nurcahyo
New member
Kedaulatan pangan dapat tercapai dengan pertanian organik
Kedaulatan pangan dapat tercapai dengan melakukan teknologi pertanian agroekologi seperti pertanian organik. Keberhasilan praktik pertanian organik dalam mewujudkan kedaulatan pangan telah ditunjukkan oleh negara-negara yang mengalami surplus pangan seperti Kuba.
Meski negara kecil, namun ketika ekonominya diblokade oleh Amerika Serikat, Kuba tetap mampu mencapai kedaulatan pangan dengan mengembangkan pertanian organik, tanpa pupuk dan pestisida kimia. Demikian menurut Henry Saragih, Sekjen Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) di Jakarta (25/01).
"Dan kita mempunyai kekayaan atau kemampuan untuk itu pula. Bukan sekedar program-program yang menjebak, seperti memproduksi pupuk, ataupun meningkatkan subsidi pupuk. Kenapa kita tidak meningkatkan dukungan pada petani yang mencoba bertani tidak menggunakan zat-zat kimia yang biasanya dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar?" ungkap Henry Saragih.
Pemerintah sendiri menurutnya, belum menunjukkan perhatian dukungan secara konkrit terhadap pertanian organik. Baru sebatas rencana mulai, dukungannya belum bisa dikatakan merata. Seperti pengembangan pusdiklat-pusdiklat di beberapa provinsi. Sedangkan dari petani anggota Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), sudah banyak mengembangkan pertanian organik.
"Luasnya sekitar 10% dari lahan garapan petani FSPI. Di antaranya di Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Bogor, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat. Untuk jenis produk padi, sayur-sayuran, tanaman keras dan buah-buahan," jelasnya.
Terjebak
Selama ini dalam melakukan pertanian organik petani masih terjebak oleh harga pasar yang belum memberikan harga yang lebih bagus. Sehingga petani yang mulai beralih ke organik merasa sama saja dengan yang bukan organik. Lalu mereka tidak bersemangat.
Sementara itu pemerintah juga kurang memberi dukungan terhadap pertanian organik petani tersebut, dan tetangga-tetangga di sebelahnya masih melakukan konvensional. Akhirnya petani pun beralih kembali ke praktik pertanian lama atau pindah ke tanaman lain, karena mereka menganggap tanaman organiknya (seperti padi) tidak menguntungkan.
Lalu tidak adanya subsidi dan rasa takut bahwa program pertaniannya dianggap anti pemerintah yang menggunakan pupuk dan pestisida kimia serta benih padi hibrida, juga turut menghambat pengembangan pertanian organik.
"Pemerintah baru mulai memberikan perhatian kepada pertanian organik akhir-akhir ini dengan proyek-proyek sekolah lapang PHT. Seharusnya perhatian tersebut dilakukan secara serentak melalui pusat-pusat penelitian dan pembenihan Dinas Pertanian," ungkap Saragih.
Lalu pemerintah juga harus melindungi petani yang akan memproduksi benih sendiri dari ancaman tuntutan perusahaan penghasil benih terkait UU hak paten melalui UU perlindungan produksi benih dan cara petani sendiri. Karena memproduksi benih sendiri termasuk salah satu upaya membentuk kemandirian petani.
Di samping itu UU tersebut untuk menyikapi dilema atau kontradiksi antara keinginan pemerintah yang mengajak petani memproduksi benih sendiri dengan ancaman tuduhan pemalsuan benih oleh perusahaan benih kepada petani.
Dimana Menteri Pertanian (Mentan), Anton Apriyantono telah mengajak petani memproduksi benih sendiri sebagai upaya mensinergikan unsur dasar pembentuk pertanian, yaitu: benih, tanah dan tenaga kerja melalui bingkai budaya.
Ekologi budaya
Menurut Anton Apriyantono, faktor budaya menjadi penting karena akan memberi pola dalam interaksi ketiga unsur dasar pertanian tersebut. Paradigma tersebut dapat disebut sebagai paradigma ekologi budaya (seperti pertanian organik). Dimana pendekatan ekologi budaya mengharuskan adanya harmoni antara manusia dengan alam yang menghormati budaya lokal (local wisdom). Pendekatan sinergis ini akan lebih menjamin pembangunan pertanian berkelanjutan bagi masa depan bangsa.
Apriyantono juga menjelaskan, paradigma ekologi budaya itu untuk menjawab berbagai kajian yang menunjukkan bahwa penggunaan sarana produksi, khususnya pupuk dan obat-obatan kimia, tidak lagi memberikan peningkatan produksi secara linear.
"Tampaknya lahan kita telah mengalami kelelahan (land fatigue), gejala yang juga dialami oleh berbagai negara berkembang. Di samping itu, ada persoalan skala usaha yang dihadapi oleh petani kita, yaitu penguasaan lahan mayoritas petani kurang dari 0,5 hektar per rumah tangga.
Kedaulatan pangan dapat tercapai dengan melakukan teknologi pertanian agroekologi seperti pertanian organik. Keberhasilan praktik pertanian organik dalam mewujudkan kedaulatan pangan telah ditunjukkan oleh negara-negara yang mengalami surplus pangan seperti Kuba.
Meski negara kecil, namun ketika ekonominya diblokade oleh Amerika Serikat, Kuba tetap mampu mencapai kedaulatan pangan dengan mengembangkan pertanian organik, tanpa pupuk dan pestisida kimia. Demikian menurut Henry Saragih, Sekjen Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) di Jakarta (25/01).
"Dan kita mempunyai kekayaan atau kemampuan untuk itu pula. Bukan sekedar program-program yang menjebak, seperti memproduksi pupuk, ataupun meningkatkan subsidi pupuk. Kenapa kita tidak meningkatkan dukungan pada petani yang mencoba bertani tidak menggunakan zat-zat kimia yang biasanya dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar?" ungkap Henry Saragih.
Pemerintah sendiri menurutnya, belum menunjukkan perhatian dukungan secara konkrit terhadap pertanian organik. Baru sebatas rencana mulai, dukungannya belum bisa dikatakan merata. Seperti pengembangan pusdiklat-pusdiklat di beberapa provinsi. Sedangkan dari petani anggota Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), sudah banyak mengembangkan pertanian organik.
"Luasnya sekitar 10% dari lahan garapan petani FSPI. Di antaranya di Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Bogor, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat. Untuk jenis produk padi, sayur-sayuran, tanaman keras dan buah-buahan," jelasnya.
Terjebak
Selama ini dalam melakukan pertanian organik petani masih terjebak oleh harga pasar yang belum memberikan harga yang lebih bagus. Sehingga petani yang mulai beralih ke organik merasa sama saja dengan yang bukan organik. Lalu mereka tidak bersemangat.
Sementara itu pemerintah juga kurang memberi dukungan terhadap pertanian organik petani tersebut, dan tetangga-tetangga di sebelahnya masih melakukan konvensional. Akhirnya petani pun beralih kembali ke praktik pertanian lama atau pindah ke tanaman lain, karena mereka menganggap tanaman organiknya (seperti padi) tidak menguntungkan.
Lalu tidak adanya subsidi dan rasa takut bahwa program pertaniannya dianggap anti pemerintah yang menggunakan pupuk dan pestisida kimia serta benih padi hibrida, juga turut menghambat pengembangan pertanian organik.
"Pemerintah baru mulai memberikan perhatian kepada pertanian organik akhir-akhir ini dengan proyek-proyek sekolah lapang PHT. Seharusnya perhatian tersebut dilakukan secara serentak melalui pusat-pusat penelitian dan pembenihan Dinas Pertanian," ungkap Saragih.
Lalu pemerintah juga harus melindungi petani yang akan memproduksi benih sendiri dari ancaman tuntutan perusahaan penghasil benih terkait UU hak paten melalui UU perlindungan produksi benih dan cara petani sendiri. Karena memproduksi benih sendiri termasuk salah satu upaya membentuk kemandirian petani.
Di samping itu UU tersebut untuk menyikapi dilema atau kontradiksi antara keinginan pemerintah yang mengajak petani memproduksi benih sendiri dengan ancaman tuduhan pemalsuan benih oleh perusahaan benih kepada petani.
Dimana Menteri Pertanian (Mentan), Anton Apriyantono telah mengajak petani memproduksi benih sendiri sebagai upaya mensinergikan unsur dasar pembentuk pertanian, yaitu: benih, tanah dan tenaga kerja melalui bingkai budaya.
Ekologi budaya
Menurut Anton Apriyantono, faktor budaya menjadi penting karena akan memberi pola dalam interaksi ketiga unsur dasar pertanian tersebut. Paradigma tersebut dapat disebut sebagai paradigma ekologi budaya (seperti pertanian organik). Dimana pendekatan ekologi budaya mengharuskan adanya harmoni antara manusia dengan alam yang menghormati budaya lokal (local wisdom). Pendekatan sinergis ini akan lebih menjamin pembangunan pertanian berkelanjutan bagi masa depan bangsa.
Apriyantono juga menjelaskan, paradigma ekologi budaya itu untuk menjawab berbagai kajian yang menunjukkan bahwa penggunaan sarana produksi, khususnya pupuk dan obat-obatan kimia, tidak lagi memberikan peningkatan produksi secara linear.
"Tampaknya lahan kita telah mengalami kelelahan (land fatigue), gejala yang juga dialami oleh berbagai negara berkembang. Di samping itu, ada persoalan skala usaha yang dihadapi oleh petani kita, yaitu penguasaan lahan mayoritas petani kurang dari 0,5 hektar per rumah tangga.