- Ketika Aku Mencintai Kebencianku, Untukmu -

" Eeehh, Nduuuk. Ya Allah, Ibu kangen sekali sama kamu. Sama siapa kamu kesini nduk? Mama mana? Sekarang kamu cantik benar ya? Sudah punya pacar atau belum? " Baru saja aku tiba di rumah kediaman bulekku mungkin 5 menit yang lalu, tetapi Bulek sepertinya sangat merindukan aku sampai-sampai memberondong semua pertanyannya sekaligus. Ku peluk dia, rasanya rindu sekali aku, rindu sekali... mengingat dia adalah satu-satunya orag yang selalu menjagaku sejak kecil. Lebih baik daripada papa dan mama buatku. Dia ibu untukku.

Ku jawab semua pertanyaanny dengan senang tanpa menceritakan suamiku tentunya. Bahkan aku berniat tidak menceritakan kalau aku sudah menikah padanya.

Ibuku yang satu ini selalu beraroma seperti ini, wangi segar tumbuh-tumbuhan bukan wangi parfum mahal keluaran metropolitan.

Semua kerinduanku padanya aku tumpahkan, sambil makan, sambil mandi, sambil semua hal aku kerjakan sembari bercerita ini itu. Tidur pun aku tidur di pangkuannya. Ibu, aku sayang sekali padamu. Andai saja Mama bisa seperti Ibu, bisa sedekat ini sama seperti dengan Ibu.
 
Duh non, makin rajin aja nulis...:):):)
Tambah bagus pula loh, cuma drama banget yah...

Kapan neh terusannya, segera donx!!

Nih, kukirimkan penambah semangat...;);)
 
Disini, aku menemukan hidup
tapi entah mengapa, hanya ketidak tahuanku saja yang selalu bayangi tubuhku

bawa aku pergi....
Aku ingin bersama Ibu, disini bersama, seperti dulu

Maaf, Bu..
Aku pergi.


Salam Sayang,
Anak Ibu, yang tak tau diri.

--------------------------------------------------------------------------

" Le, Bulek juga tidak tau kemana Nduk Cessie pergi. Dia hanya beberapa hari disini lalu kemudian pergi lagi, pamitan sama Bulek juga cuman lewat surat itu. " Aku-nya pada Natantaka. Bulek jadi cemas dan serba salah. Tidak hanya karena beliau tidak tahu bahwa seorang lelaki yang 1 Jam yang lalu ini mengetuk pintu rumahnya dan menanyakan tentang Cessie padanya, juga mengagetkannya karena ternyata lelaki di hadapannya saat ini adalah suami dari seorang perempuan yang sudah dia anggap anak sendiri. Mengapa tidak dia ceritakan masalah ini sama Ibu?

" Lalu pergi kemana Cessie? " Narantaka mencondongkan tubuh depannya menangguhkan dagunya di ataskedua tangannya yang ditumpuk. Lesu.

Bulek memandangi lelaki itu dengan tatapan sayang, tatapan yang sama seperti ketika beliau menatap Cessie. Cah bagus ini suami anakku, apa yang terjadi dengan kedua anakku ini?

Lama keduanya diam, berkelana dengan pikiran masing-masing membuat Bulek sadar dan terkekeh sendiri karena tidak menyediakan jamuan apapun untuk tamu barunya. Untuk Anak barunya. " Oh, Bulek lupa,.. Kamu mau minum apa, Le? Bulek jadi ndak sopan ya? Ndak ngasih wejangan apa-apa. "

" Apa saja Bulek, saya juga nggak bisa lama, Bulek. "

" iya, iya, sebentar ya.. Bulek ke dapur dulu. " Ia langkahkan kaki tuanya ke bagian belakang rumahnya. Membuatkan segelas teh dan mengamit setoples kue yang ia buat sendiri.



" Ayo diminum dulu. Sudah sudah, jangan melamun terus. Bulek itu tahu bagaimana wataknya anak Bulek, dia itu memang bandel. "

Narantaka tersenyum tersipu mendengar lelucon ibu-ibu yang baru saja ia kenal, yang dia bicarakan tentang istrinya sungguh lucu baginya. Bagaimana benar? Cessie bandel dan susah di atur, tentu saja itu benar, jika tidak, mengapa sampai ada acara kabur dari rumah segala hanya karena tidak tahan serumah dengan lelaki macan aku. Apa aku segitu tidak pantasnya untuk dia?
 
" Le, Nduk Cessie itu sejak kecil sama ibu. Ibu ini bukan Buleknya, bukan ibunya, bukan saudaranya. Bulek ini cuman mantan pembantu di rumah Nduk Cessie. " Penuturan Bulek membuat Narantaka tercengang, salah sangka karena benar-benar tidak tau silsilah dari keluarga istrinya.

" Dulu,.. " Mulai Bulek mengenang masa lalu, rasanya ada kepedihan di masa itu, masa yang dia sendiripun tidak berharap mengulang lagi masa itu. " Bapak sama Ibu selalu sibuk, kerja, ngurusi ini, ngurusi itu, sampai ndak sempat nengok rumah. Nduk Cessie selalu minta Bulek nemenin dia tidur, katanya dia kangen bapak sama ibu, tapi selalu ndak ada, selalu ndak punya waktu. "

" Tapi istri saya perempuan yang tegar 'kan Bulek? " Celetuk Taka menyela cerita Buleknya yang asik mengenang masa lalu. Narantaka mengambil cangkir tehnya, ada wangi melati yang terbang di atas cangkir itu, mengingatkannya pada Cessie, pada wangi tubuh Cessie yang selalu wangi melati. Rindu sekali dia pada istrinya. Menyeruput dataran permukaan teh miliknya yang masih terasa sedikit panas.

Bulek serta merta mengangguk, tangannya terayun ke depan, menepuk lutut Narantaka membenarkan apa yang dia katakan. " Iya benar, " Terkekeh senang. " Cessie itu duluu, selalu main sama anak laki-laki, tidak seperti perempuan biasanya yang main boneka, main rumah-rumahan, dia senangnya balapan sepeda, balapan manjat pohon. "

Narantaka mulai tertawa, merasa dirinya satu dari Bulek dan Istrinya, merasa inilah yang dinamakan keluarga, tertawa dan bahagia. " Ibu dan Almarhum Bapak pasti bangga punya Cessie, ya? Cerdas dan pemberani, juga bandel. " Ia akhiri dengan tertawa juga.

Namun tidak ada di wajah Bulek tawa yang sama seperti tawa Narantaka, wajah Bulek murung. " Bulek harap begitu. " Bulek menggeleng lemah. Menunduk.Menghitung ubin di bawah kakinya, berharap tidak ada lagi perasaan sedih seperti masa itu muncul lagi dihadapannya.

" Kenapa Bulek? " Tanya Narantaka hati-hati, keningnya mengekerut halus.

Senyum Bulek kembali terkembang, tanpa menutupi asam garam dari senyum itu. " Bapak tidak pernah mengizinkan Cessie main lagi dengan teman-temannya. Bapak dan Ibu selalu bilang 'Kamu ini anak perempuan, tidak boleh dekat dengan laki-laki. Kamu ini perempuan, tidak seharusnya main dengan anak laki-laki. Kamu ini perempuan, seharusnya ada di rumah, bukan di luar keluyuran.' seperti itu " Bulek mengangkat kedua bahunya cepat dan menurunkanya lebih cepat lagi." Bulek sendiri juga tidak tahu apa alasan Ibu sama Bapak melarang Cessie main sama teman-temannya. Mungkin Ibu dan Bapak ingin lihat Cessie jadi perempuan yang cantik, yang feminin, yang pakai rok, yang rambutnya panjang, tapi, dikucir, memeluk boneka, dan seperti itu. "

" ooo. " Narantaka nyengir dalam hatinya karena hanya kata 'ooo' saja yang bisa keluar dari mulutnya.

" Ibu dan Bapak membesarkan Cessie pakai keras, pakai pukul, pakai bentak, Bulek sampai nangis melihatnya. Kasihan dia. "
 
" Bulek cuman ingin peluk Nduk Cessie waktu dia nangis karena dipukul sama Bapak, Cessie itu bandel, waktu bapak bawa istri muda ke rumah, Cessie teriak-teriak maki-maki bapak, juga maki-maki istri muda bapak. Bapak jadi berang, marah. Bulek juga ndak tau Ibu bisa diam saja melihat Cessie dipukul bapak. Ibu ingat betul, Cessie selalu bilang kalau dia benci bapak, selalu disebut-sebut tiap kali lihat bapak. Waktu mau tidur 'Aku benci bapak' sudah seperti do'a tidur buat dia. "
 
Bulek terkekeh lagi, lebih keras dari yang sebelumnya, " Tapi Bulek ndak nyangka, sekarang dia sudah punya suami. " Tersenyum lebar sekali, menatap hangat pada Narantaka, Menantu dari anaknya. " Padahal setau Bulek setelah Bapak meninggal dunia, dia benci alergi sekali dekat-dekat sama anak laki. "
 
" Saya..... saya mencintai dia, Bulek. Sungguh. "

Bulek tercenung, menatap tak mengerti padanya masih belum tahu pasti apa yang sedang terjadi diantara kedua anaknya. Apa yg harus dia perbuat saja dia tidak tahu. Bagaimana bisa tahu kalau Cessie saja tidak memberitahunya soal pernikahannya.

" Seharusnya saya tidak kasar, tidak membentak dia, saya merasa sangat bersalah sekali. Mungkin saya sudah mengingatkan dia pada Almarhum bapak, Bulek ya? makanya dia marah dan pergi meninggalkan saya. "

" Tidak, Le. Kamu tidak sepenuhnya salah. Nduk Cessie hanya perempuan lemah yang pengin terlihat kuat, dia galak, padahal dia itu lebih lunak daripada kucing. "

" Iya, Bulek, mungkin akan wajar jika dia tidak bisa mencintai saya karena sikap saya seperti ini. " Narantaka menelan senyum pahitnya yang tak kuasa dia keluarkan sekedar menunjukkan pada Buleknya bahwa dia juga orang yang kuat dan berjiwa kepemimpinan. Bahwa dia seorang imam. Tidak bisa.

Bulek menegakkan duduknya, menggeser kakinya lebih kedepan, " Cinta itu tidak sulit, Le. Hidup itu hanya sebuah pembiasaan saja. Asal mau dan ikhlas menerima, mau belajar dan mengingatkan dengan cara yang halus, itu juga cinta. Kadang manusia itu suka bohong. Suka gengsi. Tapi yaaa, begitulah manusia. Kamu yaa yang sabar. Apalagi Nduk Cessie itu terlihat masih menyimpan kuat masa lalu dia. Dia juga butuh waktu buat belajar dan membiasakan diri. "

" Tapi, Bulek... "

" Sudahlah, " potong bulek segera. " Cessie itu tidak bisa dikerasi, walaupun dia yang galak, kasar. Ndak perlu kamu tanggepi, biarkan saja, anggap saja dia sedang lapar. Yang pentiiing, kamu jangan ikut-ikutan emosi waktu dia marah-marah, kamu jangan tinggalkan dia sendirian kalau dia ngambek. Biarkan saja. "
 
-Mengamit Cinta yang sudah lama Ku rindukan-

Bab 8.



Aku sudah tiba,... iya.. aku sudah tiba.. Irza,.. Irza aku bisa bebas menyebut namamu berkali-kali disini, iya benar. Disini. Ini kota mu. Rumahmu, tempat yang membuatmu jauh dariku. Jauh sekali rasanya dari rumahku. Kau dengarkan debar jantungku, Za.. berdegub tak sabar bisa melihat wajahmu, rindu sekali...

Kakiku melangkah sendiri, berlari-lari riang, kepalaku juga berputar, menoleh ke kanan ke kiri, berharap siapa tahu tak sengaja bisa aku temui wajah itu, wajah yang aku kagumi itu. Irza. Senang sekali aku rasanya. Jantung di dalam tubuhku bergetar sangat ringan, serasa ada ribuan malaikat disana, membantunya memompa darahku lebih cepat. Tersenyum riang kesana kesini, menyapa pohon berdaun hijau, mawar merah, dinding-dinding, kursi-kursi, Haloo semuanyaa,... kenalkan, aku Cessie, kemari mencari kekasihku... Ugh, centil sekali aku..? xixixi



Hufh,.. aku mulai merasakan kakiku kaku, lelah berkeliling dari sudut ke sudut, dari ujung ke ujung. Di sebuah Taman, di sebelah kanan jalan dan pembatas sungai, di satu kursi panjang santai, aku duduk melepas lelah. Tawa riang dan hati senang masih terus menggelantung bebas di kepalaku, tak berkurang sedikit pun, malah semakin aku melihat banyak hal, banyak benda, aku semakin senang. Irzaaa, aku senaaaang sekali.

Hm,, ku lihat arloji di tangan kiriku, pukul 4 sore, sudah lelah, dan sudah puas berkeliling kota, tinggal 1 acaraku hari ini. Duh, tidak sabar sekali aku. Rumah Irza, ayo kakiku sayang, kita kesana...
 
Rumah Irza aku datangi, namun tidak ada...
kemana dia? Seorang tetangganya memintaku mendatangi kampus atau kantor Irza, namun kedua tempat alternatif 'pun tidak mengantarkanku berjumpa dengan Irza. Harus bagaimana ini??
Sejenak ada perasaan pesimis membuntutiku, menjadikanku sedikit putus asa.

" Pak Irzadji Akhsan?? " konfirmasi bapak satpan paruh baya di depan kantor Irza. Bodohnya aku, mengapa tanya pada satpam?? mengapa tidak tanya saja pada orang-orang yang ada di dalam??

Ku anggukkan kepala mengiyakan, " Iya, Pak.. tahu tidak saya bisa temui dia dimana? "

Pak Satpam berdiri, mengangkat sabuk celananya, " Oh Njeh Njeh, saya tahu.. Jam segini biasanya Pak Irzadji pergi ke stadion, Bu. Main Futsal. "
 
Apakah ini mimpi...???

Tidak, bodoh. Ini bukan mimpi. Dia masih seperti dulu ya?

Iya benar. Dia masih seperti dulu..

Hmm,.. Eh, dia masih ingat wajahku tidak??

Ingat. Pasti ingat,

Dari jauh mataku menatap satu. Kemana 'pun orang itu berlari, tertawa, berseru, mataku menatapnya seakan buta. Antara senang, antara kagum, antara terkesan, antara rindu, antara apa lagi aku tidak tau, yang aku tau aku ingin melompat ke mukanya dan memeluknya kuat. Memeluknya erat. Irzaa,.. sayang.

Eh, hey hey,... hey... Irza menoleh ke arahku, aku terhentak, tak sadar tanganku langsung terangkat tinggi, melambai-lambai, melambai lagi,... tersenyum selebar mungkin. Astaga, aku rindu dia. Ada rasa yang membuncah tak karuan di dadaku, pecah, berhamburan, menyembur kemana-mana, seperti hujan, seperti hujan cinta. Ah, Cinta... dasar kau ini, selalu bisa membuat hidupku penuh warna. Xixixxi
 
Irza sudah selesai main futsal. Dia menghampiriku. Membuatku semakin deg-deg'an.

" Apa kabar? " Tanyanya sembari duduk di kursi sebelahku, dekat sekali denganku.

Aku mengangguk, tak bisa menurunkan mataku, berhenti menatapnya.

Irza tersenyum simpul, menghabiskan sisa minuman kemasannya, menutup kembali tutupnya, tubuhnya berkeringat, tapi wajahnya segar. Hhh, rindu sekali. " Ada apa?? Jangan kamu lihatin aku kayak gitu. Kangen ya? " Irza menggoda.

Kembali aku mengangguk. Anggukan mantap.

Dia tertawa geli, tertawa yang renyah sekali di telingaku. Knp??

" Kenapa? " Menyadarkanku, seperti membangunkanku dari mimpi indah. Mimpi yang indah sekali. Sangat indah sekali. " Salah ya kalau aku kangen kamu? "

" Gak, " Dia menggeleng penuh perhatian. " Gak ada yang salah, sayang. " Tangannya meraihku dan tubuhku, " Sini aku peluk. "

Hangat sekali dia. " Aku kangen tauk. "

" Ia sayang, aku juga kangen. Kangen banget. " Ada kecupan di pucuk rambutku, membuat darahku mendesir, memeluknya lebih erat lagi, tak mau di lepaskan, baik dalam arti sebenarnya atau arti tidak sebenarnya.

" Eh? " Irza mendorong bahuku, memintaku merenggangkan pelukkanku. " Dengan siapa kesini?? "

Ku tatap matanya yang memandangku penasaran, berpaling, lalu kembali menyusupkan kepalaku di tubuhnya, kembali memeluknya. " Sendiri. " aku mengangkat kepalaku, tanpa melepaskan tanganku darinya, " Tadi aku ke rumah, ke kampus, ke kantor, kamu ngga ada. " gerutuku manja, rindu sekali aku. Telapak tangan Irza mendarat di kepalaku, mengelus rambutku penuh sayang, lembut sekali, kembali aku menempelkan hidungku di dadanya, menutup mukaku dengan pasti di dadanya. Rindu sekali aku.
 
Lihat. Lihat betapa dia lelaki yang berbeda. Dia tidak sama. Dia sangat sangat tidak sama dengan lelaki-lelaki yang biasanya aku temui. Dia penuh perhatian. Dia penuh kasih sayang. Dia penuh cinta. Penuh kehangatan. Dia lembut. Dia... Dia... Pokoknya dia.

Tuhan, jika hanya hari ini aku bisa memeluknya seperti ini...
Izinkan aku merasakan hari ini di esok hari...
Kemudian izinkan aku merasakannya lagi minggu depan, bulan depan, tahun depan.
Tuhan, aku sangat mencintai dia...
sangat.
 
# 9 #


Sore hari yang indah aku habiskn bersama Irza di rumahnya, indah sekali... walau yang kita berdua lakukan hanyalah duduk-duduk di beranda belakang rumahnya saja. Daun daun kuning jatuh satu per satu tertiup angin senja, menambah rasa dan indah sekeliling hatiku.

Kedua kakiku kuayun-ayun lemah, menendang-nendang angin yang berdesir lembuh diujung ibu jari kakiku. Menunggu Irza menghampiriku dan duduk di sampingku.

Irza datang, membawa segelas jus buah dan segelas air putih. Dia tersenyum. Aku tidak tahu mengapa dia selalu dalam keadaan tersenyum setiap kali mataku menangkap wajah teduhnya. Aku menggeser dudukku, menyediakan tempat lebih untuk Irza duduk, agar dia bisa duduk di dekatku. " Duduk sini,.. "

" Ia. " Irza duduk, menaruh kedua gelas dari tangannya di ujung kursi kayu panjang tempat kami berdua duduk. Dia duduk 3 cm dariku, mungkin lebih dekat dari itu, :p

Aku menendang-nendang semakin kencang, membuat kursi yang kami duduki sedikit bergoyang karenanya. " Lama banget aku nunggu saat-saat seperti hari ini,.. tapi kamu ngga ada. " Kepalaku tertunduk.

Tangan kiri Irza menyentuh bahu kiriku.

Aku menatap kearahnya, melihat matanya dari sudut hidungnya. Aku sayang sekali padamu, Irza

Irza menunduk. Raut wajahnya berubah. Dalam sekali.
 
" kapan kamu pulang, Cess? "

" Hm? " kenapa dia tanya itu?? memangnya dia tidak punya pertanyaan lain ya selain itu?? "kalau aku ingin tinggal?? boleh tidak? "

Kulihat Irza masih menunduk, membuatku kembali ikut menundukkan kepala.

" Dia pasti cari kamu. "

Apa..? "apa?" seketika kepalaku terangkat keras dan menatap matanya yg sudah menghunuskan dirinya ke arahku. " Siapa? "

" Dia.. Suamimu. "

Degg,.. jantungku serasa berhenti.. lama sekali.

" Dia pasti cari kamu. " Kembali dia mengulang perkataannya. Lalu kembali menunduk.
 
Kemana aja non???

Duh, lama bgt baru d'update...
~___~

Pendek bgt??

Dan maaf, cara nulisny koq agak beda yah?

Ga serapi 'n seenak yg awal...
Buru-buru? Bingung? Ato cm perasaan saya aj x yah... ^___^
 
" Kamu tau???! soal pernikahanku? " takut - takut aku bertanya padanya, apakah benar dia sudah tahu? lalu mengapa seharian tadi dia menunjukkan seluruh sayangnya padaku? lalu mengapa seharian tadi dia memperlakukanku seperti memperlakukan aku dulu??

" Setahun yang lalu aku kembali, ya.. aku terlambat 3 bulan. " Wajahnya penuh penyesalan, kusut sekali " maafkan aku karena itu. Aku menemuimu di rumah, tapi hanya ada mamamu disana, dan dia memintaku melupakanmu karena kamu telah menikah. "

Di sudut kerlingan mataku tergambar jelas senyum pahit Irza terkembang lalu kembali kempis. Ah, bodohnya aku... pasti dia sakit hati sekali waktu itu., " Lalu kenapa kamu ikuti permintaan mama? Padahal aku tidak akan menolak kedatanganmu, Za "

Seperti ada sesuatu yang menekan tenggorokanku dari dalam, mengeraskan jantungku, memperberat degub jantungku.. sakit.

Ini salahmu Cessie..

Ia benar, ini salahku, duh.. bodoh sekali!

" Aku tidak akan menyakiti siapapun hanya untuk keinginan dan harapan-harapanku, Cess. Lagi pula, pasti suamimu bisa membuatmu bahagia jauh lebih baik ketimbang aku. "

Bahuku tertunduk lesu, turun beberapa centi, masih ada tangan hangat yang merengkuh bahu kiriku disana. Walaupun tangan itu seakan tidak berdaya mendamaikan lagi porak-porandanya hatiku saat ini. " Aku tidak mencintai dia,................. aku mencintaimu." ucapku pelan, tanpa mengangkat kepala, entahlah.. menunduk dan melarikan diri dari tatapan Irza di saat-saat seperti ini lebih membuatku merasa nyaman.
 
Tidak tahu sejak kapan, tubuhku dipeluk olehnya, erat sekali. Mungkin ada beberapa bekas jarinya yang membekas di tubuhku. Terasa sakit sekali,, sakit karena tangannya yang mencengkram kuat tubuhku atau karena kurasakan hatiku yang hancur sehancur-hancurnya... aku tidak tau rasa sakit yang mana yang sedang aku rasakan. Sakit sekali aku menahannya. " Aku sayang sama kamu, aku butuh kamu.. bukan dia. "

Telapak tangan kanan Irza mendarat di kepalaku, mengelus lembut pucuk kepalaku lalu mengecupnya pelan, mengelus lagi. Ia sandarkan dagunya di atas sana, di pucuk kepalaku, sambil tetap mengelus kepalaku. Jantungnya bergedub di telingaku, sangat jelas di telingaku. Mendesak desak marah, meruntuhkan pertahananku.

Irza merenggangkan pelukannya, tapi tidak melepaskan tangannya, menurunkan wajah penuh keabu-abuannya sejajar dengan kepalaku, menatap tepat di hitam mataku. Mengacak-acak seluruh isi hatiku. Dan aku membatu seperti es, walau tidak tahu kapan bisa mencair.. mungkin tidak akan pernah. Tidak akan pernah mencair lagi.

...

Setelah beberapa saat dia terdiam, dia menggeleng-geleng lemah. Seperti seorang kapten perang yang putus asa, timpang, tidak bisa berjalan, kehilangan kaki dan dia benar-benar tidak bisa lagi berlari jauh.

Sesakit itu kah?
 
Back
Top