- Ketika Aku Mencintai Kebencianku, Untukmu -

aku kesal...

kesal karena Narantaka terus menatapku di setiap mama tidak sedang memperhatikan salah satu dari kita berdua.

kesal karena selera makanku hilang.

kesal karena denyut denyut di kepalaku tidak juga hilang.

kesal karena melihat wajah Narantaka hari ini.

kesal karena diam-diam aku merasa merindukan dia.

kesal karena Mama seakan menunjukkan padaku, mama menyesali perpisahan kami.

kesal karena Mama terlihat masih sangat menyayangi Narantaka, bahkan lebih dari sebelumnya, saat aku dan dia belum bercerai.

kesal karena, aku pikir setelah makan selesai, mama pergi dan mama meninggalkan aku di rumah, berdua dengan orang ini.!!!
 
" Mama pergi dulu, kamu hati-hati di rumah.. " Tangan mama melambai lemah dari dalam mobil tante Rindu. Barusaja datang untuk menjemput mama.

" Iya. " Suram sudah hidupku hari ini. :(

" Taka,.. titip rumah sama Cessie sebentar ya? " Teriak Mama lagi lagi... ah, mama selalu begitu padaku..

Narantaka mengangguk.

Ku tinggalkan mereka semua masuk ke dalam rumah. Melemparkan tubuhku duduk di sofa, di ruang tengah. Mengambil bantal dan bersandar disana. Tak ingin pedulikan siapapun lagi selain diriku sendiri. Sepertinya aku sakit?
 
Entah sejak kapan, Narantaka memandangku dari tempatnya duduk, di sofa sebrang -tempatku meringkuk-.

" Kenapa si? " ketusku berharap ada pertengkaran yang akan terjadi setelah itu. Kayaknya dia suka banget ngajak berantem. Oke!

Narantaka mengedipkan mata, sedikit berpaling dariku, memejamkan matanya lalu menatapku lagi. Tajam dan dalam. Mencabik-cabik hatiku. Kenapa? Rasa sakit yang mana lagi yang mau dia tunjukkan padaku?? Apakah dia tidak lelah terus menerus seperti itu?

Ku lempar wajahnya dengan bantal di tanganku, " Apaan sih?? Aneh! " AKu bangkit berdiri dengan kasar, Narantaka juga berdiri, dengan tatapan tenang, dalam, dan menusuk. Hiiih, dia aneh!
 
Ah, aku tidak mau yang seperti kemarin kemarin lagi. kenapa aku harus peduli padanya? Siapa dia?? Dia bukan SUAMIku lagi 'kan?
Hm...!!
Kubalikkan tubuhku, memunggunginya, ku hadapkan tubuhku di depan dinding kaca, menyapu seluruh halaman samping rumah. Sepi sekali disana, hanya ada pohon mangga yang belum berbuah dan serendengan bunga mawar yang beberapa dari mereka sudah banyak menguntumkan bunganya.

" Tega sekali kamu, Cess.. Apa salah orang tuaku hingga kamu memperlakukan aku seperti ini? "

Bodoh! sepersekian detik, wajahku sudah berganti haluan, memasang muka seram yang aku punya untuk menatapnya. "Kau ini kenapa? Aku yang salah! jika ingin menyalahkan orang lain, salahkan aku. Aku yang memintamu menceraikan aku. Ini hidup kita berdua. Pernikahan kita berdua. Perceraian kita berdua, harus?? menyalahkan orang lain?? jika ya? salahkan aku! " terbata-bata, emosiku ingin meledak, tapi entah apa, aku bisa menahannya lebih baik ketibambang dulu-dulu.

Kedua bola mata Narantaka berkaca. Jadi terlihat bening. " Iya. Kenapa kamu tega melakukan ini padaku? "

uff,

Narantaka terduduk di atas tangannya yang menutupi seluruh keningnya. Tertunduk.

Ada kehancuran yang juga aku rasakan. Ada pedih yang juga menyakitiku. Tega sekali aku? Manja sekali dia? Dasar anak Mama!

Ku berjalan mendekatinya. Malas. " Taka? " memanggilnya, meski aku tau dia tidak akan menyahut. " TAKAA? " mengulang dengan suara lebih keras, kali ini dibarengi menyubit pipinya gemas, menarik pipinya, memintanya menatapku. Terlihat dia menangis, " Kamu nangis ya? " Iigh, laki-laki macam apa dia?

Dia menarik wajahnya, seperti pesakitan yang tidak berharap hidup di dunia.
Ugh, harus apa aku untuk membuatnya tidak seperti ini? berhenti melakukan hal-hal kekanak-kanakkan seperti ini? cengeng!

Aku menyeruak duduk di sebelahnya, memaksanya membagi dua tempat duduknya yang jadi semakin sempit karena aku duduk juga di tempatnya. Meraup wajahnya dengan dua telapak tanganku, " Laki-lakit idak boleh nangis. Sayang. " Aku tersenyum -terpaksa- menghiburnya, mencoba menjadi ibu untuknya, ibu yang melindungi anaknya. Ku balas tatapan Taka sesaat lalu mengusap deretan bulu matanya yang hampir penuh dengan air mata -tertahan oleh egoismenya-.
 
Last edited:
" Cess? " panggilnya.

" Hm? " Aku masih -purapura- sibuk mengelap sudut mata dan tulang pipinya.

-----------------------
aku merasakan 'senang'
rasanya aku begitu dekat dengannya
tatapan teduhnya
suara manjanya
sebenarnya aku rindu padanya
-----------------------

" Maafkan jika dulu saat kita masih menikah, aku banyak melakukan kesalahan dan membuat hidupmu hancur. Aku bisa merasakannya sekarang. Sakit sekali. Maaf? "

Mataku fokus di titik gelap hitam matanya, aku melihat diriku sendiri disana. Ada aku dan kesombonganku. Ada aku dan keangkuhanku. Tanpa sadar aku menyungging tersenyum dan menggangguk sedikit. Ku rengkuh bahunya, mengamit lehernya.

" Kenapa kamu mematahkan aku? "

" Enggak ada. Lagipula aku bukan perempuan yang cukup baik buatmu. "

" Itu cuman pemikiranmu.... "
" Kalau kamu bisa diposisiku, kamu bakalan tau, bagaimana pentingnya kamu buat aku. "
" Kamu bakalan tau betapa berartinya kamu buat aku. "

Punggungku memanas, membanjiri tengkukku, penuh ke seluruh tubuhku. Salah lagi aku?
Ku lepaskan diriku dari pelukkan yang tadi aku mulai.
" Sudahlah, "
kucium pipinya lembut.
" Sudah terjadi " sembari ku usap rambutnya pelan.
Maafkan aku..... ternyata sesakit itu ya? Maafkan aku
 
Last edited:
Wajahnya murung...

" Kenapa lagii? " membuatku mulai cemas.

" Tadinya aku terharu, yang barusan membuatku tenang. Hatiku tentram. "

" Lalu? "

" Apakah aku bisa merasakan lagi yang seperti tadi setiap hari? mendapatkan pelukan hangat dan kecupan lembut? masih ada lagi kah orang yang bisa merebut hatiku seperti kamu?? AKu merasa ngga berguna. Jika sudah tidak ada lagi orang yang mau sayangi aku, untuk apa lagi hidupku? "

" Apa sih! " Kucubit pinggangnya. Kesal. " Jangan mulai lagi deh. "

" Belum pernah aku mencintai perempuan, seperti mencintai kamu. "

" iya. " Kesal saya. Ku tinggalkan dia dengan semua kata-katanya. Membanting pintu kamarku dan mengunci diri. Aku lupa kalau sebenarnya hari ini aku tidak enak badan. Ku banting juga tubuhku. Membungkusnya dengan selimut tebalku. Kembali tidur setelah bangun tidur dan makan.


Aku tidak peduli!
 
# 14 #




.............

" KAMU GILA, TAKA!! " Mendorong tubuhnya menjauh dariku, memasangkan kembali kancing-kancing bajuku yang sudah terlepas semuanya. " GILA KAMU. KITA SUDAH BERCERAI...! "

Narantaka mematung di atas lututnya. Melemparkan selimut ke arahnya. meneriakinya supaya pergi dari hadapanku. Gila dia!

-------------------------------------------------------------------------------

.....



" Maafkan aku, Cess.. Aku lupa diri. " Menghubungiku via ponsel setelah dia keluar dari kamar dan rumahku.

"................................................."

" Cess,,?? "

" SUDAHLAH. LUPAKAN SAJA! "

Kupastikan ponselku off. Melemparnya ke atas bantal dan kembali bergeming, mencari arah pikiranku. Tak karuan.

--------------------------------------------------------------------------------------


........................



--------------------------------------------------------------------------------------

Sudah berhari-hari, ada beberapa tetangga yang melempar senyum sinis dan kata-kata tak pantas padaku.
Tak enak hati dan risih melihat Narantaka bulak-balik ke rumah, padahal kami berdua sudah bercerai.

" Kalau masih cinta kenapa mesti bercerai?? munafik banget ya? "

" sekarang sudah bercerai.. tapi kelakuan seperti masih menikah. "

" Tidak tau malu ya? "

" matre atau pengen sih?? "

yadda yadda

membuatku tidak tenang,
 
" Cess...? Ayolah maafkan aku... " Pintanya mulai memohon... tatapannya yang dulu selalu meneduhkan hatiku, menenangkan pikiranku, tak ku temukan di mata itu.. di mata yang sama..

" sudahlah,, aku ingin sendiri. "
ku tutup pintu kamarku. " Pulanglah.. tidak dengar kah kamu tetangga memaki aku setiap hari? " teriakku lemas dari baliknya...
 
hari ini dia ke rumah..
kemarin ke rumah
kemarin lusa ke rumah juga..?

apakah dia tidak punya pekerjaan lain selain mengunjungi rumahku setiap dia pulang kerja?


aahhh..
aku benci
aku benci
hhhh,,, aku mulai mencintainya....


air mataku menetes lagi,,

aku benci aku mencintainya
aku benci..
 
apa yang tadi ku ucapkan..??

aku tidak mencintainya
aku membencinya,,,,
tidak akan berubah

dia yang dulu tetap yang dulu...
:(

bodoh sekali aku bisa berpikir aku mencintai orang seperti Narantaka
 
" Cess...?!! " Taka mengetuk-ngetuk jendela kamarku. Mencari cari wajahku di sudut kamar tempatku berlutut menangis seorang diri..

" APA? "

" aaku mana bisa meninggalkanmu seperti itu..? "

" TIDAK DENGAR KAMU TERIAKAN MEREKA?? MEREKA BILANG AKU MURAHAN.. mereka bilang aku tidak tau malu, Kaa... " tangisku semakin deras saja...

ah, aku benci yang seperti ini
 
" tetanggamu hanya tidak tau yang sebenarnya..."
" haruskah kamu selemah itu menghadapi mereka? "
" Kita tidak melakukan apa-apa, Cess... "
" tidak perlu terlalu mendengarkan kata-kata mereka... Siapa mereka begitu membuatmu jadi seperti ini? "


" mungkin mereka benar... aku murahan. "
 
Mama membuka pintu kamarku, berlari ke arahku dan memelukku erat sekali, " Sudah Cess, jangan sedih.. Mama yang bersalah atas semua ini. Maafkan Mama. "

Ku balas pelukan, memeluk dan menyembunyikan wajah penuh air mataku di atas bahunya. Mama,, hatiku rasanya hancur sekali Ma..
 
# 15 #

Hari-hari berlalu dengan cepat, lebih cepat daripada gerimis yang mengisi siang hari. Entah dimana berdiriku hari ini, setidaknya aku tau sedikit hal dalam hidupku saat ini. Tidak ada.

Bahkan aku tidak tau apa yang sedang aku pikirkan dan lakukan beberapa hari ini. Semuanya menunjukkan kehampaan besar ke depan mataku, tak ada lagi yang bisa menyentuh hatiku. Aku tak ingin tertawa, tak ingin tersenyum, tak bernafsu makan, menangis 'pun aku enggan.

Tatapan kosongku menghiasi cermin saat aku menatapnya heran.

kemana diriku menghilang.. Dibawa kemana jiwaku...?
Hanya ada kekosongan dan mati rasa.
 
Aku lelah dengan ini semua.
Terlalu sangat lelah dengan semua yang selalu menyalahkan dan menyudutkanku.

Mengapa hidupku bisa jadi seperti ini..?
Apakah karena kesalahan Papa di semasa hidupnya dulu..?
Papa yang sangat suka sekali menyakiti hati orang lain dan suka sekali menghina dan merendahkan orang lain..?
Lalu orang-orang di sekelilingku memperlakukan aku seperti Papa memperlakukan orang - orang dulu?

Salah apa aku..?
Jika karena ini kesalahan Papa yang mesti dibayar..
mengapa mesti aku..?

Aku tidak pernah setuju dan tidak pernah melakukan apapun yang dulu Papa senang lakukan.
Aku tidak berjudi.
Aku tidak main perempuan.
Aku tidak menghianati kakak sendiri.
Aku tidak menyakiti suami.......................... suami?
benarkah karena aku menyakiti Narantaka?

Mengapa aku yang salah..?
Bukankah aku punya kehidupan yang boleh aku putuskan sendiri dan memilih jalanku sendiri...?
Narantaka tidak sakit hati karena itu 'kan..?

Ataukah benar..?

Lalu apa bedanya aku dengan Papa..?

Papa... jika kau telah mati. Matilah seluruh hidup dan jiwamu Pa..
Jangan meninggalkan penderitaan untukku. :(
 
" Kamu datang sendirian? " Tanya Riza segera setelah melepaskan pelukan yang aku baurkan padanya sesaat setelah melihat wajahnya.

Aku menggangguk dan terus menunduk. Menyembunyikan mata beruangku yang menjijikkan.

" Aku merindukanmu. " Kangennya memelukku lagi. " Kamu kurus? "

" Enggak! " Sergahku yakin. Menyalahkan apa yang sebenarnya terjadi. Aku 'pun tidak mengerti mengapa aku jadi seperti ini. Tapi aku sangat senang sekali Riza tiba-tiba mengajakku bertemu dengannya dan aku sudah sangat menantikan itu. " Aku gemuk-an kok. "

Ponsel Riza berdering.

" Halo? "
Riza membuka-kan pintu untukku, mengajakku ngobrol sambil duduk-duduk tenang dan makan sesuatu -mungkin-.

" Iya sayang.. Nanti siang aku jemput ya? Aku masih ada urusan sama teman lama. "

Apa..?
Siapa yang Riza sebut sayang..? aku atauu.. seseorang di ponselnya?
Kepalaku menengok, menatap tak percaya Riza tidak sedang berbicara padaku dan tidak sedang menatap ke arahku. Dia bersama seseorang di ponselnya.
Jantungku berdegub keras dan lambat.
apa ini?
ada apa ini?

" Bye sayang.. Sampa jumpa nanti siang. " Tutup Riza mengakhiri percakapannya di ponsel dengan seseorang yang entah siapa aku tidak tau.
 
" Riza...? Siapa dia? " Mulutku mulai mengeluarkan suara terbata-bata. Tuhan... aku belum siap merasakan kehancuran lagi.. Aku mohon.

Riza tersenyum senang dan malu-malu,.. " Nanti aku ceritakan. Kita makan dulu ya? Aku lapar "


Riza menghabiskan makanan yang ia pesan. Dan aku menghabiskan waktu - waktu yang terus berderak menyeret-nyeret leherku, mencekikku. Menyakitkan.
 
" Ayo, Cess.. Kenalkan, ini Diana. "
Seorang wanita yang sangat cantik berdiri di hadapanku, mengulurkan tangan kepadaku. Ia cantik dengan alis dan hidung yang hampir mirip dengan milikku. Dia mirip sekali denganku?

" Dia mirip dengan mu kan...? Aku juga baru sadar itu beberapa hari yang lalu, Cess... hhaha. "

Mataku berat sekali diajak berkedip, membuat bola mataku semakin terasa perih saja.

" Kami akan menikah sekitar 2 bulan yang akan datang, dan aku sangat menunggu kehadiranmu. Iya kan sayang? "

Tuhan.. Bunuh aku detik ini juga.
Ambil nyawaku.
Sudah benar-benar mati hatiku.
Aku tidak kuat lagi Tuhan..

Aku tidak sanggup.
begitu banyak yang Engkau datangkan padaku..?
Bunuh aku sekarang juga Tuhan...
 
# 16 #


" Jangan lagi temui aku Taka. "
Sejam setelah melepas temu dengan Riza dan .... dan... dan seseorang bersamanya aku menemui Narantaka di kantornya.

" Cess.. Apa yang kamu katakan. "

Narantaka ada di hadapanku, tapi mataku tak pernah sanggup menatap kearahnya. " Jangan temui aku lagi, jangan cari aku lagi, jangan ingat aku lagi. "

" .................. "

" Selamat tinggal. "


" CESSIE..?? " Teriaknya keras, tak menghentikan kakiku melangkah, meninggalkannya di belakangku. Aku pesakitan. Aku hancur. Aku tidak berguna. Aku murahan. Aku tidak pantas dekat dengan siapapun. Mama,.. ? Papa..? Mengapa kalian menjadikan aku wanita yang seperti ini..?
 
Back
Top