasuku telah mengembangkan ciptaan ciptaannya…
Aku benar kan...? Tidak ada gunanya harapan harapan itu.
Jika itu dia, jika itu Tasuku.

Maka ia mampu melakukan apa saja.

Karena aku tahu dia, aku mengerti bagaimana caranya berpikir.
Dia tipe orang yang tidak akan berhenti sampai berhasil.
Karenanya, jika itu adalah dia, jika orang sepertinya yang menjadi musuh dunia ini...
Maka tidak ada, tidak akan ada harapan lagi.

Semua orang mundur mendekati Altar,
Seekor Chimera berlari kearah kami, Gerakannya cepat!
Dengan kapaknya ia menebas secara sembarangan ditengah kerumunan, Segera saja tempat suci itu berubah menjadi arena pembantaian maha biadab.
Dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan Chimera chimera itu membantai para survivor yang tersisa, apalagi ada beberapa diantara mereka yang sudah terluka karena tertimpa reruntuhan bangunan dan tidak punya kesempatan untuk melarikan diri.

Chimera itu berhasil membuka jalan dan menerjang kearahku.
Baik, sakitnya pasti hanya sebentar saja,
Tidak apa apa, Ari, setelah ini kau tidak akan merasakan apa apa lagi...

Ryo bodoh percaya pada mimpi... dan akupun akan menjadi bodoh jika percaya padanya.
Terlalu naif berpegang pada sesuatu seperti mimpi dan harapan didunia ini, sementara kenyataan jauh lebih pahit.
Apalagi... sekarang sudah tidak ada lagi yang bisa kulakukan.
Aku sendirian, bisa apa?
Aku menutup mataku.
Akhir yang buruk atau baik, aku tidak peduli.

Terdengar bunyi ledakan, Spontan aku membuka mata,
sebelum makhluk itu sempat menyentuhku Otaknya sudah berhamburan terkena tembakan anggota Paladin dari atas heli.
Pasukan bersenjata dengan sigap menembaki para Undead kelaparan itu.
Mataku terbelalak.

Paladin telah datang,
Mustahil... Ryo berhasil.

Dalam sekejap, disekelilingku telah dipenuhi para prajurit, bertarung sambil menyelamatkan, melindungi dan bertempur.
Mereka berusaha keras menunaikan tugasnya bahkan meskipun sesuatu yang mati matian mereka perjuangkan sama sekali tidak mereka kenal.
Sensasi hangat dibahuku menyadarkanku, Aku menoleh kesamping, Pastor tua berwajah ramah disampingku tersenyum penuh arti sambil menepuk bahuku.

Ketulusannya telah membuktikan keyakinannya.
Ia mempercayai Ryo.
Yang bahkan aku saja sebagai sahabat, Tidak memiliki keyakinan apapun lagi…

Pasukan Paladin membuat jalan untuk dilalui agar para survivor bisa keluar dari Stephansdom yang hanya tinggal puing puing ini.

“Tuan Aryanov, Anda tidak apa apa?” Tanya salah seorang prajurit padaku,
Aku setengah linglung setengah mengangguk,
Kemudian Prajurit itu menawarkan pada pendeta disampingku, “Cepatlah jalan, Father, Kami akan melindungi kalian,”

Tetapi Father Joseph malah mengangsurkan anak anak yang sedari tadi terus bersembunyi dibelakang punggungnya, “Bawalah mereka juga,” Pintanya,

“Hanya satu orang dewasa yang dituntun, Bapa, Atau dua tiga anak anak, Tidak bisa melindungi kalian sekaligus…” Keluh prajurit itu.

“Kalau begitu, Bawalah mereka lebih dahulu, Aku tidak akan pergi sebelum semua jemaatku naik,”

Prajurit itu mengangguk menuruti kata kata Pendeta tua dihadapannya.
Aku hanya mendengarkan percakapan mereka setengah setengah.
Mataku mencari cari.

Bulu bulu burung berwarna hitam berjatuhan,
Aku menengadah keatas langit, masih agak pening,
Sayap… Hitam…

Perasaanku benar benar tidak enak sekarang,
Aku tidak melihat Ryo dimanapun.

Aku mencari dan tetap tidak bisa menemukannya.


+++
 
Last edited:
Ari. (Lanjutan)

Itu tidak mungkin.
Ia berjanji bukan? Ya, ia berjanji akan kembali.
Jangan membuat janji yang tidak bisa kau tepati, bodoh!

Itu tidak mungkin, Ari.
Semua yang kau harapkan kembali sudah lenyap.
Bahkan sahabatmu sudah mati.

Tidak... Dia tidak boleh mati... bodoh... tidak boleh mati.
Seluruh tubuhku gemetar memikirkan kemungkinan terburuk.

“Gabriel! Awas!”
Aku tidak melihat lagi, Rasanya begitu cepat, Aku hanya merasakan dorongan begitu kuat membuatku terjerembab jatuh.
Sakit… Tapi tidak terlalu kurasakan, Susah payah aku bangun, Membalikkan badan untuk melihat apa sebenarnya yang terjadi dibelakangku.

Yang ada hanya Undead.
Gagak besar… Aku melihat ia menancapkan paruhnya pada sesuatu yang lemah dan ringkih,
Sesuatu yang sekejap tadi melindungiku dari serangan yang nyaris saja merenggut nyawaku,
Darah dengan segera merembes keluar membasahi lantai batu.

Father Joseph jatuh tepat didepan mataku.

+++
 
Huft, Apdet kedua malam ini~
Aku lumayan pengen nangis pada saat bikin cerita masa lalu Ryo,
Disini aku ingin lebih menekankan kondisi psikologis para prajurit Paladin, dimana mereka tidak hanya harus bisa bertempur melindungi sesuatu yang bebannya melebihi apa yang bisa mereka tanggung,
Tapi juga terkadang mereka harus menerima jika apa apa yang pernah mereka cintai dan hilang... kembali lagi dalam bentuk sesuatu yang harus mereka hancurkan.
Dengan cara terburuk yang bisa kau bayangkan.

Siapapun pasti berat menahan beban kehilangan, apalagi didunia mereka dimana harapan nampaknya menjadi sesuatu yang sekilas amat sangat mustahil.
Apalagi harus mengalami untuk kedua kalinya, ditangan sendiri...

Di bab ini aku memang sangat 'sukses' menghancurkan imej Paladin yang kelihatannya selalu bisa membantai monster dengan tangan 'dingin' tanpa merasakan apapun.
Ini mengingatkanku pada sebuah film Zombie yang pernah kutonton, ada quote begini, "Jika didepanmu berdiri seorang gadis kecil tanpa daya, tegakah kau membunuhnya demi menyelamatkan nyawamu sendiri...?"

Ini bukan soal berani atau tidak, ini lebih ke efek psikologisnya saja, setiap orang pasti punya sesuatu yang sangat berharga baginya.
Begitulah, kalau aku harus mencincang anak2ku untuk menyelamatkan hidupku sendiri, whew, aku berpikir 'lebih baik aku mati saja'. LOL
Itu hanya sudut pandangku, >w<;

Yahh, Paladin juga manusia,
Dan cerita inipun adalah sebuah tragedi, aku takkan pernah mengubahnya, *RatuTragediKauDai*
Aku bertanya pada adikku sendiri dan dia menjawab : "Aku akan bunuh diri,"
Aku bertanya pada Tasuku, dan jawabannya tidak jauh beda dengan karakternya di Novel, "Aku akan jadi Undead juga, dan semua orang jadi Undead juga, Soalnya bodoh kalau semua jadi Undead dan hanya aku yang tidak, LOL" *WOYWOYWOY

Kutanya Ibuku, "Mah, kalau mamah harus membunuhku supaya aku tidak memakan mamah gimana? Bisakah mamah membunuhku?"

Tekanan darah ibuku langsung naik, SUPER LOL.

Selain itu di bab ini aku ingin 'sedikit' menunjukkan kemajuan Tasuku beserta hint proyek seperti apa kiranya yang sebenarnya ia buat, *Clue nya ada di omake ini, hihihi*
Hmmm, bentar lagi, sabar, ^^/
Aku masih akan terus meng-update cerita ini kok, Tunggulah ya,

Btw, sekarang giliranmu, Seandainya kau, hidup didunia mereka, merasakan apa yang mereka alami, bagaimana? ;)






Daina Amarea Winata.

 
Ryo Kisaragi.


Terakhir kali aku terbangun dalam keadaan sekarat begini, adalah hari ketika aku melihat punggung ayahku lagi…

Ya, pada hari itu yang menyelamatkanku adalah ayah…
Berkali kali, ayah…

Tapi hari ini, tidak ada ayah yang senantiasa menjaga anaknya,
Aku tidak mungkin terbangun lagi seperti dulu.
Aku selama ini selalu selamat dengan cara ajaib entah bagaimana, aku mulai merasa congkak sebagai pria beruntung.
Aku ragu apakah keberuntungan tersebut masih menyertaiku pada saat aku sendirilah yang justru mengundang kesialan untuk datang.

Suara ledakan keras menulikan indera pendengaranku, dalam sekejap aku tidak dapat merasakan apapun lagi,


'Jangan membuat janji yang tak bisa kau tepati, bodoh...!'

Suara siapa itu...?

Cemas, aku membuka mataku.


+++


Putih... semua yang kulihat disekelilingku berwarna putih,
Aku merasa berjalan jalan tanpa arah dan tujuan.

"Datang juga, kau, si bodoh..."

Aku menoleh kebelakang, terkejut mendapati sosok kurus berambut silver dihadapanku, Ia mengenakan setelan putih, beda sekali dengan ia yang biasanya berpakaian serba hitam, Tampaknya ia sedang membaca kitab sucinya. "Yudas...?" Aku terbelalak kaget.

Yudas, masih berlagak tidak melihatku, berbicara sambil membalik balik halaman bukunya.

"Kau... Apa aku sudah mati...?" Tanyaku, melihat kearah tanganku sendiri,
Yudas terkekeh, Dengan sebelah tangan ia mengibas ngibas kesembarangan arah, membuat gerakan seperti mengusir lalat.

"Rasanya aku mendengar seseorang yang bicara disini," Katanya menyebalkan.
Aku berteriak sambil menunjuknya.

"Dasar pastur sial!" Makiku, "Kau sudah mati tetap saja menyebalkan!"

"Jangan menjahilinya, Yudas!" Berikutnya aku kembali mendengar suara yang kukenali. "Membuat orang lain kesal itu kebiasaan yang buruk sekali."

"Eva," Ujarku,
Betapa kagetnya aku, menyadari dibalik siapa Eva bersembunyi sekarang.
Sosok berperawakan tinggi besar yang kukenali sebagai
"Alexander Boranichov..."

Alexander tersenyum arif kepadaku, "Apa sekarang kau sudah berani memanggilku hanya dengan nama saja?"

Aku terkesiap, "Sir...!" Ralatku cepat, "Saya minta maaf!"

Betapa leganya aku melihat Alexander tertawa lepas.
"Apa kabarmu...? Kurasa, jika kau berakhir disini, berarti ada sesuatu yang tidak begitu menyenangkan terjadi, hm?"

Menunduk, aku menyembunyikan wajahku, andaikan aku bisa menghilang saja saat ini, aku malu dan sedih sekali mengakuinya.

"Yah... sejujurnya..." Aku mengepalkan tangan, "Ada banyak hal yang tak sempat kulakukan..."

"Urusanmu mau masuk neraka atau apa, tapi kau tidak bisa mati begitu saja."

Nyaris tersedak udara yang memutar diperutku, mendengar sindiran Yudas, "Kau...Tahu...?"

Yudas mengangkat bahunya, "Kami selalu mengawasimu disini."

"Kenapa...? Kau tampak sedih," Eva tersenyum lembut, aku belum pernah melihat mata Evangelina lebih hidup dari sekarang sebelumnya, betapa aku merasakan energi hangat mengalir dipembuluh darahku saat aku bertatapan langsung dengan orbs keperakan yang cantik itu.

"Kau bisa melihatku?" tanyaku, terpesona.

"Kita semua bisa disini," Eva mengerling, "Kematian adalah pembebasan, jika kau mau memahami artinya,"

"Tapi bagi sebagian orang, kematian juga merupakan salah satu jalan untuk melarikan diri," Yudas menyela.

Aku...? Melarikan diri dari apa?

Yudas menggerutu pelan seakan bisa melihat kedalam pikiranku,

"Banyak... Dari dunia yang kejam, dari beban yang menghimpit, juga dari rasa bersalahmu..."

...Rasa bersalah...

"Pulanglah," Alexander berujar. "Masih ada janji yang harus kau tepati."

Janji...? Aku terperangah.

"Ini adalah perintahku yang terakhir," Saat itu aku bersedia bersumpah bahwa aku melihat senyuman Alexander nampak begitu sedih.

Rasa bersalahku.

"Jangan membuat janji yang tak bisa kau tepati!"
Suara itu lagi...

Ari...?

Aku tersenyum mengejek.
Bajingan cengeng sok kuat itu...
Matipun aku takkan tenang karena meninggalkannya sendirian disana.
Sudah kuduga, dia takkan bisa apa apa tanpa aku.

"Sudah lihat?" Yudas melirikku jijik, "Pacarmu membutuhkanmu,"

"Apa aku bebas menghajarmu sampai mati sekarang...? Kau kan' sudah mati, sah sah saja kan?" Balasku.

"Coba saja," Yudas mengacungkan jari tengahnya padaku dengan ekspresi menghina, "Tapi itu harus menunggu,"

Meskipun demikian kenapa aku merasa rindu…?
Samar samar aku mendengar suara lain, bukan suara...

Sebuah Doa.

'Kembalilah dengan selamat...'

Siapa itu...? siapa yang begitu mengharapkan aku hidup melebihi Ari sekalipun...?
Sampai sampai suaranya begitu menyayat hatiku.
Seseorang sedang berdoa untuk kehidupan serta keselamatanku jauh disana...
Siapa?

Aku sudah akan membuka mulutku untuk bertanya,
tetapi teman temanku sudah melangkah pergi kearah sebuah cahaya menyilaukan yang nyaris menutupi pandanganku, menjauh dariku.

"Hei...! Kalian mau kemana?" Aku berteriak, "Masih ada hal yang..."

"Mikia dan Ari...," Aku masih bisa mendengar Alexander berkata, "Kutitipkan padamu."

Mikia...?
Mikia, Ya, Mikia...
Aku berpikir sejenak dalam diam, otakku berusaha keras mencerna kata kata penuh misteri.
Dalam sekejab aku telah mendapat jawaban.
Aku tertawa setengah takjub, "Sebagai gantinya, lain kali boleh aku memanggilmu dengan nama saja, Sir?"

Alexander Boranitchov melambai kebelakang, terus berjalan diikuti Yudas dan Eva.

"Ya, Lain kali, saat kita melakukan reuni kedua ditempat ini..."

++++
 
Last edited:
Ngomong ngomong, saat aku mengerjakan bagian ini, aku tiba tiba bahagia(?)
Aku kangen Yudas dkk sih, Nyahhahahah, Kalau dipikir pikir lagi, kenapa aku membuat begitu banyak orang mati dalam net-novel ini, yah =x=;;;
*Jedot2in kepala dipintu

Oh, iya, Sambil membuat bagian yang sekarang sedang kalian baca,
Aku mendengarkan lagu ini ^^
Kagayakeru sekai by matenrou opera.



[ame="http://www.youtube.com/watch?v=MyinfBSgZmc"]http://www.youtube.com/watch?v=MyinfBSgZmc[/ame]

Lagunya bagus banget, aku nggak sempat nyari translatenya *SokSibukDai *BilangAjaMales
Tapi aku suka musiknya, sangat pas dengan apa yg akan kutulis. ^^
Kuharap kalian sangat menyukainya juga, hehehe,

Pada cemas kok' Tasuku nggak muncul2?
Kabar baik(?) Mulai sekarang peran Tasuku kita ganti sajah dengan VJ DANIEL *WhyVjDanielBtw* Mwaahahahahaha *Ditabok
Bercanda, kok, bercanda =w=;;
Hwhwhwh, yg penasaran sama keadaan Tasuku dan Daina, Sabar saja yah, Tasukunya disimpen dulu *Diacak2FansTasuku

Habis ini masih akan ada apdet lagi kok, =w=d
Tunggulah, aku akan berjuang! >,<d


Daina Amare.

 
Mikia


___________________________________
__________________________


“Ryo…! Ryo…!” Teriakku dalam kepanikan,
Menekan nekan dada lelaki yang saat ini terbujur kaku dihadapanku, melakukan apa saja yang kubisa untuk menyelamatkannya.
Sial, ia menghirup terlalu banyak asap dari ledakan itu...
Aku tidak tahu apa yang terjadi,

Aku mencari cari Ryo, tadinya kukira dia sedang bertarung dengan chimera atau apa…
Tidak boleh ikut campur, kan? Jika ini adalah mangsanya, itu kode etik kami.
Tapi kusadari dari kejauhan, bahwa ia sedang mengaktifkan sistem peledak dilengannya,
Aku berlari menghampirinya seperti orang kesetanan, merasakan firasat teramat buruk, lalu melompat kedalam bola cahaya raksasa itu bersamanya... menarik lengan artifisial itu tapi Chimera itu memeganginya sangat kuat,
Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi setelahnya, terasa seperti ada kekuatan lain membantu kami keluar dari sana, tetapi yang paling segar dalam ingatanku adalah saat kami berdua ikut terhempas karena ledakan.
ketakutanku tidak terperikan.

Begitu aku tersadar, kami berdua telah berada didalam gedung tua, saat aku melihat keluar kaca jendela yang berdebu aku yakin bahwa aku masih disekitar tempat dimana aku dan Ryo nyaris kehilangan nyawa,

Ryo tidak sadarkan diri sedari tadi,
hanya aku sendiri, ketakutan dalam kegilaan akan perasaan kehilangan yang hebat.
Apa dan bagaimana kami bisa berada disini... aku... aku...
Kepalaku teramat sakit untuk mengingat detik detik yang nyaris merenggut selembar jiwaku.


Kusentuh pergelangan tangannya, mencoba mencari denyut halus demi harapanku sendiri.
Tidak ada satupun, baik itu kehangatan atau daya hidup yang menyelamatkan.
Apa tidak tersampaikan...? Suaraku memang tidak tersampaikan, tidak pernah tersampaikan kepadanya,
Bahkan selama 5 tahun ini, tidak sekalipun.
Aku merunduk, menyentuh dadanya, mendengarkan detak jantungnya, tidak ada bunyi apapun


++++

Kau sudah berjanji, kan? Bangunlah, kumohon, jawablah aku...

Bagaimana aku bisa mengatakannya padamu, jika seperti ini?
Bagaimana aku bisa mengatakan perasaanku yang sesungguhnya jika kau bahkan tidak memberikanku kesempatan?


++++
 
Hai! Ketemu lagi sama penulis kabur kaburan Daina Amare ini! ^o^
Maaf menunggu lama, sebagai gantinya aku membawakan bab super keren untuk semuanya, hohoho, sebenarnya aku berencana mempublish ini sejak 2 hari lalu, apa daya internet mengajakku berantem, =w="
Kalo ingin marah, marahilah internet(?)

Aaaahhh Aku sangat menikmati sampai sampai ingin melayang rasanya,
Lagu yang kudengarkan saat membuat bagian ini?
Banyak, tapi salah satunya adalah ini :


[ame="http://www.youtube.com/watch?v=YsWacoHiubs"]Hero/Period[/ame]

Bagus ya? =x=
Komen lebih banyak mengenai behind the scene akan kuberikan setelah aku selesai mengapdet, enjoy!
 
Flashback

_________________________
___________________




“Kau kisaragi Ryo kan?”

Laki laki berambut warna padi itu menoleh kearahku.
Dibelakangnya, seorang laki laki berambut hitam terus merengut tanpa senyum,
Mereka kelihatan akrab sekali.

“Ya…? Ada apa denganku…?” Tanya nya dengan tampang bego sambil garuk garuk kepala.
Kelihatan sekali dia gugup menghadapiku.

“Peringkat satu dalam ujian fisik,” Cemoohku, “Tapi jangan harap kali ini kau akan seberuntung itu,”

Untuk sesaat pemuda itu terdiam, tangannya masih berada dibelakang kepala,
Mulutnya ternganga, seperti tidak mengerti apa yang sedang kubicarakan.

“Apa itu tantangan?” Si muram dibelakangnya mencelutuk, membuat si mata hazel tersentak kaget.

“Boleh dibilang begitu,” Jawabku mantap. Aku tahu dia, peringkat satu ujian tertulis, Aryanov Gabriel,
Otaknya pintar dan kelihatannya kuat juga, tapi aku tidak mengincarnya, aku bukan tipe strategi seperti dia.
Yang paling menggangguku adalah… si bocah Kisaragi ini,
aku kesal sekali, sebab ia mengalahkanku.
Ia tipe penghancur sama sepertiku.
Tapi gerakannya jauh lebih ringan dan cepat.
Ini menyebalkan.
Aku tidak suka kalah, apalagi oleh seorang laki laki.
Apa yang harus kukatakan pada kakekku nanti? Kemana akan kutaruh mukaku setelah mati matian menentang kakekku yang selalu melarangku untuk menjadi prajurit Paladin?
Aku menggertakkan gigiku karena sebal.

“Aah…” Si hazel tampak berpikir sejenak, Lalu ia tersenyum lemah, menangkupkan kedua tangannya didepan dada. “Aku minta maaf!” Serunya, menundukkan kepala.

Aku membelalakkan mata.

“Apapun yang terjadi, terjadilah, itu juga pastilah hanya karena kebetulan saja, jadi maafkan aku, nona!” Ia menundukkan kepalanya dengan hormat,

A...Apa apaan!
Bukankah aku sudah merahasiakan jati diriku sebagai cucu pimpinan tertinggi Paladin?
Sikap sok menghormat seperti ini… aku muak sekali,
Dia pastilah sama saja seperti mereka para penjilat yang memperlakukanku seperti tuan puteri!

“Kalau selalu menundukkan kepala kepada semua orang, kau akan terus direndahkan,” Si muram berambut hitam berkicau lagi.
Membuatku kesal, tapi pada saat bersamaan, lega.
Berarti si hazel tidak sok ramah padaku karena tahu aku cucu pemimpin Paladin...

Ia tidak tersenyum sedikitpun, aku heran kenapa si Hazel sangat betah bersama sama dengannya kemana mana.

“Ar,” Bujuk si Hazel. “Jangan jahat begitu, Dia perempuan,”

“Perempuan atau laki laki sama saja, Ini ujian ketiga, satu satunya jalan untuk menjadi Guardian adalah lolos disini dan menuju babak terakhir, latihan atau teori tidak berguna disini, hanya beberapa orang yang terpilih sebagai prajurit Paladin, kalau tidak bersungguh sungguh, sok mengalah disini kau bakal mati,” Si muram berkata tanpa perasaan.

“Maksudmu aku harus mengambil kesempatan bahkan dari makhluk yang lemah?” si Hazel mengerinyitkan alisnya.

“Dia sainganmu, Seriuslah, Ryo, Jangan mengalah,”

“Tapi dia perempuan! Kau kejam…”

Si muram berkata sarkastik, “Ya, perempuan, membiarkannya merebut posisimu sepertinya ide bagus.”

“Maaf Ari, logikamu tidak masuk kedalam akal sehatku,”

“Akal sehatmu,” Si muram mendengus. “Orang tolol sepertimu masih memilikinya?”

“Sepertinya kalian lupa aku masih ada disini,” Ujarku berdeham, sambil melotot kearah si Hazel,
Yang nampak salah tingkah.
Sial, mereka berdebat seakan tidak sadar bahwa aku masih ada disini.
Orang orang sialan seperti ini…
Aku tidak akan kalah!

“Ryo Kisaragi, kau tahu? Aku membencimu,” Aku menunjuk kearahnya. “Tenang saja, kau tidak perlu mengalah, karena aku akan mengalahkanmu, terima kasih atas belas kasihanmu pada makhluk yang lemah ini, lihat saja, yang akan diterima sebagai Guardian, adalah aku.”
Ryo terdiam, aku membalikkan badanku, melangkah menjauhinya.
Masih terdengar samar samar keluhannya dibelakangku.

“Kenapa dia marah sekali padaku, sih…?” Ia bertanya pada si muram, yang lagi lagi dijawab ‘Karena kau tolol’ oleh temannya yang bermulut kejam itu.

-
-
-
-

Chimera itu menyerang dalam jumlah banyak.
Kepala mereka yang hanya tengkoraknya saja itu jelek sekali, mengincar kami para calon Guardian.

Dengan gesit aku berlari kearah mereka, aku tipe destructor kan, tidak ada masalah walau maju langsung!
Sesuai perkiraanku, Undead itu lemah,Aku memegang bazooka ku dan menghantamkannya kearah kaki mereka, menghentikan gerakan mereka seketika.
Si Hazel tertinggal dibelakangku, dia juga tipe tukang rusak sama sepertiku, Ia berdecak kagum, Aku berdiri tegak, bersandar pada benda berat yang menjadi senjataku, menunggu,
Sesuai perkiraan, makhluk makhluk tanpa kecerdasan itu langsung berbondong bondong menuju kearahku.

“Butuh bantuan?” Teriak si Hazel kearahku, ia sendiri sibuk melompat lompat dengan ringannya dari satu pundak chimera kepundak lainnya.
Menghabisi mereka satu persatu dengan tembakan beruntun bowgun yang terpasang dilengannya.
Walau kelihatannya ia hanya bermain main saja,
Tapi kebanyakan Undead yang ia bunuh berhasil dimusnahkan dalam satu serangan fatal.
Ia ahli mengincar titik vital dan ditambah kecepatannya…
Aku semakin kesal.

“Khawatirkan dirimu sendiri,” si muram menambahkan, sebentar saja ia sudah duduk diatas setumpukan jasad Undead yang terpotong potong, merokok.
Pedangnya tertancap didekatnya, pada tubuh salah satu Undead yang menjadi mangsanya.

“Graaahh…!”

Belum sempat sosok menyeramkan itu meraih tubuh si muram kedalam pagutannya, tinju lelaki itu sudah terlebih dahulu bersarang diwajahnya.
Aryanov Gabriel dengan leluasa menarik mayat itu kearahnya,
“Tidak pernah dengar kalau orang merokok tidak suka diganggu, hah?” Ia menggosokkan puntung rokoknya pada dahi sang mayat yang menjerit marah.
Menyiksa sangat parah sebelum akhirnya meraih pedangnya dan memenggal kepala makhluk yang telah membusuk itu.

Kenapa harus dengan orang seperti mereka?!
Aku sudah berlatih keras selama ini, ini kesempatanku yang pertama sekaligus terakhir,
Aku harus bisa membuktikan pada kakek bahwa aku mampu!
Orang orang tolol itu yang menganggap semua ini hanya main main dan melakukannya dengan santai…
Ini tidak dapat diterima!
Sekejap saja, kerumunan makhluk raksasa telah tercipta disekelilingku.
Mengerubungiku dalam sebuah lingkaran.

Aku merunduk, memegangi Bazooka ditanganku, aku bahkan belum menembak sekalipun.
Bergerak berputar seperti kincir angin,
Membuat apapun yang berada disekitarku terpental.
Aku terus melakukannya hingga Undead disekitarku habis tak bersisa.
Butiran keringat jatuh membasahi dahiku.
Aku tersenyum pada kamera pengawas disekeliling kami, yang sedang mengawasi, memantau apa yang saat ini sedang terjadi di medan pengujian.
Sekaligus menilai, siapa kiranya yang berhasil lolos untuk menduduki kursi seorang Guardian.
Persyaratannya mudah, sampai tahap ini kurasa, tidak ada yang tahu seperti apa ujian level 4, jarang ada yang keluar dari sana hidup hidup, atau bahkan, yang lulus ujian level 3 pun jarang ada yang bersedia mengambil ujian terakhir yang konon sangat menyakitkan itu.
Worth it, melalui seleksi yang sakit itu, pemenangnya menjadi salah satu Guardian tentu saja, kasta tertinggi dalam silsilah ksatria Paladin,
tapi, harga yang dibayar amat sangat mahal, kau mungkin saja kehilangan nyawamu sebelum mencapai tujuan.
Karenanya banyak organisasi hak asasi manusia yang mengecam cara seleksi seperti ini.
Kami seolah gladiator yang sedang menyabung nyawa.

Meskipun tentu saja jumlah yang setuju akan cara ini lebih banyak lagi,
Tidak ada pilihan, manusia berjuang demi ras mereka sendiri,
Saat ini belum ditemukan obat untuk virus itu,
Kami tidak ingin punah.
Harus ada yang melakukannya,
Dan tidak ada cara yang lebih efisien untuk menemukan bakat tempur orang lain daripada ini, dan konon seseorang akan mengeluarkan kemampuan terbaiknya saat ia sudah berada diujung ajal.

Aku?
Menurutku semua pekerjaan selalu ada resikonya,
tukang kayu punya resiko kena paku lalu mati gara gara tetanus,
Ahli terjun payung bisa kecelakaan juga hanya karena salah mendarat dan akhirnya mati mengenaskan dengan isi kepala berhamburan,
Terus kenapa?

Meskipun dibilang ujian ketiga mudah, tetap saja mengalami sendiri itu beda,
Bayangkan,
Kami dilepas dalam medan pertempuran yang diisi dengan Undead,
Ya, Undead yang benar benar Undead.
Didalam hutan lebat yang dikelilingi dinding nano tak kasat mata teknologi tercanggih milik Paladin.
Tidak ada seorangpun yang dapat melarikan diri.
4 hari, itulah waktu yang telah ditentukan.
Kita akan lihat siapa yang bisa bertahan tanpa terluka sedikitpun.

Kuperhatikan peserta lain sepertinya agak kerepotan.
Aku menyunggingkan senyum, si Hazel berdecak kagum melihatku, Tentu saja. Bertarung dengan membawa senjata berat dan masih tetap cepat, adalah kebanggaanku.

“Wow, kau sebenarnya sangat bagus,”

“Aku tidak butuh komentarmu,” Dengan sekali ledakan, aku menembakkan bazooka ku kearah monster dihadapan si hazel, lelaki itu melompat kebelakang, menghindari ledakan.

“Hey, hati hati dengan itu,” Katanya terengah, tembakanku nyaris saja mengenainya.

“Kau sengaja merebut mangsanya,” tegur si suram, “Ingin memprovokasi kami?”

“Ari, sudahlah,” tegur sahabatnya, “Siapa cepat dia dapat,” ia berpaling kearahku, “Benar, kan, nona.”

“Kau akan menyesal mengatakan itu,” jawabku.
Dalam sekejap peluruku menghantam undead disekitar mereka lagi, si suram sudah memasang tampang kesal, anehnya ia tidak juga memulai perkelahian.
Walau suram, dia lebih tenang dari yang kukira, mungkin juga dia tidak hanya suram, tapi juga berhati dingin sedingin wajahnya.
Atau malah lebih parah lagi, mungkin dia seorang brengsek tak berhati.

“Kiikkk!”

Oh sial, aku menengadah keatas, tapi terlambat.

Sebatang panah besi menancap pada tengkorak kepala Ghoul itu.
Membuat sebagian otak dan darahnya berceceran mengenaiku.
Aku masih belum bisa berkata apa apa, terkaget kaget karena serangan tiba tiba barusan.

“Kau tidak apa…?”
Mataku bertemu cahaya hazel itu, sesaat terpesona, seperti tersedot kedalamnya.
Ia menyentuh bahuku, spontan, aku menyentakkan diri.

“Ha..! Apa apaan kau!”

Lelaki itu nampak kaget aku menepiskannya tiba tiba.

“Ryo sudah menolongmu,” lelaki suram itu menarik sahabatnya, “Susah ya bilang terima kasih?”
Si hazel memberikan tatapan protes pada si suram, tatapan Dia-hanya-wanita itu lagi.
Aku sangat membencinya.

“Aku tidak butuh bantuanmu, aku bisa mengurus diriku sendiri,” jawabku kesal.

“Bagus, jaga baik baik otakmu, jangan sampai diterkam ghoul lagi seperti tadi,”

Aku berdecak sebal.
Aku akan mencari tempat berburu lain yang lebih leluasa,
Berdekatan dengan orang orang bodoh ini membuatku stress.
Aku adalah cucu Alexander Boranitchov, pasti aku lebih kuat dari mereka.
Akan kubuktikan.


++++
 
Flashback (Lanjutan)


____________________________________
______________________________



Kurentangkan tanganku, menyentuh penghalang tak terlihat disekelilingku,
Dindingnya masih ada.
Menghela nafas, aku berjalan jalan seraya melirik jam tangan.
15 menit lagi,
Aku harus memastikan benda ini benar benar terbuka saat melewatinya kalau tidak ingin separuh tubuhku tertinggal dilain tempat,
lebih kuat dari 7 lapis baja, terbuat dari rangkaian teknologi nano yang hanya memungkinkan oksigen untuk masuk, tak ada satu makhluk hiduppun yang bisa lolos,
Pertahanan semacam ini sudah sangat banyak digunakan untuk melindungi kota kota besar dari ancaman invasi, kami menyebutnya system pelindung.
Paladin mengembangkan dan menggunakan yang seperti ini untuk arena ujian dan pelatihan prajurit baru mereka.

14 menit berlalu, bulan sudah muncul secara penuh, aku meraih ponsel didalam saku, “Monroe, sudah?” Tanyaku,

“Ya, Mikia, semenit lagi terbuka,” Yang menjawab adalah pria berkulit hitam anggota Guardian, kepala teknologi dan pembuatan senjata Paladin, dia juga temanku, Monroe,

Aku tersenyum kepada bayangan visualisasi Monroe yang keluar dari layar ponselku.

“Kalau melihat senyumanmu, sepertinya berjalan sangat lancar, nih”

“Kakek akan sangat terkejut,” Jawabku berahasia

“Adakah 200 ekor?” Monroe tertawa.

“Lebih.”

Sejujurnya, bisa dibilang aku sangat kelelahan, beberapa hari ini aku bergerak tanpa istirahat sedikitpun, juga tanpa tidur.
Monster monster itu, mereka tidak pernah membiarkanku istirahat sedetikpun.

“Tiga, Dua, Satu,” Hitungku, bersiap menyeberang.

Raungan yang menyakitkan terdengar dari arah belakangku, refleks aku berbalik,
Memukulkan Bazooka milikku kearah belakang.
Menghancurkan tengkorak makhluk entah apapun itu yang berusaha menyerangku.

“Ap…” Aku berjalan mundur, setengah sempoyongan karena rasa lelah.

“Miki… Mikia, keluar dari sana, cepat!” Suara Monroe menyadarkanku dari keterkejutan,
Mereka ada banyak sekali!
Mulutku ternganga, dari segala penjuru, Chimera berbadan besar menyerupai tubuh manusia berotot bermunculan, kepala mereka seperti banteng dengan mata semerah darah,
Masing masing memegang senjata berbeda beda, tombak, kapak besar, gada raksasa, semuanya berlumuran darah.

Dug!
Punggungku terantuk sesuatu yang keras, meskipun aku melihat tidak ada apapun dihadapanku, kenyataannya sesuatu masih ada, menghalangiku untuk lewat.

“Ha…” Berkeringat dingin, aku mencoba mendobrak pertahanan itu.
Mengetuk, mencakar, mendorongnya dengan tubuhku sendiri, Sia sia saja.
Tidak mungkin! Pasti ada kesalahan!

Aku ingin menanyai Monroe tetapi kelihatannya tidak sempat lagi, kapak besar mengayun kearah kepalaku.

Merunduk, aku menghindarinya.

“Binatang sialan,” Umpatku, Menembakkan senjataku dan berhasil memukulnya mundur.
Dari sisi lain datang serangan yang mengincar kakiku.
Aku melompat secara spontan.

Kenapa Bazooka ini rasanya berat sekali?

Terkepung, tidak punya satu jalanpun untuk lari, Aku menggunakan Bazooka ku sebagai pertahanan.

“Kau baik baik saja?” Didepanku, si mata hazel muncul, ia juga tampak sama kacaunya,
Terengah nyaris kehabisan nafas. “Kelihatannya semua dapat masalah yang sama, eh?”

“Mana peserta yang lain?” cecarku,

“Aku tak menemukan seorangpun,” tegasnya mengangkat bahu,
Aku mengeluh tertahan, tak ada yang ingin memikirkan sudah jadi apa mereka sekarang.
“Sesuatu telah terjadi,”

“Oh yeah,” desisku menanggapi, menyadari bahwa ada hal yang tidak beres terjadi amat sangat membantu sekali.

“Tetap dibelakangku,” Si hazel memegangi tanganku, menarikku kebelakangnya, Ia mengarahkan panahnya lurus kedepan, sejurus kemudian, yang kulihat hanyalah Undead yang tumbang satu persatu, sementara yang lain meraung buas, tapi makhluk tanpa kecerdasan itu harus bersusah payah melewati bangkai mati kawanannya yang terkapar bertumpukan didepan mereka.

“Wow, kau benar, Ari!” Pekik si Hazel kesenangan, aku menoleh kesamping, Si suram sudah berdiri didekat kami, berbeda dengan temannya yang nampak acak acakan, meski juga terlihat lelah tapi dia tidak sekacau itu.
“Cara ini akan berhasil!”

“Itu sudah cukup, Ryo, ini akan memperlambat mereka,” Si suram yang dipanggil ‘Ari’ barusan mengenakan sarung tangannya, Ia mencabut pedangnya dengan gerakan anggun.

Gerakannya zig zag dan ia menyayat mereka dengan sangat brutal, sekejap saja darah dan serpihan daging bertebaran kemana mana seperti hujan, Aku kebingungan menggolongkan orang ini sebagai manusia ataukah Undead, ia tampak sama kejamnya.

Anehnya, sesuatu yang tampak seperti pembunuhan acak dimataku berubah menjadi sebuah strategi brilian karena bau darah yang menguar membingungkan Undead dihadapannya,
Membuatnya semakin mudah melakukan tugasnya, Sekejap saja, Puluhan Chimera habis tak bersisa.

Si suram mengibaskan pedangnya, darah kehitaman terpercik diatas rerumputan,“Selesai,” katanya memberitahu si hazel,

“Kenapa kita harus menolongnya?” Si suram menunjuk kearahku, “Dia kan’ menyebalkan, tidak tahu terima kasih, pula,”

“Jangan begitu, Ari,” Si Hazel menghibur seraya menepuk nepuk bahu temannya, “Dia kan’ wanita, lelaki macam apa yang membiarkan wanita dalam bahaya sendirian?”
“Dia bukan wanita, dia itu batu,” komentar si suram yang memicu emosiku.

“Sekali lagi kau mengatakan aku wanita batu, aku akan menembakmu.”

“Oh? Silakan saja kalau bisa, aku mau lihat jadi apa kau kalau saja kami tidak datang untuk menolongmu,”

“Yang datang kan’ kalian? Aku tidak pernah meminta pertolongan apapun.”

“Ssstt…!” Si Hazel menyela pertengkaranku dengan si suram –Sekarang jadi ‘si mulut pedas’-
Bunyi berkeresak terdengar dari semak semak didekat kami,
Aku menunggu dengan perasaan tegang.

“Tolong… Saya,”

Tidak ada satupun diantara kami yang berbicara,
Dua orang anak anak, tertatih tatih berjalan menuju kami, Usianya hanya kisaran 5 sampai 10 tahun, kelihatannya mereka berdua kakak beradik, si anak laki laki tampak menggenggam erat tangan adik perempuannya.
Aku hendak merangkul mereka, tapi si suram bermulut pedas menghalangiku.
“Terinfeksi, ” Ia menatap kearah anak anak itu, benar, mata mereka berwarna merah.
“Kalau dilihat dari keadaannya, sudah diatas 80%... mungkin kurang dari setengah hari lagi” Ia terus bicara seakan ia mengerti keadaan mereka dari sudut pandang medis.

“Kudengar Paladin mengumpulkan survivor dari berbagai Negara, tapi mereka yang kelihatannya sudah tidak dapat ditolong lagi dibuang kesini,” Si hazel menimpali, “Ternyata memang benar, Bagaimana menurutmu, Ar?”

“Well, kita tinggalkan mereka,”

“Tunggu!” Protesku tidak setuju, “Mereka hanya anak anak! Apa maksud kalian meninggalkan mereka disini…?!”

“Buang hatimu,” Si suram menatapku tajam, “Kalau lemah begini, kau takkan bisa jadi prajurit Paladin.”

“Aku yakin pasti ada cara untuk menolong mereka, Setidaknya… setidaknya… aku… aku bisa merawat mereka dulu…”

Merawat? Merawat katamu?” si suram berdecak kesal dengan pandangan menghina, “Rawat saja dirimu sendiri, saat ini kau lah yang paling pantas untuk dikhawatirkan!”

Aku akan membalas kata kata lelaki sok pintar itu namun lagi lagi temannya menengahi kami,

“Ari benar,” mata hazel yang setengah memohon itu meneduhkanku, “Sudah tidak ada harapan, semakin cepat kita pergi dari sini semakin baik, Tempat ini berbau darah menyengat sekali…”

Kutepis tangan lembut yang mencoba membimbingku,“Lepaskan! Aku akan menolong mereka sendirian, kalian tinggalkan saja aku kalau kalian keberatan,”
Kuhampiri kakak beradik yang sekarat itu, tapi saat aku sudah dekat sekali, sebuah bayangan secepat kilat melintas dihadapanku seperti angin ribut.

Memutuskan kepala anak laki laki dihadapanku.

Aku terperangah, seluruh denyut ditubuhku seakan membeku.

Beberapa meter dari tempatku berdiri, seekor Chimera, ya, Chimera, besar dengan tampilan paling Grotesque yang pernah kulihat memungut kepala bocah kecil itu dari tanah.
Tinggi, ia punya sepasang kaki selayaknya manusia normal tapi tubuh bagian atasnya… ada dua… ya, maksudku… benar benar ada dua.
Selayaknya kembar siam, saling membelakangi sehingga jika kau bertarung dengannya, mungkin kau akan sangat kerepotan dengan empat tangan dan kepala yang bisa melihat dan bisa mencabik sekaligus dari arah belakang juga.
Masing masing tangan memegang pedang yang mirip dengan scimitar milik Syeikh Ibrahim, tapi Scimitar ini memiliki cincin cincin kecil yang terpasang pada ujungnya sebagai hiasan, menimbulkan bunyi gemerincing ngeri saat ia menggerakkannya.
Matanya kecil seperti mata kadal, berwarna hitam dan dari jauh kelihatan seperti hanya setitik lubang hitam. tidak ada hidung ataupun lubang hidung, sebagai gantinya, rahang panjang dan mulut yang kuat dihiasi gigi gigi raksasa menakutkan menghiasi wajahnya, cocok dengan warna kulitnya yang berwarna biru mengilat bermandikan darah merah.

Bau busuk mayat yang keluar darinya bukan main.
Asap keluar dari celah celah rapat giginya.
Sesekali lidah panjang menjilat jilat keluar mulutnya mendesis seperti ular,

“Itu Chief…” Si Hazel berseru, “Sial, Undead sekuat itu ada disini…?”

Tubuhku gemetar,
Undead Chimera itu mengangkat kepala anak anak ditangannya, membuka mulut mengerikan itu dan mulai menggigit bagian batok kepala, melahap otak mangsanya dengan suara berdeguk nikmat.

Aku berteriak berang, Airmataku bercucuran, Ini seperti mimpi buruk…

Chief mendengar teriakanku dan menembakkan suara supersoniknya kearahku.

Si Hazel serta merta meraih tubuhku kedalam pelukannya, melompat menghindari serangan mematikan tersebut yang mengenai pepohonan dibelakangku hingga tumbang.

“R…Ryo…” Pertama kalinya aku memanggil namanya dan disertai nada paling menyedihkan yang pernah kudengar keluar dari mulutku sendiri. “Biarkan aku… aku akan menolongnya…” tanganku menggapai gapai,

Tapi sudah terlambat, Chief sekarang berdiri didepan anak perempuan itu, yang tengah menangisi tubuh tanpa kepala milik kakaknya,
Monster itu melihat mangsanya dengan kejam, Air liur bercampur cairan otak dan darah segar menetes dari mulutnya,
Tanpa ampun menarik balita itu hingga terhempas diatas tanah.

Waktu terasa berjalan sangat lambat.
Seandainya hidup adalah televisi dengan remote control sehingga aku dapat menekan tombol 'skip' pada saat itu juga...

Monster itu menindih tubuh mangsanya dibawahnya, mencekiknya,
Anak kecil itu menggelepar kesakitan seperti hewan yang sedang disembelih.lidahnya menjulur keluar, kehabisan nafas dan menderita. Tak ada belas kasihan, Undead itu menarik putus lidah mangsanya.
Darah segar menyembur diikuti gerakan lemah yang lambat laun terhenti dan tak terlihat lagi.
Bahkan binatang pun masih harus disembelih dengan memakai etika… .

“Sial…!” Lelaki bermata Hazel itu memalingkan wajahnya untuk menghindari pemandangan mengerikan, “Ar…?” Ia bertanya kepada si suram, yang sama mematungnya, tersihir oleh kengerian, membunuh Undead sepertinya lebih mudah baginya daripada melihat makhluk hidup yang masih memiliki kesadaran dicabik cabik didepan mata. “Ar…!” Desak si Hazel, seperti menunggu instruksi selanjutnya,

“Kita pergi, Ryo!” Perintah si suram akhirnya,

Aku berteriak teriak seperti orang gila dalam dekapan si Hazel, “Lepaskan aku! Aku akan bunuh makhluk itu! Lepaskan aku! Dia hanya anak anak… Dia hanya anak anak…!” Suaraku sama depresinya dengan tangisku yang seakan tidak mau berhenti.

Kedua pria itu terus lari, Tidak mau berhenti bahkan meskipun aku meminta mereka, menyumpah nyumpah agar mereka melepaskanku dan membiarkanku kembali ke ladang pembantaian tersebut.
Sampai akhirnya aku berhenti karena kelelahan yang sangat, Tidak tahu mau dibawa kemana.


++++
 
Back
Top