Daina.
___________________________
_______________________
Aku kembali menikmati saat saat tenang sambil mengharap kedamaian seperti ini akan berlangsung selamanya.
Tidak ada yang terjadi lagi, aku mulai menghitung hari, tidak tahu pasti berapa lama sudah aku disini.
Mungkin 2 bulan? atau lebih?
Tasuku selalu dan selalu memperhatikanku sehingga aku mulai kerasan, kecuali malam itu, Stast juga tidak pernah menggangguku lagi.
Yah, Praktisnya, tidak ada apa apa.
Sama sekali.
Apakah Tasuku sudah mulai membatasi gerakannya?
Ia selalu sibuk bersamaku sepanjang waktu...
Dalam hati aku gembira memikirkan khayalan khayalan bahagia itu.
Hari ini,
Seperti biasanya aku bermain main diluar dan Tasuku menemani disampingku.
Ia begitu baik, membantuku merawat bunga bunga sebagai kegiatanku setiap hari, hasilnya, lebih banyak benda hidup kecil itu bertebaran didepan Mansion sekarang.
“Lagi?” Ujarku melihat Tasuku memasangkan mahkota bunga pada rambutku, ia tertawa,
“Kau seperti peri,” pujinya, melihatnya sangat sungguh sungguh, kau tidak akan tega protes lalu mengatakan bahwa ia sedang menggombal.
Ia selalu bicara dengan raut wajah serius seperti itu,
Aku menggenggam bunga bunga itu, “Dulu,” Kataku mengingat ingat, “Saat kita baru saja bertemu, kau juga pernah melakukan ini untukku, kau juga mengatakan hal yang sama.”
‘Karena hanya ini yang aku bisa selain Rumus Kimia,’ Adalah yang dikatakan Tasuku saat itu.
“Benarkah? Aku lupa…” Sebelah Alis Tasuku terangkat tidak yakin.
Gemas, aku memukul dadanya.
“Jahat! Itu penting bagiku,” Seruku merajuk, “Aku sedih kau lupa…”
“Hey…,” Tasuku mencubit pipiku, “Karena bagiku masa depan denganmu lebih penting,” Merasa tak mendapat respon, ia merangkulku dari belakang, “Ayolah Di,” Membisikiku, “As your king, I command you…”
Ia menempelkan telapak tangannya pada tanganku, dibawah mendung dan cahaya matahari samar samar, aku melihat betapa kulit yang kini tidak dialiri darah itu seputih pualam.
“Untuk tidak bersedih… Berbahagia selalu selama lamanya,”
Aku terpesona, tertarik semakin dalam, suaranya lembut seperti menghipnotis,
Merdu terdengar bagaikan dentingan alat musik paling menakjubkan.
Percaya, aku percaya, aku sangat percaya, Aku akan mengikutimu kemanapun,
Aku akan melakukan apapun untukmu, kau Rajaku, kau duniaku, Aku percaya padamu…
Kuserahkan diriku, jiwa ragaku, hidupku, semua milikmu.
Bawa aku kemanapun kau pergi…
“Jika kau tidak bisa melakukannya untuk dirimu sendiri, lakukanlah untukku…”
Bisikan itu menyamai suara angin yang membelaiku.
Perasaanku meluap, Aku nyaris berbalik dan melompat kedalam pelukannya,
Kemudian deru tembakan yang memekakkan telinga menghancurkan emosi yang susah payah kami berdua bangun, seakan jantungku berhenti berdetak saking terkejutnya, refleks menutup mata,
Tasuku…?
Lagi, suara tembakan.
Pelan pelan kubuka kedua mataku, demi memastikan ia baik baik saja, asap menghalangi pandanganku, mengurung kami berdua, aku maju kedepan, tanganku meraba raba sekitarku, aku merasakan bunga bunga yang susah payah kutanam terinjak begitu saja, berkeresak, aku nyaris menangis, putus asa, mencari cari lelaki yang kucintai,
Berdoa untuk keselamatannya.
Tapi aku malah mendapati ia yang kucintai lagi lagi berada didepanku,
Darah merah keperakan membasahi jubah putih bersihnya, menetes anggun dari kepalanya,
Tubuhnya penuh luka,
“Tasuku, kau…”
“Kau tidak terluka kan?” Tanya Tasuku cemas, ia tidak kesakitan, malah sebaliknya, walau aku mencemaskannya dan ia kelihatan sebagai yang paling pantas dicemaskan, ia bersikap seperti tidak ada apa apa, aku terkejut, cepat cepat menggeleng,
Dari kepulan asap tebal, samar samar aku melihat beberapa orang ditepi hutan,
Paladin.
Dari seragamnya saja aku sudah sangat mengenali.
Mereka pastilah Paladin, apa mereka kemari untuk melacak Tasuku…?
“Lihat kan, para tikus muncul sendiri pada akhirnya,” Secepat tiupan angin topan, Stast muncul dihadapan kami, seluruh tubuhnya menegang dalam posisi tempur.
Cakarnya yang lebih keras dari baja kelihatan bersiaga, Berkeretak seiring gerakan halusnya diudara.
“Sudah terkepung!” Orang orang bertopeng itu juga dalam posisi tempur, “Stast the origin dan Dr.Gabriel,” Mereka berteriak, “Tidak sia-sia jika bersusah payah mendekati tempat ini… Kita mendapatkan keduanya sekaligus!”
Lalu tembakan demi tembakan dilancarkan lagi, “Aku sudah bilang padamu, My Lord, beginilah jadinya kalau kita menetap disuatu tempat untuk waktu yang lama,” Aku yakin sekali ia sedang bicara pada Tasuku, Stast mentransformasi lengannya kedalam bentuk tombak yang menjadi perisai sekaligus senjatanya pada saat bersamaan.
Ia maju secepat kilat kearah penyerangnya, tidak mempedulikan hujan peluru mengerikan menembakinya dari segala arah.
Ia menangkisnya, setiap gerakannya tepat sekali.
Apa dia bisa membaca dengan tepat arah peluru?
Atau semua yang ia lihat nampak dalam gerakan slow motion?
Ia kuat sekali, dalam sekejap, ia bahkan menangkap moncong senjata itu.
Menarik dan menghancurkannya seperti kerupuk.
Para orang orang terlatih dari Paladin itu tentu saja bukan lawan yang gampang, beberapa dari mereka bahkan memiliki spesialisasi senjata jarak dekat,
Sementara tembakan masih dilancarkan, Dengan Timing yang luar biasa tepat agar rekannya bisa terhindar dari peluru, satu sama lain mulai menyerang kearah Stast,
Aku berlari kedepan untuk melihat luka luka Tasuku, Begitu aku menyentuh bahu Tasuku, Lelaki yang kucintai membalikkan badannya kearahku, demi menunjukkan bahwa sekarang luka luka itu telah lenyap, serpihan peluru keluar seperti karet dari kepala maupun tubuhnya, ia masih berlumuran darah dan cideranya pelan pelan menutup, cepat sekali!
“Sudah biasa begini,” Desis Tasuku, “Ayo, kau harus masuk kedalam, Stast bisa mengatasi semuanya,”
Aku terdiam, ah... “...Bukan begitu maksudku,”
Tasuku diam menungguku menyelesaikan kalimat, berpikirlah Daina, ada, pasti ada yang salah... Ada yang salah!
Kau ingin mengatakan apa?
“Dia bisa membunuh semuanya!” Desakku, “Kau harus menghentikan mereka, tidak harus membunuh, kan? kau pasti bisa melakukannya…”
Belum sempat aku selesai bicara, kapak besar menghantam punggung suamiku,
Teriakanku tertahan.
Darah.
Mengucur banyak sekali.
Dari lukanya,
Jika manusia biasa dengan volume darah sebanyak itu dan luka sedalam itu.
Ia pasti sudah mati.
"Markas!" Pria itu terlihat bicara, ia menekan kapak besar itu lebih kuat kedalam, membelah jantung Tasuku dengan ketepatan mematikan.
Aku tahu, ia sedang melaporkan keadaan...
"Memang Dr. Gabriel! Nona Daina juga ada disini!"
Perhatianku terombang ambing antara namaku yang sedang dipanggil, lalu pada Tasuku.
Kenapa? Ada apa? Reaksinya tampak lambat...
"Dia ada? Kalian menemukannya?"
Suara Baritone yang akrab ditelingaku mengambil alih komunikasi yang semula dipegang operator.
Kakak...
Itu Kak Ari.
Dia sedang... mengkhawatirkanku? Dia mencariku?
"Selesaikan misi dan bawa dia pulang,"
Prajurit itu menjawab patuh. ia mengeluarkan shotgun.
Aku berteriak hendak menghentikannya, tapi ia menembak cepat sekali dalam jarak dekat dan membabi buta kearah Tasuku.
Prajurit didepanku menghela nafas lega, "Nona Daina, ikutlah dengan kami, ini akan segera selesai..."
"Tidak... aku..." Tasuku, tidak mungkin mati semudah ini, kan?
Kenapa?
Aku melihat luka dimana kapak raksasa itu menancap dalam, tidak ada tanda tanda perbaikan jaringan, pun Tasuku, berdiri dengan kepala tertunduk seperti patung batu.
Wajahnya tidak terlihat diantara rambut pirang yang jatuh meriap menutupi muka.
Aku pernah membaca jika Undead jenis Vampir kehilangan banyak darah ... tidak mungkin... rigor mortis?
Bukankah ia terlalu awal untuk sampai pada kondisi kaku mayat itu?
Prajurit Paladin itu menyalakan pemicu api,
"Tidak... Jangan...!" Teriakku, ia akan membakarnya! habis sudah!
Tik!
Tasuku terkejut, Ia bereaksi disaat saat terakhir,
Namun api besar terlanjur menjilat tubuhnya.
"Tasuku!" Teriakku dalam kegilaan.
Menghambur kearah nyala berkobar.
Tap!
Aku terjerembab keatas tanah.
Kakiku...
Majupun tidak bisa, seakan ada kekuatan yang menahanku agar tidak bergerak satu sentipun dari tempatku berada.
Aku menoleh kearah kakiku,
Pada tangan pucat yang keluar dari dalam tanah.
Memegang erat kedua kaki, menarikku mundur pelan pelan.
Aku mengalihkan pandangan tidak mengerti kearah Tasuku,
Ia belum mati?
Api telah padam, menyisakan hanya sosok hitam legam terbakar, semula adalah suamiku...
Tasuku...? Aku menunggu, tegang.
"Mati...!" Si Prajurit berkata bangga, Ia mengeluarkan, kali ini, pemicu api yang lain, benar benar akan menghabisi Tasuku sampai jadi abu.
Kejadian selanjutnya benar benar diluar akal, atau begitulah setidaknya yang terlihat dimata manusiaku.
Mengerikan, karena dari sudut ini, aku bisa melihat dengan jelas...
Bagian dimana mata seharusnya berada terbuka.
Mendelik secara mengerikan.
Kreek...
Betapa ngerinya aku melihat kepalanya berputar dengan sangat mengerikan kearah yang seharusnya belakangnya,
Ia seperti hantu, aku tidak mengenalinya lagi.
“Kau nyaris melukai Istriku…” Lirihnya lembut kearah penyerangnya, sedetik kemudian ketika ia sudah membetulkan posisi kepalanya, dan tulang tulang mengerikan keluar dari dalam tubuhnya. Mencabik penyerangnya dalam sekali serang.
Tanpa sempat melawan, Prajurit itu mati dengan darah menetes-netes, aku merasakan percikan yang sama membasahi wajahku, padahal aku berada cukup jauh, shock, aku menutup mulut tanpa bisa berkata apa apa,
Memperhatikan saja bahwa dari tulang tulang yang menembus tubuh mangsanya, Tasuku yang kucintai menyerap setiap tetes darah segar, memejamkan mata dan merasa hidup.
Begitu menikmati acara makannya yang ganjil…
Dan... aku melihat semakin banyak ia menyerap darah mangsanya, ia semakin kuat, aku menyaksikan sangat jelas bagaimana jaringan yang rusak pulih sangat cepat, dagingnya yang semula terbakar, lapisan kulitnya, bahkan pakaian yang ia kenakan, semua pulih dalam waktu sangat cepat... berbeda dari sebelumnya.
“Maaf tentang yang satu itu,” Stast berkata lembut, suaranya menggema dari ujung ke ujung.
Ia sendiri telah menyelesaikan tugasnya.
Mayat mayat... ada dimana mana...
Suamiku tidak menyahut, ia menjilat cairan merah pekat yang mengalir ditangannya,
Lalu menjatuhkan begitu saja tubuh kering terkoyak koyak mangsanya diatas tanah, sesuatu menjijikkan yang keluar dari dalam tubuhnya pelan pelan masuk kedalam, ia mencabut kapak yang menancap dipunggungnya, tubuhnya berlumuran baik darahnya sendiri maupun darah mangsanya.
Trekk-trekk-trekkk,
Terdengar bunyi sesuatu sangat menganggu, Tasuku menghampiri mayat itu, memeriksanya, dari saku depan jaket si mayat, ia menarik sesuatu,
Radio… alat komunikasi…
Aku percaya padanya, aku akan mengikutinya kemanapun…
“Kakak…?” Lembut, ia berbicara kepada alat itu, ia tidak salah, komunikasi masih terhubung, amat jelas, menyambung hingga entah kemana, markas pusat mereka…
“Aku ada disini, Daina ada disini,”
Ujung jariku kaku,
Kumohon jangan katakan, jangan kau berikan bukti atas semua prasangka burukku padamu,
Kumohon jangan…
“Datanglah…”
Rasanya seperti sebilah pisau es menghujam dadaku, dingin, menimbulkan nyeri.
Lalu ia melemparkan alat komunikasi itu kepada Stast yang menyambut dengan wajah tak kalah kejam,
Tangan tangan itu masuk kebawah tanah, melepaskan kakiku yang semula dipegang sangat kuat
Tidak, aku percaya padanya.
Aku percaya.
Aku...
Jadi untuk apa dia baik padaku selama ini? Agar kakak datang padanya? Agar ia bisa saling bunuh lagi dengan keluarga kami satu satunya?
Apakah baginya perang jauh lebih penting… bahkan melebihi diriku…?
Sakit, ini benar benar sakit.
Ia menggunakanku, itulah jawabannya.
Ia menginginkanku untuk memancing kakak sendiri yang datang kesini, Demi memusnahkan musuh bebuyutan mereka, Paladin…
Ia ingin aku berada disini karena aku berguna, bukan karena ia mencintaiku…?
Kemudian, aku melihatnya menoleh kearahku, apa ia akan membunuhku sekarang?
Tugasku… sudah selesai, kan?
Ia maju kearahku, hendak menggapai, “Maaf… Kau tadi… mau bilang apa?” Katanya seakan tak ada apapun yang terjadi, Sulit dipercaya bahwa ia lebih menyesali tindakannya yang sudah mengacuhkanku ketimbang kenyataan bahwa ia baru saja membunuh orang.
Kenapa…?
Kenapa kau tidak bunuh saja aku sekarang?
Apa kau mencintaiku…?
Jawab aku, Tasuku… apa kau pernah, sekali saja, memikirkan bahwa kau mencintaiku…?!
‘Berbahagialah…’ Baru beberapa menit lalu ia mengatakan hal semanis itu...
Berbahagia…?
Aku sudah melihat kegilaan, dan ia lagi lagi mengingkari janjinya…
Bisa kulihat warna matanya berubah ubah, kuning keemasan, lalu merah pekat, begitu terus berganti ganti, ia mengulurkan tangannya padaku.
Ia menginginkanku, tapi sebagai apa…?
'Kau itu siapa?' Oh tidak, Pertanyaan Stast menggangguku lagi...
Dari jauh aku sadar, Stast the origin, menyeringai kearahku penuh keyakinan.
Aku yakin sekali, ia sedang menertawakanku.
Tawa yang dingin, penuh kebencian.
“Tidak…” Tolakku, “Tidak!” Aku menepis saat tangan Tasuku sudah mencapaiku, sekejap saja rasa mual menguasai, bau anyir darah, dan serpihan daging dimana mana membuatku ketakutan, “Jangan sentuh… aku…”
Aku tidak tahu, aku baru saja menyaksikan pembantaian brutal yang dilakukan oleh pria yang beberapa menit lalu baru saja berkata bahwa ia menginginkan kebahagiaanku!
“Ternyata memang aku hanya umpan, kan?” Ujarku dengan mata yang sedih,
Memang Tasuku kelihatan shock mendengar ucapan itu meluncur dari bibirku seakan ada sebuah palu besar menimpa kepalanya, tapi ia diam.
Ia menarik diri, membiarkanku mundur teratur,
Aku tidak peduli, persetan dengan itu.
Aku benar benar marah…
Entah mengapa, bahkan tubuhku kaku, tidak bisa bergerak sebebas yang kuinginkan, dilain pihak aku sudah tidak tahan ingin pergi dari tempat dimana pemandangan mengerikan itu menghantuiku.
Aku menggeleng kuat, setengah kesal, setengah sedih, setengah takut, “Kau melakukannya lagi, kali ini dengan amat baik,” Desahku kecewa, sebelum akhirnya melangkah menaiki tangga mansion, meninggalkan Tasuku terpaku penuh kepiluan.
Dalam hati aku berharap ia mengeluarkan tombak mengerikan itu lagi dan merobek jantungku seketika,
Tapi ia tidak melakukannya, entah mengapa.
Tidak, aku tidak tahu, aku tidak mau tahu.
Ia menghancurkanku.
Sangat hancur sampai aku merasa tidak ingin hidup lebih lama lagi.
++++