~DESCENDANT OF THE DEATHMASTER~ by:DYNA

bagaimana menurut kalian novel pertama Dyna (daina) ini?


  • Total voters
    35
Wha?

Itu bukan sama Tasuku kok... Itu pertanyaan Stast ke Daina.... @@;
Pertanyaan itu menganggu,,, maka na kebayang mulu dalam ingatan Daina, coz Daina masih mempertanyakan apa arti dirinya sekarang, buat Tasuku ._.
huooh.. harusnya kau berikan kejelasan di bagian itu tuh, nanti bisa ada yang salah tanggapan =w=
 
huooh.. harusnya kau berikan kejelasan di bagian itu tuh, nanti bisa ada yang salah tanggapan =w=

Lah? Kan udah dikasih garis miring sama gak pake tanda petik dialog "..." tapi pake tanda kutip '...' ?? Kalo dalam sastra tanda kutip kan bicara dalam hati, garis miring memperjelas? hihihihi
 
aku ga perhatikan bagian itu :v

*Ngakak*

Biasanya novel orang gitu sih hwhwhwh, wajar tia gatau, Dai juga baru tahu kok soal tanda2 itu, =w=;;;

*AmatirDai

Berarti sekalian inpoh nih buwat temen2 yang nulis uga,
Tanda petik dobel atau "..." Digunakan dalam dialog, lalu tanda kutip tunggal atau '...' digunakan untuk mengutip kata kata, syair, atau apa aja yang digunakan dalam kalimat =w=d


*Baru belajar juga sih*


Nyoohh lanjuutt lanjuuttttt~~~
Dai beneraaann punya banyak bahaaaaaaaaaaaann~~ Leganyaaaaaa~~~

 
Stast.


___________________________
______________________




Bersandar dibalik pintu, perlahan orang yang kutunggu akhirnya keluar dari dalam sarang cintanya,
Ia tidak tampak terkejut melihatku, juga tidak memperlihatkan tanda tanda marah.
Aku tersenyum maklum, ia tidak melanjutkan setelah beberapa langkah melewatiku.

“Penyusupnya?”

Betapa luar biasa, kendatipun ia memiliki beragam pertanyaan dalam benaknya mengenai tindakanku, ia masih bisa mengesampingkan kepentingan pribadinya.

“Kutemukan dua ditengah tebing, selesai, tapi kuduga mereka hanya pengamat, masih ada beberapa lagi dikedalaman hutan, cuaca buruk sehingga penciumanku tidak terlalu baik, kita harus menunggu sebentar.”

“Dan kota kita?”

“Menyesal sekali,” aku berkata sungguh sungguh, “Ryo kisaragi memimpin pembersihan di Boston, memukul mundur Ferina dan yang lain, sekarang wilayah itu clear, kurasa kita kehilangan satu lagi…”

Sang raja mendesis tidak puas, “Harus segera diselesaikan,
Kita tidak bisa terus begini, jika ingin menyelesaikan… Kita harus lakukan tuntas hingga ke akar.”

Aku mengangguk setuju.
Ini semua berawal dari kakaknya yang menjadi jendral besar Paladin kan? Entah apalagi yang direncanakan oleh orang sehebat Aryanov Gabriel, kami harus berhati hati.
Jika sang raja memang berniat untuk menuntaskan hingga ke akarnya, itu artinya sebentar lagi akan…

“Bagaimana cara membuat kontak…?” Sang raja bertanya, “Jika kita menghubungi mereka begitu saja, menyampaikan keberadaan kita, mereka bisa saja tidak datang, mengira ini informasi palsu lalu hanya mengutus sebagian besar pasukannya saja, sekedar mengecek, akan buang buang waktu,”

Kelihatannya untuk yang satu ini kami sepakat,

“Aku ingin dia sendiri yang datang.” Katanya lagi.

“Aku paham, kita akan mengusahakannya,” Bujukku menenangkan,

Ia tidak sedikitpun menoleh kepada Stast ini, setelah beberapa lama,

“Dan aku juga tidak mengerti apa yang kau pikirkan…”

“Begitu pula aku,” Senyumku, melihatnya meneruskan langkah, gayanya acuh, bersikap seolah itu bukan hal penting, tapi aku tahu bagaimana kami masing masing memikirkan dengan serius.

Ia kesal, ia menemukan bau yang lain menempel pada tubuh wanitanya,
Ironisnya, seharusnya ia tidak lagi merasakan kecemburuan seperti itu,
Kemarahan yang egois, rasa ingin memonopoli yang tinggi.
Ia ingin membunuhku kalau bisa, karena aku berani melayangkan tangan terhadap pengantinnya, disaat bersamaan dia tidak mengerti, aku tidak memberi akal sehatnya cukup alasan untuk melakukan hal tersebut.
Aku bisa membunuh gadis itu, semudah aku menginginkannya, hidup mati gadis itu tidak ada hubungannya denganku, malah, mungkin dengan menghilangkan nyawa gadis itu aku bisa saja membantu tujuan kami selangkah lebih dekat, walau nyawa taruhannya, aku selalu tidak masalah apapun yang kukorbankan demi tercapainya tujuan, ia tahu sifatku.
Tapi aku justru tidak melakukannya, hal inilah yang membuatnya bingung.

Sama sepertiku, aku juga bingung.
Ketika gadis itu berkata ‘Aku mencintainya,’.
Betapa kekeras kepalaan tersebut mengingatkanku akan sesuatu…
Begitu keras kepalanya mencintai sesuatu hingga mencelakakan diri sendiri.
Aku menengadah, kubiarkan ukiran ukiran nan indah menyihirku…

Ah, Nostalgia… betapa gilanya,
Seandainya bisa memutar waktu,

Daripada melihat mereka menderita sampai mati, aku lebih senang jika mereka lari.
Mereka yang mempunyai cinta sebesar itu untuk diberikan, pantas mendapat sesuatu yang lebih baik daripada kami



++++
 
Last edited:
Daina.


___________________________
_______________________




Aku kembali menikmati saat saat tenang sambil mengharap kedamaian seperti ini akan berlangsung selamanya.
Tidak ada yang terjadi lagi, aku mulai menghitung hari, tidak tahu pasti berapa lama sudah aku disini.
Mungkin 2 bulan? atau lebih?
Tasuku selalu dan selalu memperhatikanku sehingga aku mulai kerasan, kecuali malam itu, Stast juga tidak pernah menggangguku lagi.
Yah, Praktisnya, tidak ada apa apa.
Sama sekali.

Apakah Tasuku sudah mulai membatasi gerakannya?
Ia selalu sibuk bersamaku sepanjang waktu...
Dalam hati aku gembira memikirkan khayalan khayalan bahagia itu.

Hari ini,
Seperti biasanya aku bermain main diluar dan Tasuku menemani disampingku.
Ia begitu baik, membantuku merawat bunga bunga sebagai kegiatanku setiap hari, hasilnya, lebih banyak benda hidup kecil itu bertebaran didepan Mansion sekarang.

“Lagi?” Ujarku melihat Tasuku memasangkan mahkota bunga pada rambutku, ia tertawa,

“Kau seperti peri,” pujinya, melihatnya sangat sungguh sungguh, kau tidak akan tega protes lalu mengatakan bahwa ia sedang menggombal.
Ia selalu bicara dengan raut wajah serius seperti itu,

Aku menggenggam bunga bunga itu, “Dulu,” Kataku mengingat ingat, “Saat kita baru saja bertemu, kau juga pernah melakukan ini untukku, kau juga mengatakan hal yang sama.”

‘Karena hanya ini yang aku bisa selain Rumus Kimia,’ Adalah yang dikatakan Tasuku saat itu.

“Benarkah? Aku lupa…” Sebelah Alis Tasuku terangkat tidak yakin.
Gemas, aku memukul dadanya.

“Jahat! Itu penting bagiku,” Seruku merajuk, “Aku sedih kau lupa…”

“Hey…,” Tasuku mencubit pipiku, “Karena bagiku masa depan denganmu lebih penting,” Merasa tak mendapat respon, ia merangkulku dari belakang, “Ayolah Di,” Membisikiku, “As your king, I command you…”

Ia menempelkan telapak tangannya pada tanganku, dibawah mendung dan cahaya matahari samar samar, aku melihat betapa kulit yang kini tidak dialiri darah itu seputih pualam.

“Untuk tidak bersedih… Berbahagia selalu selama lamanya,”

Aku terpesona, tertarik semakin dalam, suaranya lembut seperti menghipnotis,
Merdu terdengar bagaikan dentingan alat musik paling menakjubkan.
Percaya, aku percaya, aku sangat percaya, Aku akan mengikutimu kemanapun,
Aku akan melakukan apapun untukmu, kau Rajaku, kau duniaku, Aku percaya padamu…
Kuserahkan diriku, jiwa ragaku, hidupku, semua milikmu.
Bawa aku kemanapun kau pergi…

“Jika kau tidak bisa melakukannya untuk dirimu sendiri, lakukanlah untukku…”

Bisikan itu menyamai suara angin yang membelaiku.
Perasaanku meluap, Aku nyaris berbalik dan melompat kedalam pelukannya,
Kemudian deru tembakan yang memekakkan telinga menghancurkan emosi yang susah payah kami berdua bangun, seakan jantungku berhenti berdetak saking terkejutnya, refleks menutup mata,

Tasuku…?

Lagi, suara tembakan.

Pelan pelan kubuka kedua mataku, demi memastikan ia baik baik saja, asap menghalangi pandanganku, mengurung kami berdua, aku maju kedepan, tanganku meraba raba sekitarku, aku merasakan bunga bunga yang susah payah kutanam terinjak begitu saja, berkeresak, aku nyaris menangis, putus asa, mencari cari lelaki yang kucintai,
Berdoa untuk keselamatannya.

Tapi aku malah mendapati ia yang kucintai lagi lagi berada didepanku,
Darah merah keperakan membasahi jubah putih bersihnya, menetes anggun dari kepalanya,
Tubuhnya penuh luka,

“Tasuku, kau…”

“Kau tidak terluka kan?” Tanya Tasuku cemas, ia tidak kesakitan, malah sebaliknya, walau aku mencemaskannya dan ia kelihatan sebagai yang paling pantas dicemaskan, ia bersikap seperti tidak ada apa apa, aku terkejut, cepat cepat menggeleng,
Dari kepulan asap tebal, samar samar aku melihat beberapa orang ditepi hutan,

Paladin.

Dari seragamnya saja aku sudah sangat mengenali.
Mereka pastilah Paladin, apa mereka kemari untuk melacak Tasuku…?

“Lihat kan, para tikus muncul sendiri pada akhirnya,” Secepat tiupan angin topan, Stast muncul dihadapan kami, seluruh tubuhnya menegang dalam posisi tempur.
Cakarnya yang lebih keras dari baja kelihatan bersiaga, Berkeretak seiring gerakan halusnya diudara.


“Sudah terkepung!” Orang orang bertopeng itu juga dalam posisi tempur, “Stast the origin dan Dr.Gabriel,” Mereka berteriak, “Tidak sia-sia jika bersusah payah mendekati tempat ini… Kita mendapatkan keduanya sekaligus!”


Lalu tembakan demi tembakan dilancarkan lagi, “Aku sudah bilang padamu, My Lord, beginilah jadinya kalau kita menetap disuatu tempat untuk waktu yang lama,” Aku yakin sekali ia sedang bicara pada Tasuku, Stast mentransformasi lengannya kedalam bentuk tombak yang menjadi perisai sekaligus senjatanya pada saat bersamaan.
Ia maju secepat kilat kearah penyerangnya, tidak mempedulikan hujan peluru mengerikan menembakinya dari segala arah.

Ia menangkisnya, setiap gerakannya tepat sekali.
Apa dia bisa membaca dengan tepat arah peluru?
Atau semua yang ia lihat nampak dalam gerakan slow motion?
Ia kuat sekali, dalam sekejap, ia bahkan menangkap moncong senjata itu.
Menarik dan menghancurkannya seperti kerupuk.

Para orang orang terlatih dari Paladin itu tentu saja bukan lawan yang gampang, beberapa dari mereka bahkan memiliki spesialisasi senjata jarak dekat,
Sementara tembakan masih dilancarkan, Dengan Timing yang luar biasa tepat agar rekannya bisa terhindar dari peluru, satu sama lain mulai menyerang kearah Stast,

Aku berlari kedepan untuk melihat luka luka Tasuku, Begitu aku menyentuh bahu Tasuku, Lelaki yang kucintai membalikkan badannya kearahku, demi menunjukkan bahwa sekarang luka luka itu telah lenyap, serpihan peluru keluar seperti karet dari kepala maupun tubuhnya, ia masih berlumuran darah dan cideranya pelan pelan menutup, cepat sekali!

“Sudah biasa begini,” Desis Tasuku, “Ayo, kau harus masuk kedalam, Stast bisa mengatasi semuanya,”

Aku terdiam, ah... “...Bukan begitu maksudku,”

Tasuku diam menungguku menyelesaikan kalimat, berpikirlah Daina, ada, pasti ada yang salah... Ada yang salah!
Kau ingin mengatakan apa?

“Dia bisa membunuh semuanya!” Desakku, “Kau harus menghentikan mereka, tidak harus membunuh, kan? kau pasti bisa melakukannya…”

Belum sempat aku selesai bicara, kapak besar menghantam punggung suamiku,
Teriakanku tertahan.

Darah.
Mengucur banyak sekali.
Dari lukanya,
Jika manusia biasa dengan volume darah sebanyak itu dan luka sedalam itu.
Ia pasti sudah mati.

"Markas!" Pria itu terlihat bicara, ia menekan kapak besar itu lebih kuat kedalam, membelah jantung Tasuku dengan ketepatan mematikan.
Aku tahu, ia sedang melaporkan keadaan...

"Memang Dr. Gabriel! Nona Daina juga ada disini!"
Perhatianku terombang ambing antara namaku yang sedang dipanggil, lalu pada Tasuku.
Kenapa? Ada apa? Reaksinya tampak lambat...

"Dia ada? Kalian menemukannya?"
Suara Baritone yang akrab ditelingaku mengambil alih komunikasi yang semula dipegang operator.

Kakak...
Itu Kak Ari.
Dia sedang... mengkhawatirkanku? Dia mencariku?

"Selesaikan misi dan bawa dia pulang,"

Prajurit itu menjawab patuh. ia mengeluarkan shotgun.
Aku berteriak hendak menghentikannya, tapi ia menembak cepat sekali dalam jarak dekat dan membabi buta kearah Tasuku.

Prajurit didepanku menghela nafas lega, "Nona Daina, ikutlah dengan kami, ini akan segera selesai..."

"Tidak... aku..." Tasuku, tidak mungkin mati semudah ini, kan?
Kenapa?
Aku melihat luka dimana kapak raksasa itu menancap dalam, tidak ada tanda tanda perbaikan jaringan, pun Tasuku, berdiri dengan kepala tertunduk seperti patung batu.
Wajahnya tidak terlihat diantara rambut pirang yang jatuh meriap menutupi muka.
Aku pernah membaca jika Undead jenis Vampir kehilangan banyak darah ... tidak mungkin... rigor mortis?
Bukankah ia terlalu awal untuk sampai pada kondisi kaku mayat itu?

Prajurit Paladin itu menyalakan pemicu api,

"Tidak... Jangan...!" Teriakku, ia akan membakarnya! habis sudah!

Tik!
Tasuku terkejut, Ia bereaksi disaat saat terakhir,


Namun api besar terlanjur menjilat tubuhnya.


"Tasuku!" Teriakku dalam kegilaan.
Menghambur kearah nyala berkobar.

Tap!
Aku terjerembab keatas tanah.

Kakiku...
Majupun tidak bisa, seakan ada kekuatan yang menahanku agar tidak bergerak satu sentipun dari tempatku berada.
Aku menoleh kearah kakiku,

Pada tangan pucat yang keluar dari dalam tanah.
Memegang erat kedua kaki, menarikku mundur pelan pelan.
Aku mengalihkan pandangan tidak mengerti kearah Tasuku,
Ia belum mati?

Api telah padam, menyisakan hanya sosok hitam legam terbakar, semula adalah suamiku...
Tasuku...? Aku menunggu, tegang.

"Mati...!" Si Prajurit berkata bangga, Ia mengeluarkan, kali ini, pemicu api yang lain, benar benar akan menghabisi Tasuku sampai jadi abu.


Kejadian selanjutnya benar benar diluar akal, atau begitulah setidaknya yang terlihat dimata manusiaku.
Mengerikan, karena dari sudut ini, aku bisa melihat dengan jelas...
Bagian dimana mata seharusnya berada terbuka.
Mendelik secara mengerikan.


Kreek...
Betapa ngerinya aku melihat kepalanya berputar dengan sangat mengerikan kearah yang seharusnya belakangnya,
Ia seperti hantu, aku tidak mengenalinya lagi.

“Kau nyaris melukai Istriku…” Lirihnya lembut kearah penyerangnya, sedetik kemudian ketika ia sudah membetulkan posisi kepalanya, dan tulang tulang mengerikan keluar dari dalam tubuhnya. Mencabik penyerangnya dalam sekali serang.
Tanpa sempat melawan, Prajurit itu mati dengan darah menetes-netes, aku merasakan percikan yang sama membasahi wajahku, padahal aku berada cukup jauh, shock, aku menutup mulut tanpa bisa berkata apa apa,

Memperhatikan saja bahwa dari tulang tulang yang menembus tubuh mangsanya, Tasuku yang kucintai menyerap setiap tetes darah segar, memejamkan mata dan merasa hidup.
Begitu menikmati acara makannya yang ganjil…
Dan... aku melihat semakin banyak ia menyerap darah mangsanya, ia semakin kuat, aku menyaksikan sangat jelas bagaimana jaringan yang rusak pulih sangat cepat, dagingnya yang semula terbakar, lapisan kulitnya, bahkan pakaian yang ia kenakan, semua pulih dalam waktu sangat cepat... berbeda dari sebelumnya.


“Maaf tentang yang satu itu,” Stast berkata lembut, suaranya menggema dari ujung ke ujung.
Ia sendiri telah menyelesaikan tugasnya.
Mayat mayat... ada dimana mana...
Suamiku tidak menyahut, ia menjilat cairan merah pekat yang mengalir ditangannya,

Lalu menjatuhkan begitu saja tubuh kering terkoyak koyak mangsanya diatas tanah, sesuatu menjijikkan yang keluar dari dalam tubuhnya pelan pelan masuk kedalam, ia mencabut kapak yang menancap dipunggungnya, tubuhnya berlumuran baik darahnya sendiri maupun darah mangsanya.

Trekk-trekk-trekkk,
Terdengar bunyi sesuatu sangat menganggu, Tasuku menghampiri mayat itu, memeriksanya, dari saku depan jaket si mayat, ia menarik sesuatu,

Radio… alat komunikasi…



Aku percaya padanya, aku akan mengikutinya kemanapun…


“Kakak…?” Lembut, ia berbicara kepada alat itu, ia tidak salah, komunikasi masih terhubung, amat jelas, menyambung hingga entah kemana, markas pusat mereka…

“Aku ada disini, Daina ada disini,”

Ujung jariku kaku,


Kumohon jangan katakan, jangan kau berikan bukti atas semua prasangka burukku padamu,
Kumohon jangan…



“Datanglah…”

Rasanya seperti sebilah pisau es menghujam dadaku, dingin, menimbulkan nyeri.
Lalu ia melemparkan alat komunikasi itu kepada Stast yang menyambut dengan wajah tak kalah kejam,

Tangan tangan itu masuk kebawah tanah, melepaskan kakiku yang semula dipegang sangat kuat

Tidak, aku percaya padanya.


Aku percaya.
Aku...

Jadi untuk apa dia baik padaku selama ini? Agar kakak datang padanya? Agar ia bisa saling bunuh lagi dengan keluarga kami satu satunya?
Apakah baginya perang jauh lebih penting… bahkan melebihi diriku…?
Sakit, ini benar benar sakit.

Ia menggunakanku, itulah jawabannya.
Ia menginginkanku untuk memancing kakak sendiri yang datang kesini, Demi memusnahkan musuh bebuyutan mereka, Paladin…
Ia ingin aku berada disini karena aku berguna, bukan karena ia mencintaiku…?

Kemudian, aku melihatnya menoleh kearahku, apa ia akan membunuhku sekarang?
Tugasku… sudah selesai, kan?
Ia maju kearahku, hendak menggapai, “Maaf… Kau tadi… mau bilang apa?” Katanya seakan tak ada apapun yang terjadi, Sulit dipercaya bahwa ia lebih menyesali tindakannya yang sudah mengacuhkanku ketimbang kenyataan bahwa ia baru saja membunuh orang.

Kenapa…?
Kenapa kau tidak bunuh saja aku sekarang?
Apa kau mencintaiku…?
Jawab aku, Tasuku… apa kau pernah, sekali saja, memikirkan bahwa kau mencintaiku…?!

‘Berbahagialah…’ Baru beberapa menit lalu ia mengatakan hal semanis itu...



Berbahagia…?
Aku sudah melihat kegilaan, dan ia lagi lagi mengingkari janjinya…
Bisa kulihat warna matanya berubah ubah, kuning keemasan, lalu merah pekat, begitu terus berganti ganti, ia mengulurkan tangannya padaku.

Ia menginginkanku, tapi sebagai apa…?

'Kau itu siapa?' Oh tidak, Pertanyaan Stast menggangguku lagi...



Dari jauh aku sadar, Stast the origin, menyeringai kearahku penuh keyakinan.
Aku yakin sekali, ia sedang menertawakanku.
Tawa yang dingin, penuh kebencian.

“Tidak…” Tolakku, “Tidak!” Aku menepis saat tangan Tasuku sudah mencapaiku, sekejap saja rasa mual menguasai, bau anyir darah, dan serpihan daging dimana mana membuatku ketakutan, “Jangan sentuh… aku…”
Aku tidak tahu, aku baru saja menyaksikan pembantaian brutal yang dilakukan oleh pria yang beberapa menit lalu baru saja berkata bahwa ia menginginkan kebahagiaanku!

“Ternyata memang aku hanya umpan, kan?” Ujarku dengan mata yang sedih,
Memang Tasuku kelihatan shock mendengar ucapan itu meluncur dari bibirku seakan ada sebuah palu besar menimpa kepalanya, tapi ia diam.
Ia menarik diri, membiarkanku mundur teratur,
Aku tidak peduli, persetan dengan itu.

Aku benar benar marah…
Entah mengapa, bahkan tubuhku kaku, tidak bisa bergerak sebebas yang kuinginkan, dilain pihak aku sudah tidak tahan ingin pergi dari tempat dimana pemandangan mengerikan itu menghantuiku.

Aku menggeleng kuat, setengah kesal, setengah sedih, setengah takut, “Kau melakukannya lagi, kali ini dengan amat baik,” Desahku kecewa, sebelum akhirnya melangkah menaiki tangga mansion, meninggalkan Tasuku terpaku penuh kepiluan.
Dalam hati aku berharap ia mengeluarkan tombak mengerikan itu lagi dan merobek jantungku seketika,
Tapi ia tidak melakukannya, entah mengapa.

Tidak, aku tidak tahu, aku tidak mau tahu.
Ia menghancurkanku.
Sangat hancur sampai aku merasa tidak ingin hidup lebih lama lagi.


++++
 
Tasuku.


___________________________
_______________________




Stast menghampiriku, penampilannya tampak sama kacau, tapi aku bertaruh ia menikmati ini.

“Tidak bisa dipaksakan, wanita tidak suka pemandangan seperti ini, My Lord,” Ia berkata lembut, aku berdecak kesal,


“Kau lihat cara mereka berusaha melenyapkanku, Jika hal seperti itu dilakukan pada manusia, ganjarannya pastilah hukuman mati, mereka kejam, tidak berperikemanusiaan, Aku hanya melindungi diri,” sanggahku, “Aku terpaksa, Jika tak kubunuh, mereka akan membunuhku, begitu seterusnya…,"

Sungguh menyebalan, Aku tidak pernah dengan sengaja ingin memanfaatkan Daina atau apa… aku… itu hanya keadaan terdesak…”
Ya, jika aku tidak melakukannya, mereka akan terus dan terus mengirim bala tentaranya kemari, dalam baku tembak tadi saja seandainya aku tidak fokus untuk melindungi Daina, dia pasti akan mati terkena ratusan peluru.
Kakak harus datang kemari, mengakhiri semua ini.
Dan Daina tidak mengerti…

Stast terkikik geli, melihatku tertunduk lesu.
"Apa boleh buat, karena untuk makhluk seperti kita, hak asasi atau apapun tidak lagi berlaku,"


Dalam diam, Hatiku membenarkan kata kata Stast,

"Mereka tahu,
Mereka tahu ini bukan kondisi terbaikku, aku memandangi telapak tanganku sendiri,
Kau benar, aku nyaris mati.
Jika saja aku tidak cepat bertindak aku pasti sudah mati."

Stast mendengarkan serius.

"Aku hanya tidak menyangka, perbedaannya sebesar itu, antara mendapatkannya secara langsung dari tubuh mangsa dengan transfusi biasa,
Kekuatanku tidak keluar, tidak seperti yang kuinginkan,"

"Aku sudah bilang kan?" Stast berkata tajam, "Aku juga tidak bisa percaya sampai kau bilang sendiri... padahal mereka hanya prajurit kelas kedua... menyamai Guardian saja tidak..."

Regenerasiku tidak datang secepat yang kumau, pun gerakanku, melambat,
Aku sempat panik saat mereka membakarku.

"Siapa...?" Aku bertanya, "Mereka tahu aku sedang tidak sekuat biasanya, mereka seperti memanfaatkan keadaanku... mungkinkah... ada seseorang yang mengkhianatiku disini?"

Stast cepat cepat menggeleng, "Nonsense," Bisiknya, menepuk bahuku, "Singkirkan pemikiran kekanakanmu itu, My lord..., Baik aku maupun Ferina, Tidak ada satupun orang disini yang menginginkan kekalahanmu, ketiadaan dirimu berarti akhir bagi kami, itu lebih menyakitkan dari pada apapun." Ia menekankan nada bicaranya padaku.

Aku menatap Stast, Ia tidak pernah berbohong padaku,
Selama ini...
Apakah ia sedang menyembunyikan sesuatu?

Apa? Jika ia ingin melenyapkanku, dia bisa mulai dari Daina terlebih dahulu,
Dan ia tidak melakukannya.
Walau ia memiliki alasan yang tepat.

Aku menghela nafas, Tidak, jika dia bilang begitu, maka begitulah adanya,
Dia mencintaiku, mencintai semua keturunannya...
Dia tidak akan berbohong kecuali untuk melindungi kami semua...

Sekali lagi, aku memutuskan untuk percaya...

Daina.
Ketika aku berkata aku menginginkan kebahagiaannya, melebihi siapapun,
Aku merasa tidak pernah sejujur itu sebelumnya.
Pertempuran selanjutnya, entah siapapun yang menang atau kalah, aku atau kakak…

"Aku hanya mengharapkan kebahagiaan untuk Daina, seseorang akan memberikannya untuknya, meski itu bukan aku."
Aku tersentak,
Sejak kapan aku curhat pada Stast?

Menutupi kegugupan, aku memaksakan diriku menatap mata Stast, melihat sendiri bagaimana reaksinya,

Sungguh diluar dugaan.
Vampir tua itu ternyata tidak menampakkan emosi sama sekali, pun keberatan, protes, apapun itu,
Sebaliknya, seringaian lebar menampakkan gigi taringnya, matanya yang hitam berkilat penuh semangat.

So, you’re still love her, afterall…

Aku menunduk.
Sial…

“Jadi inikah yang kau maksud dengan bertaruh?” Stast memancing lagi, “Aku menang, My Lord,”

“Tidak, aku…”

Non, ” Stast mengibaskan tangannya, “Aku bisa melihatnya, kau tidak akan bisa menyembunyikan sesuatu dari orang tua ini… Aku sudah hidup cukup lama untuk mengetahui apa yang ada dibenak orang lain…”

Kali ini aku terdiam, tidak mampu menjawab apa apa, ia membaca hatiku dengan sempurna.

“Stast… Apa kau pikir…” Aku ragu sejenak, tidak tahu apakah bijak aku meminta nasehat darinya sekarang, “Apa kau pikir, mungkin, bagi manusia dan Undead untuk…” Aku berpikir, “Hidup bersama sama?”

Stast tidak menjawabku, kelihatannya ia juga sedang berpikir mencarikan jawaban yang tepat.
Namun melihatku sudah begitu resah membayangkan bahwa tidak akan ada jawaban yang tepat untuk pertanyaanku tersebut, ia merangkulku kedalam dekapannya.

“Anakku…” Ujarnya lembut, “Kau masih ingin menciptakan surga?” Tanyanya, aku tidak menjawab,

“Yang kita lakukan selama ini hanya mencoba membuat mereka mengerti dengan cara kita, dan mereka juga berusaha membuat kita mengerti dengan cara mereka…” Kurasakan ia membelai rambutku, membuatku merindukan kakakku teramat sangat. “Apa kau pikir adakah kemungkinan, sesuatu yang lebih kuat daripada kekeras kepalaan kita masing masing selama ini?”

“Kau tidak marah?” Tanyaku, “Kau tahu tujuanku bukanlah membunuh kakakku sejak awal, tapi mencari cara agar… kami semua bisa bersama sama… dan kau masih tidak marah?”

“Akupun ingin melihat, jalan keluar itu,” Stast menengadah keatas langit, “Kau lupa bahwa perbedaan terbesar kita dengan mereka adalah, kita mampu melihat tidak hanya dari satu sudut pandang saja?” Ia terkekeh,

Aku tersenyum lemah.

Jika saja mereka bukan pemangsa, Undead adalah sahabat terbaik yang bisa kau temukan, begitulah mereka…

Suara kak Ari menggema begitu jauh hingga kedalam hatiku.




+++
 
Last edited:
ARI.


__________________________
______________________




Semua orang, tak terkecuali Caesar dan juga Monroe, terdiam, memikirkan informasi yang baru saja kami terima,

“Mereka menghabisi unit 23 yang kita kirim untuk menyelidiki, tidak salah lagi, kita sudah dapat memastikan lokasi mereka, Pennsylvania. ” Caesar memberikan instruksi kepada bawahannya, “Lekas, kejar dan sergap mereka ditempat, Biar aku dan Kisaragi yang pergi bersama kalian untuk mengatasi ini,”

“Tunggu!” potongku, “Dan atas wewenang siapa prajurit diizinkan melakukan misi bunuh diri?”
Bahkan aku sendiripun tidak bisa membiarkan, walau prajurit hebat bahkan sekelas Ryo dan Caesar sendiri yang berniat turun tangan, belum tentu dapat mengalahkan Tasuku.
Aku tidak bisa mengirim sahabat karibku sendiri untuk misi seberbahaya ini.

“Wewenangku,” Jawab Caesar, “Segala resiko sudah diperhitungkan demi mendapat hasil paling baik, dan cara ini selalu terbukti efisien bahkan sejak era Alexander,”
Yeah, karenanya Solomon dan Messiah sampai kehilangan nyawa, bukan?
Karena kita terlalu berhati hati dalam bergerak.

“Alexander Boracnitchov, sudah mati,” Putusku, “Sekarang kita menggunakan caraku, Kisaragi sedang tidak ada ditempat, dan aku menolak mengirim dia hanya berdua ke medan sesulit itu,”
Pennsylvania adalah wilayah yang telah dikuasai seluruhnya, tidak akan semudah itu...

“Gabriel…” Monroe menyabarkanku, ia kelihatan takut persiteganganku dan Caesar menjadi lebih besar lagi, “Aku bisa menggantikan Kisaragi jika harus…”

“Tidak ada yang akan meninggalkan tempat ini,” putusku, “Tidak tanpa aku.”

Caesar kelihatan ngeri sekali mendengar kata kataku barusan, “Apa kau tidak berpikir hah?! Kami melakukan semua ini untukmu!” Caesar menggeram, “Dan sekarang, kau secara sukarela ingin menyerahkan diri ketangan mereka seperti Alexander?! Bocah sialan… Ini tentang siapa yang akan menjadi roda penggerak Paladin jika kau tidak ada!”

Atmosfir ruangan dalam sekejap menjadi amat suram, hanya terdengar bunyi bunyi kedipan alat alat komunikasi yang terhubung pada basis Paladin diseluruh dunia,
Monroe mengeluh, tapi aku tidak dapat mendengar dengan pasti apa yang ia katakan,
“Aku, Ryo, Kau Caesar, Dan kau juga Monroe, kau ikut aku, Mikia dan Syeikh akan tetap dimarkas,” Akhirnya aku membuat keputusan final, untuk tetap pergi,
Percuma saja mengirim orang lain, akulah yang diinginkannya.
Jika kami sepikiran, berarti Tasukupun saat ini sudah jemu dan ingin mengakhiri segalanya.
Ia memberitahukan tempat persembunyiannya, Masuk akal, mengingat pasukannya yang sekarang mungkin saja masih belum siap untuk menyerang benteng pertahanan Paladin di Rusia secara langsung.
Kami unggul jumlah.
Karena itu ia menginginkan aku sendirilah yang muncul dihadapannya.

Bagus sekali, kami sudah diberi banyak sekali keuntungan, pertama, kami tidak harus membahayakan orang banyak, kedua, kami bisa melakukan persiapan yang matang terlebih dahulu, ketiga, tidak perlu susah payah menemukan mereka, karena mereka sendiri yang ingin kami datang.

Lalu, Daina ada…

Aku mendengar suaranya, begitu hidup, sama seperti suara yang selalu terbayang dalam kepalaku.
Semangat dalam dadaku berkobar, selalu seperti ini sejak aku menetapkan perasaan.
Aku tidak akan kalah.
Aku pasti akan datang, aku tidak akan mati, tidak peduli apa yang terjadi padaku.

Aku berkata pada Monroe dan Caesar yang masih kesal-kebingungan dengan keputusanku.
Aku yang sekarang lain dengan aku yang dulu.
Aku paling tahu hatiku, tidak ada seorangpun berhak bicara mengenainya.

“Aku berbeda dengan Alexander Boracnitchov,
Aku bertarung bukan dengan mengetahui resiko bahwa aku pasti mati, tapi aku bertarung dengan menyadari adanya kemungkinan besar, kalau aku akan menang.”

-
-
-
-
-
-


Tepat pukul 03:30 pagi, aku mengetuk pintu kamar Ryo.
Betapa lamanya aku berdiri didepan sana sampai sampai kakiku pegal dan sibodoh itu tidak menunjukkan tanda tanda kehidupan sama sekali,
Apa dia pingsan setelah kelelahan karena belakangan ini banyak sekali kuberikan misi seorang diri?
Aku jadi merasa bersalah juga karena membebaninya…
Dia masuk Paladin karena ingin menemaniku dan hanya itu alasannya berada dalam pasukan elit ini.
Sejak aku dan dia bersama sama sebagai prajurit bayaranpun, semua yang ia lakukan hanya mengikutiku kemana mana, kemampuannya hebat dan ia pemegang rekor kecepatan no 1 didunia, tapi tetap saja, ia tipe yang selalu bergantung pada apa yang kukatakan, Ryo tidaklah payah, ia hanya malas berpikir, jika diibaratkan, aku mesinnya dan ia rodanya, seperti itulah kami.
Ketika di Vienna, Bisa kubayangkan betapa bingungnya dia menjadi seseorang yang harus memanduku, orang yang biasanya ia ikuti, Rasanya semua dendamku terbalas, haha…

Tapi tidak akan kukatakan.
Bajingan itu bisa mati bahagia jika tahu aku memikirkannya.


Pintu mengayun terbuka,
Hampir saja aku kena serangan jantung, suprise,
Karena yang membukakan pintu… Adalah Mikia.

“Oh… Ari?!” Wajahnya merah sekali, melihatku seperti sehabis melihat hantu,
Ia terlihat susah payah bangun tidur, rambutnya acak acakan, dan ia hanya mengenakan kemeja kusut, kebesaran sekali ditubuhnya, artinya itu milik Ryo.

“Siapa, Miki? Ha, Ar? Kenapa tidak kau suruh masuk?” Kali ini sibodoh yang muncul, dia juga sama acak acakannya, Bahkan ia telanjang dada dan hanya mengenakan celana panjang piyama.

Jelas sekali mereka habis melakukan apa.

“Tidak usah, Aku buru buru,” Jawabku sambil melipat tangan didada, “Seperti hewan saja, Jadi ini yang kalian kerjakan? Kelelahan sampai sampai tidak ada satupun yang mengangkat telponku?”

Kedua temanku hanya cengar cengir bodoh, oh well, apa boleh buatlah…

“10 menit lagi, kumpul di aula,”

“10 menit?!” Kali ini Mikia terlihat histeris, “Aku perlu mandi, dandan…”

“Dandan tidak dandan sama saja,” Aku berkelit saat tinju Mikia nyaris mengenaiku, “Kita akan melakukan serangan.”

“Hah?” Ryo yang setengah ngantuk tampak muncul lagi begonya, “Serangan? Kemana…?”

“Markas Undead, Pennysylvania, kurang jelas? Jadi siapkan senjata terbaikmu dan ikut denganku,”

Sahabatku yang tadinya malas malasan seolah mendapat cambuk semangat tambahan.
Betapa rindunya ia mendapatkan misi bersama.
“Denganmu? Tidak masalah! Aku masih bisa tidur dipesawat,” Ia mengangguk angguk bersemangat, “4 menit saja, aku pasti sudah ada di aula,” kemudian ia cepat cepat kabur kedalam untuk berganti pakaian, seperti biasa, ia gerak cepat.
Tidak lama terdengar suara grabak grubuk ia menjejalkan apa saja yang bisa ia jejalkan dalam seragam Paladinnya.

Aku dan Mikia melongo tidak percaya.
Mikia seperti terhipnotis, antara ngantuk dan mikir,
Lalu ia tersentak, menyusul Ryo,


“Tunggu, tunggu! 4 menit? Dasar gila!” Mikia berteriak lagi nyaris membuatku tuli.



++++
 
Last edited:
huaaa huaaa huaaaa... Stast baik!!! biarkan ka ari kesana!! dan bicara baik-baiik!!!!

Kalau dipikir kesini, Undead itu tidak sepenuhnya jahat, hukum sebab-akibat berlaku, *Ngakak

Masalahnya adalah, apakah Paladin bersedia bicara baik baik =w=;;
 
Kalau dipikir kesini, Undead itu tidak sepenuhnya jahat, hukum sebab-akibat berlaku, *Ngakak

Masalahnya adalah, apakah Paladin bersedia bicara baik baik =w=;;
itu dia, para paladin yang tua tua tuh.. mereka kan pasti ga mau dengerin para Undead berbicara!!!

kalo mikia, ryo dan ari pasti mau bernegosiasi, tapi mereka?? pasti langsung main hajar dengan senjata!
 
Daina.


______________________
___________________





“Daina..” Aku mendengarkan suaranya memanggilku merdu,
Bersembunyi disudut, aku duduk dilantai sambil memeluk lutut, Berusaha keras melupakan apa apa saja yang kulihat.

“Kau marah padaku?” Dari sisi tempat tidur yang berseberangan denganku, nada bicaranya fasih dan lancar, sekaligus memilukan,
Aku masih tidak menjawab, menutupi wajahku dan bergulung,

“Kau marah padaku… sampai tidak mau bicara atau melihatku lagi,” Lagi lagi memutuskan seenaknya!

“Aku tidak marah karena siapa kau,” Gerutuku, “Aku marah karena kau… Kau melakukannya lagi, padahal aku… aku sudah memintamu untuk berhenti, kan?”

Terdengar desah nafas berat menahan beban, aku meringkuk menenangkan diri, bodoh sekali aku… aku tidak tahu apa yang kupikirkan,
Hanya memaksakan keinginanku sepihak saja…
Bukankah perubahan tidak bisa datang semudah itu? Hatiku selalu, selalu memaafkan bahkan sebelum ia memintanya, Aku sudah bertekad akan selalu mencintai Tasuku apapun dia, tapi kenapa sulit sekali melupakan semua perasaan kecewa itu?


Aku merasa seperti alat…


“Aku akan pergi sekarang,” Ah, begitu, selalu begitu, melarikan diri begitu saja menghindari masalah, tidak tahukah dia dan otak jeniusnya itu kalau sikap semacam ini justru menyebabkan perasaan tidak enakku semakin menjadi jadi.

Kuhitungi detik demi detik,
Kapan Paladin akan datang?
Bisa saja besok, bisa saja satu jam lagi.
Bisa kapan saja, Kak Ari, Kak Ryo, Mikia…
Dan tragisnya justru Tasukulah yang akan menggiring satu persatu teman temanku menuju kematian mereka…


“Kau mau kemana?!” Tanyaku ketus, “Mau membunuh orang lagi?”

Tasuku berhenti tepat didepan pintu, “Apa hanya itu yang ada didalam pikiranmu? Bahwa setiap kali aku pergi, yang akan kulakukan hanya membunuh dan membunuh?” Ia bicara dan ada nada tidak nyaman dalam getaran suaranya.

“Sebegitu menyenangkannya kah membunuh?”

Suara nafasnya semakin berat, bahunya bergerak gerak gelisah, “Aku tidak membunuh,” bantahnya.“Yang kulakukan adalah menghidupkan mereka kembali.”


Lalu pintu dibanting dengan keras sekali, aku menutupi kedua telingaku dengan tangan, wajahku basah oleh air mata.
Egois, egois, egois!

Aneh kan?!
Aku menyumpah nyumpah karena kesal, sesaat kemudian menangis karena menyesali kepergiannya.


+++
 
itu dia, para paladin yang tua tua tuh.. mereka kan pasti ga mau dengerin para Undead berbicara!!!

kalo mikia, ryo dan ari pasti mau bernegosiasi, tapi mereka?? pasti langsung main hajar dengan senjata!

Aku malah yakin, satu2nya yang berpikir dengan tenang hanya Ryo, LOL
Kau tahu, Dia bisa melihat hal yang jarang terpikirkan oleh orang lain, hwhwhwh,
Baginya hari ini musuh, bukan tidak mungkin besok jadi teman(?), Aneh memang...
Justru Mikia dan Ari, aku kok ragu... =w=;;

*Derr
 
Tasuku.

________________________
___________________




“Kukira kau sudah menyerah,”

Tekk, tanganku jadi kaku sendiri, Stast tidur tenang diatas ranjang sementara selang selang yang kutancapkan kedalam tubuhnya pelan pelan menyedot cairan keperakan itu keluar.

“Aku sudah bilang kan, aku hanya bertaruh,” bisikku kalem, menghitung formula campuran yang sesuai perkiraanku.
Mendapatkan warna warna merah terang bercampur silver itu pelan pelan berubah menjadi lebih jernih,

Kelihatannya aku sudah berhasil mendapatkan apa yang kuinginkan.

“Bertaruhlah… kalau aku menang, berarti aku juga kalah…” Ia membisikkan kalimat sulit yang kupahami dengan mudah.

“Tidak ada yang akan berubah, jika ada,” Aku membereskan tabung percobaanku, “Aku akan menggantinya dengan yang lebih baik…”
Tanpa melihatpun, aku tahu Stast sedang tersenyum saat ini.

“Kau bisa bergerak?” Tanyaku, mencabuti selang selang itu dari tubuhnya, aku merangkulnya, mendudukkan dan memberikannya banyak bantal sebagai penyangga punggung itu, setelah mengambil begitu banyak darah darinya, ia lemah kini, bahkan mungkin tembakan beberapa peluru saja bisa membunuhnya, bisa kulihat betapa ringkihnya ia sekarang, terlepas dari wajah inosen tanpa dosa, lautan ilmu pengetahuan yang akan selamanya muda.

“Tak pernah lebih baik dari ini,” Stast terkekeh, “Tak pernah… diperlakukan sebaik ini sebelumnya,”

Aku terdiam, menatapnya kasihan,
Ferina… dan yang lain, mereka hanya memperlakukannya tidak semestinya, mereka setengah memanfaatkannya, setengah takut padanya.
Dalam dunia Undead, tidak ada kawan yang benar-benar kawan,
Aku mengira ngira apa selama ini Stast sangat kesepian?
Ia berbeda dengan yang lain.
Seperti apa yang kukatakan sebelumnya.
Ia mencintai kami, keturunannya, begitu dalam penuh kasih seperti darah dagingnya sendiri.
Ia selalu membantuku, tidak pernah bertanya ataupun mengeluh, memberikanku nasehat apapun jika aku butuh…
Bagaimana aku harus berterima kasih?

“Jika saja aku punya ayah,” Gumamku, “Aku pasti akan merawatnya sama seperti ini ketika ia sedang sakit,” Kakakku tidak pernah sakit, atau bisa jadi pernah tapi tidak mau mengakui bahwa ia sedang sakit.
Orang bilang aku mirip ayahku, baik sifat maupun penampilan, dan kakak kuat berambut hitam sama seperti ibu kami yang dulunya seorang mantan petugas kepolisian,
Berapa umur ayah kami jika saja ia masih hidup sekarang?
Belum setua Stast… tapi andai saja ia masih ada, tidak ada kesempatan bagiku untuk membahagiakannya, syukurlah ia tidak melihat anaknya menjadi makhluk seperti ini…

Stast meremas bahuku, aku tersadar dari lamunan,

“Aku tidak pernah punya anak, My Lord… jadi aku tidak tahu,” Ia menyambung lagi, “Tapi jika saja aku punya anak, pasti akan seperti ini rasanya.”

Aku tersenyum, mengangguk, “Istirahatlah sebentar,”

“Ini tidak akan sebentar, aku mungkin akan tidur selama dua tiga hari kedepan sebelum mulai berburu,” Stast menyeringai, “Temui dia, My Lord, kau dengar, aku akan memenangkannya, aku percaya diri sekarang.”



Ingin tertawa, aku mengiyakan sembari menarik selimut tebal menutupi Stast.


++++
+++
 
Daina.



____________________________
________________________



Perlahan, aku bangkit dari tempat tidurku,
Lelah menangis, rasanya sejak datang kemari aku jadi sering sekali meneteskan air mata, entah karena kesepian, bertengkar dengan Tasuku, ditakut takuti vampir lain, atau karena rindu, mencemaskan kak Ari dan teman temanku yang lain.
Bayanganku dicermin samar samar terlihat kacau, mataku bengkak, rambut awut-awutan, aku meraih sisir sikat disampingku, mulai menyisiri rambut.

Tasuku, Ia berubah?
Aku tidak tahu ia berubah karena apa,
Mungkin saja ia memang jadi lebih lembut, penyabar, dan memperlakukanku lebih baik dari yang dulu, sedikit banyak, aku melihat kemiripan dengan pribadinya sebelum berubah menjadi Undead.
Tapi ditempat pertama, ia tetap saja menjalankan rencananya…
Pada akhirnya, hanya aku sendiri yang merasakan sakit.
Mengapa?
Mengapa perasaanku sama sekali tidak bisa menjangkau hatinya? Mengapa tidak tersampaikan?

Tanganku bergetar tidak bisa membendung kesedihan, bayangan cermin sekarang yang kulihat bukanlah refleksiku sendiri, melainkan pemandangan mengerikan Tasuku dan Kak Ari sama sama terbunuh dalam pertemuan mereka selanjutnya…

“Tidak…!” Aku melempar semua yang ada didepanku kearah cermin, membuat kaca didepanku retak, kemudian pecah berkeping keping.
Aku menutupi kedua telingaku dengan tangan, menolak menerima kenyataan.
Tidak boleh… Ini tidak boleh terjadi…
Apa yang harus kulakukan… apa yang harus…?
Pandanganku tertumbuk pada pecahan kaca dikakiku, hati meradang seperti menemukan jalan keluar,
Kegilaanku bangkit lagi.
Kak Ari sudah sering sekali mengatakan bahwa aku gila.
Ya, aku gila, jika menyangkut Tasuku aku ini bisa jadi sangat gila.

Tasuku membawaku kemari setelah aku jatuh dari tebing, ia jadi lebih baik lagi saat aku jatuh sakit, dan jauh lebih baik lagi setiap kali aku sekarat.

Cukup kan?
Cukup dengan aku menyakiti diriku sendiri kan?
Ia akan menuruti segala keinginanku… ya kan? Betapa dungunya, aku bisa saja mati, tapi…
Tak apa, aku mulai mengerti, bagaimana aku harus membuat diriku sendiri sekarat agar ia melihat kearahku.
Bagus sekali, Cinta yang sangat indah, Daina…


Konyol.


Meskipun akal sehatku melarang, nyatanya tanpa keraguan aku tetap memungut pecahan terbesar yang bisa kuraih.
Memegangnya dengan mantap kemudian mengarahkannya kepergelangan tanganku sendiri.
Kosong, hatiku benar benar kosong, Ujung tajam tersebut sudah menggores kulitku, aku merasakan nyeri tapi tidak mau berhenti, darah mengalir…

“Apa yang kau lakukan, lepaskan itu!”

Tasuku datang, cepat sekali, merampas benda dalam genggamanku, melemparkan sembarangan, ia tampak ragu untuk mendekatiku.

Aku terhuyung, masih bisa berdiri.

“Kenapa? Tidak ingin membunuhku?” Aku menantang, aku sudah tahu ia takkan mendekat, bau darah ini membuatnya mabuk kepayang, dilain pihak, aku senang menyakitinya, aku merasa menyakitinya dengan cara seperti ini. “Aku sudah tidak berguna lagi, kan? Aku hanya membantumu mempermudahnya sekalian…”

Tasuku berdecak kesal, “Kau…” Diluar dugaanku, ia berpaling, mengobrak-abrik laci meja rias lalu menarik keluar sehelai sapu tangan besar.
Mendatangi tergesa gesa, membalut lukaku, semua dilakukannya tanpa ragu seakan ia manusia biasa sama sepertiku.

“Aku tidak pernah mengerti pikiran perempuan,” Keluhnya, “Kemarin kau menjatuhkan diri dari tebing, sekarang kau menyayat pergelangan tanganmu sendiri,”

“Aku tidak melakukannya karena ingin mati.” Jawabku, “Aku melakukannya karena hanya itu satu satunya cara untukku agar kau mendengarkan…”

“Kekanakan, Kau bisa saja mati saat mencoba.”

“Aku tidak peduli,”

Tasuku menatapku, aneh.

“Kau mau apa? Bertengkar sekarang?” Suaranya kedengaran sedang mengalah,

“Habis dari mana saja? Membunuhi orang orang lagi?”

“Kalau benar begitu maumu apa?”

“Masih bertanya?!” Emosiku lagi lagi tersulut, ini jadi seperti pertengkaran sepasang kekasih biasa, atau ia yang sengaja membuatnya seperti itu.
Kekanakan? Ialah yang memperlakukanku seperti anak anak…
Ia sama jahatnya, sama liciknya dengan Undead Undead itu.
Meski ia tidak pernah tega mengancamku dengan kematian.

Tidak, bukan kematian yang membuatku takut,
Tapi adanya kemungkinan bahwa aku akan kehilangannya lagi membutakan mata batinku.

“Aku sanggup menerima penghakiman macam apapun juga, asalkan jangan begini…!” aku menyeka air mataku, “Kau memanfaatkan aku, aku tidak suka itu, aku ingin kau kembali, apapun akan kulakukan…!” Tanpa sadar aku berteriak. “Tapi kau… Masih saja, melakukan hal hal mengerikan seperti itu! Bunuh saja semua! Bunuh sampai tidak bersisa sama sekali!”

Tasuku entah sejak kapan berada disampingku, ia berjongkok menyibak helaian rambut yang menempel dipipiku.
Ekspresi itu lagi, ekspresi mati yang tidak kukenal…
Aku akan membawanya, aku akan membawanya kembali meskipun aku harus menyeretnya secara paksa…

“Aku hanya melindungi diriku sendiri, dan kau,” Katanya membujukku,
Nice, Aku dibawa bawa lagi, apa dia pikir aku senang? “Dibunuh, atau membunuh, hanya itu yang kupunya sekarang.”

“Kau, akan mati…” Aku bergetar hebat, mencengkeram baju bagian dadanya, “Kumohon… Berhentilah sekarang, Kau dan kakak… kalian akan mati, aku tahu, tidak akan ada akhir atau pemenang diantara kalian, ini tidak ada gunanya… berhenti, berhenti…!”

Tasuku masih tetap diam, kelihatannya ia juga sama sekali tidak punya ide apa yang ingin ia katakan,

“Kita masih punya kesempatan,” Aku memohon, “Kita bisa lari, kemana saja, dunia ini luas, kita bisa, aku akan selalu bersamamu,”

“Kehidupan ini adalah milikku,” Ia memelukku, lembut sekali, “Aku hanya melakukan apa yang sudah seharusnya kulakukan, aku harus menyelesaikan apa yang kumulai,”

“Kakak akan membantu!” Seruku putus asa, “Ia tidak pernah… menginginkanmu mati, ia sama sepertiku, mencintaimu, kau punya aku, kau punya keluarga, jangan lakukan ini, jangan padaku, kumohon, aku mohon padamu...”

“Aku tidak bisa…” Lirihnya, “Aku sudah mati, aku adalah Undead…”
mendengar kata kata itu emosi tidak dapat kukendalikan lagi.
Tidak, tidak, Tuhan!

“Kalau Tasuku tidak ada,aku juga tidak punya lagi alasan untuk hidup!”

Gegabah, aku berlari menuju balkon,
Mengerikan! tidak punya perasaan!
Dia adalah Undead…? Dia suamiku, yang kutahu, Dia suamiku!

“Kau tidak akan melakukannya,aku mengenalmu”
Nada dalam suara Tasuku tidak berubah satu oktaf pun,
juga ketika aku naik keatas beranda dan melakukan gerakan seperti hendak terjun.
Tasuku salah! Aku akan melakukannya,
lebih baik mati daripada kembali hidup tanpa Tasuku! Aku tidak punya siapa-siapa lagi yang bisa kucintai selain dia!
Hanya Tasuku yang kucintai, hanya ia yang membuatku tergila-gila hingga seperti ini, aku tidak sanggup melihat kenyataan setelah ini…
Jika Tuhan tidak bisa mengembalikan dia, maka Tuhanpun tidak termaafkan.

“Baiklah, selamat tinggal!” aku berhenti melihat wajahnya saat aku menjatuhkan tubuhku, merasakan angin dan suara deburan ombak dibawahku,
pergelangan tanganku ditahan oleh sesuatu yang dingin,
begitu kusadari aku telah menjuntai begitu saja di beranda dengan kedua kaki terombang ambing tanpa arah,

Tasuku menahan satu lenganku hingga aku menggantung seperti cucian yang belum kering,aku tidak berani melihat kebawah,
jika melihat,aku pasti akan pingsan.

Aku ditarik dengan begitu mudahnya,
rambut panjangku berkibaran tertiup angin, lantas ia menggenggam kedua bahuku,

Berbeda dengan sorot tenang dan lembut barusan.
matanya sangat marah, kelihatan sekali aku telah menghabiskan seluruh kesabarannya.
Warna matanya berubah-ubah mulai dari warna kuning gading,hitam kelam,hingga merah menyala, lalu kuning gading lagi,
dan dalam penglihatanku mata itu bagaikan batu permata citron topaz yang memiliki keindahan tiada banding didunia ini.
.
“Sebegitu inginnya kah kau mati, bodoh?!” ia membentak, “Siapa yang tidak punya perasaan sekarang?!” semakin ia marah,ia terlihat semakin menakutkan,
gigi taringnya terlihat jelas dari celah bibir pucatnya, bukan malah menakutkan, justru membuat suamiku semakin menawan.
aku memang bergetar,tapi suaranya lebih bergetar lagi,ia tidak menungguku bicara, begitu marah seakan ingin mematahkanku jadi sebelas bagian.

“Bukankah kau yang mengatakan kau itu Undead?! Kau Undead dan aku manusia, bukannya aku mati ditanganmu atau aku mati karena lain sebab itu sama saja bagimu?!”

Kenapa kau menolongku? Kenapa, Tasuku?
Aku tidak percaya perasaan diantara kami hanya sebegini saja.
Awalnya ia hanya menatapku,

Kemudian ia tertawa lantang,

“Aku sedari tadi bertanya, Jadi itu yang kau inginkan?” ia memandangku dengan sorot lapar,aku ingin lari dari hadapannya,tapi kakiku bertahan di tempat,menunggu maut datang.
“Baik,aku akan mengabulkan keinginanmu,” jawabnya pendek,
Pada saat ia memamerkan tangannya padaku, aku menyaksikan kuku kuku nya memanjang tidak beraturan,runcing,
tidak perlu kujelaskan pada diriku sendiri, bahwa aku sedang melihat mutasi.

“Aku akan mengakhiri nyawamu, seperti keinginanmu, disini tidak ada kak Ari atau siapapun yang akan menghalangi kematianmu, bersyukurlah”
kami berdua berdiri berhadapan,
ia mengelus leherku dengan kuku nya yang setajam silet itu,
sementara aku, diam tak bergeming, antara takut dan tegang, karena benda tajam itu bisa merobek tubuhku kapan saja.
Angin yang bertiup menerpa kami malah menyibak rambutku kearah belakang, membuat bagian leherku terlihat sepenuhnya.

Semenit berlalu,dan masih belum terjadi apa-apa.
aku terus menunggu, menatapnya yang masih memandangiku, khas makhluk mati, ia tidak berkedip sama sekali,
lima menit berlalu, keyakinanku akan ancaman berlalu sudah,
kurasakan hal lain melalui elusan lembut yang kini mengitari bagian belakang leherku, terus melalui tengkukku dan semakin jauh.

Rasanya seperti menjadi benda seni bernilai tinggi yang dipuja penikmatnya...

“Kenapa…?” aku bertanya,dan Tasuku tersentak, “Aku tanya, kenapa? Bukankah kau bilang akan membunuhku? Lakukan!”

Tasuku tidak bisa menjawabnya,sudah kuduga…
Mataku kembali berkilat penuh harapan,

“Benar,kan apa yang kubilang?” aku memeluknya, sengaja merengkuh kepalanya ke samping,agar bibirnya menempel tepat pada leherku,
aku ingin tahu…,aku ingin tahu….
sangat ingin tahu hingga aku mau menempuh hal berbahaya seperti ini!

“Kau mencintaiku, kau punya aku… Kembalilah…”
Aku tahu,saat ini ia tengah menghirup aroma menggiurkan darahku, sangat dekat, bahkan aku tak perlu meragukan, urat leherku berdenyut sangat terasa disana, membunyikan suara lembut darahku terpompa dengan sangat cepat karena jantungku yang berdebar sekarang.
aku yakin ia mendengarnya dengan sangat jelas.

Tidak sabar, aku tahu aku gila, kusibakkan lengan bajuku, menarik sapu tangan yang semula dililitkan Tasuku dibagian pergelangan tangaku, aku meringis menahan nyeri, darah segar mengalir dari luka kecil yang kubuat, Tasuku nampak shock menyaksikan kenekatanku.
Perih dari luka kecil ini tidak ada apa apanya, tidak ada apa apanya…
Dibandingkan perih pada saat aku harus berpisah darinya yang kucintai…

“Tunggu apa lagi?” Desakku, “Ayo! Bunuh aku!”

Untuk sesaat Tasuku melihat wajahku, masih terlihat marah, Ia mundur, seperti ketakutan akan sesuatu, ia seperti pecandu yang bersikeras tidak mau menyentuh heroin didepan matanya,

Aku sakit.

Ia menghindariku seakan aku adalah sampah…

“Kenapa…” Aku menangis, putus asa, “Kenapa Tasuku memperlakukanku seperti ini…”

Tasuku membuang mukanya, “Jangan mendekat!” Bentaknya.

Sakit.
Sakit sekali, Tuhan…

Aku mencecarnya, merentangkan lenganku yang meneteskan darah kearahnya, sengaja.
Jika aku masih tidak bisa bersamanya, lebih baik, lebih baik aku mati ditangannya.
Itu tidak akan terlalu buruk karena setidaknya aku tidak perlu merasakan sakit seperti ini lagi.

“Tasuku!” Aku menekannya, mendekatinya dan memegang kedua lengannya, menyentak dengan kuat hingga mau tak mau matanya beradu pandang denganku.


++++
 
Tasuku.

________________________
_____________________



Mata itu lagi.

Wangi darahnya menyeruak disekelilingku, Indera penciumanku meraba kemana mana,
Rasa rindu menyala nyala seperti api.
Tapi bukan itu yang paling menterrorku saat ini.

Mata itu.

Mata yang telah merasakan penderitaan begitu hebat… karena aku.



+++
 
Daina.

__________________________
______________________



“Kau tidak mengerti…” Desisnya, Detik yang sama mata kami bertatapan.
Tasuku membalikkan keadaan, ia menekan tubuhku dengan kuat di ujung beranda, merunduk dan bibir dinginnya kembali menyentuh leherku, Ia mendesis seperti ular,
beberapa lama ia diam saja tanpa melakukan apa-apa,
kukira aku akan merasakan rasa sakit luar biasa saat gigi taring itu menyayat dagingku,
tapi-alih alih gigitan-yang kudapatkan adalah ciuman.
Bibir yang dingin.
Sama seperti hatinya, bukan?

Tubuhku diangkat dan didudukkan diatas balkon,
aku terkesiap kaget, meski demikian, Tasuku menahanku hingga tidak bisa bergerak lagi,
gerakanku terkunci, aku melemah,membiarkan ciuman itu jauh menyelinap menjadi tak terkendali, lidahnya menyapu leherku semakin liar, menjelajahi dan mencari-cari apa yang dapat menyenangkan hatiku.

Aku tidak mengerti.
Sesaat tadi, perasaan dingin dan sakit itu, sekarang tergantikan oleh hangat yang lain.


Lalu tiba tiba saja, semuanya terjadi begitu tiba tiba.
Panasnya seperti membakar.
Perasaan seperti ingin mati.


Saat Tasuku benar benar membenamkan gigi taringnya dikulit leherku.


Air mataku meleleh…
Jadi ini pilihannya…?

Sungguh, ia benar benar dingin…


Berikutnya,ketika ia menciumi daguku, menjilati darah yang menetes dari luka dileherku yang dibuatnya, terus kearah dada, aku menunduk lemah untuk melihat wajahnya,

Tasuku menatapku, kembali, ekspresinya tidak terbaca.
“Inikah yang kau inginkan?” Ia bertanya, walau tahu aku takkan bisa menjawab lagi.
Ia mencium bibirku, lembut.
Biasanya ia selalu menghindari ciuman karena aku bisa saja terinfeksi dengan cara itu.
Tapi sekarang sudah telanjur kan?
Mulutnya beraroma khas darah dan besi,tapi nafasnya luar biasa harum, keharuman mawar dan jasmine,
Apa seperti ini caranya menghabisi mangsanya?
Penuh kelembutan,
Anehnya, Aku tidak peduli, tidak peduli bahwa setelah ini aku akan berakhir menjadi makanannya.
Kusambut ciuman maut itu dengan penuh cinta,
Sakitpun tak apa, karena deminya aku selalu siap menahan sakit.
Entah kenapa,aku baru sadar setelah beberapa menit,bahwa gaun yang kukenakan telah habis terkoyak, tanpa menyisakan sehelai benangpun, pertanda ia sudah tidak dapat menahan dirinya untuk tidak bertindak lebih jauh lagi,
kami berdua semakin kalap, kami tahu bahwa kami tidak bisa mundur lagi, tidak sanggup mundur lagi.

Tapi aku telah dihempaskan dengan keras sekali hingga terjatuh tepat diatas tempat pembaringanku,
Darah menyembur dari mulutku, berapa tulang yang patah?
Aku menggeliat, masih bisa bergerak... berarti aku belum mati...

Ia cepat, merayap mengerikan keatasku, suaranya berdesis,
Sisa kain yang melekat ditubuhku terkoyak rapuh hanya dengan sekali sentakan tangannya, aku masih belum sepenuhnya menyadari apa yang terjadi ketika Tasuku berputar dan memelukku dari belakang,
ce,cepat sekali dia…padahal barusan ia ada didepanku…
lalu Tasuku menarik sisa gaun dibagian bawah, membuat bagian pahaku terekspos sempurna, ia mengoyak kain itu menjadi carikan-carikan kecil, lalu menindih tubuhku, bibirnya masih bergantian menempel dileher dan dadaku, dingin.

“Ta…Tasuku…” ucapku lemah,kuremas perlahan helaian rambut pirang Tasuku,berupaya menahan sakit sekaligus rasa rindu yang meletup-letup ingin keluar,

Kenapa?
Ia menyakitiku dan aku memaafkannya?

Aku memohon padanya, ia bahkan tidak bisa mengabulkan keinginanku...
Kenapa aku semudah ini memberikan maaf?
Ia menjamah seluruh tubuhku dengan begitu lembut, rasanya aku akan meleleh karena panas,
Tasuku…Tasuku selalu mampu membuatku terbuai sedemikian rupa hingga aku melupakan dunia ini,

Sementara bibirnya sibuk bersarang diperut,
Jarinya meraba keatas menuju tenggorokanku, berhenti dibagian dimana uratku masih berdenyut lembut menyuarakan jantungku yang telah berdetak dengan sangat kerasnya,
Memastikan,
Terus mencari cari, lembut menyusuri daguku dan berhenti tepat diatas bibirku,

mata kami sejajar, nyaris saja suara keluhan ringan terdengar dariku, ia membungkamnya dan memasukkan ibu jarinya ke dalam mulutku, meraba lidahku, liar tetapi sangat perlahan.

“Mmmpphh…”desahku tertahan,secara instingtif menghisap. Tasuku terlihat gelisah menatapku,matanya sayu dan redup,ia menggerakkan ibu jarinya didalam mulutku, resah.
Kucecap jari-jari itu dengan penuh kasih, kurasakan wajahku memanas, dan mungkin saja telah dipenuhi rona merah, tapi aku memberanikan diri.
Kulihat ia memejamkan mata, menikmati sensasi pada indera perasanya.
Tuhan…,aku mencintainya…,kami saling mencintai…

Kraakk!
Bagian bagian mengeluarkan bunyi aneh, suara suara retak apa itu?
Lalu rasa sakit teramat sangat menyergapku begitu saja.
Ini racunnya kan?
Racun Undead.
Aku… akan mati, benar benar akan mati,
Ditengah rasa sakit itu, perih, perih, aku merasakan tangannya bermain dibagian bagian sensitifku tanpa ampun.

Aku ingin berteriak, sakit!
Sakitnya tidak terperikan, tapi jarinya masih berada dalam mulutku.
Memaksaku menahan apapun itu yang saat ini menggerogoti didalam tubuhku.

Penglihatanku berkurang, terkadang jelas, terkadang kebutaan melanda, memberikan tanda bahwa aku akan segera kehilangan hidupku.
Gelap disekitarku ketika kurasakan sesuatu menerobos tempat dimana pusat kesucian wanitaku berada, dingin...

Itu Tasuku, tentu saja aku sangat mengenali perasaan ini.
Bahagia?
Ya, gilanya.

Lalu rasa sakit teramat sangat dibagian leherku.
Suara menghirup dengan rakus.
Aku ingin berteriak memanggil namanya, tidak bisa....

Sakit! Sakit! Sakit!
Aku mengeluh tidak tahan, rasanya semakin sakit sehingga nikmat yang sedang ia berikan disaat bersamaan lenyap sama sekali,
Tidak, ini sakit sekali, rasanya seperti… sesuatu seperti… bergerak gerak dalam darah dan dagingku… berusaha memakanku dari dalam…

Aku menderita, begitu menderita sampai sampai aku merasa ingin memohon agar ia langsung membunuhku saja…

Ia akan membunuhku, aku akan mati...

Kurasakan sesuatu yang sedari tadi membungkamku ditarik keluar,
Seperti diawasi, ia sedang menonton reaksiku disana.
Apakah aku akan menangis, apakah rasa sakit yang membunuhku ini membuatku manja atau berkata bahwa aku menyesal mencintainya...
Baiklah, apa maumu sekarang?

Nyeri itu semakin menjadi, seakan ada jutaan silet bergerak mengoyak ngoyakku dibawah lapisan kulitku.

Aku tidak akan berteriak, tidak akan berteriak!
Aku menatapnya, hanya air mata yang mengalir disudut mataku, deras sekali, menjadi bukti kesakitan yang sedang kurasakan.

Tasuku terdiam, aku tidak mendengar lagi suara darahku yang disedot paksa keluar dari dalam tubuhku, Mendadak aku menjadi tuli, nyaris tak bisa merasakan apa apa lagi selain rasa sakit amat hebat diseluruh tubuhku sehingga membuatku nyaris mati rasa.
Tidak ada apapun kecuali perih membakar ini.

Peluk aku...
Kumohon, peluk aku...
“Dingin, Tasuku…” Isakku, “Dingin sekali…”


++++
 
Last edited:
Back
Top