nurcahyo
New member
Dukungan Pemerintah Terhadap Pertanian Organik Masih Minim
Dukungan Pemerintah Terhadap Pertanian Organik Masih Minim
Departemen Pertanian akan memfasilitasi dan mendukung pihak-pihak yang akan mengembangkan pertanian organik, namun tetap mengutamakan ketahanan pangan nasional.
Demikian disampaikan Menteri Pertanian Republik Indonesia, Dr. Ir. Anton Apriyantono, MS dalam Seminar Nasional Pertanian Organik di Bogor, Selasa, 13 September 2005.
Pengembangan pertanian organik akan mengacu pada sasaran Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang antara lain berkaitan dengan aspek produktifitas dan efisiensi, khususnya pada tanaman yang membutuhkan produksi besar dan menyangkut hajat hidup orang banyak seperti tanaman pangan, terutama padi.
Salah satu sasaran yang sekaligus basis utama RPPK adalah ketahanan pangan yang bersandar pada ?swasembada beras lestari.? Menurutnya, ini karena Indonesia masih membutuhkan produktivitas tinggi untuk padi dengan laju peningkatan 1-2% per tahun.
Pengembangan pertanian organik absolut akan diarahkan pada komoditas tertentu yang bernilai ekonomi tinggi serta tidak dibutuhkan dalam jumlah yang besar bagi konsumsi dalam negeri. Misalnya komoditas hortikultura (sayur dan buah), perkebunan (kopi, mete, dll.), rempah dan obat-obatan.
Sedangkan sasaran utama pengembangannya akan diarahkan pada petani dan/atau sistem pertanian yang selama ini telah menerapkan pertanian organik ?tanpa disadari? dengan mengapresiasi ?indigenous technology? dan ?indigenous knowledge.? Selain itu, juga akan diarahkan pada lahan potensial yang hingga saat ini masih kosong.
Sedangkan Walikota Bogor, Diani Budiarto, dalam sambutan tertulisnya mengatakan bahwa Kebijakan Pembangunan Pertanian di Kota Bogor diarahkan pada pengembangan agribisnis perkotaan yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan lokal spesifik. Salah satu implementasinya adalah dengan menerapkan pertanian organik di kota Bogor.
Saat ini, telah ada beberapa komoditi yang merupakan hasil dari pertanian organik, antara lain jambu biji getas merah organic dan beras organik Jambu biji getas merah organik dikembangkan di kecamatan Tanah Sareal seluas +/_ 80 ha dengan produksi rata-rata 16 ton/ha setiap bulannya, dan dipanen 3 hari sekali.
Sementara Agung Prawoto, Direktur Eksekutif BIOCert (Lembaga Penjamin Pertanian Organis Indonesia), lebih menyikapi pada kondisi dan potensi pasar organik di Indonesia.
Menurutnya, perkembangan pasar organik saat ini amat pesat. Indonesia yang saat ini berpenduduk 235 juta orang, dimana 10%-nya memiliki tingkat sosial ekonomi tinggi, berpendidikan dan tinggal di kota-kota besar adalah pangsa pasar organik yang cukup potensial. Jumlahnya lebih besar dari penduduk Singapura atau setara dengan penduduk Australia.
Tercatat, hingga akhir 2004, volume penjualan produk organik nasional diperkirakan sebesar US$ 4-5 juta per tahun dengan produk utama berupa beras, sayuran, buah kering, rempah-rempah, herbal dan kopi.
Namun Agung menyayangkan masih adanya gap antara produsen dan konsumen. Konsumen kesulitan mendapatkan produk organik secara kontinyu karena pasokannya terbatas, lokasinya jauh atau tidak adanya jaminan keorganisan produk organik. Sementara produsen tidak mampu menjangkau konsumen karena ketiadaan informasi pasar, minimnya infrastruktur, rendahnya kemampuan teknologi paska panen, permasalahan konsistensi mutu dan produksi serta kendala permodalan.
Selain itu, minimnya dukungan pemerintah terhadap pertanian organik. Hal ini terlihat dari tiadanya regulasi nasional yang mendukung pertanian organik di Indonesia. Indonesia belum memiliki strategi nasional pertanian organik yang sistematis dan terintegrasi yang bisa menjadi arahan bagi pengembangan pertanian organik di Indonesia.
Juga tidak ada otoritas kompeten yang memfasilitasi bidang ini, sehingga kegiatan pertanian organik di Indonesia menjadi tidak terkoordinasi. Tidak adanya regulasi tentang sertifikasi, akreditasi dan ketidak-siapan otoritas kompeten untuk melakukan akreditasi lembaga sertifikasi pangan organik menyulitkan produsen dan pemasar produk organik endapatkan sertifikasi untuk mengakses pasar yang lebih luas.
"Karenanya, untuk mendorong pertumbuhan pasar organik nasional, sebagai bagian dari pengembangan pertanian organik di Indonesia, perlu kerjasama semua pihak. Mulai dari sisi produksi, pemasaran hingga regulasi. Dan hal ini harus dilakukan secara sistematis, terpadu dan tidak instan,? papar Agung.
Dukungan Pemerintah Terhadap Pertanian Organik Masih Minim
Departemen Pertanian akan memfasilitasi dan mendukung pihak-pihak yang akan mengembangkan pertanian organik, namun tetap mengutamakan ketahanan pangan nasional.
Demikian disampaikan Menteri Pertanian Republik Indonesia, Dr. Ir. Anton Apriyantono, MS dalam Seminar Nasional Pertanian Organik di Bogor, Selasa, 13 September 2005.
Pengembangan pertanian organik akan mengacu pada sasaran Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang antara lain berkaitan dengan aspek produktifitas dan efisiensi, khususnya pada tanaman yang membutuhkan produksi besar dan menyangkut hajat hidup orang banyak seperti tanaman pangan, terutama padi.
Salah satu sasaran yang sekaligus basis utama RPPK adalah ketahanan pangan yang bersandar pada ?swasembada beras lestari.? Menurutnya, ini karena Indonesia masih membutuhkan produktivitas tinggi untuk padi dengan laju peningkatan 1-2% per tahun.
Pengembangan pertanian organik absolut akan diarahkan pada komoditas tertentu yang bernilai ekonomi tinggi serta tidak dibutuhkan dalam jumlah yang besar bagi konsumsi dalam negeri. Misalnya komoditas hortikultura (sayur dan buah), perkebunan (kopi, mete, dll.), rempah dan obat-obatan.
Sedangkan sasaran utama pengembangannya akan diarahkan pada petani dan/atau sistem pertanian yang selama ini telah menerapkan pertanian organik ?tanpa disadari? dengan mengapresiasi ?indigenous technology? dan ?indigenous knowledge.? Selain itu, juga akan diarahkan pada lahan potensial yang hingga saat ini masih kosong.
Sedangkan Walikota Bogor, Diani Budiarto, dalam sambutan tertulisnya mengatakan bahwa Kebijakan Pembangunan Pertanian di Kota Bogor diarahkan pada pengembangan agribisnis perkotaan yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan lokal spesifik. Salah satu implementasinya adalah dengan menerapkan pertanian organik di kota Bogor.
Saat ini, telah ada beberapa komoditi yang merupakan hasil dari pertanian organik, antara lain jambu biji getas merah organic dan beras organik Jambu biji getas merah organik dikembangkan di kecamatan Tanah Sareal seluas +/_ 80 ha dengan produksi rata-rata 16 ton/ha setiap bulannya, dan dipanen 3 hari sekali.
Sementara Agung Prawoto, Direktur Eksekutif BIOCert (Lembaga Penjamin Pertanian Organis Indonesia), lebih menyikapi pada kondisi dan potensi pasar organik di Indonesia.
Menurutnya, perkembangan pasar organik saat ini amat pesat. Indonesia yang saat ini berpenduduk 235 juta orang, dimana 10%-nya memiliki tingkat sosial ekonomi tinggi, berpendidikan dan tinggal di kota-kota besar adalah pangsa pasar organik yang cukup potensial. Jumlahnya lebih besar dari penduduk Singapura atau setara dengan penduduk Australia.
Tercatat, hingga akhir 2004, volume penjualan produk organik nasional diperkirakan sebesar US$ 4-5 juta per tahun dengan produk utama berupa beras, sayuran, buah kering, rempah-rempah, herbal dan kopi.
Namun Agung menyayangkan masih adanya gap antara produsen dan konsumen. Konsumen kesulitan mendapatkan produk organik secara kontinyu karena pasokannya terbatas, lokasinya jauh atau tidak adanya jaminan keorganisan produk organik. Sementara produsen tidak mampu menjangkau konsumen karena ketiadaan informasi pasar, minimnya infrastruktur, rendahnya kemampuan teknologi paska panen, permasalahan konsistensi mutu dan produksi serta kendala permodalan.
Selain itu, minimnya dukungan pemerintah terhadap pertanian organik. Hal ini terlihat dari tiadanya regulasi nasional yang mendukung pertanian organik di Indonesia. Indonesia belum memiliki strategi nasional pertanian organik yang sistematis dan terintegrasi yang bisa menjadi arahan bagi pengembangan pertanian organik di Indonesia.
Juga tidak ada otoritas kompeten yang memfasilitasi bidang ini, sehingga kegiatan pertanian organik di Indonesia menjadi tidak terkoordinasi. Tidak adanya regulasi tentang sertifikasi, akreditasi dan ketidak-siapan otoritas kompeten untuk melakukan akreditasi lembaga sertifikasi pangan organik menyulitkan produsen dan pemasar produk organik endapatkan sertifikasi untuk mengakses pasar yang lebih luas.
"Karenanya, untuk mendorong pertumbuhan pasar organik nasional, sebagai bagian dari pengembangan pertanian organik di Indonesia, perlu kerjasama semua pihak. Mulai dari sisi produksi, pemasaran hingga regulasi. Dan hal ini harus dilakukan secara sistematis, terpadu dan tidak instan,? papar Agung.