YUmee_miru
Well-known member
Flashback (Lanjutan) :
+++
Aku berjalan ditengah tengah pepohonan rimbun, mencari cari sesuatu,
Tanganku menyentuh pohon pinus raksasa, menengadah keatasnya.
“Disitu kau rupanya, kucing kecil.”
R’lyeh tersenyum kecut dari atas. “Bagaimana kau bisa menemukanku?”
“Seorang ksatria harus tahu dimana menemukan tuan puterinya sendiri, bukan?”
Aku duduk bersandar dibawah. “Sekarang turunlah, kau tidak tahu kalau orang rumah mencemaskanmu?”
R’lyeh membuang muka enggan.
“Hei…” Tegurnya.
“Hn?”
“Aku mau minta maaf…” Bisiknya dari atas sana, pelan, nyaris tidak terdengar. “Aku sudah seenaknya menyalahkanmu padahal kau sudah berusaha melakukan yang terbaik buatku…,”
Aku hanya tersenyum mendengarnya.
“Kenapa Ryo tidak menjadi Paladin saja?”
Mulai lagi, Ia selalu berusaha mengorek keterangan yang sama sekali tidak ingin kuungkit ungkit.
Aku menggaruk kepala, agak bingung bagaimana menjawabnya.
“Kau tahu, sebenarnya aku selalu ingin tahu tentangmu, aku selalu penasaran,”
“Dan tidak bisakah rasa penasaranmu itu kau simpan saja sendiri?”
R’lyeh menggeleng,
“Tidak, Kau yang bilang kalau kata kata tuan puteri adalah mutlak.”
Ck, Wanita…
Sambil duduk dan menyender dibawah pohon, aku mendengarnya berkicau lagi.
“Aku selalu bingung, semua orang ingin menjadi Paladin, mereka juga ingin berjuang, tapi tidakkah kau berpikir, kalau sebenarnya Paladin juga bukan… maksudku… mungkin saja mereka tidak sewaras kelihatannya,”
“Ha?” Aku ternganga, “Apa sih yang kau bicarakan?”
R’lyeh menatap lurus pada matahari terbenam, “Mereka tidak takut pada hal hal yang membuat kita takut…”
Aku terdiam, “Tidak takut… pada hal hal yang seharusnya membuat kita takut?” Ujarku membetulkan.
“Ya,”
“Hmmm… Contohnya apa? Undead?” Tawaku berderai.
“Jangan tertawa!” R’lyeh menjatuhkan ranting kekepalaku.
Aku mengusap dahiku dan kembali berusaha memasang tampang serius kendati rasanya geli sekali mendengar ia bicara.
“Kau tidak takut pada Undead?” Tanya R’lyeh hati hati.
“Tidak.”
Hening beberapa saat.
“Pernah membunuh Undead?”
“Oh, Ayolah R’lyeh, makhluk ini bahkan tidak hidup, yang hidup itu Virusnya, jadi jangan gunakan kata ‘Membunuh’ seperti aku sudah pernah melakukannya pada orang hidup…”
“Jadi kau pernah?”
Aku menganguk.
Dia itu bodoh atau apa sih? Bagaimana mungkin ayahnya mempekerjakanku kalau aku tidak bisa mengatasi mayat-mayat hidup bau bangkai itu…?
“Berapa banyak?”
“Entahlah, aku tidak menghitungnya…”
R’lyeh terdiam, berusaha keras memikirkan pertanyaan selanjutnya, “Umm… Tidak pernah bermimpi buruk setelah membantai Undead? Maksudku… Dari luar bagaimanapun mereka tetap kelihatan seperti manusia… kau tahu…”
“Tidak pernah.”
“Nah kan…, Kurasa kau cocok kalau masuk Paladin…, Paladin juga pasti begitu… Perlu sisi Psikopat setidaknya, supaya bisa dilatih menjadi mesin pembunuh, menghadapi musuh berwujud para manusia itu sendiri… ”
“Psikopat huh…, turunlah sekarang,” Bujukku memotong kalimatnya, sebenarnya aku agak salah tingkah dengan semua pertanyaan tadi,
“Kalau tidak aku akan menunggumu disini sampai subuh, kita kemping di hutan, tidak buruk juga idemu, aku hanya tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan nyamuknya,”
Di atas, R’lyeh terkikik geli khas anak gadis.
“Masalahnya…” Ia tersenyum penuh arti, “A… aku tidak tahu caranya turun…”
Bahkan didalam keremangan senja aku bisa melihat kedua pipinya bersemu merah sekali.
Aku tidak dapat menyalahkan diriku jika tidak bisa tidak terpesona karenanya.
“Kemari, aku akan menyambutmu disini, loncat saja, tidak apa apa,”
“Tapi…”
“Percaya saja padaku, ayolah, tidak apa apa,”
Tapi aku belum bersiap, R’lyeh sudah terlebih dahulu melompat,
Aku gelagapan menyambutnya,
Ia jatuh begitu saja menimpa tubuhku.
“Aduh!” Keluhnya, “Kau empuk Ryo!”
Dibawahnya aku mendelik kesal, Apa apaan reaksi itu... “Aku-belum-memberimu-aba-aba-untuk-turun, Princess…”
“Oh? Belum yah?” Tawanya berhenti saat ia memandang wajahku lekat lekat, aku tidak bisa menghentikan diriku melakukan hal yang sama.
“Aku terlalu tampan yah?” Godaku dengan wajah tetap serius.
R’lyeh tersadar dan memukuli dadaku,
“Ryo!” Tegurnya parau.
Tapi kurasakan ia tidak sedikitpun beralih dari posisi kami sekarang, aku juga tidak berniat melakukannya, malah, ia menyusupkan kepalanya kedalam pelukanku.
“Aku akan katakan satu saja rahasiaku padamu,” Susah payah aku menarik nafas, aku cukup tahu kelemahan ini, bahwa seseorang yang tidak bisa bernafas dengan benar saat berdekatan dengan orang yang mereka cintai.
R’lyeh tidak menjawab melainkan mendengarkan,
Aku tahu alih alih suaraku, ia malah sedang mendengarkan degup jantungku yang seperti berlomba dengan waktu.
“Ayahku bekerja untuk Paladin…”
R’lyeh kelihatan tidak terkejut, yang dilakukannya hanya mencengkeram baju bagian dadaku kuat kuat,
“Aku tidak yakin apa posisinya disana, aku hanya bertemu dengannya dua tiga kali… aku tidak terlalu mengenalnya juga… tidak tahu banyak tentang dia…”
“Jadi dari sanalah bakatmu berasal…” Bisiknya, aku bisa merasakan nafasnya dileherku, agak geli.
“Aku tidak tahu, Princess,” Aku tersenyum menutup mata.
R’lyeh mengangkat wajahnya, “Terima kasih sudah memberitahuku…,” Katanya lembut, “Sebagai gantinya, aku akan memberitahumu mimpiku,”
Kusingkirkan helaian rambut merah yang menutupi pemandangan indah gadis belia dihadapanku,
“Kalau bisa memilih dilahirkan sebagai apa, aku ingin menjadi hutan…”
“Hutan?” Tidak tertawanya aku kurasa sudah cukup membuktikan betapa aku menghormati setiap kata yang diucapkannya saat ini,
Kupandangi bola matanya, gerakan bibirnya ketika ia bicara, nafas halusnya,
Tidak ada satupun lelucon, semuanya diucapkan dengan serius, tulus,
Khas dia.
“Iya, karena tidak akan kesepian kalau menjadi hutan… dan…”
Dan, R’lyeh sudah tidak bisa melanjutkan apa apa yang ingin disampaikannya lagi.
Karena aku sekarang telah menautkan bibirku ke bibirnya.
+++
End of flashback
+++
Aku berjalan ditengah tengah pepohonan rimbun, mencari cari sesuatu,
Tanganku menyentuh pohon pinus raksasa, menengadah keatasnya.
“Disitu kau rupanya, kucing kecil.”
R’lyeh tersenyum kecut dari atas. “Bagaimana kau bisa menemukanku?”
“Seorang ksatria harus tahu dimana menemukan tuan puterinya sendiri, bukan?”
Aku duduk bersandar dibawah. “Sekarang turunlah, kau tidak tahu kalau orang rumah mencemaskanmu?”
R’lyeh membuang muka enggan.
“Hei…” Tegurnya.
“Hn?”
“Aku mau minta maaf…” Bisiknya dari atas sana, pelan, nyaris tidak terdengar. “Aku sudah seenaknya menyalahkanmu padahal kau sudah berusaha melakukan yang terbaik buatku…,”
Aku hanya tersenyum mendengarnya.
“Kenapa Ryo tidak menjadi Paladin saja?”
Mulai lagi, Ia selalu berusaha mengorek keterangan yang sama sekali tidak ingin kuungkit ungkit.
Aku menggaruk kepala, agak bingung bagaimana menjawabnya.
“Kau tahu, sebenarnya aku selalu ingin tahu tentangmu, aku selalu penasaran,”
“Dan tidak bisakah rasa penasaranmu itu kau simpan saja sendiri?”
R’lyeh menggeleng,
“Tidak, Kau yang bilang kalau kata kata tuan puteri adalah mutlak.”
Ck, Wanita…
Sambil duduk dan menyender dibawah pohon, aku mendengarnya berkicau lagi.
“Aku selalu bingung, semua orang ingin menjadi Paladin, mereka juga ingin berjuang, tapi tidakkah kau berpikir, kalau sebenarnya Paladin juga bukan… maksudku… mungkin saja mereka tidak sewaras kelihatannya,”
“Ha?” Aku ternganga, “Apa sih yang kau bicarakan?”
R’lyeh menatap lurus pada matahari terbenam, “Mereka tidak takut pada hal hal yang membuat kita takut…”
Aku terdiam, “Tidak takut… pada hal hal yang seharusnya membuat kita takut?” Ujarku membetulkan.
“Ya,”
“Hmmm… Contohnya apa? Undead?” Tawaku berderai.
“Jangan tertawa!” R’lyeh menjatuhkan ranting kekepalaku.
Aku mengusap dahiku dan kembali berusaha memasang tampang serius kendati rasanya geli sekali mendengar ia bicara.
“Kau tidak takut pada Undead?” Tanya R’lyeh hati hati.
“Tidak.”
Hening beberapa saat.
“Pernah membunuh Undead?”
“Oh, Ayolah R’lyeh, makhluk ini bahkan tidak hidup, yang hidup itu Virusnya, jadi jangan gunakan kata ‘Membunuh’ seperti aku sudah pernah melakukannya pada orang hidup…”
“Jadi kau pernah?”
Aku menganguk.
Dia itu bodoh atau apa sih? Bagaimana mungkin ayahnya mempekerjakanku kalau aku tidak bisa mengatasi mayat-mayat hidup bau bangkai itu…?
“Berapa banyak?”
“Entahlah, aku tidak menghitungnya…”
R’lyeh terdiam, berusaha keras memikirkan pertanyaan selanjutnya, “Umm… Tidak pernah bermimpi buruk setelah membantai Undead? Maksudku… Dari luar bagaimanapun mereka tetap kelihatan seperti manusia… kau tahu…”
“Tidak pernah.”
“Nah kan…, Kurasa kau cocok kalau masuk Paladin…, Paladin juga pasti begitu… Perlu sisi Psikopat setidaknya, supaya bisa dilatih menjadi mesin pembunuh, menghadapi musuh berwujud para manusia itu sendiri… ”
“Psikopat huh…, turunlah sekarang,” Bujukku memotong kalimatnya, sebenarnya aku agak salah tingkah dengan semua pertanyaan tadi,
“Kalau tidak aku akan menunggumu disini sampai subuh, kita kemping di hutan, tidak buruk juga idemu, aku hanya tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan nyamuknya,”
Di atas, R’lyeh terkikik geli khas anak gadis.
“Masalahnya…” Ia tersenyum penuh arti, “A… aku tidak tahu caranya turun…”
Bahkan didalam keremangan senja aku bisa melihat kedua pipinya bersemu merah sekali.
Aku tidak dapat menyalahkan diriku jika tidak bisa tidak terpesona karenanya.
“Kemari, aku akan menyambutmu disini, loncat saja, tidak apa apa,”
“Tapi…”
“Percaya saja padaku, ayolah, tidak apa apa,”
Tapi aku belum bersiap, R’lyeh sudah terlebih dahulu melompat,
Aku gelagapan menyambutnya,
Ia jatuh begitu saja menimpa tubuhku.
“Aduh!” Keluhnya, “Kau empuk Ryo!”
Dibawahnya aku mendelik kesal, Apa apaan reaksi itu... “Aku-belum-memberimu-aba-aba-untuk-turun, Princess…”
“Oh? Belum yah?” Tawanya berhenti saat ia memandang wajahku lekat lekat, aku tidak bisa menghentikan diriku melakukan hal yang sama.
“Aku terlalu tampan yah?” Godaku dengan wajah tetap serius.
R’lyeh tersadar dan memukuli dadaku,
“Ryo!” Tegurnya parau.
Tapi kurasakan ia tidak sedikitpun beralih dari posisi kami sekarang, aku juga tidak berniat melakukannya, malah, ia menyusupkan kepalanya kedalam pelukanku.
“Aku akan katakan satu saja rahasiaku padamu,” Susah payah aku menarik nafas, aku cukup tahu kelemahan ini, bahwa seseorang yang tidak bisa bernafas dengan benar saat berdekatan dengan orang yang mereka cintai.
R’lyeh tidak menjawab melainkan mendengarkan,
Aku tahu alih alih suaraku, ia malah sedang mendengarkan degup jantungku yang seperti berlomba dengan waktu.
“Ayahku bekerja untuk Paladin…”
R’lyeh kelihatan tidak terkejut, yang dilakukannya hanya mencengkeram baju bagian dadaku kuat kuat,
“Aku tidak yakin apa posisinya disana, aku hanya bertemu dengannya dua tiga kali… aku tidak terlalu mengenalnya juga… tidak tahu banyak tentang dia…”
“Jadi dari sanalah bakatmu berasal…” Bisiknya, aku bisa merasakan nafasnya dileherku, agak geli.
“Aku tidak tahu, Princess,” Aku tersenyum menutup mata.
R’lyeh mengangkat wajahnya, “Terima kasih sudah memberitahuku…,” Katanya lembut, “Sebagai gantinya, aku akan memberitahumu mimpiku,”
Kusingkirkan helaian rambut merah yang menutupi pemandangan indah gadis belia dihadapanku,
“Kalau bisa memilih dilahirkan sebagai apa, aku ingin menjadi hutan…”
“Hutan?” Tidak tertawanya aku kurasa sudah cukup membuktikan betapa aku menghormati setiap kata yang diucapkannya saat ini,
Kupandangi bola matanya, gerakan bibirnya ketika ia bicara, nafas halusnya,
Tidak ada satupun lelucon, semuanya diucapkan dengan serius, tulus,
Khas dia.
“Iya, karena tidak akan kesepian kalau menjadi hutan… dan…”
Dan, R’lyeh sudah tidak bisa melanjutkan apa apa yang ingin disampaikannya lagi.
Karena aku sekarang telah menautkan bibirku ke bibirnya.
+++
End of flashback