- Ketika Aku Mencintai Kebencianku, Untukmu -

Irza berpaling. Aku menarik diri mencari tatapannya... " Hey, kenapa? "

Kembali Irza menggeleng. Duhhh, ini semakin menghancurkan hatiku.

Ku tutupkan kedua telapak tanganku di pipinya, menyentuh sisi-sisi wajahnya, memohonnya menatapku kembali. Nafasku sulit diatur, terkadang pelan terkadang berat, terkadang tertahan, terkadang menghembuskan kencang-kencang. " Aku mencintaimu, bukan dia. "

" Tidak bisa. " Menggeleng lagi. Matanya melihat ke bawah, tertunduk meski wajahnya tertopang kuat oleh kedua telapak tanganku. " Aku tidak bisa mencintaimu. Tidak seperti ini. "

" Aku mencintaimu, Irza. Sungguh. " aku ikut menggeleng daam hati, sedang meyakinkan diriku aku pasti bisa. aku bisa. Pasti bisa bersama dia. Jangan menyerah.

" Kita tidak boleh bersama, Cess. Suamimu pasti tidak akan diam. Dia pasti sakit hati melihat kita berdua disini. "

" Tidak. Dia tidak akan seperti itu. "

Irza menatapku lagi. " Dia suamimu, lelaki yang lebih berhak untukmu, bukan aku. "

" Haruskah kamu mengatakan itu...? "

" Itu benar, Cess. "

" Tapi aku mencintaimu. " Cepat-cepat aku balas penyerahannya. Berharap dia tidak seperti ini. Ayolaaah, aku mencintaimu, aku ingin bersamamu,. aku ingin hanya berdua denganmu. Bukan yang lain.

Kepala Irza bergerak, hendak menggeleng tapi sigap tanganku menahannya. " Jangan menggeleng lagi, kamu menghancurkan hatiku. " Ku tempelkan dahiku di atas dahinya. Mataku terpejam. Selesai sudah. Semuanya. Hidupku. harapanku. Keinginanku. Hilang sudah semuanya.
 
xixixixixixi

mas mas, mbak-mbak...
sebelumnya, terimakasih banyak karena sering mampir kemari
terimakasih terimakasih,

maaf, kalau cara menulis saya terlihat aneh dan ngga mudah dimengerti,...
 
Tak Beda dengan Jiwa yang terbuang.Tidak berharga

# 10 #


apakah bisa aku melupakanmu sementara hanya kamu di dalam hatiku?
duniaku adalah dirimu, tempat tidurku adalah namamu,
lalu kemana tempat singgah yg kamu perbolehkan aku menempatinya?
aku bilang,.. " Sungguh, aku sayang padamu. "
Namun hanya gelengan kepala yang aku dapat sebagai jawaban.
bukankah itu pukulan telak..?
benar, sungguuh cukup membuatku hidup tanpa hati.
Karena hati itu, yg telah terkunci untukmu, mati karena tak adalagi kamu disana.

untuk apalah esok hariku?
jika tidak ada lagi dua tanganmu yang mau memelukku,
sekali lagi aku katakan, " sungguh, aku cinta kamu.. "
menangis aku karena melihatmu berjalan mundur dan meninggalkan aku sendirian
benar-benar sendirian.

apa bedanya aku dengan daun kering yang jatuh dari ranting pohon..?
tidak lagi hijau,
terbang tak beraturan dan terinjak tak peduli

hari ini kah? hari yang sejak lama aku tunggu..?
hari kau melepaskan tanganmu dari hatiku.

sempurna sekali.
sungguh kesempurnaan.
selesai sudah hidupku.

saat tidak ada lagi orang yang aku harapkan berada di hidupku,

mati sudah.
 
#11#

Kepalaku ku jatuhkan ke kaca jendela pintu mobil Irza dengan mulut yang masih bungkam dan mengerucut. Memandang hampa kesetiap benda yang berlarian cepat berlawanan arah dari kami, ku lirik Irza di balik setir, dingin sekali dia pagi ini padaku? Apakah harus sedingin ini..?

irza bilang pagi ini juga dia mengantarkan aku pulang, kembali ke rumah Narantaka. SU-A-MI-KU. Kejam sekali dia..

Mataku berpaling lagi dari Irza, bahkan tak sebentarpun dia mau membalas menatap ke arahku. Ugh, kosong sekali isi kepalaku?
 
" Haruskan aku..........." ku gigit tepi bibir bawahku, tiba-tiba tak bisa mengeluarkan kata yang sebenarnya sudah sepanjang perjalanan aku rancang dan aku susun rapi. Memohon padanya untuk tidak melakukan hal ini kepadaku. Tapi sekarang semuanya menghilang. "???" Hanya bisa memandang penuh memohon padanya.

" Turunlah. Aku tidak mengantarmu lebih dari ini. " Irza tidak menatapku. Sedikitpun. Mengapa?? Mengapa dia seperti itu? Haruskah dia seperti itu?

Mobil Irza mundur perlahan, maju beberapa meter lalu memutar arah mobilnya, dan pergi, menghilang ditelan tikungan di arah depan segera setelah aku turun dan keluar dari mobilnya bersama kopor kecil berisi barang-barang bawaanku. Tega sekali dia...

Selama ini aku menunggu dia pulang,...
Selama ini aku selalu merindukan dia...
Dan selama itu pula aku terus menyebut-nyebutkan aku mencintainya. Selamanya. Selamanya. Selalu bersama dia. Selamanya.

Haruskah dia mencampakkan aku seperti ini..?
haruskan?

Bodoh!

ah, benar, aku memang bodoh.

Ya! Kau bodoh! Bodoh karena merasa sakit melihat dia meninggalkanmu. Bukankah kau yang lebih dulu meninggalkan dia..? Bukankah kau yang memaksanya harus meninggalkanmu? Bukankah kau sendiri yang memaksanya tidak bisa mencintaimu??


Aku berjalan gontai masuk ke dalam rumah, seperti seorang anak yang tersesat kehilangan ibunya berhari-hari. Tidak tau harus kemana mencarinya... Hilang, tak bisa aku temukan.

Kosong.
Kudapati tak ada siapapun di rumah. Kemana Taka?
 
Kakiku berjalan mengelilingi setiap sudut rumah, mencari siapapun yang bisa aku temukan, namun tidak ada satu pun. Kemana?

Ku lemparkan punggungku keras ke atas bad yang barusaja aku bereskan karena sebelumnya kamar ini terlihat sangat-sangat berantakan. Kemana saja Narantaka 3 hari ini..? Sampai meninggalkan rumah dengan keadaan tak pantas ditinggali seperti ini. Huuhhh, ku hela nafasku supaya lebih teratur. Lelah juga merapikan seisi rumah, mengosongkan meja makan dari bermangkuk-mangkuk bekas mie instan dan bergelas-gelas susu, mencuci piring, melempar semua baju kotor yang digantung sembarangan di kamar mandi. Berapa hari dia melakukan yang seperti ini? Jorok.

Pikiranku melayang-layang ke 3 hari lalu, hari saat aku melihat Irza di stadion, tempat dia main futsal dengan teman-temannya. Senyum simpul menghiasi bibirku, namun sesaat kemudian segera memudar, digantikan mataku yang mulai sembab lagi. Mulai ingin menangis.

Jahat sekali dia melakukan ini padaku.
Aku tau ini kesalahanku. Tidak seharusnya aku menikah dengan Narantaka, aku seharusnya lebih bisa bersikap dan tegas terhadap mama. Ya,... aku tidak menyangka mama tega melakukan ini padaku..
Mamaa... haruskah mama melarang Irza menemuiku?? haruskah mama memisahkan aku dengan Irza? haruskah pernikahan ini ada? Aku tidak bisa hidup dengan Narantaka,.. aku mencintai Irza, bukan Narantaka. Atau siapapun yang lainnya. Tidak bisa..

Hidungku penuh tersumbat ingus yang mulai terasa perih. Memaksaku bernafas dengan mulutku,,,

menangis sepuasku... memaki sepuasku, menyalahkan semua orang sesukaku... berharap bisa menenangkan hatiku, tapi tidak kunjung bisa.
 
Aku terbangun dari tidurku. Mata bengkakku menyambut ketika kulihat cermin yang berdiri tegak di depanku, tak jauh dari tempatku berbaring. ogh, berapa lama aku menangis seharian tadi..?

Terdengar dentang jam dinding berbunyi kencang dari ruangan depan. Berdentang-dentang ramai sebelas kali, pukul sebelas malam. Kemana Narantaka..? malam seperti ini dia tidak di rumah? Hm, pasti tetap sibuk di kantornya. Huh, laki-laki itu selalu saja sibuk sendiri dengan urusannya sendiri.

" Aku mencintaimu, siapa istrimu? bahkan dia meninggalkanmu sendirian disini. Dia ngga ada. Tinggalkan kamu. Dan aku? aku selalu disini. Sama kamu. " suara siapa itu? siapa wanita yang semalam ini ada di depan rumah?

Rasa penasaran menuntunku dan mengantarkanku ke ruangan depan. Asal suara yang barusaja aku dengar sayup-sayup dari dalam kamarku. Semalam ini ada perempuan?

" Istrimu tidak pernah mencintaimu sebaik aku kan? Iya kan? " Terdengar jelas sekali sekarang. SEmbari kurapikan ujung-ujung bajuku yang jadi kusut karena aku pakai tidur, aku terus berjalan menghampiri asal suara.

Aku melihat Narantaka berdiri mematung, dia sandarkan tubuhnya ke ujung pintu menghadap ke arah dalam rumah. Bersedekap dada dengan wajah keruh yang sudah biasa aku lihat sebelum-sebelumnya.

" Apa yang kurang dariku? " Suara yang tadi terdengar jelas, menantang dan lantang mulai dihiasi dengan isak tangis, dan terputus-putus. Tapi... aku tidak melihat siapa-siapa di depan Narantaka, tidak juga di belakang Narantaka. Dimana?

Kakiku ku langkahkan 2 langkah lagi, hanya ingin memastikan siapa pemilik suara merdu tadi? suara sedih tadi? kasihan sekali dia. Apa yang dilakukan Narantaka padanya??

Tidak ada. Tidak ada siapa-siapa.

Bingung.


" Cessie? " Teriak Narantaka. Mengagetkanku yang sedang sungguh-sungguh mencari. Membuat kepalaku terbentur lemari di belakang tubuhku.

Narantaka berlari kearahku dan langsung memelukku. Dilakukannya begitu cepat, bahkan aku belum sempat menghilangkan pening di kepalaku karena benturan tadi. Meraih tubuhku erat. Kepalaku tenggelam di dadanya.

" Kemana aja kamu? " tanyanya cepat, namun karena tangannya menenggelamkan kepalaku di dadanya aku tak bisa bernafas, apalagi berbicara.

" Aku cari-cari kamu. Sayang, jangan lagi kamu pergi-pergi begitu aku khawatir. " Detak jantungku mulai susah berdetak. Nafasku sesak. Hidungku tersumpal kemeja biru tipis Narantaka. Aku cubit dadanya. " Aww, sakit "

Narantaka berteriak, melepaskan pelukkannya dariku, memasang wajah bingung menatapku lekat. " Kenapa? "

" Kamu mau bunuh aku? Ngga bisa nafas aku dipeluk kayak gitu. Ih, "
Sejenak aku kesal, sesaat kemudian terlihat seorang perempuan berdiri dibelakang Narantaka, memperhatikan kami berdua. Memperhatikan baik-baik dengan mata penuh air mata. Siapa dia?
 
" Siapa dia? " Tanyaku pada Taka, tatapanku penuh curiga, penuh tanda tanya. Siapa dia?

Narantaka menggenggam tanganku, menariknya dan mendekatkannya ke depan bibirnya, menciumnya, " Dia teman kantorku. Kamu kenapa pergi dari rumah? Karena aku? maafkan aku... Maaf, Tolong jangan lagi kamu pergi dari rumah tanpa izin dariku seperti kemarin. Aku ngga sanggup kehilangan kamu?! " Narantaka terus menatapku, membuatku semakin kesal. Bahkan dia tidak peduli aku masa bodoh dengan semua yang dia ucapkan padaku. Huh..

Aku masih terus melihat sisi belakanga Narantaka. Ke arah wanita itu. Dia yang sedari tadi membeku di balik tubuh Narantaka. Aku merasakan hatinya yang sedang hancur. Darimana datangnya peraasaan ini? Entahlah, aku bisa merasakannya kehancuran itu.. terlihat jelas sekali setiap aku melihat hitam mata sayu sembabnya. Apa yang sudah Narantaka lakukan padanya?

Wanita itu berbalik menghindari tatapanku. Melangkah pergi...

"hei," tahanku... " Hei, jangan pergi. "

Dia berlari... Aku 'pun berlari, mengejarnya. Aku ingin tahu apa yang sudah Narantaka lakukan padanya hingga dia hancur seperti itu.

Sekelebat bayangan Narantaka terlintas di sampingku, lalu sudah ada didepanku. Menutup pintu rapat dan menghalangiku jalanku. Aku ingin wanita itu, sebentar saja... " Apa? " sentakku tak sabar.

" Biarkan saja dia pergi. Dia memang dari tadi mau pergi. " Cegahnya padaku, memaksaku semakin penasaran saja.

" Kenapa? kenapa dia? Kenapa ada perempuan semalam ini di rumah? "

" Tidak ada. "

" BOHONG.. " Aku menyeruak mendorong Narantaka, memintanya menyingkir dari hadapanku, membiarkan jalanku dengan paksa. Huh, tubuhnya terlalu besar untuk bisa aku lawan. Aku tau aku keras kepala. Dan aku tau, Narantaka juga tau aku keras kepala. Apa masih berani dia menghalangi jalanku?

" Aku tidak bohong. Aku tidak tau kenapa dia berkunjung selarut ini ke rumah..? "

" Dia mencintaimu?? " Tanyaku sinis. Hm, pasti aku benar.

" Tidak. "

ugh, laki-laki ini selalu saja berbohong kepadaku. " Bohong. Aku dengar apa yang dia katakan tadi. Dia bilang, dia mencintaimu, lebih daripada aku. "

" Cess,.. " Narantaka memasang wajah memohonnya, " Aku tidak mencintainya.. aku mencintaimu. Aku tidak ingin orang lain yang mencintai aku, aku ingin kamu. "

" Hmm... " Aku menahan tawa, Narantaka maju selangkah dengan tangan terbuka, aku tau gerakan itu untuk memelukku. " Jangan peluk! Aku tidak mencintaimu. " Narantaka berhenti di tempatnya, belum menurunkan kedua tangan terbukanya. " Aku tidak tau kenapa aku tidak bisa membuatmu mengerti aku tidak bisa mencintaimu. Kenapa dengan dia?? Dia cantik, dia tinggi, dia dekat denganmu, dia mencintaimu, dia mengerti kamu, dia tau apa yang kamu butuhkan. Dia sempurna, buatmu. Dan aku tidak, kenapa? "

" Karena aku suamimu. " Tatapan mata Narantaka dalam, terlalu dalam untuk aku lawan. Kupalingkan wajahku, mengjauhi tatapan itu. " Karena aku suamimu dan aku mencintaimu. "
 
" Aku benci kamu, Taka. Aku benci aku benci aku benci. " Tanganku terkepal kuat, ku pukul-pukulkan kasar ke dinding di sebelah pintu. Dahiku terpaku juga disana.. Ingin rasanya aku membentur-benturkannya juga, supaya aku puas.. supaya Narantaka puas... Aku merasa aku bodoh sekali. Bodoh! Bodoh!

Apa?? Apa yang bodoh??

Tidak tau! aku tidak tau, aku hanya sedang merasa sangat bodoh sekali. Aku tidak tau.

Narantaka merekatkan dadanya di punggungku. Tangan kanannya membungkus tangan kananku yang mulai merah kesakitan aku pukul-pukulkan ke dinding. memintaku berhenti, " Hentikan, Cess, Aku menderita melihatmu melakukan ini. Hentikan. Apa salahku, Cess? "

Kubiarkan dadanya di punggungku. Ku biarkan tangan kanannya menggenggam jemari tangan kananku, ku iyakan tangan kirinya memeluk leherku, ku biarkan dagunya di atas rambutku, " Aku benci kamu. "

" Iya, benci aku sepuasmu, benci aku sesukamu. Kamu berhak membenciku, dan aku berhak mencintaimu. Jangan lakukan lagi yang seperti ini. Sudah cukup, Cess. Cukup "

Air mataku meleleh, membasahi lengan kiri Taka yang melilit leherku. Lagi-lagi kamu hancurkan hidupku, Taka. belum cukupkah? Belum jelaskah?? Belum terdengar jelaskah? aku berkali-kali meneriakimu aku tidak mencintaimu, tapi mengapa kamu selalu menghancurkan hidupku? menghancurkan harapanku?

" Apa salahku, Cessie? "

" Karena kamu selalu menghancurkan hati semua orang. Kamu menghancurkan hatiku. Kamu menghancurkan hati wanita itu. Kamu menghancurkan harapanku. Hidupku. "

" kita sudah menikah, "

" Tapi itu pernikahan untukmu, bukan untukku. Aku tidak pernah memintamu menikahiku. " ............ " Aku sudah katakan aku tidak bisa hidup denganmu, kamu lihat, Taka.. Kamu lihat apa yang kamu lakukan padaku? kamu menghancurkan semuanya. "............... " Kamu keras kepala. Hati batu. Otak udang.!! " .. " Kamu jahat. kamu ngga tau malu. "

" Maafkan aku, maafkan semuanya. "

Aku beringsut, " KAU PIKIR PERMINTAAN MAAFMU MENGEMBALIKAN HIDUPKU?? " kembali aku berteriak teriak lantang di bawah wajah Taka, di depan tatapan Taka. " Bodoh! "

" Cess?? Kasar sekali kata-katamu? "

Ku buang mukaku dari tudingannya yang kurasa memang benar. Tapi aku tidak peduli.

" Apa maumu Cess..? Apa yang bisa mengembalikan hidupmu? Aku mencintaimu akan aku lakukan apapun untukmu. "

" ceraikan aku. " Hardikku dingin.

" Cess.....??? "

Kembali aku menatapkan diri ke matanya. Menegaskan apa yang sudah aku katakan padanya tadi. Dan dia harus tau aku tidak akan mengulang perkataanku 2 kali.
 
# 12 #

............................................................................................................

Kami bercerai.

............................................................................................................
 
^ mereka bercerai,
Narantaka bilang... Aku tidak bisa memaksakan siapapun untuk mencintaiku, meski aku mencintainya dan rela meninggalkan semuanya demi dia.
 
# 13 #


gemericik air saling beradu berjatuh jatuhan di atas kepalaku... Air shower yang menemaniku beberapa minggu ini, membantuku memberantas nama Narantaka yang selalu menggentayangi hidupku, membuatkku selalu merasa bersalah setelah perceraian kami usai sebulan yang lalu.
uff,,

seluruh tubuhku ku tenggelamkan ke dalam bathtube, membiarkan air bergemericik dari atas,..
berharap menghilangkan rasa bersalah ini.
aku benci perasaan yang seperti ini.

bukan salahku perceraian ini terjadi.
SUmpah mati aku tak pernah menginginkan perceraian terjadi, tapi aku juga tidak pernah menginginkan pernikahan itu.
TIDAK!!

salah siapa???
bukankah itu semua bukan salahku?
sudah aku katakan pada semua orang. Aku tidak ingin menikah dengan orang lain, aku ingin hidup berdua dengan Irza. Titik.

ya, aku tau aku tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi dalam hidupku, tapi bukankah aku tidak boleh berhenti berusaha?

apakah ini salahku??
bukankah bukan salahku?

iya, mungkinaku berbuat banyak kesalahan disana sini, tapi itu semua karena kesalahan mereka.. karena paksaan mereka.
 
seperti itu,.. terus..
berhari hari

berminggu minggu

perasaan bersalah itu. terus datang dan datang..

sudah rapat-rapat kututup pintu hatiku..

tapi perasaan bersalah itu kembali mengetuk pintu hatiku.


kembali aku mengunci diri di kamar mandi... tempatku mengasingkan diri.
belum cukupkah dia menghancurkan hidupku?
 
Last edited:
tiap malam datang,
kesepian yang dulu tak pernah menghadirkan diri dihatri-hariku, kini selalu tak pernah absen.

aku merindukan sentuhan hangat dari tiap pelukan orang yang dulu selalu menemani tiap malamku. memelukku.

ahhhh, bodoh bodoh bodoh,...
merindukan siapa??
tidak,...

aku hanya sedang merasa bersalah saja... tidak lebih.
merindukan apa??
tidak ada.
tidak ada.. tidak.

ufffffffffffffffffffffffff,,,,,,,,,,, ku sembunyikan saja diri dan hatiku di bawah selimut. menggigit dinginnya malam dengan pasti.
 
"Cess,, ayo makan dulu..." Ajak Mama dari balik pintu kamarku sembari mengetuk ngetuk daun pintu berulang kali.

"iyaaa,, nanti aku makan, Ma." Kuucapkan sejadinya, ujung selimut ku tarik dengan cepat, menutupkan kembali kepala dan seluruh tubuhku ke baliknya. masih mengantuk. Tapi kepala belakangku terasa panas dan berdenyut denyut nyeri. Jam berapa ini? tiba- tiba saja teringat sesuatu..

Ku lempar selimut yang barusaja aku tarik, membuka sebagian tubuhku darinya. Berkelit kekanan ke kiri, mencari jam beker yang rasanya sudah kupasangi alarm namun aku matikan saat dia berbunyi tadi pagi buta. Mana dia? susah sekali dicari jika sedang dibutuhkan. Belum ketemu juga.

Aku berdiri,.... dan wowww.... mataku berkunang-kunang, kepalaku rasanya sedang membesar 3 kali lipat dari ukurannya ketika itu. Ku pegangi kepalaku seperti takut terlepas jatuh tiba-tiba karena ukuran dan beratnya seperti bertambah berlebihan.

Ufh,
aku duduk lagi, mengatur deru nafasku yang juga ikut-ikutan memburu terburu-buru, keringat dingin keluar dari tengkukku. udara dingin merayap menjilat-jilat ujung tangan dan kakiku. Kepalaku terasa sedang panas terbakar, tapi ujung-ujung tubuhku kedinginan.

Hm,.. kenapa ini?

Tangan kananku kebas, sedang berusaha menghilangkan rasa semutan yang barusaja datang, ku buat menggapai-gapai, sekalian mencari keberadaan jam bekerku yang belum ku temukan sejak tadi.

itu dia,
bersembunyi di bali selimut..
nakal kamu..!

Pukul 11.07 pagi,
wah.. ternyata masih pagi..
hhaha,
entah kenapa, tiba2 aku ingin tertawa melihat jam bekerku yang aku pikir sedang rusak.. hhaha
 
" Cessieee,..?? " kembali Mama memanggil dari balik pintu.

Ahh, mama cerewet sekali.... " Iyaa. "

" Ayo cepat, kamu belum makan sejak pagi, Cess.. Mama tunggu di bawah, "

" Mama belum makan?? " Ku ganti pakaian tidurku, mengabaikan sakit kepala yang masih memukul-mukulkan palu penghadir rasa nyeri di belakang kepalaku.

" Belum, Cess.. Mama tunggu kamu. "

Aku membuka pintu, mendapati Mama dengan wajah masamnya, hhehe. " Ayo kita makan? " Ajakku merajuk manja, kupeluk mama setelah mencium pipinya yang sedikit menggelambir karena bibirnya mengerucut manyun.

" Kamu ini.. " Tangan mama mengamit pinggangku lembut.

" Hhihi, iya maaf. "

Kami berdua berjalan beriringan, Aku sayang mama.

" Mama udah rapi? Mau kemana? " ku cium wangi semerbak tubuh mama, wangi segar parfum kesukaannya. Wangi sekali. Hhehe, bahkan aku saja belum mandi. :p

" Ke rumah tantemu. Arisan. "

" Aku sendirian dong di...... " Terpotong, dan tercekik di leherku, mendapati lelaki duduk tenang menyandarkan dagu di atas kedua punggung telapak tangannya yang tertumpuk rapi di meja makan. " Ooh, ada tamu? "

" Udaaah, sana kamu duduk. Ayo kita makan dulu. " Ujar mama menghancurkan rasa kesalku. Aku menarik kursi dudukku, duduk. Mama menuangkan nasi ke atas piringnya, mengambil lauknya,..... menyodorkan piring itu beserta isinya ke depan Narantaka " Takaa, ayo makan. "

" Dia bisa ambil sendiri kok, Ma. " Dengusku bersungut-sungut. Mulai kesal kembali.

" Iya, Ma. Aku makan. " Jawab Narantaka tenang. Ugh.. dasar, menyebalkan. Mau apa dia kemari?

" Cessiee,.. " Peringatan pertama dari mama. " Ayo?? "

" Iya, aku makan. " Menyambut piring yang mama sodorkan padaku. Mama tersenyum saat melihat bibirku manyun. Hufh, Mama!
 
Back
Top