# 4 #
di bulan ke tiga Pernikahan yang tak pernah aku inginkan seumur hidupku
---------------
Aku berbaring telentang. Menerawang jauh langit malam yang tergambar jelas dari jendela kamar. Sengaja tak kututup -aku biarkan terbuka lebar- mempersilakan hewan malam dan juga dingin angin menerobos berkeliaran melewati jendela dan menyampaikan diri padaku.
Aku akan kembali.. Sungguh, Tunggulah Aku!
Kembali aku terlena oleh kata-kata terakhir Irza sebelum dia pergi meninggalkan aku. Oh,..apa yang harus aku lakukan sekarang?? Aku ingin tetap menunggunya, tapi bagaimana dengan lelaki yang sekarang selalu berada di dekatku dan berhak memiliki aku. Karena telah menikahi aku. Aku ingin menunggunya, ingin selalu menunggunya. Selalu.
Angin dingin malam berganti hujan. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Hampir tengah malam dan aku ingat Narantaka belum juga pulang. Hmm,.. sesibuk apa dia hingga belum pulang selarut ini?
Aku berjalan turun dari bad dan menarik daun jendela, menarik tirai dan menutup seluruh jendela dengan sempurna.
tuk tuk tuk... suara pintu utama diketuk dari luar. Sepertinya Taka pulang. Lihat betapa betah dia dengan seluruh isi kantornya, jam segini baru berani mengetuk pintu pulang.
Kubuka pintu. Kudapati Narantaka berdiri menunduk, bajunya basah kuyup.. Oh, dia kehujanan... mengapa? mana mobilnya?? Sesaat mataku tertuju pada seorang anak laki-laki yang lebih basah kuyup daripada Taka disampingnya. Bersama uang sepuluh ribuan Taka menyodorkan payung pada anak itu dengan tangan yang mulai gemetar kedinginan, dan mengucapkan terimakasih. Sedetik kemudian anak itu menatapku, tersenyum, sedikit menganggukkan kepala dan berpamitan.
Taka langsung masuk rumah. Sementara mataku masih terpaku pada anak laki-laki itu. Uhh, kasihan sekali dia. Bahkan aku tak berpaling dari anak itu saat Taka memanggilku dan memintaku mengambilkan handuk untuknya.
"Ada apa, Cessie?" tanya Taka penasaran memperhatikan aku.
Aku berlari ke sudut ruangan. Mencari payung. Ku raih dan seketika aku bergegas keluar. Tak mempedulikan suamiku yang mungkin semakin kebingungan melihatku. Entah aku ingin apa, tapi aku ingin anak itu, atau mengobrol dengannya. Ku hampiri dia yang masih berdiri di sisi jalan -hendak menyebrang-. Ia memegang payung tapi tidak menggunakannya. Mengapa? Membiarkan hujan mengguyur tubuhnya dan membuat dirinya menggigil kedinginan.
"Dik, " panggilku.
"Saya, Bu? " jawabnya seraya tersenyum meski bibirnya terlihat jelas sudah berubah warna kebiruan.
" Kamu mau kemana? " tanpa menutupi rasa iba sedikitpun. Sungguh aku tak pandai menutupi perasaanku. Tuhan, aku tak tega melihatnya seperti ini.
Tangan kanannya mengangkat payung yang dibawanya setinggi dada -menunjukkan padaku- , " Ojek payung, Bu. "
"Tapi kamu basah kuyup, Dik. Kamu mau mampir dulu? Keringkan dulu tubuhmu lalu kembalilah jadi ojek payung. Mau?? " rayuku membujuk dengan suara sedikit kencang karena takut suara hujan mengalahkan apa yang ingin aku katakan padanya. " Mau ya? "
Wajahnya tertegak lesu bahunya menurun tajam, ada apa?? apakah aku salah bicara? matanya tergerak ke arah pintu rumah. Ku lihatTaka sedang berdiri disana, memperhatikan dengan seksama. Tak lama dia menatap kearahku, aku tau dia ingin mengatakan sesuatu, maka aku berjongkok di depannya. Menyejajarkan arah mataku tepat di tatapannya agar dia tak harus mendongak lagi. " Tapi Bu, saya harus kerja. Saya punya seorang adik dan dia menungguku. Saya tidak bisa. "
" Mampirlah sebentar... "
Tuhan aku ingin memeluknya. Aku ingin merengkuhnya. Matanya begitu lesu. Begitu lelah tapi penuh dengan semangat dan harapan.
" Saya tidak bisa, Bu. "
" Heyy,!! " teriakku karena tiba-tiba dia berlari meninggalkan aku. Seolah dia tak ingin mengenalku sedetikpun. Seolah dia ketakutan melihatku.