Guilty Pleasure??? Not For Me!
Pernah merasakan sebuah guilty pleasure? Sesuatu yang antara hati nurani dan tindakan saling bertentangan? Pernah merasakan bahwa lagu Ayu Tingting itu enak didengar, tapi kita berlagak nggak peduli?
Beberapa waktu lalu, adik saya selepas pulang kerja, sedikit berteriak di depan pintu kamar kerja saya. "
I've got a guilty pleasure this day, Cik!!" sambil berlalu dan menyenandungkan lagu '
Alamat Palsu'. Pasti diantara kalian banyak yang punya guilty pleasure semacam ini di banyak hal. Bagaimana dengan saya? Ya pasti punya, tapi itu jarang terjadi hingga saya begitu kesulitan mengingat apa yang pernah menjadi sebuah guilty pleasure dalam kehidupan saya.
Saya ada cerita sedikit lucu yang terjadi beberapa bulan yang lalu.
Saya itu punya kebiasaan mengganti warna mobil setiap 3 bulan sekali dengan memasukkannya ke bengkel, hal itu saya lakukan karena nggak sanggup beli mobil yang bagus sehingga biar terlihat tidak terlalu mengecewakan, warna mobil saya ganti terus2an, dan tentu juga disertai dengan modifikasi interior dan mesin (kalo ini cukup sekali) yang modifikasinya saya tangani sendiri dengan bantuan mekanik dari bengkel yang sudah jadi langganan. Bukan soal mobil ini yang ingin saya ceritakan.
Ternyata karena hal tersebut, sebuah majalah otomotif berniat untuk membuat liputannya. Maka setelah berbicara beberapa kali lewat telepon, dibuatlah janji untuk bertemu. Akhirnya disepakati pihak majalah akan mengirimkan wartawannya ke rumah. Pada hari yang ditentukan, si mas wartawan datang ke rumah. Setelah wawancara sebentar, kemudian kita dengan mengendarai mobil menyusuri jalan-jalan Jakarta untuk mengetes performa mobil.
Dalam perjalanan tersebut, baru teringat bahwa saya lupa membawa iPod untuk sekedar melepas kejenuhan dengan mendengarkan musik dari alat itu. Di mobil saya itu selama ini cuma ada 2 CD Album, yang pertama adalah CD album lawas dari grup Metallica yang berjudul Kill 'em All, dan yang kedua, yang sering saya putar di mobil, adalah Album kompilasi Campur Sari yang berisi lagu-lagu dari Didi Kempot dan Nurhana. Lalu saya putarlah lagu-lagu campur sari tersebut. Baru terdengar intronya, si mas wartawan sudah menampakkan wajah terkejut, dan lebih terkejut lagi saat melihat saya ikut bernyanyi.
Saya tanyakan kepada si mas wartawan, apakah nggak suka dengan lagu campur sari? Dia bilang selain karena bukan orang jawa, dia juga beranggapan lagu campur sari cuma didengar oleh orang-orang tua.
)
Tapi sepanjang perjalanan itu, saya lihat beberapa kali kepala si mas wartawan ikut berangguk-angguk mengikuti musik campur sari yang terdengar. Yang lucu itu kalau sedang berhenti di lampu merah, si mas wartawan ini terlihat malu dilihat oleh pengendara lain, terutama pengendara motor, yang memang rata-rata mengarahkan pandangannya ke arah kami. Dan itu pasti bukan karena melihat sedan mazda yang warnanya menarik perhatian tapi pasti karena mendengar musik yang kami putar, sambil sedikit merasa heran bagaimana musik seperti itu bisa diputar di mobil yang dikendarai oleh perempuan berwajah China.
)
Nah itu si mas wartawan jelas punya guilty pleasure, sehingga dia tidak mau mengakui bahwa musik campur sari memang enak didengar, bahkan dia jadi merasa malu karena musik ini. Seandainya saja dia dan orang2 di lampu merah itu tahu, bahwa CD ini bukanlah CD bajakan yang bisa dibeli di glodok atau di Mal2 karena saya membeli CD ini pada tahun 2005 yang lalu itu di Amsterdam, Belanda, mungkin pandangannya akan berubah. Mungkin.
Saya selalu nggak bisa mengerti kalo ada orang yang berpandangan diskriminatif terhadap musik dan makanan. Musik A adalah musik untuk kalangan bawah, musik B untuk kalangan atas, musik C adalah musik yang keren, musik D adalah musik yang ndeso yadda yadda yadda. Begitu juga dengan makanan, jengkol itu beda kelas dengan steak, pete itu beda kelas dengan sushi, dll.
Bagaimana bisa seseorang itu mendiskriminasikan hal yang berhubungan dengan rasa dan perasaan, padahal rasa dan perasaan semua orang itu begitu abstrak?. Apakah orang yang berduit itu perasaan untuk menikmati musik tertentu itu lantas menghilang? Apakah seorang white collar itu punya rasa yang berbeda dalam menikmati sebuah masakan sehingga harus ada yang disebut sebagai makanan kampungan?
Musik dan makanan bisa jadi lahir dan tercipta dari kelas masyarakat tertentu, tapi hal itu nggak menjadikannya hanya bisa dinikmati pula oleh golongan masyarakat tertentu tersebut.
Bagi saya, nggak ada yang namanya 'diskriminasi' yang terjadi dalam musik dan makanan. Dan karena 'kejujuran' saya dalam menikmati keduanya itu seringkali mendapat tanggapan yang aneh dari banyak orang. Tapi saya sih nggak ambil peduli, karena yang saya lakukan itu dalam rangka menikmati hidup secara utuh dan lepas. Ketika saya bernyanyi lagu campur sari, saya begitu menikmatinya tanpa ada beban bahwa saya menekan perasaan karena didasari rasa malu, gengsi, kurang keren dll.
Ketika saya menikmati dan ngemil pete goreng di sepanjang perjalanan selama 15-17 jam dari Jakarta ke Eropa dalam pesawat, saya begitu lepas dan menikmatinya tanpa perlu malu karena merasa pete hanya untuk orang udik dan ndeso.
Budaya kita memang masih seperti itu. Terlalu melihat sesuatu dengan begitu detail. Bahkan saya pernah bertemu dengan Ki Joko Edan (sekarang udah melepas nama edan-nya), seorang dalang terkenal dari Semarang dan anggota Perbakin, pada acara yang diadakan oleh Kopassus. Ki Joko ini adalah suami dari Nurhana, artis campur sari favorit saya, ketika saya bilang saya mengidolakan istrinya, dia nggak percaya dan bilang kalo saya pasti nggak serius. Lalu saya bilang, bahwa saya memang penggemar musik rock dan metal, keduanya menjadi 'nasi' dalam keseharian saya, tapi yang namanya 'nasi' perlu juga diselingi dengan makanan lainnya. Lagi2 dia nggak percaya kalo saya ini penggemar musik metal.
) Mungkin dia baru percaya kalo saya mengatakan bahwa saya penggemar musik2 mandarin.....
)
Eniwei....
Nikmat sekali lho kalo kita bisa menikmati sesuatu tanpa perlu disertai guilty feeling karena kita tekan perasaan kita hanya karena malu, kurang keren, kurang gaul, ndeso dll.
Udah ah.... yuuuk nyanyi bareng2......
Lingsir Wengi - Nurhana
-dipi-